Minggu, 05 Agustus 2007

HAKIKAT SYUKUR

HAKIKAT SYUKUR

''Ada dua kenikmatan yang membuat kebanyakan manusia terpedaya (terhalang dari mendapat kebaikan dan pahala), yaitu kesehatan dan waktu luang.'' (HR Bukhari).

Syukur yang mempunyai arti mengakui nikmat Allah SWT tidak saja dikerjakan hanya dengan cara mengucapkan Hamdalah ketika mendapatkan nikmat dari-Nya. Hadis di atas menunjukan hakikat syukur yang sebenarnya. Kebanyakan manusia tidak menggunakan kesehatan dan waktu luang untuk beribadah dan mengerjakan hal-hal yang positif. Hal ini mengandung pengertian syukur yang sebenarnya adalah pengejewantahan nikmat Allah SWT yang diberikan kepada hamba-Nya.

Bukti mensyukuri nikmat harta adalah membelanjakannya di jalan Allah SWT. Bukti mensyukuri nikmat kekuasaan adalah menjadi pemimpin yang adil dan berusaha sekuat tenaga mensejahterakan rakyatnya. Bukti mensyukuri nikmat ilmu adalah mengamalkannya dan mengajarkannya kepada orang lain.

Begitupun bukti mensyukuri nikmat-nikmat yang lain adalah mempergunakannya hanya untuk beribadah kepada Allah. Karena, seluruh kebaikan di dunia ini merupakan ibadah kepada Sang Khalik. Dalam Alquran Allah SWT telah banyak memberikan pelajaran tentang orang-orang yang diadzab karena tidak mensyukuri nikmat nikmat-Nya.

Di antaranya, Fira`un ditenggelamkan bersama bala tentaranya karena kufur terhadap nikmat kekuasaan, Qarun ditenggelamkan ke dalam perut bumi bersama harta bendanya karena kufur terhadap nikmat harta, Allah juga mengadzab Hamman karena kufur nikmat kepintaran yang Allah berikan terhadapnya.

Semua ini merupakan bukti dari firman-Nya, ''Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.'' (QS Ibrahim [14]:7).

Langkah awal menjadi hamba yang bersyukur adalah berdoa kepada Allah SWT. Secara langsung, Allah SWT mengajarkan doa tersebut di dalam Alquran, ''Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat-Mu yang Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal saleh yang Engkau ridhai, berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.'' (QS Al Ahqaf [46]: 15).

Wallahu a`lam bi ash-Shawab.

Bahaya Riya'

BAHAYA RIYA'

Suatu hari Rasuallah SAW bersabda kepada para sahabat, ''Sesuatu yang paling aku khawatirkan menimpa kamu sekalian ialah syirik paling kecil.'' Maka beliau ditanya oleh sahabat tentang itu. Beliau berkata, ''Syirik kecil itu adalah riya'.'' (HR Ahmad).

Riya berasal dari akar kata raa-a yuraa-i yang maknanya adalah melakukan suatu amalan tidak untuk mencari keridhaan Allah, melainkan mencari popularitas ataupun pujian dari orang lain.

Riya' bukanlah suatu penyakit zhahir yang dapat terdeteksi oleh dokter, melainkan suatu penyakit hati yang amat samar dan tak kasat mata. Namun, dampak penyakit riya' lebih berbahaya daripada penyakit yang kasat oleh mata, bahkan syirik kecil ini dapat menjadi syirik besar.

Riya' merupakan akhlak yang tercela dan termsuk sifat orang-orang munafik. Allah SWT berfirman, ''.. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali.'' (QS An-Nisaa' [4]: 142).

Menurut Imam Al-Ghozali, orang yang memiliki penyakit riya' dapat dideteksi dengan tanda-tanda sebagai berikut, malas beramal bila dia sendirian dan sungguh-sungguh bila ada di tengah-tengah orang. Dia akan menambah amalannya bila dipuji, dan akan melanggar larangan bila sendirian.

Dalam Alquran, Allah berkali-kali mengingatkan kita untuk tidak riya'. ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya' kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.'' (QS Al Baqarah [2]: 264).

Ada beberapa langkah yang dapat ditempuh untuk mencegah riya'.

Pertama, memurnikan niat beribadah hanya karena Allah SWT.

Kedua, meyakini dengan sebenarnya bahwa diri ini hanyalah seorang hamba. Seorang hamba tidak berhak meminta kompensasi dalam pengabdian kepada Tuhannya, apalagi mengharap pujian dari orang lain.

Ketiga, memperbanyak ibadah secara sembunyi-sembunyi. Yaitu apabila ada kekhawatiran jika amal yang dilakukan akan diketahui orang lain dan dapat mengarah kepada riya'. Terakhir, banyak memohon kepada Allah agar terhindar dari penyakit riya'. Semoga kita terbebas dari syirik kecil itu.

Jumat, 03 Agustus 2007

MLM Dalam Tinjauan Syariat Islam

MLM Dalam Tinjauan Islam

Friday, 20 July 2001

Tulisan Oleh : Prof. H. Bahauddin Darus, Drs. Miftahuddin, MBA, Dr. H. Ramli Abdul Wahid, MA dan Drs. Agustianto

Sumber: Harian Umum Waspada Medan (Jumat, 25 Juni 1999).

Mengingat banyaknya permintaan netters Tazkia.com mengenai landasan syariah pelaksanaan bisnis MLM (multi level marketing), berikut kami tampilkan artikel menarik yang membahas masalah tersebut secara berseri. Artikel tersebut pernah dimuat Harian Umum Waspada Medan, pada tanggal 25 Juni 1999. Kami menampilkan apa adanya artikel tersebut tanpa adanya koreksi dari sisi bahasa maupun isinya. Semoga artikel tersebut dapat memuaskan berbagai pertanyaan yang ada berkaitan dengan MLM. Redaksi. Di zaman modern sekarang ini, sangat banyak berkembang aktivitas bisnis di tengah masyarakat diantaranya Multi Level Marketing (MLM) Uang. Jumlah perusahaan yang bergerak di bidang ini cukup besar. Menurut Harian Waspada (11-6-1999), kini ada 19 perusahaan yang telah terdaftar di Depperindag diantaranya PT. MLM, PT. KTI, Millenium, Central Bisnis Marketing Global, PT. BMA, CBS, dll.Bisnis MLM ini sangat menggoda dan menggiurkan banyak orang, karena dalam waktu relatif singkat seseorang yang masuk menjadi anggota akan mendapat keuntungan yang besarnya luar biasa, jauh melebihi bunga deposito perbankan. Kalau bunga deposito perbankan sekitar 30% setahun (2,5% sebulan), maka MLM PT. BMA misalnya berani memberikan keuntungan 700% setahun (40-60% sebulan). Dengan demikian, bisnis ini sanggup memberikan imbalan hampir dua puluh kali lipat dari bunga deposito perbankan. Karena imbalan yang besar itulah, maka ratusan ribu manusia sebagian besar diantaranya adalah umat Islam ikut ambil bagian. Keikutsertaan umat Islam memasuki bisnis tersebut bukan saja karena keinginan mencari untung besar dalam waktu singkat, tetapi juga disebabkan karena mereka belum memahami prinsip muamalah dalam Islam yang berlandaskan Al Quran, umat juga banyak yang belum mengetahui kaedah, konsep dan filsafat ekonomi Islam. Tegasnya, pengetahuan umat Islam tentang hukum bisnis tersebut masih rendah. Semaraknya umat Islam memasuki bisnis ini, semakin meningkat karena ada tokoh masyarakat yang dengan keilmuan dangkal membolehkan saja bisnis tersebut dan bahkan ikut pula bermain didalamnya. Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, bahwa di Medan, sudah terdapat 19 perusahaan yang bergerak di bidang MLM tersebut dan tentunya hampir jutaan manusia yang bergelut didalamnya. Karena itu, adalah menjadi sebuah kewajiban bagi ulama untuk memberikan penjelasan hukum islam mengenai status bisnis tersebut, agar masyarakat muslim tidak terjebak kepada bisnis dan rezeki yang haram. Yang dimaksudkan dengan MLM dalam tulisan ini adalah bisnis MLM yang mengkhususkan bisnisnya dalam bentuk penggandaan uang atau jual beli barang murah dengan harga yang sangat mahal secara irrasional dan tidak realistis. MLM yang dibahas dalam tulisan ini adalah MLM yang berjumlah 19 perusahaan diatas dan MLM yang seumpamanya. Tinjauan Al Quran Terhadap MLM Salah satu prinsip muamalah yang sangat ditekankan Al Quran ialah bahwa dalam suatu bisnis tidak boleh terjadi kezaliman antara satu pihak terhadap pihak lain. Al Quran denan tegas menyatakan prinsip bisnis tersebut “La Tazhlimun wa La Tuzhlamun” (QS 2:79). Artinya, kamu tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Ayat ini menghendaki bahwa setiap aktivitas muamalah tidak boleh menimbulkan kemudaratan bagi pihak lain. Nabi bersabda “La dharara wa la dhirara” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah). Artinya, tidak memudaratkan diri dan tidak memudaratkan orang lain. Sedangkan sistem MLM, bagaimanapun, dipastikan akan menimbulkan kerugian besar di belakang hari bagi sebagian besar anggota yang masuk belakangan. Mengapa bisa dipastikan bisni MLM akan merugikan banyak orang? Logika yang sehat pasti bisa menjawab pertanyaan tersebut. Bila jumlah orang yang masuk sebagai anggota berkurang (menurun), maka perusahaan ini akan macet. Penurunan jumlah anggota yang masuk di masa depan karena jumlah manusia terbatas dan manusia makin pintar. Apalagi sistem MLM ini mencapai titik jenuh, maka perusahaan akan hancur. Akibatnya, sebagian besar orang-orang yang masuk belakangan akan dirugikan. Usahkan keuntungan, modal mereka pun tak dapat dikembalikan, tetapi biasanya begitu jumlah setoran mulai stagnan, kantor MLM secara tiba-tiba tutup dan direkturnya pun melarikan diri. Uang nasabah yang masih banyak ditangannya raib tak berbekas. Artinya, hanya orang yang terdahulu masuk yang mendapatkan keuntungan, sedangkan orang-orang yang masuk belakangan dipastikan sekali akan mengalami kerugian. Bagaimana mungkin seseorang mendapat uang yang lebih besar dari modal awalnya kalau bukan mengambil uang orang yang masuk belakangan. Orang yang masuk belakangann akan mengambil uang orang lain yang masuk lebih belakangan. Dan begitulah seterusnya secara berantai. Maka orang yang masuk paling belakang itulah yang akan mengalami kerugian. Apaka Islam memperbolehkan bisnis yang merugikan (menzalimi) ribuah nasabah MLM yang masuk paling akhir (belakan), tentu jawabannya tidak. Hal itu dengan jelas dan secara mudah dipahami dari sistem perputaran uang di MLM. Bahwa imbalan yang besar yang diberikan kepada setiap anggota yang lebih awal masuk adalah berasal dari uang anggota lain yang masuk kemudian dan begitulah seterusnya. Jadi sistem yang digunakan untuk mengembalikan uang orang dalam jumlah yang lebih besar itu ibarat gali lubang tutup lubang. Sistem tersebut mudah dipahami melalui gambar piramida yang kembali mengerucut. Dari gambar piramida tersebut terlihat perkembangan anggota MLM dimasa depan, akan mengalami titik jenuh yang diawali dengan pertumbuhan tetap. Bila ini yang terjadi maka perusahaan akan sulit mengembalikan imbalan anggota. Mula-mula perusahaan MLM menunda waktu jatuh tempo pengembalian uang anggota, karena menunggu orang-orang (anggota lain) masuk. Kejadian selanjutnya adalah terjadinya kemacetan anggota yang masuk, dimana perkembangan MLM sampai titik jenuh (berhenti). Bila hal ini yang terjadi maka perusahaan MLM bangkrut, dan ribuan anggota yang masuk belakangan dirugikan. Sungguh banyak fakta yang membuktikan kehancuran MLM semacam BMA dan sejenisnya di berbagai negara di Amerika, Eropa, Taiwan, dsb. Di Indonesia fakta paling nyata kehancuran MLM ini telah terjadi di Pinrang (Sulawesi Selatan) sehingga sebagian besar nasabah dirugikan. Kenyataan ini juga telah terjadi pada sebagain MLM Medan, dimana saat ini telah ada tiga perusahaan yang tutup diantaranya, Koperasi Yuspendia (Sunggal), PT. Interjasa Perkasa di Jln. Kapten Muslim dan Jln. Siantar. Akibatnya milyaran uang nasabah lenyap tak berbekas. Ribuan orang dirugikan. Karena itu, akhir-akhir ini banyak nasabah yang mengadukan penipuan itu ke pihak yang berwajib. Kehancuran MLM yanglain hanya menunggu waktu saja. Cepat atau lambat pasti akan hancur. Inilah hukum ekonomi yang eksak. Kemudian, pada hari Rabu, 15-6-1999 yang lalu lebih dari 16 milyar uang nasabah (anggota) MLM dilarikan para pengusaha. Selanjutnya berita Waspada 22/6/1999 melaporkan bhawa 7 bos MLM yang telah melarikan diri, akibatnya puluhan milyar uang anggota raib. Fakta ini menunjukkan bahwa bisnis MLM sangat merugikan masyarakat, bukan membuat orang menjadi kaya, sebagaimana yang telah ditipukan oleh agen-agen MLM dan orang-orang yang telah sukses merampas uang orang lewat MLM.

Jadi sekali lagi, sistem bisnis ini dipasitikan akan mengalami kehancuran di masa depan. Kalau bisnis ini terus berkembang tentu ia masih dibenarkan di Amerika dan Eropa. Kehancuran bisnis MLM terjadi, ketika anggota yang masuk kedalam bisnis ini berkurang atau tetap saja, lantaran sudah terlalu banyak orang yang masuk, maka bisnis ini tidak mampu lagi memberikan imbalan yang besar. Kalau imbalan tersebut sudah diberikan kepada anggota yang lebih dahulu masuk, maka orang yang masuk kemudian akan mengalami kerugian besar dan jumlah orangnya tentu lebih banyak. Inilah yang dimaksudkan bahwa bisnis MLM, akan mennimbulakn kemudharatan dan kezholiman dibelakang hari. Hal itu harus dihindari, karena hukumnya sudah jelas haram, bukan subhat, sebagaimana yang pernah dikatakan tokoh yang tak memahami sistem bisnis MLM.Bahwa di Eropa dan Amerika pada masa lampau, bisnis Yahudi in telah berkembang pesat. Namun, karena orang-orang Eropa dan Amerika adalah orang-orang yang pintar yang pintar dalam pengelolaan uang / maka pemerintahnya telah mengeluarkan Undang-Undang yang secara tegas melarang bisnis tersebut. Di negara asalnya sendiri bisnis ini telah ditinggalkan, karena bertentangan dengan teori dan logika ekonomi. Mereka melihat bahwa praktek bisnis MLM tersebut ternyata tidak logis dan merupakan penipuan besar, karena menimbulkan kerugian bagi orang-orang yang masuk belakangan. Bila perkembangan Multi Level ini berada pada pertumbuhan tetap (stagnan), apalagi menurun sampai titik jatuh, maka terjadilah kehancuran bisnis tersebut. Korbannya tentu masyarakat banyak yang telah menjadi nasabah. Masyarakat yang paling belakang akan terzholimi. Setiap bisnis yang menimbulkan kezholiman bagi pihak lain hukumnya pasti haram. Inilah pandangan Qur’an tentang MLM (Q.S : 2 : 279). Hasil Bisnis Harus Jelas Prinsip mu’amalah dalam Islam menekankan adanya kejelasaan asal usul hasil bisnis. Dalam hal ini, uang imbalan yang diberikan kepada anggota harus jelas dari mana asalnya. Kalau seseorang (Si A) menjadi anggapan dan memasukkan uang sebesar Rp. 5.400.000. Sebulan kemudian uang menjadi Rp. 8.500.000, misalnya, maka si A tadi mendapat imbalan sebesar 3.000.000. Uang imbalan tersebut itulah yang harus jelas diputar bagaimana dan dari mana asalnya ?. kalau asal usul imbalan yang diterima tidak jelas, maka minimal hukumnya syubhat. Kalau sudah diketahui asalnya, dan asalnya itu sesuatu yang diharamkan, maka hukumnya menjadi haram, bukan lagi sekedar syubhat. Para pengusaha Bisnis MLM sengaja menyembunyikan cara-cara dalam memutar uang anggota. Hal itu katanya, rahasia perusahaan. Tetapi, meskipun ia menjaga kerahasiaan bisnisnya, semua orang sudah tahu, bahwa perputaran uang tersebut, bukan melalui jual beli barang atau eksport-import akan tetapi melalui arisan berantai gali lubang tutup lobang. Kalaupun seandainya tidak melalui sistem gali lobang tutup lobang, lalu pengusaha menyembunyikan kerahasiaan asal-usul duit, maka bisnis ini tak bisa melepaskan diri dari kesyubahatan, bahkan keharaman. Costumer dan membersnya tidak diberitahu proses pemutaran uang. Dalam prinsip mu’amalah, segala asal usul keuntungan (imbalan) harus jelas diketahui anggota. Jadi, dari segi mana saja, bisnis MLM ini sulit diterima Islam. Kesimpulannya, jika bisnis uang ini memakai sistem MLM mutlak, status hukumnya haram. Kalau pengusaha tak mengakui sistem tersebut dan menyembunyikannya, maka hukumnya miniml syubhat, karena ketidakjelasan asal usul uang imbalan. Kalau ia berkilah mengatakan bahwa keuntungan itu berasal dari bisnis eksport import misalnya, maka realitas bisnis harus membuktikannya; apakah ada dalam kenyataan saat ini keuntungan sebanyak itu ? Atau mungkinkah keuntungan eksport import sebesar itu ? Si pengusaha harus bisa membuktikannya. Namun, realitas menunjukkan bahwa perputaran uang anggota bukan dalam jual beli atau usaha-usaha productif, tapi benar-benar implementasi MLM murni. Kalaupun mereka mengatakan ada unsur bisnis, hal itu ternyata bohong, karena tak ada keuntungan bisnis sebesar itu. Jadi, semua orang tahu akan kebohongan dan kepalsuan alasan itu. Memakan Harta Dengan Cara Bathil Firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara bathil, tetapi lakukanlah perdagangan di antara kamu dimana kamu saling meridhoi antara yang satu dengan yang lain”. (An-Nisa :29). Dalam bisnis Multi level Marketing seseorang (misalnya si A), yang telah memasukkan uangnya dalam jumlah tertentu, akan mendapatkan uang lebih banyak dimasa depan. Uang yang diterima si A yang melebihi dari uang setorannya, adalah uang yang bathil (Haram) sebab uang tersebut adalah uang orang yang masuk belakangan, misalnya si B, selanjutnya si B mendapatkan uang dengan jumlah lebih besar dalam tempo tertentu, dan begitulah seterusnya. Bila terjadi titik jenuh, maka orang-orang belakangan pasti menjadi korban. Inilah yang tidak dibenarkan oleh Islam yang senantiasa menuntut tegaknya keadilan dalam dunia bisnis. Kesimpulannya mengambil uang kelebihan dari modal tertentu, adalah memakan harta orang lain secara bathil, sebab uang tersebut adalah uang orang yang masuk belakangan. Coba bayangkan jika anda menjadi orang yang belakangan itu. Menghidari Gharar (Penipuan) Selanjutnya, dalam kegiatan bisnis (muamalah) harus terhindar dari gharar (tipuan), judi (maysir) dan unsur spekulatif lainnya. Para pengusaha MLM dan orang-orang yang lebih dulu menikmati keuntungannya, memperdaya masyarakat dengan alasan bahwa bisnis MLM akan membuat semua orang (anggota) menjadi kaya. Pernyataan demikian tidak benar. Logika sehat tak mungkin bisa menerimanya. Betul, banyak orang menjadi kaya karena masuk MLM, tetapi dengan mengorbankan (menipu) orang lain dalam jumlah yang lebih besaar di masa depan. Tegasnya, lebih banyak lagi yang mengalami kerugian. Orang-orang yang kaya raya dalam bisnis MLM adalah para pengusahanya dan orang-orang yang masuk duluan. Bila jumlah anggota yang mengalami kemunduran atau macet, maka orang belakangan menjadi korban. Ada pula pelaku MLM mengatakan bahwa bisnis ini tak akan macet, sebab anggota yang masuk terus mengalir jumlah manusiakan banyak, katanya. Pendapat ini pun tidak benar dan mudah dibantah. Sebab jumlah manusia terbatas, orang yang memiliki uang untuk disetor ke MLM lebih terbatas lagi, apalagi perusahaan MLM sudah banyak yang tutup. Tentunya realitas ini menyebabkan orang tidak berani jadi nasabah. Kalau pun anggota yang sudah mendapat untung duluan masuk kembali untuk mendapatkan uang yang lebih besar, maka orang yang dibelakangnya nanti akan menjadi korban bila usaha ini macet. Karena itu, sadarlah, gunakanlah akal sehat, mustahil jumlah uang akan bertambah, kalau sistemnya hanya melalui pemutaran uang anggota saja (gali lobang tutup lobang/arisan berantai zholim). Riba Yang Berlipat Ganda Dalam bisnis MLM, seorang anggota mendapatkan uang yang jauh lebih besar dari bunga deposito perbankan. Maka, jumlah uang yang besar itu, dalam bahasa hukum Islam dikategorikan sebagai riba yang berlipat ganda (adh’afan mudha’afah). Firman Allah : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba yang berlipat ganda”.(Al Imron: 180) Dalam tinjauan hukum Islam segala macam riba diharamkan terlebih-lebih riba yang berlipat ganda. Karena itu tak ada alasan untuk menghalalkan bisnis MLM. Mengembangkan Jual-Beli Salah satu prinsip mendasar dalam mua’amalah adalah mengembangkan jual beli dan melarang keras bisnis ribawi. Firman Allah : Artinya ; Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS 2:278). Hadist Nabi, Dari Rafi’ bin Khadij, bahwa Rasulullah ditanya sahabat, “wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang lebih baik (halal dan berkah) ? Rasul SAW menjawab, “Pekerjaan orang dengan tangannya sendiri dan semua jual beli yang mambrur. (Hadist Ahmad, Al Bazzar, dan Thabrani). Sedangkan dalam MLM tidak terdapat jual beli yang real yang jelas dan tidak pula terdapat aplikasi mudharabah sebagaimana yang diinginkan fiqh Islam.

Mengembangkan Sistem Bagi Hasil Di antara prinsip mua’amalah dalam Islam adalah pengembangan sistem mudharabah (bagi hasil), bukan bunga atau penyetoran uang dalam jumlah tertentu, seperti MLM. Lalu ditetapkan secara pasti imbalan yang akan didapatkan. Maka berdasarkan ini, jelaslah sistem MLM bertentangan dengan konsep mudharabah, yang dilandasi surah Luqman ayat 34, “Seseorang tidak mengetahui apa (bagaimana dan berapa) hasil usahanya besok”. Jadi, tak boleh ditetapkan bagi hasil secara pasti. Dalam MLM semua uang anggota, dipastikan imbalan yang akan diterimanya bulan depan. Dalam sistem mudharabah (bagi hasil), seseorang tidak bisa memastikan berapa bagi hasil yang akan diberikan kepada pemilik uang (modal), kecuali setelah berusaha. Sedangkan hasil usaha senantiasa naik-turun (fluktuasi). Lihat buku Bank Islam, tulisan Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, Buku Teori dan Praktek Ekonomi Islam, tulisan Prof. Dr. A. Mannan, Buku Menuju Moneter yang Adil, tulisan Prof. Dr. Umer Chapra, Buku Apa dan Bagaimana Bank Islam, tulisan M. Syafi’I Antonio dan ratusan literatur ekonomi Islam lainnya. Jadi, dalam hal ini tak satupun ahli (ulama eknomi Islam yang kredibel dan ternama) yang membolehkan sistem seperti MLM.Dampak Terhadap Usaha Sektor Riel Bisnis MLM bagaimana pun berdampak secara signifikan terhadap usaha sektor ril. Kalau manusia sudah sudah tergila-gila hanya memutarkan uang secara berantai, maka kegiatan usaha sektor riel akan terganggu, percepatan arus barang menjadi menurun, sebab uang masyarakat terkosentrasi dalam MLM saja. Mengapa ? Sebab orang-orang hanya ingin memutar uangnya melalui MLM, bukan perdagangan barang-barang. Berdagang itu keuntungannya tidak seberapa jika dibandingkan dengan bisnis MLM. Lagi pula pikiran, tenaga, waktu banyak terkuras. Jadi bisnis MLM mengurangi lancarnya produktivitas barang-barang. Dengan MLM modal masyarakt terkonsentrasi dalam perusahaan MLM. Uang yang terkumpul itu tidak dibisniskan, maka mustahil ia berkembang, sebab kalau diputar-putar saja dengan cara gali lobang tutup lobang, tak mungkin uang itu semakin banyak, kecuali ada anggota lain yang masuk. Kalau tidak digunakan dalam MLM, maka (modal) tersebut bisa digunakan untuk modal usaha memproduksi barang-barang atau usaha sektor riel lainnya. Jadi, MLM membuat orang tidak mau berusaha memutar modal dalam kegiatan bisnis sektor riel. Padahal sektor ini membutuhkan modal banyak. Dampak Terhadap Lembaga Keuangan Bila masyarakat berduyun-duyun memasukkan uangnya dalam MLM, maka minat orang untuk menabung didalam lembaga keuangan dan perbankan menjadi berkurang, termasuk lembaga keuangan syari’ah seperti BPRS, BMT atau Asuransi Takaful. Demikian pula terhadap lembaga perbankan konvensional. Orang jauh lebih baik tertarik memasukan uangnya ke MLM dari pada ke perbankan. Hanya Perum Pegadaian saja yang diuntungkan secara signifikan dalam kesemarakan MLM. Sebab, masyarakat banyak menggadaikan barangnya demi untuk mencari uang kontan yang akan dimasukkan kedalam bisnis MLM. Menimbulkan Sifat Malas Bekerja Salah satu alasan rasional keharaman riba, adalah karena riba itu menimbulkan sifat malas bekerja dan berusaha bagi pemilik modal (kapitalis). Seorang kapitalis hanya bersifat pasif menunggu datangnya bunga dalam sistem riba, dan imbalan dalam MLM. Jadi, secara psikologis, bisnis MLM membuat orang malas bekerja dan berusaha. Ia hanya menunggu datangnya uang imbalan. Lebih Kapitalis Dari Kapitalis Barat Bisnis MLM yang berkembang saat ini, merupakan bisnis yang lebih kapitalis dari sistem ekonomi kapitalis di Barat. Di Barat saja bisnis ini dilarang oleh Undang-Undang, karena kemudharatan yang ditumbulkannya. Dikatakan lebih kapitalis, karena dalam MLM, seorang pemilik uang (pemodal)/kapitalis dengan jumlah tertentu, bisa mendapatkan imbalan dengan merampas uang orang lain. Memang pada masa tertentu sistem MLM ini belum menimbulkan kerugian bagi para anggota, malah menjadikan mereka kaya. Tapi MLM ini tidak selamanya berkembang dan anggota terus meningkat, ia akan mengalami penurunan, karena keterbatasan orang yang memasukinya. Bila hal ini terjadi, bangkrutlah perusahaan MLM, sebagaimana yang telah melanda ribuan MLM yang berbagai negara. Tidak Ada Jaminan Keamanan Selanjutnya dalam bisnis MLM ini, tidak ada jaminan (garansi) keamanan uang nasabah sebagaimana yang terdapat dalam perbankan. Kalau dalam perbankan, bila terjadi likuidasi, maka uang nasabah dijamin aman oleh pemerintah, dan pemerintah pasti akan membayarnya. Tetapi dalam bisnis MLM seperti BMA, tak ada jaminan seperti perbankan. Karena ketiadaan jaminan itu maka usaha ini tak layak dikembangkan. Satu Macam Praktek Judi Tidak ada jaminan pada MLM, diketahui oleh nasabah, karena itu sepanjang rentang waktu menunggu jatuh tempo, jiwa mereka diliputi was-was dan cemas. Kalau kantor MLM masih buka sampai jatuh tempo, maka mereka gembira, tapi bila nanti kantornya tutup, direkturnya melarikan diri, maka tidak jarang para nasabah jatuh stress. Hal ini tentunya tidak beda dengan judi, karena di dalamnya ada unsur untung-untungan (spekulatif). Penutup Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka jelaslah bahwa Bisnis MLM semacam BMA dan sejenisnya, adalah bisnis yang sangat diharamkan dalam tinjauan Islam, bukan syubhat. Munculnya segelincir pendapat syubhat itu karena tokoh tersebut belum memahami sistem pengelolaan uang dalam MLM secara jelas dan transparan, juga belum mengujinya melalui kajian komprehensif. Karena hukumnya sudah jelas haram secara mutlak, maka pemerintah hendaknya tidak ragu-ragu melarang bisnis ini. Jangan karena banyak setoran kepada pemerintah (Depperindag), lalu pelarangan dan pencabutan izin usaha ini diperlambat. Karena itu, kami mengusulkan, sebelum pengusaha MLM melarikan diri, mereka harus dicekal oleh pihak berwajib untuk mempertanggung jawabkan uang nasabah. Penulis adalah :1. Rektor Universitas Amir Hamzah dan Guru Besar Agribisnis(Emiretus) Fak. Ekonomi USU.2. Ketua Jurusan Manajemen Fak. Ekonomi UMA.3. Dosen Fak. Ushuluddin, IAIN-SU.4. Pakar Ekonomi Islam MUI Tkt I Sumut.

Hukum Syara' MLM

HUKUM SYARA’ BISNIS MLM

Abstrak:

Sekalipun produk yang diperjual-belikan halal, tapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran)

Pengantar

Multilevel Marketing secara harfiah adalah pemasaran yang dilakukan melalui banyak level atau tingkatan, yang biasanya dikenal dengan istilah up line (tingkat atas) dan down line (tingkat bawah). Up line dan down line umumnya mencerminkan hubungan pada dua level yang berbeda atas dan bawah, maka seseorang disebut up line jika mempunyai down line, baik satu maupun lebih. Bisnis yang menggunakan multilevel marketing ini memang digerakkan dengan jaringan, yang terdiri dari up line dan down line. Meski masing-masing perusahaan dan pebisnisnya menyebut dengan istilah yang berbeda-beda. Demikian juga dengan bentuk jaringannya, antara satu perusahaan dengan yang lain, mempunyai aturan dan mekanisme yang berbeda; ada yang vertikal, dan horisontal. Misalnya, Gold Quest dari satu orang disebut TCO (Tracking Centre Owner), untuk mendapatkan bonus dari perusahaan, dia harus mempunyai jaringan; 5 orang di sebelah kanan, dan 5 orang di sebelah kiri, sehingga baru disebut satu level. Kemudian disambung dengan level-level berikutnya hingga sampai pada titik level tertentu ke bawah yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Masing-masing level tersebut kemudian mendapatkan bonus (komisi) sesuai dengan ketentuan yang dibuat oleh perusahaan yang bersangkutan. Meski perusahaan ini tidak menyebut dengan istilah multilevel marketing, namun diakui atau tidak, sejatinya praktik yang digunakan adalah praktik multilevel marketing.
Demikian halnya dengan praktik pebisnis yang lainnya dengan aturan dan mekanisme yang berbeda. Misalnya, dari atas ke bawah, tanpa ditentukan struktur horizontalnya, tetapi langsung dari atas ke bawah. Setelah itu, masing-masing level tadi mendapatkan bonus dari perusahaan yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang dipatok oleh masing-masing perusahaan yang diikutinya, Untuk masuk dalam jaringan bisnis pemasaran seperti ini, biasanya setiap orang harus menjadi member (anggota jaringan) – ada juga yang diistilahkan dengan sebutan distributor -; kadangkala membership tersebut dilakukan dengan mengisi formulir membership dengan membayar sejumlah uang pendaftaran, disertai dengan pembelian produk tertentu agar member tersebut mempunyai point, dan kadang tanpa pembelian produk.
Dalam hal ini, perolehan point menjadi sangat penting, karena kadangkala suatu perusahaan multilevel marketing menjadi point sebagai ukuran besar kecilnya bonus yang diperoleh. Point tersebut bisa dihitung berdasarkan pembelian langsung, atau tidak langsung.
Pembelian langsung biasanya dilakukan oleh masing-masing member, sedangkan pembelian tidak langsung biasanya dilakukan oleh jaringan member tersebut. Dari sini, kemudian ada istilah bonus jaringan. Karena dua kelebihan inilah, biasanya bisnis multilevel marketing ini diminati banyak kalangan.Ditambah dengan potongan harga yang tidak diberikan kepada orang yang tidak menjadi member. Namun, ada juga point yang menentukan bonus member ditentukan bukan oleh pembelian baik langsung maupun tidak, melainkan oleh referee (pemakelaran) – sebagaimana istilah mereka – yang dilakukan terhadaporang lain, agar orang tersebut menjadi member dan include di dalamnya pembelian produk. Dalan hal ini, satu member Gold Quest harus membangun formasi 5-5 untuk satu levelnya, dan cukup sekali pendaftaran diri menjadi membership, maka member tersebut tetap berhak mendapatkan bonus. Tanpa dihitung lagi, berapa pembelian langsung maupun tak langsungnya. Pada prinsipnya tidak berbeda dengan perusahaan lain.
Seorang member/distributor harus mensponsori orang lain agar menjadi member/distributor dan orang ini menjadi down line dari orang yang mensponsorinya (up line-nya). Begitu seterusnya up line “harus” membimbing down line-nya untuk mensponsori orang lain lagi dan membentuk jaringan, sehingga orang yang menjadi up line akan mendapat bonus jaringan atau komisi kepemimpinan. Sekalipun tidak ditentukan formasi jaringan horizontal maupun vertikalnya.
Fakta Umum MLM
Dari paparan di atas, jelas menunjukkan bahwa multilevel marketing – sebagai bisnis pemasaran --- tersebut adalah bisnis yang dibangun berdasarkan formasi jaringan tertentu; bisa top-down (atas-bawah) atau left-right (kiri-kanan), dengan kata lain, vertikal atau horizontal; atau perpaduan antara keduanya. Namun formasi seperti ini tidak akan hidup dan berjalan, jika tidak ada benefit (keuntungan), yang berupa bonus. Bentuknya, bisa berupa (1) potongan harga, (2) bonus pembelian langsung, (3) bonus jaringan – istilah lainnya komisi epemimpinan -. Dari ketiga jenis bonus tersebut, jenis bonus ketigalah yang diterapkan di hampir semua bisnis multilevel marketing, baik yang secara langsung menamakan dirinya bisnis MLM ataupun tidak, seperti Gold Quest.
Sementara bonus jaringan adalah bonus yang diberikan karena faktor jasa masing-masing member dalam membanguan formasi jaringannya. Dengan kata lain, bonus ini diberikan kepada member yang bersangkutan, karena telah berjasa menjualkan produk perusahaan secara tidak langsung. Meski, erusahaan tersebut tidak menyebutkan secara langsung dengan istilah referee (pemakelaran) seperti kasus Gold Quest, - istilah lainnya sponsor, promotor – amun pada dasarnya bonus jaringan seperti ini juga merupakan referee (pemakelaran). Karena itu, posisi member dalam jaringan MLM ini, tidak lepas dari dua posisi : (1) pembeli langsung, (2) makelar. Disebut pembeli langsung manakala sebagai member, dia melakukan transaksi pembelian secara langsung, baik kepada perusahaan maupun melalui distributor atau pusat stock. Disebut makelar, karena dia telah menjadi perantara – melalui perekrutan yang telah dia lakukan – bagi orang lain untuk menjadi member dan membeli produk perusahaan tersebut. Inilah praktik yang terjadi dalam bisnis MLM yang menamakan multilevel marketing, maupun refereal business.
Dari sini, kasus tersebut bisa dikaji berdasarkan dua fakta di atas, yaitu fakta pembelian langsung dan fakta makelar. Dalam praktiknya, pembelian langsung yang dilakukan, disamping mendapatkan bonus langsung, berupa potongan, juga point yang secara akumulatif akan dinominalkan dengansejumlah uang tertentu. Pada saat yang sama, melalui formasi jaringan yang dibentuknya, orang tersebut bisa mendapatkan bonus tidak langsung. Padahal, bonus yang kedua merupakan bonus yang dihasilkan melalui proses pemakelaran, seperti yang telah dikemukakan.
Hukum Syara’ Seputar Dua Akad dan Makelar
Dari fakta-fakta umum yang telah dikemukakan di atas, bisa disimpulkan bahwa praktik multilevel marketing tersebut tidak bisa dilepaskan dari dua hukum, bisa salah satunya, atau kedua-duanya sekaligus:
1. Hukum dua akad dalam satu transaksi, atau yang dikenal dengan istilah shafqatain fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Akad pertama adalah akad jual-beli (bay’), sedangkan akad kedua akad samsarah (pemakelaran).
2. Hukum pemakelaran atas pemakelaran, atau samsarah ‘ala samsarah. Up line atau TCO atau apalah namanya, adalah simsâr (makelar), baik bagi pemilik (mâlik) langsung, atau tidak, yang kemudian memakelari down line di bawahnya, dan selanjutnya down line di bawahnya menjadi makelar bagi down line di bawahnya lagi.
Mengenai kasus shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, telah banyak dinyatakan dalam hadis Nabis SAW, antara lain, sebagai berikut:
1. Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, an-Nasa’i dan at- Tirmidzi, dari Abu Hurairah ra. Yang menyatakan : “Nabi SAW, telah melarang dua pembelian dalam satu pembelian”.1
Dalam hal ini, as Syafi’i memberikan keterangan (syarh) terhadap maksud bay’atayn fi bay’ah (dua pembelian dalam satu pembelian), dengan menyatakan, Jika seseorang mengatakan: “Saya jual budak ini kepada anda dengan harga 1000, dengan catatan anda menjual rumah anda kepada saya dengan harga segini”. Artinya, jika anda menetapkan milik anda menjadi milik saya, sayapun menetapkan milik saya menjadi milik anda.2
Dalam konteks ini, maksud dari bay’atayn fi bay’ah adalah melakukan dua akad dalam satu transaksi, akad yang pertama adalah akad jual-beli budak, sedangkan yang kedua adalah akad jual-beli rumah. Namun, masing-masing dinyatakan sebagai ketentuan yang mengikat satu sama lain, sehingga terjadilah dua transaksi tersebut include dalam satu akad.
2. Hadis dari al-Bazzar dan Ahmad, dari Ibnu Mas’ud yang menyatakan: Rasululllah SAW telah melarang dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad).3
Hadis yang senada dikemukan oleh at Thabarani dalam kitabnya, al-Awsath, dengan redaksi sebagai berikut: “Tidaklah dihalalkan dua kesepakatan (akad) dalam satu kesepakatan (akad)”.4
Maksud hadis ini sama dengan hadis yang telah dinyatakan dalam point 1 di atas. Dalam hal ini, Rasulullah SAW, dengan tegas melarang praktik dua akad (kesepakatan) dalam satu akad (kesepakatan).
3. Hadis Ibn Majah, al-Hakim dan Ibn Hibban dari ‘Amr bin Syuyb, dari bapaknya, dari kakeknya, dengan redaksi: “Tidak dihalalkan salaf (akad pemesanan barang) dengan jual-beli, dan tidak dihalalkan dua syarat dalam satu transaksi jual-beli”.5
Hadis ini menegaskan larangan dalam dua konteks hadis sebelumnya, dengan disertai contoh kasus, yaitu akad salaf, atau akad pemesanan barang dengan pembayaran di depan, atau semacam inden barang, dengan akad jual-beli dalam satu transaksi, atau akad. Untuk mempertegas konteks hadis yang terakhir ini, penjelasan as-Sarakhsi – penganut mazhab Hanafi – bisa digunakan. Beliau juga menjelaskan, bahwa melakukan transaksi jual-beli dengan ijarah (kontrak jasa) dalam satu akad juga termasuk larangan dalam hadis tersebut.6
Dari dalalah yang ada, baik yang menggunakan lafadz: nahâ (melarang), maupun lâ tahillu/yahillu (tidak dihalalkan) menunjukkan, bahwa hukum muamalah yang disebutkan dalam hadis tersebut jelas haram. Sebab, ada lafadz dengan jelas menunjukkan keharamannya, seperti: lâ tahillu/yahillu. Ini mengenai dalil dan hukum yang berkaitan dengan dua transaksi dalam satu akad, serta manath hukumnya. Mengenai akad (shafqah)-nya para ulama’ mendefinisikannya sebagai : Akad merupakan hubungan antara ijab dan qabul dalam bentuk yang disyariatkan, dengan dampak yang ditetapkan pada tempatnya.7
Maka, suatu tasharruf qawli (tindakan lisan) dikatakan sebagai akad, jika ada ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan), ijab (penawaran) dari pihak pertama, sedangkan qabul (penerimaan) dari pihak kedua. Ijab dan qabul ini juga harus dilakukan secara syar’i, sehingga dampaknya juga halal bagi masing-masing pihak. Misalnya, seorang penjual barang menyakan:
Saya jual rumah saya ini kepada anda dengan harga 50 juta, adalah bentuk penawaran (ijab), maka ketika si pembeli menyakan : Saya beli rumah anda dengan harga 50 juta, adalah penerimaan (qabul). Dampak ijab-qabul ini adalah masing-masing pihak mendapatkan hasil dari akadnya; si penjual berhak mendapatkan uang si pembeli sebesar Rp. 50 juta, sedangkan si pembeli berhak mendapatkan rumah si penjual tadi. Inilah bentuk akad yang diperbolehkan oleh syara’. Di samping itu, Islam telah menetapkan bahwa akad harus dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara; zat (barang atau benda) atau jasa manfaat). Misalnya, akad syirkah dan jual beli adalah akad yang dilakukan terhadap zat (barang atau benda), sedangkan akad ijarah adalah akad yang dilakukan terhadap jasa (manfaat). Selain terhadap dua hal ini, maka akad tersebut statusnya batil.
Adapun praktik pemakelaran secara umum, hukumnya adalah boleh berdasarkan hadis Qays bin Abi Ghurzah al-Kinani, yang menyatakan: “Kami biasa membeli beberapa wasaq di Madinah, dan biasa menyebut diri kami dengan samasirah (bentuk plural dari simsar, makelar), kemudian Rasulullah SAW. Keluar menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik daripada sebutan kami. Beliau menyatakan: Wahai tujjâr (bentuk plural dari tâjir, pedagang), sesungguhnya jual-beli itu selalu dihinggapi kelalaian dan sesumpah, maka bersihkan dengan sedekah.8
Hanya, yang perlu dipahami adalah fakta pemakelaran yang dinyatakan dalam hadis Rasulullah SAW sebagaimana yang dijelaskan oleh as-Sarakhsi ketika mengemukakan hadis ini adalah: Simsar adalah sebutan untuk orang yang bekerja untuk orang lain dengan kompensasi (upah atau bonus). Baik untuk menjual maupun membeli.9
Ulama penganut Hambali, Muhammad bin Abi al-Fath, dalam kitabnya, al-Mutalli’, telah meyatakan definisi tentang pemakelaran, yang dalam fiqih dikenal dengan samsarah, atau dalal tersebut, seraya menyakan: Jika (seseorang) menunjukkan dalam transaksi jual-beli; dikatakan: saya telah menunjukkan anda pada sesuatu – dengan difathah dal-nya, dalalat(an), dan dilalat(an), serta didhammah dalnya, dalul(an), atau dululat(an) – jika anda menunjukkan kepadanya, yaitu jika seorang pembeli menunjukkan kepadanya, maka orang itu adalah simsar (makelar) antara keduanya (pembeli dan penjual), dan juga disebut dalal.10
Dari batasan-batasan tentang pemakelaran di atas, bisa disimpulkan, bahwa pemakelaran itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (mâlik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain.
Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah mutawassith). Atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual dan pembeli. Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawwith al mutawwith), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah. Dan gugurlah kedudukannya sebagai penengah, atau makelar. Inilah fakta makelar dan pemakelaran.
Hukum Dua Akad dan Makelar dalam Praktik MLM
Mengenai status MLM, maka dalam hal ini perlu diklasifikasikan berdasarkan fakta masing-masing. Dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, maka bisa disimpulkan:
1. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, yang untuk itu orang yang akan menjadi member tersebut harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member – apapun istilahnya, apakah membeli posisi ataupun yang lain – disertai membeli produk. Pada waktu yang sama, dia menjadi referee (makelar) bagi perusahaan dengancara merekrut orang, maka praktik MLM seperti ini, jelas termasuk dalam kategori hadis: shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, dalam hal ini, orang tersebut telah melakukan transaksi jual-beli dengan pemakelaran secara bersama-sama dalam satu akad. Maka, praktik seperti ini jelas diharamkan sebagaimana hadis di atas.
2. Ada MLM yang membuka pendaftaran member, tanpa harus membeli produk, meski untuk itu orang tersebut tetap harus membayar sejumlah uang tertentu untuk menjadi member. Pada waktu yang sama membership (keanggotaan) tersebut mempunyai dampak diperolehnya bonus (point), baik dari pembelian yang dilakukannya di kemudian hari maupun dari jaringan di bawahnya, maka praktik ini juga termasuk dalam kategorishafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah. Sebab, membership tersebut merupakan bentuk akad, yang mempunyai dampak tertentu. Dampaknya, ketika pada suatu hari dia membeli produk – meski pada saat mendaftar menjadi member tidak melakukan pembelian– dia akan mendapatkan bonus langsung. Pada saat yang sama, ketentuan dalam membership tadi menetapkan bahwa orang tersebut berhak mendapatkan bonus, jika jaringan di bawahnya aktif, meski pada awalnya belum. Bahkan ia akan mendapat bonus (point) karena ia telah mensponsori orang lain untuk menjadi member. Dengan demikian pada saat itu ia menandatangani dua akad yaitu akad membership dan akad samsarah (pemakelaran).
3. Pada saat yang sama, MLM tersebut membuka membership tanpa disertai ketentuan harus membeli produk, maka akad membership seperti ini justeru merupakan akad yang tidak dilakukan terhadap salah satu dari dua perkara, zat dan jasa. Tetapi, akad untuk mendapad jaminan menerima bonus, jika di kemudian hari membeli barang. Kasus ini, persis seperti orang yang mendaftar sebagai anggota asuransi, dengan membayar polis asuransi untuk mendapatkan jaminan P.T. Asuransi. Berbeda dengan orang yang membeli produk dalam jumlah tertentu, kemudian mendapatkan bonus langsung berupa kartu diskon, yang bisa digunakan sebagai alat untuk mendapatkan diskondalam pembelian selanjutnya. Sebab, dia mendapatkan kartu diskon bukan karena akad untuk mendapatkan jaminan, tetapi akad jual beli terhadap barang. Dari akad jual beli itulah, dia baru mendapatkan bonus. Dan karenanya, MLM seperti ini juga telah melanggar ketentuan akad syar’i, sehingga hukumnya tetap haram.
Ini dilihat dari aspek shafqatayn fi shafqah, atau bay’atayn fi bay’ah, yang jelas hukumnya haram. Adapun dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, maka bisa disimpulkan, semua MLM hampir dipastikan mempraktikkan samsarah ‘ala samsarah (pemakelarah terhadap pemakelaran). Karena justru inilah yang menjadi kunci bisnis multilevel marketing. Karena itu, dilihat dari aspek samsarah ‘ala samsarah, bisa dikatakan MLM yang ada saat ini tidak ada yang terlepas dari praktik ini. Padahal, sebagaimana yang dijelaskan di atas, praktik samsarah ‘ala samsarah jelas bertentangan dengan praktik samsarah dalam Islam. Maka, dari aspek yang kedua ini, MLM yang ada saat ini, praktiknya jelas telah menyimpang dari syariat islam. Dengan demikian hukumnya haram.
Kesimpulan
Inilah fakta, dalil-dalil, pandangan ulama’ terhadap fakta dalil serta status tahqiq al-manath hukum MLM, dilihat dari aspek muamalahnya. Analisis ini berpijak kepada fakta aktivitasnya, bukan produk barangnya, yang ikembangkan dalam bisnis MLM secara umum. Jika hukum MLM dirumuskan dengan hanya melihat atau berpijak pada produknya – apakah halal ataukah haram – maka hal itu justru meninggalkan realita pokoknya, karena MLM adalah bentuk transaksi (akad) muamalah. Oleh karenanya hukum MLM harus dirumuskan dengan menganalisis keduanya, baik akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi) maupun produknya. Mengenai akad (transaksi yang ada dalam MLM telah dijelaskan dalam paparan di atas.
Adapun dari aspek produknya, memang ada yang halal dan haram. Meski demikian, jika produk yang halal tersebut diperoleh dengan cara yang tidak syar’i, maka akadnya batil dan kepemilikannya juga tidak sah. Sebab, kepemilikan itu merupakan izin yang diberikan oleh pembuat syariat (idzn asy-syari’) untuk memanfaatkan zat atau jasa tertentu. Izin syara’ dalam kasus ini diperoleh, jika akad tersebut dilakukan secara syar’i, baik dari aspek muamalahnya, maupun barangnya.
Dengan melihat analisis di atas maka sekalipun produk yang diperjual-belikan adalah halal, akan tetapi akad yang terjadi dalam bisnis MLM adalah akad yang melanggar ketentuan syara’ baik dari sisi shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran); pada kondisi lain tidak memenuhi ketentuan akad karena yang ada adalah akad terhadap jaminan mendapat diskon dan bonus (point) dari pembelian langsung; maka MLM yang demikian hukumnya adalah haram. Namun, jika ada MLM yang pdouknya halal, dan dijalankan sesuai dengan syariat Islam; tidak melanggar shafqatayn fi shafqah (dua akad dalam satu transaksi) atau samsarah ‘ala samsarah (pemakelaran atas pemakelaran). Serta ketentuan hukum syara’ yang lain, maka tentu diperbolehkan. Masalahnya adakah MLM yang demikian?! []

Catatan Kaki :
1. Lihat, as-Syawkani, Nayl al-Awthar, Dar al-Jil, Beirut, 1973, Juz V, hal 248.
2. Lihat, as-Syawkani, Nayl al-Awthar, Dar al-Jil, Beirut, 1973, Juz V, hal 249.
3. Lihat, al-Haytsami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, Dar al-Kitab Al-Arabi, Beiurut, 1973, Juz IV, hal 84.
4. Lihat, al-Haytsami, Majma’ az-Zawaid wa Manba’ al-Fawaid, Dar al-Kitab Al-Arabi, Beirut, 1973, Juz IV, hal 84.
5. Lihat, al-Asqalani, Talhish al-Habir, ed. Abdullah Hasyim al Yamani, t.Ap., Madinah, 1964, Juz III, hal. 12.
6. As-Sarakhsi, al-Mabsuth li as-Sarakhsi, Juz XX, hal 166.
7. Ibn al-Abidin, Hasyiyah Ibn Abidin, Juz II, h. 355, Wahbah az Syhayli, al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz IV, hal 2918.
8. As-Sarakhsi, al-Mabsuth li as-Sarakhsi, juz XV, hal 115.
9. As-Sarakhsi, al-Mabsuth li as-Sarakhsi, juz XV, hal 116.
10. Muhammad bin Abi al-Fath, al-Muthalli’, ed. Muhammad Basyir al-Adlabi, al-Maktab al-Islami, Beirut, 1981, hal. 279.

Yang Perlu Anda Ketahui Tentang NII

YANG PERLU ANDA KETAHUI TENTANG NII (KESIMPULAN SAYA)*:

1. Kalau dia menargetkan anda, dia sudah mengincar anda sejak lama. Ingat-ingat saja, apa ada teman anda yang pernah bertanya “Apa anda punya saudara TNI atau polisi? ” Kalau anda bilang: tidak, anda dipastikan akan menjadi target mereka. Karena orang-orag NII paling takut sama ABRI dan Polisi. Lihat sejarahnya! (Baca: Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M. Kartosoewirjo: Fakta, Data Sejarah Darul Islam, Jakarta: Darul Falah, Cetakan Kedua, 1999)
2. Saya pernah ditanya oleh 2 orang teman saya, 1 di Universitas X, 1 di universitas lain tentang masalah itu.
3. NII tidak mencari orang-orang yang yang kurang cerdas; Mereka senang tampang-tampang orang serius, concern akan sesuatu dan suka diajak diskusi. *tambahan dari pengamatan saya: orang yang lagi bersemangat untuk mendalami agama, cuma pikirannya terlampau sempit dan menjadikan kehilangan daya nalar.
4. NII dalam praktiknya selalu di mall, tempat kos dan kampus (untuk target mahasiswa)
5. NII selalu membawa al-Quran dengan disampuli cover hitam kulit motif bintik-bintik berukuran setengan buku tulis “CAMPUS”, sehingga dari luar orang tidak tahu itu al-Quran
6. Hati-hati kalau diajak ikut MLM (Multi Level Marketing)! Modusnya hampir sama.
7. NII kalau ngomong selalu berpatokan al-Quran, tetapi ½-½ (setengah-setengah, diambil ayat-ayat tertentu aja, menurut kepentingan mereka)
8. Biasanya orang NII mengaku kalau mereka pernah lama di Mesir, lama di pesantren ini, pernah ikut studi banding di Malaysia, dan sebagainya dalam rangka meyakinkan calon korbannya.
9. Saya tidak mengerti, orang NII juga selalu mengaku mahasiswa atau alumnus “Universitas Ternama, yang anda- semua – pengin masuk ke-sana”. (Kasus Saya dan Sita). Saya pun berpikir, waktu itu: Ada apa dengan Universitas itu?

Kosakata yang anda perlu tahu tentang NII:Negara Karunia AllahHijrahCamat, lurah, gubernurPengecekanDia selalu bilang kaltahu anda tuh KAFIRInfak perbulan
Hati-hati sama kuesioner (selain kueisioner produk), apalagi temanya agama-agama (Islam), dengan anda ngisi kuesoner, mereka tahu cara pandang anda terhadap suatu masalah.

*Pengalaman riil (pribadi) Korban NII: “Andhika Dirgantara”

Rabu, 01 Agustus 2007

Menumbuhkan Budaya Amanah

Menumbuhkan Budaya Amanah

Dalam Bahasa Arab, kalimat amanah dapat diartikan sebagai titipan, kewajiban, ketenangan, kepercayaan, kejujuran, dan kesetiaan, Dalam al Qur'an amanah disebut dalam beberapa konteks, pertama: sebagai tanggung jawab pengelolaan (Q/33:72), sebagai hutang atau janji yang harus ditunaikan (Q/2:283), sebagai tanggung jawab ke­adilan pemegang kekuasaan (Q/4:58), sebagai kesetiaan kepada tugas yang diemban (Q/8:27), sebagai karakter pribadi yang penuh kejujur­an dan tanggungjawab (Q/23:8). Dalam hadis pernikahan, amanah disebut dalam kontek komitmen suci dalam kontrak perjanjian. Kata dasar amanah mempunyai pertalian dengan kata iman dan aman.

Dari pengertian bahasa dan dari pemahaman tematik al- Qur'an dan hadis, amanah dapat difahami sebagai sikap mental yang dida­lamnya terkandung unsur kepatuhan kepada hukum, tanggung jawab kepada tugas, kesetiaan kepada komitmen, keteguhan dalam meme­gang janji, kesucian dalam tekad dan kejujuran kepada diri sendiri.

Sikap mental amanah harus berdiri diatas pondasi keimanan, dan dengan itu akan tumbuh rasa aman, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain.Budaya amanah adalah perilaku yang bersendikan kepatuhan kepada moralitas agama, kepada moralitas hukum, tanggung jawab vertikal dan horizontal dan kejujuran kepada diri sendiri, serta keasadaran atas implikasi dari suatu keputusan.

Kebudayaan adalah nilai-nilai, norma dan konsep yang dimiliki masyarakat , yang dijadikan sebagai acuan mereka dalam berkehidupan sehari-hari, menyangkut ekonomi, politik , sosial dan budaya dari suatu masyarakat. Kebudayaan ada yang dianut oleh entitas sosial yang sempit tetapi ada juga kebudayaan yang dianut oleh suatu bangsa dan ada yang dianut oleh masyarakat international.Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, etnik, bahasa dan budaya yang kemudian menyatukan diri dalam ikatan kebangsaan dengan tetap menghormati kebudayaan masing-masing, disebut Binneka Tunggal Ika. Dalam perjalanan sejarahnya, komitmen Binneka Tunggal Ika tidak selalu dihormati.

Pada masa Orde Baru misalnya kecenderungan Pemerintah untuk menyeragamkan kebu­dayaan bangsa telah meruntuhkan fungsi keragaman budaya sebagai kekuatan persatuan. Akibatnya ketika orde bare tumbang, keragaman budaya yang semula menjadi pemersatu berubah menjadi ancaman disintegrasi.Ketika bangsa mengalami krisis kepemimpinan nasional, ketika infrastruktur kebudayaan yang konvensional tidak lagi efektip digunakan, ketika semua teori tidak lagi relefan untuk menganalisis persoalan, ketika kebuntuan melanda hampir seluruh saluran peme­cahan masalah, diperlukan satu langkah terobosan yang menyentuh simpul-simpul yang tepat.

Masyarakat Indonesia, betapapun adalah masyarakat yang reli­gious. Telah teruji berkali-kali, setiap kali bangsa berada di tubir kehancuran, kesadaran beragama menyeruak ke atas dengan berbagai simbolnya. Zaman keterbukaan memberi peluang kepada seluruh lapisan masyarakat mengemukakan ekpressi pemikirannya. Situasi ini memberi peluang sifat religiousitas masyarakat untuk bertemu dalam titik kesamaan dengan tetap menghargai perbedaan. Karakteristik amanah adalah satu diantara sedikit hal yang bisa mempersatukan kiblat bangsa, karena amanah bersifat universal.

Oleh karena itu mem­bangun kembali bangsa Indonesia dengan membudayakan amanah merupakan gagasan yang sangat relevan.Proses pembudayaan suatu nilai lazimnya membutuhkan wak­tu yang panjang dan proses yang alami, tetapi dalam keadaan dimana masyarakat dalam keadaan bingung dan membutuhkan alternatif, pembudayaan suatu nilai dapat dilakukan dengan metode Gerakan.

Mengupas Syi'ah

MENGUPAS SYIAH

Muqaddimah

Semenjak kematian Imam mereka, Syi'ah mengalamiperkembangan dan perpecahan.Dan semakin jauh perpecahan mereka, semakin banyakpula ajaran dan paham baru.Dimana tidak jarang ajaran Syi'ah dalam satu periode bertentangan dengan ajaranmereka pada periode sebelumnya. Karena setiap Imam memberikan ajaran, dimana perkataan Imam bagi Syi'ah adalah hadits, sama dengan sabda RasulullahShallallahu 'Alaihi Wa Aalihi Wasallam. Bahkan adayang ber-anggapan bahwa perkataan Imam sama denganfirman Allah.

Namun yang kita bicarakan dalam kapasitas ini adalahkelompok Syi'ah yang percaya kepada dua belas Imam(Syi'ah Imamiyah Al-Itsna 'Asyariyah) dan sekte inilah yang masuk dan berkembang di Indonesia.Namun kemungkinan orang-orang Syi'ah di sekitar anda akan mengingkari tulisan ini sambil berkata: "Syi'ah tidak seperti ini!" Tetapi tidak selayaknyalah merekamengingkari perkataan-perkataan ulama-ulama besar me-reka, Karena bahan bacaan yang kami gunakan dalampenyusunan risalah ini menggunakan kitab-kitab pokok Syi'ah yang ditulis oleh ulama-ulama besar Syi'ah sebagai referensi.

Pembahasan

Abdullah bin Saba' adalah seorang pendeta Yahudi dariYaman yang pura-pura masuk Islam pada akhirkekhalifahan 'Utsman radiallahu 'anhu. Dialah orang yang pertama mengisukan bahwa yang berhakmenjadi khalifah setelah Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wasallam adalah Ali Shallallahu 'AlaihiWasallam.Tetapi pada abad ke-14, dimunculkanlah isu bahwa Abdullah bin Saba' itu adalah manusia bayangan.Mungkin didorong oleh rasa tidak enak, karena timbul imajinasi bahwa ajaran Syi'ah itu berasal dari Yahudi. Tetapi itu merupakan fakta sejarah yang telah dibakukan,diakui oleh ulama-ulama Syi'ah pada jaman dahulu hingga sekarang.Sungguh keliru orang yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan antara Sunni dan Syi'ah, kecuali sebagaimanaperbedaan yang terjadi antara madzhab yang empat(Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) dan masalah-masalah furu'iyah ijtihadiyyah!Ketahuilah bahwa Syi'ah adalah agama di luar Islam.

Perbedaan antara kita kaum Muslimin dengan Syi'ahsebagaimana berbedanya dua agama dari awal sampaiakhir yang tidak mungkin disatukan, kecuali salah satunya meninggalkan agamanya.Agar para pembaca mengetahui bashirah (yakni hujjah yang kuat dan terang naqliyyun dan aqliyyun) bahwa Syi'ah adalah dien/agama, maka di bawah ini kami tuliskan sebagian dari aqidah Syi'ah yang tidak seorang Muslim pun meyakini salah satunya melainkandia telah keluar dari Islam.

1. Mereka mengatakan bahwa Allah Ta'ala tidakmengetahui bagian tertentu sebelum terjadi. Dan merekasifatkan Allah Ta'ala dengan al-Bada' yakni AllahSubhanahu wa Ta'ala baru mengetahui sesuatu setelahterjadi.

2. Tahriful Qur'an (Perubahan Al-Qur'an). Yakni mereka mengi'tiqadkan telah terjadi perubahan besar-besarandi dalam Al-Qur'an. Ayat-ayat dan surat-suratnya telahdikurangi atau ditambah oleh para shahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam di bawah pimpinan tigakhalifah yang merampas hak ahlul bait, yaitu Abu Bakar, 'Umar dan 'Utsman radhiallahu 'anhum ajmain. Salah satu ayat yang dibuang menurut versi Syi'ah adalah ayat wilayah (kedudukan) yang terdiri dari tujuh ayat. Kami tuliskan ayat ketujuhnya : Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan Ali termasukorang-orang yang menjadi saksi.

3. Mereka juga mengatakan bahwa Al-Qur'an yang ada ditangan kaum Muslimin dari zaman shahabat sampai hariini tidak asli lagi. Kecuali Al-Qur'an mereka yang tiga kali lebih besar dari Kitabullah yang merekanamakan mushaf Fatimah yang akan dibawa oleh Imam Mahdi. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman(yang terjemahannya): "Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dansesungguhnya Kami-lah yang benar-benar memelihara/ menjaganya." (Al-Hijr: 9). (Al-Qur'an) yang tidak datang padanya kebathilan baik dari depan maupun belakangnya, yang diturunkan ALLAH Yang Maha Bijaksana (lagi) Maha Terpuji."(Fush-shilat : 42). Alangkah besarnya dusta dan penghinaan mereka terhadap Al-Qur'an. Allah Subhanahu wa Ta'ala tegaskan bahwa Al-Qur'an di dalam pemeliharaan-Nya dan tidak akankemasukan satupun yang bathil dari segala jurusan.Akan tetapi mereka mengatakan bahwa Al-Qur'an telah diubaholeh tangan-tangan manusia, yaitu para shahabat.

4. Mengadakan penyembahan terhadap manusia. Merekabersikap berlebih-lebihan terhadap imam-imam mereka,sehingga mereka tinggikan sampai kepada derajatuluhiyyah (ketuhanan). Untuk itu, mereka telahberbohong atas nama shahabat besar ahlul jannah, Alibin Abi Thalib bersama istrinya (Fatimah puteri NabiShallallahu 'Alaihi Wa Aalihi Wasallam) dan kedua orang anaknya (Hasan dan Hushain) dan seluruh ahlul bait. Lihatlah kepada sebagian perkataan ulama mereka tentang Ali bin Abi Thalib yang kata mereka -secara dusta- telah mengatakan: Demi Allah. Sesungguhnya Akulah yang bersama Ibrahim di dalam api, dan Akulah yang men-jadikan api itu dingin dan selamatlah Ibrahim. Dan Aku bersama Nuh didalam bahtera (kapal), dan Akulah yang menyelamatkannya dari teng-gelam. Dan Aku bersama Musa, lalu Aku ajarkan ia Taurat. Dan Akulah yang membuat Isa dapat berbicara di waktu masih bayi dan Akulah yang mengajarkannya Injil. Dan Aku bersama Yusuf di dalam sumur, lalu Aku selamatkan ia dari tipu daya saudara-saudaranya. Dan aku bersama Sulaiman di atas permadani (terbang),dan aku-lah yang menundukkan angin untuknya).(Dinukil dari kitab Syi'ah wa Tahrifu al-Qur'an oleh Syaikh Muhammad Malullah halaman 17, nukilan darikitab al-Anwaaru an-Nu'maaniyyah (I/31) salah satukitab terpenting Syi'ah). Sekarang lihatlah apa yang dikatakan Khomeini, pemimpin besar agama Syi'ah di dalam kitabnyaal-Hukuumatu al-Islamiyyah (hal. 52): "Dan sesungguhnya yang terpenting dari madzhab kami,sesungguhya imam-imam kami mempunyai kedudukan (maqam)yang tidak bisa dicapai oleh seorang pun malaikat yang muqarrab/dekat dan tidak oleh seorangpun Nabi yang pernah diutus. "Maksudnya, imam-imam mereka itu jauh lebih tinggi daripara malaikat dan sekalian Nabi yang pernah diutus. Inilah salah satu penghinaan terbesar Khomeini kepadaseluruh Malaikat dan para Nabi semuanya (termasuk Jibril dan Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam, berpegang kepada keumuman lafadz yang diucapkanKhomeini). Sangat tidak pantas seorang pemuda Ahlus Sunnah mengidolakan orang seperti ini, bahkan sampai memajang posternya di dalam kamarnya.Mereka pun meriwayatkan secara dusta atas nama Ali:Dan akulah yang menghidupkan dan memati-kan. (Syi'ahwa Tahrifu al Qur'an, hal 17). Lihatlah! Bagaimana mereka samakan Ali dengan Namruddan Fir'aun yang mengaku sebagai tuhan yang menghidupkan dan mematikan.

5. Di antara I'tiqad Syi'ah yang terpenting danmenjadi salah satu asas agama mereka adalah aqidahraj'ah, yaitu keyakinan hidup kembali di dunia inisesudah mati, atau kebangkitan orang-orang yang telahmati di dunia.Peristiwanya terjadi ketika Imam Mahdi mereka bangkit dan bangun dari tidur panjangnya yang sampai sekarangtelah seribu tahun lebih (karena selama ini iabersembunyi di dalam gua). Kemudian dihidupkanlahkembali seluruh imam mereka dari yang pertama sampaiyang terakhir tanpa terkecuali Rasulullah Shallallahu'Alaihi Wa Aalihi Wasallam dan putri beliau Fatimah. Kemudian dihidupkan kembali pula musuh-musuh Syi'ahyang terdepan yakni Abu Bakar, Umar dan Utsman danseluruh shahabat dan seterusnya. Mereka semua akandiadili, kemudian disiksa di depan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Aalihi Wasallam karena telahmendzalimi ahlul bait, merampas imamah dan seterusnya.(Lihat kitab mereka, Haqqul Yaqin, Hal. 347). Aqidah Raj'ah ini terang-terangan telah mendustakanisi Al-Qur'an diantaranya firman ALLAH Subhanahu waTa'ala (yang terjemahannya): "Dan di hadapan mereka (orang-orang yang telah mati)ada alam kubur sampai hari mereka dibangkitkan (yaknihari kiamat)."Ayat yang mulia ini menegaskan bahwa orang yang telahmati akan hidup di alam barzakh (alam kubur) dan tidak akan hidup lagi di dunia sampai mereka dibangkitkan nanti pada hari kiamat.

6. Pengkafiran kepada seluruh shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Aalihi Wasallam, kecualibeberapa orang seperti Ali, Fatimah, Hasan dan Hushain dan..Mereka merendahkan para shahabatdengan caci maki dan laknat dalam melawan firman AllahSubhanahu wa Ta'ala yang banyak memuji para shahabatdi antaranya keridhaan Allah kepada mereka radhiallau 'anhum ajmain.

7. Taqiyyah. Berkata Mufid dalam kitabnya Tashhiihal-I'tiqaad, menerangkan pengertian taqiyah dikalanganSyi'ah: "Taqiyah adalah menyembunyikan kebenaran dan menutupikeyakinannya, serta menyem-bunyikannya dari orang-orang yang berbeda dengan mereka dan tidakmenampakkannya kepada orang lain karena dikhawatirkanakan berbahaya terhadap aqidah dan dunianya. "Ringkasnya, taqiyah adalah berdusta untuk menjaga rahasia.

Hakekat Syi'ah memang terkadang sulit diketahui para pengikutnya sendiri. Itu semua dikarenakan aqidah taqiyah dan kitman (sikap menjaga rahasia) yang ada pada mereka. Bahkan terkadang mereka berpenampilan seolah-olah mencintai Ahlus Sunnah, sehingga semua ini menjadikanorang-orang yang polos di kalangan Ahlus Sunnah tertipu dan terpedaya oleh mereka.

Syi'ah mensyari'atkan dusta yang merupakan aqidah yang harus dipercayai dan bahkan masuk dalam rukun iman, sebagaimana disebut-kan dalam kitab mereka: "Kulani menukil dari Abdullah, ia berkata: Taqwalah atas agamamu dan berhijablah dengan "taqiyah", makasesungguhnya tidak sempurna iman seseorang apabilatidak berdusta (taqiyah). (Ushulul Kaafi hal. 483.

Al Kaafi merupakan salah satukitab pegangan pokok mereka dalam hal aqidah dan agama Syi'ah Imamiah).Kulaini mengatakan dari Abdullah ia berkata: Adalah Bapakku mengatakan: "Dan apakah yang dapat menenangkan pikiranku selain berdusta (taqiyah). Sesungguhnya taqiyah adalah surga bagi orang yangberiman." (Ushul Al-Kaafi hal.484). Jagalah agama kalian dan lindungilah dengan taqiyah,sesungguhnya tidak beriman bagi siapa yang tidak bertaqiyah. (Al Kulani dalam Ushul Al-Kafi, I/218).

Rafidhah (Syi'ah) memandang wajibnya menggunakan taqiyah terhadap kaum Muslimin. Dengan taqiyah, seakan mereka menunjukkan iltizam-nya tehadap hukum Islam. Saling menolong dengan dasar cinta dan kasih sayang dengan kaum Muslimin. Padahal kenyataannya mereka berlepas diri dari kaum Muslimin.

Mereka menganggap bahwa Ahlus Sunnah lebih kafir daripada orang-orang Yahudi, Majusi dan Musyrik. Mereka juga memandang bahwa mereka tidak mungkin bertemu dengan kaum Muslimin dalam masalah agama. Seperti yang dijelaskan oleh Ni'matullah al-Jazairi, ia berkata: "Sesungguhnya kita tidak bertemu dengan mereka atassatu ilah (sembahan), tidak pula atas satu nabi dan tidak pula atas satu imam. Yang demikian itu karena mereka mengatakan bahwasanya Tuhan mereka adalah yang mengutus Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wasallam sebagainabinya dan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifahnya. Sedangkan kami tidak mengatakan dengan Tuhan yang demikian itu dan tidak pula dengan nabinya. Akan tetapi yang kami katakan bahwa Tuhan yang mengangkat Abu Bakar bukanlah Tuhan kita, tidak pula nabi tersebut adalah nabi kita."(Ash-Shirath al-Mustaqim Ila Mustahqi at-Taqdim,III/73). Oleh karena itu mereka menyelisihi kaum Muslimin dalam segala perkaranya.

Menjadikan hal demikian sebagai prinsip mereka yang paling penting, dan mereka membangun agamanya atas prinsip tersebut. Seperti yang diriwayatkan olehash-Shadiq dari Ali bin Absath, ia berkata: "Aku berkata kepada Radha 'Alaihissalaam : 'Aku memiliki masalah, tetapi aku tidak memperolehpemecahannya. Sedang di negeri tersebut tidakseseorang pun ulama kita (Syi'ah). Radha menjawab: 'Datanglah kepada ahli fiqh yang ada di negeri itu, lalu mintalah fatwa berkenaan dengan masalahmu. Tapi ambillah kebalikannya. Karena, kebenaran itu ada padakebalikan (pernyataan fatwa) tersebut." (Dikutip dari kitab mereka Al-Anwar An-Nu'maniyah II/278).

Menurut Khomeini, imannya orang Syi'ah tidak sempurna kecuali bila ia telah berbeda dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah (Al-Hukumat al-Islamiyyah hal. 83). Berkata Ash-Shadiq; "Ayahku berkata dalam suratnya:'Janganlah engkau bermakmum shalat kecuali pada dua macam orang. Pertama orang yang engkau percayai agamadan kewaraannya. Kedua, orang yang engkau khawatirkan pedang, kekerasan, dan kekejiannya terhadapagama-(mu). Shalatlah di belakangnya dengan carataqiyah dan berpura-pura." (Dikutip dari kitab mereka Man laa yahdhuruhual-Faqiih, I/265).

Syaikh mereka Majlisi meriwayatkan dari Abi Abdillah,bahwasanya ia pernah berkata: ....... Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda: "Diperintahkan supaya bertaqiyah....." (Kitab Syi'ah, Bihar al-Anwar,XXIV/47).

Inilah kepalsuan yang sangat besar terhadap kedudukan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan terhadapkeluarga-nya dan kerabatnya. Seandainya kita menerima bahwa ahlul bait takutterhadap para penguasa, maka siapakah yang ditakutioleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan kepada siapakah beliau pernah bertaqiyah? Padahal beliaulah yang tegak menentang kaum kafir Quraisy dan para pembesarnya. Beliau hadapi mereka, beliau selisihi agamanya serta beliau seru mereka untukberibadah kepada Allah semata. Jadi mengaitkan taqiyah kepadaNabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam dan keluarganya merupakan dusta yang sangat besar.

Hukum Isbal

HUKUM ISBAL: “Menempatkan Makna Isbal Sesuai Sunnah”

Oleh: Muhsin Hariyanto

Perdebatan di seputar isbâl (memanjangkan atau menjulurkan sarung, gamis atau jubah hingga menutupi kedua mata kaki) hingga kini masih menjadi perdebatan. Utamanya dalam khazanah fiqih (Islam). Hal itu disebabkan adanya cara pandang masing-masing tentang hadis-hadis tentang isbâl, apakah harus dipahami secara tekstual (apa adanya), atau seharusnya dipahami berdasarkan sabab al-wurûdnya (konteks sosio-historisnya). Bagi yang memahaminya secara tekstual, mereka berkesimpulan bahwa memanjangkan atau menjulurkan sarung, gamis atau jubah hingga menutupi kedua mata kaki, dengan alasan apa pun, hukumnya “haram”. Sedang mereka yang melihat konteks sosio-historisnya, menyatakan bahwa haramnya memanjangkan atau menjulurkan sarung, gamis atau jubah hingga menutupi kedua mata kaki bergantung pada niat (motivasi)-nya.

Perbedaan pendapat tentang isbâl memang sudah lama ada, bukan sebuah hal yang qath'i, meski ada sebagian kalangan yang agaknya tetap memaksakan pendapatnya. Hal itu wajar dan kita harus berlapang dada.

Walaupun sesungguhnya perbedaan pendapat itu tidak bisa dipungkiri. Sebagian mengatakan bahwa memanjangkan kain atau celana di bawah mata kaki hukumnya mutlak haram, apapun motivasinya. Namun sebagian lainnya mengatakan tidak mutlak haram, karena sangat tergantung motivasi dan niatnya.

1. Pendapat Yang Mengatakan Mutlak Haram

Tidak sulit untuk mencari literatur pendapat yang mengharamkan isbâl secara mutlak. Fatwa-fatwa dari kalangan ulama Saudi umumnya cenderung memutlakkan keharaman isbâl.
Kalau boleh disebut sebagai sebuah contoh, ambillah misalnya fatwa Syeikh Bin Baz rahimahullah. Jelas dan tegas sekali beliau mengatakan bahwa isbâl itu haram, apapun alasannya. Dengan niat riya' atau pun tanpa niat riya'. Pendeknya, apapun bagian pakaian yang lewat dari mata kaki adalah dosa besar dan menyeret pelakunya masuk neraka.
Beliau amat serius dalam masalah ini, sampai-sampai fatwa beliau yang paling terkenal adalah masalah keharaman mutlak perilaku isbâl ini. Setidaknya, fatwa inilah yang selalu dan senantiasa dicopy-paste oleh para murid dan pendukung beliau, sehingga memenuhi ruang-ruang cyber di mana-mana. Berikut ini adalah salah satu petikan fatwa beliau:

“Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di Neraka." [Hadis Riwayat al-Bukhari dalam shahihnya]

"Ada tiga golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku isbâl (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR Muslim)

Kedua hadis ini dan yang semakna dengannya mencakup orang yang menurunkan pakaiannya (isbâl) karena sombong atau dengan sebab lain. Karena Rasulullah SAW mengucapkan dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan. Kalau melakukan isbâl karena sombong, maka dosanya lebih besar dan ancamannya lebih keras.
Tidak boleh menganggap bahwa larangan melakukan isbâl itu hanya karena sombong saja, karena Rasullullah SAW tidak memberikan pengecualian hal itu dalam kedua hadis yang telah kita sebutkan tadi, sebagaimana juga beliau tidak memberikan pengecualian dalam hadis yang lain.

Beliau Nabi s.a.w. menjadikan semua perbuatan isbâl termasuk kesombongan karena secara umum perbuatan itu tidak dilakukan kecuali memang demikian. Siapa yang melakukannya tanpa diiringi rasa sombong maka perbuatannya bisa menjadi perantara menuju ke sana. Dan perantara dihukumi sama dengan tujuan, dan semua perbuatan itu adalah perbuatan berlebihan-lebihan dan mengancam terkena najis dan kotoran.

Adapun Ucapan Nabi SAW kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. ketika berkata: Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda:

"Engkau tidak termasuk golongan orang yang melakukan itu karena sombong." [Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim]

Yang dimaksudkan oleh oleh Rasulullah s.a.w. bahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Karena dia (yang benar-benar menjaga ) tidak melakukan isbâl. Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali dan menjaganya benar-benar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang dimaafkan.

Adapun orang yang menurunkannya dengan sengaja, apakah dalam bentuk celana atau sarung atau gamis, maka ini termasuk dalam golongan orang yang mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan ketika pakaiannya turun. Karena hadis-hadis shahih yang melarang melakukan isbâl besifat umum dari segi teks, makna dan maksud.

Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati terhadap isbâl. Dan hendaknya dia takut kepada Allah ketika melakukannya. Dan janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan mengamalkan hadis-hadis yang shahih ini. Dan hendaknya juga itu dilakukan karena takut kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi taufiq. [Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz

2. Pendapat Yang Mengharamkan Bila Dengan Niat Riya'

Sedangkan pendapat para ulama yang tidak mengharamkan isbal asalkan bukan karena riya’, di antaranya adalah pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang yang dengan sukses menulis syarah (penjelasan) kitab Shahih al-Bukhari. Kitab beliau ini boleh dibilang kitab syarah yang paling masyhur dari Shahih Bukhari. Beliau adalah ulama besar dan umat Islam berutang budi tak terbayarkan kepada ilmu dan integritasnya.

Khusus dalam masalah hukum isbâl ini, beliau punya pendapat yang tidak sama dengan Syeikh Bin Baz yang hidup di abad ke-20 ini. Beliau memandang bahwa haramnya isbâl tidak bersifat mutlak. Isbâl hanya haram bila memang dimotivasi oleh sikap riya'. Isbâl halal hukumnya bila tanpa diiringi sikap itu.

Ketika beliau menerangkan hukum atas sebuah hadis tentang haramnya isbal, beliau secara tegas memilah masalah isbâl ini menjadi dua. Pertama, isbal yang haram, yaitu yang diiringi sikap riya'. Kedua, isbal yang halal, yaitu isbal yang tidak diiringi sikap riya'.
Di dalam hadis ini terdapat keterangan bahwa isbal izâr karena sombong termasuk dosa besar.

Sedangkan isbâl bukan karena sombong (riya'), meski lahiriyah hadis mengharamkannya juga, namun hadis-hadis ini menunjukkan adalah taqyîd (syarat ketentuan) karena sombong. Sehingga penetapan dosa yang terkait dengan isbâl tergantung kepada masalah ini. Maka tidak diharamkan memanjangkan kain atau isbalasalkan selamatdari sikap sombong. (Lihat Fathul Bari, hadis 5345)

Komentar al-Imam An-Nawawi

Adapun hadis-hadis yang mutlak bahwa semua pakaian yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila dilakukan oleh orang yang sombong. Karena dia mutlak, maka wajib dibawa kepada muqayyad.

Dan khuyalâ' adalah kibir (sombong). Dan pembatasan adanya sifat sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang melakukan isbâl) pada kainnya, bahwas yang dimaksud dengan ancaman dosa hanya berlaku kepada orang yang memanjangkannya karena sombong. Dan Nabi SAW telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra seraya bersabda, "Kamu bukan bagian dari mereka." Hal itu karena panjangnya kain Abu Bakar bukan karena sombong.

Maka klaim bahwa isbâl itu haram secara mutlak dan sudah disepakati oleh semua ulama adalah klaim yang kurang tepat. Sebab siapa yang tidak kenal dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Al-Imam An-Nawawi. Keduanya adalah ulama sepanjang zaman. Dan keduanya mengatakan bahwa isbâl itu hanya diharamkan bila diiringi rasa sombong.

Maka haramnya isbâl secara mutlak adalah masalah khilafiyah, bukan masalah yang qath'i atau ijmâ’ (kesepakatan semua ulama). Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan itulah realitasnya.

Pendapat mana pun dari ulama itu, tetap wajib kita hormati. Sebab menghormati pendapat ulama, meski tidak sesuai dengan selera kita, adalah bagian dari akhlaq dan adab seorang muslim yang mengaku bahwa Muhammad SAW adalah nabinya. Dan Muhammad itu tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlaq.

Pendapat mana pun dari ulama itu, boleh kita ikuti dan boleh pula kita tinggalkan. Sebab semua itu adalah ijtihad. Tidak ada satu pun orang yang dijamin mutlak kebenaran pendapatnya, kecuali alma'shum Rasulullah SAW. Selama seseorang bukan nabi, maka pendapatnya bisa diterima dan bisa tidak.

Bila satu ijtihad berbeda dengan ijtihad yang lain, bukan berarti kita harus panas dan naik darah. Sebaliknya, kita harus mawas diri, luas wawasan dan semakin merasa diri bodoh. Kita tidak perlu menjadi sok pintar dan merasa diri paling benar dan semua orang harus salah. Sikap demikian bukan ciri thalabatul ilmi yang sukses, sebaliknya sikap para juhala' (orang bodoh) yang ilmunya terbatas.

Hadis yang pertama-tama menjadi sandaran perdebatan mengenai isbâl adalah hadis riwayat Jamâ’ah dari Ibnu 'Umar. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat. Kemudian Abu Bakar bertanya, "Sesungguhnya sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku menyingsingkannya." Rasulullah saw menjawab, "Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong."[HR. Jamâ'ah, kecuali Muslim. Ibnu Mâjah dan Tirmidzî tidak menyebutkan penuturan dari Abû Bakr.] Di samping itu ada hadis lain yang diriwayatakan oleh Abû Dâwud, al-Nasâ`iy, dan Ibnu Mâjah, dari Ibnu 'Umar. Dituturkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Isbal itu bisa terjadi pada sarung, gamis dan jubah.

Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah swt tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat."[HR. Abû Dâwud, al-Nasâ`iy, dan Ibnu Mâjah] Kata khuyalâ berasal dari wazan fu'alâ'. Kata al-khuyalâ', al-bathar, al-kibr, al-zahw, al-tabakhtur, bermakna sama, yakni “sombong/takabur“.

Mengomentari hadis ini, Ibnu Ruslan dari Syarah al-Sunan menyatakan, "Dengan adanya taqyîd "khuyalâ'" (karena sombong) menunjukkan bahwa siapa saja yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki tanpa ada unsur kesombongan, maka dirinya tidak terjatuh dalam perbuatan haram. Hanya saja, perbuatan semacam itu tercela (makruh)." Imam Nawawi berkata, "Hukum isbâl adalah “makruh“. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh asy-Syafi'i. Imam al-Buwaithi dari al-Syafi'i dalam Mukhtasharnya berkata, "Isbâl dalam shalat maupun di luar shalat karena sombong dan karena sebab lainnya tidak diperbolehkan. Ini didasarkan pada perkataan Rasulullah saw kepada Abu Bakar ra." Namun demikian sebagian 'ulama menyatakan bahwa khuyala' dalam hadis di atas bukanlah taqyîd. Atas dasar itu, dalam kondisi apapun Isbâl terlarang dan harus dijauhi.

Dalam mengomentari hadis di atas, Ibnu al-'Arabi berkata, "Tidak diperbolehkan seorang laki-laki melabuhkan kainnya melebihi mata kaki dan berkata tidak ada pahala jika karena sombong. Sebab, larangan isbal telah terkandung di dalam lafadz. Tidak seorangpun yang tercakup di dalam lafadz boleh menyelisihinya dan menyatakan bahwa ia tidak tercakup dalam lafadz tersebut; sebab, 'illatnya sudah tidak ada. Sesungguhnya, sanggahan semacam ini adalah sanggahan yang tidak kuat. Sebab, Isbâl itu sendiri telah menunjukkan kesombongan dirinya.

Walhasil, isbal adalah melabuhkan kain melebihi mata kaki, dan melabuhkan mata kaki identik dengan kesombongan meskipun orang yang melabuhkan kain tersebut tidak bermaksud sombong." Mereka juga mengetengahkan riwayat-riwayat yang melarang Isbâl tanpa ada taqyîd. Riwayat-riwayat itu di antaranya adalah sebagai berikut;"Angkatlah sarungmu sampai setengah betis, jika engkau tidak suka maka angkatlah hingga di atas kedua mata kakimu.

Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan. Sedangkan Allah swt tidak menyukai kesombongan."[HR. Abû Dâwûd, al-Nasâ'i, dan Al-Tirmidzî dari Jâbir bin Sâlim] "Tatkala kami bersama Rasulullah saw, datanglah 'Amru bin Zurarah al-Anshari dimana kain sarung dan jubahnya dipanjangkannya melebihi mata kaki (isbal). Selanjutnya, Rasulullah saw segera menyingsingkan sisi pakaiannya (Amru bin Zurarah) dan merendahkan diri karena Allah swt. Kemudian beliau saw bersabda, "Budakmu, anak budakmu dan budak perempuanmu", hingga 'Amru bin Zurarah mendengarnya. Lalu, Amru Zurarah berkata, "Ya Rasulullah sesungguhnya saya telah melabuhkan pakaianku melebihi mata kaki."

Rasulullah saw bersabda, "Wahai 'Amru, sesungguhnya Allah swt telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Wahai 'Amru sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang yang melabuhkan kainnya melebihi mata kaki." [HR. al-Thabarani dari hadisnya Abu Umamah] Hadis ini rijalnya tsiqah. Zhahir hadis ini menunjukkan bahwa 'Amru Zurarah tidak bermaksud sombong ketika melabuhkan kainnya melebihi mata kaki. Riwayat-riwayat ini memberikan pengertian, bahwa isbal yang dilakukan baik karena sombong atau tidak, hukumnya haram. Akan tetapi, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan hadis-hadis seperti ini. kita mesti mengkompromikan riwayat-riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain yang di dalamnya terdapat taqyîd (pembatas) "khuyalâ'".

Kompromi (jam'u) ini harus dilakukan untuk menghindari penelantaran terhadap hadis Rasulullah saw. Sebab, menelantarkan salah satu hadis Rasulullah bisa dianggap mengabaikan sabda Rasulullah saw. Tentunya, perbuatan semacam ini adalah haram. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar, yakni perkataan Rasulullah saw kepada Abu Bakar ra (Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong."), menunjukkan bahwa manath (objek) pengharaman isbal adalah karena sombong. Sebab, isbal kadang-kadang dilakukan karena sombong dan kadang-kadang tidak karena sombong.

Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar telah menunjukkan dengan jelas bahwa isbâl yang dilakukan tidak dengan sombong hukumnya tidak haram. Atas dasar itu, isbâl yang diharamkan adalah isbâl yang dilakukan dengan kesombongan. Sedangkan isbâl yang dilakukan tidak karena sombong, tidaklah diharamkan. Imam Syaukani berkata, "Oleh karena itu, sabda Rasulullah saw," Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan."[HR. Abu Dawud, al-Nasaa'iy, dan Al-Tirmidzi dari Jabir bin Salim], harus dipahami bahwa riwayat ini hanya berlaku bagi orang yang melakukan isbâl karena sombong.

Hadis yang menyatakan bahwa isbal adalah kesombongan itu sendiri ?yakni riwayat Jabir bin Salim?harus ditolak karena kondisi yang mendesak. Sebab, semua orang memahami bahwa ada sebagian orang yang melabuhkan pakaiannya melebihi mata kaki memang bukan karena sombong. Selain itu, pengertian hadis ini (riwayat Jabir bin Salim) harus ditaqyîd dengan riwayat dari Ibnu 'Umar yang terdapat dalam shahihain?.Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Umamah yang menyatakan bahwa Allah swt tidak menyukai orang-orang yang sombong hadir dalam bentuk muthlaq, sedangkan hadis yang lain yang diriwayatkan Ibnu 'Umar datang dalam bentuk muqayyad. Dalam kondisi semacam ini, membawa muthlaq ke arah muqayyad adalah wajib?." Dari penjelasan Imam Syaukani di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kesombongan adalah taqyîd atas keharaman isbal. Atas dasar itu, hadis-hadis yang memuthlaqkan keharaman isbâl harus ditaqyîd dengan hadis-hadis yang mengandung redaksi "khuyalâ'.

Walhasil, isbâl yang dilakukan tidak karena sombong, tidak termasuk perbuatan yang haram. Tidak boleh dinyatakan di sini bahwa hadis yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar tidak bisa mentaqyîd kemuthlaqan hadis-hadis lain yang dating dalam bentuk muthlaq dengan alasan, sebab dan hukumnya berbeda. Tidak bisa dinyatakan demikian. Sebab, hadis-hadis tersebut, sebab dan hukumnya adalah sama.

Topik yang dibicarakan dalam hadis tersebut juga sama, yakni sama-sama berbicara tentang pakaian dan cara berpakaian. Atas dasar itu, kaedah taqyîd dan muqayyad bisa diberlakukan dalam konteks hadis-hadis di atas. Inilah pemahan hadis secara kontekstual. Dengan melihat konteks sosio-historisnya, ketika hadis itu diungkapkan, kita bisa memahaminya dalam konteks transhistoris (ke-kini-an dan ke-di sini-an).

Hukum Gambar/Lukisan

HUKUM MELUKIS

Oleh: Muhsin Hariyanto

Perbincangan mengenai hukum melukis di dalam fiqih diawali oleh pemahaman para ulama tentang hadis yang mengandung larangan melukis dan celaan terhadap pelukisnya. Persoalannya terletak pada cara mereka memahaminya: apakah memahami teks tanpa melihat sebabnya, atau memahaminya dengan mempertimbangkan sebabnya.
Banyak hadis shahih, yang sebagian besar mencela gambar dan orang-orang yang menggambar, bahkan sebagian hadis-hadis itu sangat keras dalam melarang dan mengharamkan serta memberikan ancaman kepada mereka, sebagaimana tidak boleh mengambil dan memasang gambar-gambar itu di rumah, dan menjelaskan bahwa malaikat tak mau masuk ke rumah yang di dalamnya ada gambarnya.

Malaikat merupakan penyebab datangnya rahmat Allah SWT, ridha dan berkah-Nya. Maka apabila dia tidak mau masuk ke dalam rumah, itu berarti bahwa pemilik rumah itu tidak mendapatkan rahmat, ridha dan berkah dari Allah SWT.
Barangsiapa yang merenungkan makna hadis-hadis mengenai lukisan - dan tindakan memasangnya - serta memperbandingkan antara yang, satu dengan yang lainnya, maka akan jelas bahwa larangan, pengharaman dan ancaman di dalam hadis-hadis itu tidak asal-asalan. Tidak pula a priori, tetapi dibelakanganya ada sebab dan alasan, tujuan yang jelas di mana syara' sangat memelihara dan mewujudkannya.

Menggambar Sesuatu Yang Diagungkan dan Dikultuskan

Sebagian gambar (patung) dimaksudkan untuk mengagungkan yang digambar. Ini pun bertingkat-tingkat, dari sekadar peringatan sampai ke tingkat pengkultusan, bahkan sampai pada beribadah kepadanya.

Sejarah watsaniyyâat (keberhalaan) membuktikan bahwa mereka berawal dari pembuatan gambar atau patung untuk kenang-kenangan, tetapi kemudian sampai pada tingkat pengkultusan dan beribadah.

Ahli tafsir menjelaskan tentang firman Allah SWT melalui lisan Nuh a.s.:
"Dan mereka berkata, "Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwâ', yaghûts, ya'ûq dan nasr." (Nuh, 71: 23)

"Bahwa nama berhala yang telah disebutkan dalam ayat tersebut semula adalah nama-nama orang-orang saleh dari kalangan kaum Nuh, tetapi ketika mereka meninggal dunia, setan membisiki kaum mereka agar memasang di majelis-majelis mereka dan menamakan mereka dengan namanya. Maka kaum itu pun melakukannya. Semula tidak disembah, tetapi setelah generasi mereka hancur dan ilmu telah dilupakan, ketika itulah patung-patung tersebut disembah." (Hadis Riwayat Bukhari dari Ibnu ‘Abbas)

Dari 'Aisyah ra, ia berkata:

"Ketika Rasulullah s.a.w. sakit beliau menyebutkan kepada sebagian isterinya, bahwa ada gereja yang diberi nama "Maria." Saat itu Ummu Salamah dan Ummu Habibah datang ke bumi Habasyah, maka keduanya menceritakan bagusnya gereja itu dan di dalamnya terdapat patung-patung. Maka Rasulullah s.aw. mengangkat kepalanya, lalu mengatakan, "Mereka itu apabila ada orang di kalangan mereka yang mati mereka membangun masjid di kuburannya, kemudian mereka meletakkan gambar patung di atasnya, mereka itulah seburuk-buruk makhluk Allah." (Muttafaq 'Alaih)

Satu hal yang dimaklumi bahwa gambar-gambar patung itu adalah yang paling laku di kalangan orang-orang kafir watsaniyah. Sebagaimana terjadi pada kaum Nabi Ibrahim a.s., di kalangan masyarakat Mesir kuno, bangsa Yunani, Rumawi dan India sampai hari ini.
Kaum Nasrani ketika berada di bawah kekuasaan Konstantinopel Imperium Rumawi telah banyak dimasuki oleh ornamen-ornamen watsaniyah dari Rumawi.

Barangkali sebagian hadis yang mengancam keras terhadap gambar adalah dimaksudkan untuk mereka yang membuat tuhan-tuhan palsu dan sesembahan yang beraneka ragam di kalangan ummat yang bermacam-macam, demikian itu seperti hadisnya Ibnu Mas'ud r.a., marfu':
"Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya di sisi Allah adalah orang-orang yang menggambar." (Hadis Riwayat Muttafaq 'Alaih dari ‘Abdullah ibn Mas’ud)

Imam Nawawi berkata, "Ini dimaksudkan bagi orang yang membuat patung untuk disembah, dia adalah pembuat berhala dan sejenisnya. Ini adalah kafir yang sangat berat siksanya. Ada juga yang mengatakan, "Ini maksudnya adalah untuk mengungguli ciptaan Allah SWT dan ia meyakini hal itu, maka ini kafir yang lebih berat lagi siksanya daripada orang kafir biasa, dan siksanya bertambah karena bertambah buruknya kekufuran dia."

Sesungguhnya Imam Nawawi mengemukakan hal tersebut, padahal dia termasuk orang-orang yang keras di dalam mengharamkan gambar dan pembuatannya. Karena tidak terbayangkan menurut tujuan syar’i bahwa tukang gambar biasa itu lebih berat siksanya daripada orang yang membunuh, berbuat zina, peminum khamr, pemakan riba dan pemberi saksi palsu dan yang lainnya dari orang-orang yang berbuat dosa-dosa besar dan kerusakan.
Masyruq pernah meriwayatkan hadis Ibnu Mas'ud -- yang telah disebutkan -- ketika dia dan temannya masuk ke sebuah rumah yang di dalamnya ada patung-patung, maka Masruq berkata, "Ini adalah patung-patung Kisra," temannya berkata pula, "Ini adalah patung-patung Maryam," maka kemudian Masyruq meriwayatkan hadisnya.

Mengungguli Ciptaan Allah

Mengungguli ciptaan Allah SWT, dengan pengakuan bahwa ia juga menciptakan seperti Allah SWT. Yang jelas hal ini terkait erat dengan tujuan (motivasi) dari pelukisnya. Meskipun ada juga yang berpendapat bahwa setiap orang yang menggambar itu berarti merasa mengungguli ciptaan Allah.

'Aisyah r.a. meriwayatkan dari Nabi s.a.w. beliau bersabda:
"Manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang mengungguli ciptaan Allah." (Muttafaq 'Alaih)

Ancaman yang keras ini memberi satu pengertian bahwa mereka itu bermaksud mengungguli ciptaan Allah. Inilah makna yang dikemukakan oleh Imam Nawawi di dalam syarah Muslim, karena tidak bermaksud demikian kecuali orang yang kafir.
Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Allah SWT berfirman (dalam hadis qudsi), "Siapakah yang lebih menganiaya daripada orang yang pergi untuk mencipta seperti ciptaanku (melukis), maka hendaklah mereka menciptakan jagung, dan hendaklah menciptakan biji-bijian, atau hendaklah menciptakan gandum." (Muttafaq 'Alaih dari Abu Hurairah)
lni menunjukkan kesenjangan dan maksud untuk mengungguli ciptaan Allah SWT. Inilah rahasia tantangan Allah SWT terhadap mereka pada hari kiamat, saat dikatakan kepada mereka, "Hidupkanlah apa yang kalian ciptakan!," ini perintah untuk melemahkan, sebagaimana pendapat ahli ushul.

Gambar atau Lukisan Termasuk Fenomena Kemewahan

Jika gambar itu di jadikan sebagai sarana kemewahan, maka ini termasuk yang tidak diperbolehkan. Seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. di rumahnya.
'Aisyah r.a. meriwayatkan:

“Kami mempunyai kain gorden yang bergambar burung. Orang yang hendak masuk, tentu akan melihat kain gorden yang bergambar tersebut. Lalu Rasulullah s.a.w bersabda kepadaku: Gantilah kain gorden ini, kerana setiap kali aku masuk dan melihatnya aku menjadi ingat kepada dunia. Aisyah berkata: Kami mempunyai benang yang boleh kami katakan sutera, maka kami memakainya .” (Muttafaq 'Alaih)

Keterangan seperti dalam hadis ini "Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan kita," berarti itu tidak wajib dan tidak sunnah, tetapi lebih menunjukkan makruh tanzih. Sebagaimana dikatakan oleh imam Nawawi (di dalam syarh Muslim), bahwa rumah Rasulullah s.a.w. haruslah menjadi uswah dan teladan bagi manusia untuk dapat mengatasi keindahan dunia dan kemewahannya.
Ini dikuatkan oleh hadis ‘Aisyah lainnya, beliau mengatakan:

"Kami pernah mempunyai gorden yang bergambar burung, sehingga setiap orang yang mau ke rumah kami, dia selalu melihatnya (menghadap). Maka Rasulullah s.a.w. bersabda kepadaku, "Pindahkan gambar ini, sesungguhnya setiap aku masuk (ke rumah ini) aku melihatnya, sehingga aku ingat dunia." (Muttafaq’Alaih)

Di dalam hadis lain juga diriwayatkan oleh Qasim bin Muhammad, dari 'Aisyah r.a.:

“Sesungguhnya Nabi s.a.w pernah mendirikan sembahyang dengan memakai pakaian yang bercorak. Kemudian baginda bersabda: Aku merasa terganggu kerana corak yang ada pada baju ini. Bawalah baju ini kepada Abu Jahmin dan ambilkan untukku baju lain.” (Muttafaq ‘Alaih)
Ini semuanya menunjukkan bahwa kemewahan dan kenikmatan, termasuk makruh, bukan haram, tetapi Imam Nawawi mengatakan. "Ini difahami sebelum diharamkannya mengambil gambar, oleh karena itu Nabi s.a.w. masuk melihatnya, tetapi tidak mengingkarinya dengan keras." (Syarh Muslim)

Artinya Imam Nawawi berpendapat bahwa hadis-hadis yang zhahirnya haram itu menasakh (menghapus) terhadap hadis ini tetapi nasakh ini tidak bisa ditetapkan sekadar perkiraan. Karena penetapan nasakh seperti ini harus didukung oleh dua syarat; pertama, benar-benar terjadi pertentangan antara dua nash, yang tidak mungkin dikompromikan di antara keduanya, padahal masih mungkin dikompromikan, yaitu dengan maksud bahwa hadis-hadis yang mengharamkan itu artinya mengungguli ciptaan Allah SWT atau khusus untuk gambar yang berbentuk (yang memiliki bayangan).

Yang kedua, artinya harus mengetahui mana yang terakhir dari nash itu, padahal tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang diharamkan itu yang terakhir. Bahkan menurut pendapat Imam Thahawi di dalam kitab "Musykilul Atsar" sebaliknya, di mana mula-mula Islam sangat hersikap keras dalam masalah gambar, karena masih berdekatan dengan masa jahiliyah, kemudian diberikan keringanan untuk gambar-gambar yang tidak berbentuk, artinya yang menempel di kain dan lainnya.

Rasulullah saw. juga bersabda:

"Sesungguhnya rumah yang di dalamnya ada anjing dan gambar, tidak dimasuki malaikat." (Muttafaq 'Alaih dari Ibnu ‘Abbas)

Berkeluh-Kesah

KETIKA MANUSIA BERKACA DIRI

Oleh: Muhsin Hariyanto

Banyak hal yang menyita waktu manusia untuk mengumpat dan berkeluh-kesah, karena dirinya tak terpuaskan dengan keberadaannya. Kadang mereka pun menyapa Tuhan-nya dengan sumpah-serapah, seolah tak sadar bahwa ia telah mendapatkan kecukupan nikmat. Ia pun sering lupa untuk bersyukur atas semua karunia-Nya dan bersabar atas semua bentuk ujian-Nya.

“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat. Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya“. (QS al-Ma’arij, 70: 19-23).

Setiap tujuan tak pernah lepas dari proses yang mengawalinya. Terkadang proses itu begitu memberatkan, menyulitkan, dan melelahkan. Dalam keadaan seperti ini, biasanya manusia cenderung berkeluh kesah dan tidak sabar. Adakalanya manusia lupa untuk bersyukur atas semua Nikmat Tuhannya, padahal ia tak akan pernah sanggup menghitung seluruh nikmat Tuhan yang telah diberikan kepadanya.

Tuhan pun --- kata Rasulullah saw -- menjanjikan pahala bagi mereka yang mau dan ikhlas bersusah payah untuk menggapai kebaikan.
Dalam sebuah hadis disebutkan: bahwa ada seorang laki-laki yang tinggal amat jauh dari masjid.

Namun, ia tak pernah sekalipun melewatkan shalat berjamaah bersama dengan Rasulullah SAW di masjid tersebut. Meskipun ia harus berjalan kaki menempuh jarak yang cukup jauh, siang dan malam. Para sahabat merasa kasihan melihat kondisinya yang seperti itu setiap hari. Mereka mencoba memberikan solusi. ''Mengapa engkau tidak membeli seekor keledai yang bisa dikendarai di gelapnya malam dan teriknya siang?'' Laki-laki itu menjawab, ''Aku tidak ingin demikian. Aku ingin Allah SWT mencatat setiap langkahku ketika berangkat ke masjid, dan ketika kembali ke rumah.''

Rasulullah SAW yang mendengar hal itu berkata, ''Allah telah mengumpulkan semua kebaikan yang kau inginkan itu untukmu.'' (HR Muslim). Hadis di atas menjelaskan bahwa setiap lelah yang dirasakan seorang hamba demi melakukan suatu ibadah akan mendapatkan ganjaran yang setimpal berupa pahala dari Allah SWT, selama ia tidak berkeluh kesah dan ikhlas terhadap apa yang dijalankan.

Berkeluh kesah adalah sifat buruk yang tidak pantas dimiliki oleh seorang Muslim. Hanya orang-orang pilihanlah yang mampu menghindari sifat ini. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa menjalankan shalatnya, menginfakkan hartanya kepada orang yang berhak, meyakini adanya hari pembalasan, takut terhadap azab Allah SWT, menjaga kehormatannya, menjaga amanah, dan teguh pada kesaksiannya.

Dengan berusaha menjalankan hal-hal di atas, sifat keluh kesah dengan sendirinya akan hilang. Tujuan yang diinginkan dapat diperoleh dan kebahagiaan hidup dunia dan akhirat pun akan tercapai. Dan semuanya akan tergapai hanya dengan “shalat yang terjaga”.

Antara Simbol dan Substansi: "Mencari Moralitas-Intelektual Yang Hilang"

ANTARA SIMBOL DAN SUBSTANSI: Mencari Moralitas-Intelektual yang Hilang

Oleh: Muhsin Hariyanto

AHMAD TOHARI (Senin, 14 Maret 2005) menulis dalam “Resonansi”, kolom khusus Harian Republika, dengan judul yang mengisyaratkan keprihatinan: “KORUPSI DALAM GELAR SARJANA ASPAL”. Tidak ada yang luar biasa dari tulisan itu, kecuali satu hal, penulisnya mencermati bahwa di negeri kita tercinta ini telah terjadi kebohongan yang dibungkus rapi secara kosmetikal, dengan topeng serba indah yang bernama “gelar akademik” dan pada akhirnya memunculkan “kesombongan”.

Sarjana-sarjana dengan sebutan yang bermacam-macam itulah yang kemudian membekali diri dengan sikap percaya diri yang kadang-kadang berlebihan, bahkan terkesan over-confident. Sikap inilah yang sering kali menjadi sebab dari sekian banyak permasalahan moralitas di dunia pendidikan kita yang semakin memprihatinkan.

Dunia pendidikan kita, kini sering disuguhi tontonan moralitas-rendah para pendidiknya. Bukan hanya yang terungkap di media masa cetak dan elektronik saja, yang kadang-kadang kemasan-kemasannya sudah disunting dengan kepiawaian para penyuntinnya dengan berbagai macam kepentingan. Tetapi realitas-objektifnya tidak terlalu berbeda dengan apa yang sudah diungkap oleh media masa di negeri kita tercinta ini.

Mereka yang berulah dengan moralitas-rendah, bukanlah mereka yang tak bergelar akademik saja. Bahkan yang telah bergelar tertinggi pun sempat mempertontonkannya dengan vulgar. Saya pun sempat berkomentar lirih: “pada saatny gelar akademik apa pun tidak harus selalu bersenyawa dengan moralitas-tinggi”. Tetapi apa boleh buat, masyarakat kita masih suka dengan “gelar-gelar formal” itu, simbol-simbol yang tidak selalu mengisyaratkan isi. Hingga, Mas Ahmad Tohari pun sempat bergumam: “mengapa kita doyan betul dengan gelar? Mungkin kita adalah bangsa yang sangat suka dengan simbol. Dan gelar sarjana adalah simbol bagi orang yang berpendidikan, orang pandai. Siapa tidak suka dicitrakan sebagai orang pandai? Soal kenyataannya, urusan belakang.”

Dulu, ketika saya dan kawan-kawan se-almamater bersekolah di pojok barat kota Yogyakarta, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, pernah bertemu dengan seorang guru yang sama sekali tidak bergelar akademik. Nama sapaannya Pak AR; simplifikasi dari sebuah nama yang pernah menghiasi sejarah kepemimpinan umat Islam di negeri ini.

Pak AR, begitu guru saya itu biasa disebut oleh murid-muridnya yang dengan setia berkhidmat mendengarkan petuah-petuahnya yang terkesan sangat menyentuh kalbu para santrinya (untuk menyebut murid-murid beliau di sekolah ini) bukan seorang sarjana formal ‘keluaran’ sebuah perguruan tinggi mana pun. Beliau hanya seorang guru yang selalu belajar pada siapa pun, termasuk para santrinya di mana pundia berinteraksi dalam proses belajar-mengajar yang tidak selalu dibatasi oleh dinding penyekat. Apalagi penyekat simbolik yang bernama “gelar”.

Jangankan gelar akademik yang memang tidak beliau miliki; gelar kehormatan yang biasa diterakan oleh para santri terhadap gurunya pun tidak pernah beliau inginkan untuk disebut, apalagi ditulis. Beliau tidak suka dengan formalitas dan – apalagi – simbol-simbol yang terkadang diberhalakan.

Di ketika sang guru ini berinteraksi dengan para muridnya tidak pernah ada kesan ”kesombongan”, apalagi arogansi intelektual yang sering dipertontonkan oleh para penyandang gelar-akademik yang seringkali ‘mabuk’ dengan status dan simbol-simbolnya. Saya kira, bukan karena beliau tidak bergelar akademik, tetapi bagi beliau – barangkali - kesombongan dalam bentuk apa pun bukan sesuatu yang seharusnya dipertontonkan. Apalagi dalam proses pendidikan yang di samping membebankan keharusan bagi para pendidiknya untuk melakukan transfer of knowledge, juga transfer of value bagi siapapun yang dididiknya. Diperlukan keteladanan yang terus mengalir dari para pribadi pendidik di seluruh ruang pendidikan yang tidak terbatas.

Dari fakta historis ini, saya menjadi teringat ketika di sebuah seminar yang dihadiri oleh para pakar ‘bergelar’ akademik tertinggi para peserta yang terkagum-kagum oleh akrobat akademisi yang tampil sebagai pemakalah sekaligus – ada sebagian kecil – yang mengelus dada mencermati pernyataan-pernyataan mereka yang sangat berkesan “sangat arogan”, dengan lontaran-lontaran pemikiran yang disertai ‘bumbu-bumbu’ pelecehan terhadap pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan main-stream pemikiran mereka. Bahkan ada sebgai dari pernyataan mereka yang cenderung mendiskreditkan tanpa disertai basi-basi yang mengisyaratkan kesantunan. Saya pun menjadi terbawa untuk berkomentar lirih, sambil bertanya: “Di mana moralitas-intelektal mereka simpan, hingga tak keluar secuil pun di forum yang semestinya memerlukannya?”. Sudah saatnyakah sikap rendah-hati itu dibuang oleh mereka yang ‘merasa’ lebih dari orang lain?

Tawadhu’ atau rendah hati merupakan sifat terpuji yang mutlak dimiliki setiap individu Muslim. Orang yang memiliki sifat tawadhu’ pasti akan dicintai. Rasulullah SAW terkenal orang yang sangat tawadhu’, sehingga sangat dicintai oleh umatnya.

''Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.'' (QS Al-Furqan (25): 63).

Lawan dari sifat ini adalah takabbur. Imam Syafi'i berkata, ''Sikap tawadhu’ adalah akhlak orang-orang yang mulia, sedangkan takabbur adalah ciri dari orang-orang yang tercela.'' Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa yang tawadhu’ karena Allah niscaya Allah akan mengangkatnya (derajatnya). (HR Muslim).

Ada tiga ciri orang yang memiliki sifat tawadhu’:

Pertama, selalu memandang rendah dirinya sendiri, dalam makna bukan menganggap hina dirinya, namun merasa dirinya bukanlah orang yang sempurna, memiliki kekurangan, dan banyak melakukan kesalahan. Sehingga, dengan semua itu kita tidak akan menganggap remeh, menganggap lebih baik, dan lebih mulia daripada orang lain.

Kedua, menghargai orang lain. Muhammad SAW adalah orang yang sangat menghargai orang lain, khususnya para sahabat dan pengikutnya. Salah satu contoh konkretnya adalah pada waktu Perang Badar. Beliau menghentikan pasukan perang di dekat sebuah mata air. Seorang yang bernama Hubab bin Mundhir bin Jamuh (orang yang paling tahu tentang tempat itu) bertanya, ''Rasulullah apa alasan Anda berinisiatif untuk berhenti di tempat ini? Kalau ini merupakan wahyu dari Allah, maka kita tidak akan maju atau mundur setapak pun dari sini. Ataukah ini hanya pendapat Anda dan hanya merupakan taktik bertempur saja?''
Beliau menjawab, ''Ini sekadar pendapat saya dan merupakan taktik perang.'' Kemudian Hubab berkata lagi, ''Jika demikian, tidak tepat kita berhenti di sini. Mari kita beranjak (pindah) sampai ke tempat mata air terdekat dari mereka (musuh), lalu sumur-sumur kering yang berada di belakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi air sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, sementara mereka tidak.''
Dengan ketawadhu’annya, Rasulullah SAW menerima usulan itu, meskipun beliau adalah pemimpin tertinggi dalam peperangan ini.

Ketiga, menerima pembenaran dan nasihat dari orang lain. Kita adalah manusia yang tidak luput dari salah dan dosa, dan orang lain adalah penilai bagi perilaku kita. Maka, sudah sepantasnya kita sebagai hamba Allah SWT yang dhaif dan tidak sempurna menerima nasihat sebagai pembenaran atas perilaku kita yang salah.

Nah, menjadi apa dan siapa pun diri kita, di mana pun dan kapan pun, sudah siapkah kita menjadi muslim-sejati yang selalu siap bersikap tawadhu’?