Minggu, 30 September 2007

PENGENDALIAN SYAHWAT

PENGENDALIAN SYAHWAT DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN

Syahwat, yang sering diterjemahkan dengan hasrat seksual, sebenarnya memiliki pengertian yang jauh lebih luas. Dalam pengetian bahasa (Arab), syahwat dimaknai sebagai kecenderungan hati yang sulit terbendung kepada sesuatu yang bersifat inderawi dan materiil. Dalam fitrahnya, syahwat bukanlah sesuatu yang layak dibenci, namun merupakan karunia Allah yang harus dikendalikan, sehingga memiliki nilai tambah bagi setiap diri (pribadi) manusia. Ego (nafs) manusia bisa terbawa ke arah positif atau negatif, tergantung pada kemampuan setiap diri (pribadi) manusia untuk mengarahkannya. Oleh karenanya, menjadai tugas setiap manusia untuk mengarahkan syahwat ke arah yang serba positif dan mengendalikannya jangan sampai menuju ke arah yang serba negatif.

Al-Quran menyebut kata syahwat dalam pelbagai bentuk katanya. Dalam bentuk isim (kata benda) mufrad (syahwah) disebut dalam QS al-A’râf, 7: 81 dan QS an-Naml, 27: 55; dalam bentuk isim (kata benda) jama’ (syahawât) disebut dalam QS Âli ‘Imrân, 3: 14; QS an-Nisâ’, 4: 27 dan QS Maryam, 19: 59; sedang dalam bentuk fi’il (kata kerja) (isytahat) disebut dalam QS al-Anbiyâ’, 21: 102; (tasytahî) dalam QS Fushshilat, 41: 31; (tasytahîhi) dalam QS az-Zukhruf, 43: 71; (yasytahûn) dalam QS an-Nahl, 16: 57; QS Saba’, 34: 54; QS at-Thûr, 52: 22; QS al-Wâqi’ah, 56: 21 dan QS al-Mursalât, 77: 42.

Dalam bentuk isim (kata bendanya), syahwat berarti: melepaskan nafsu (QS al-A’râf, 7: 81); memenuhi nafsu (QS an-Naml, 27: 55); segala sesuatu yang diingini (QS Âli ‘Imrân, 3: 14); hawa nafsu (QS an-Nisâ’, 4: 27 dan QS Maryam, 19: 59). Sedang dalam bentuk kata kerjanya berarti: menikmati apa yang diingini (QS al-Anbiyâ’, 21: 102); yang kamu inginkan (QS Fushshilat, 41: 31); yang diingini (QS az-Zukhruf, 43: 71); apa yang mereka sukai (QS an-Nahl, 16: 57); yang mereka ingini (QS Saba’, 34: 54; QS at-Thûr, 52: 22 dan QS al-Mursalât, 77: 42); yang mereka inginkan (QS al-Wâqi’ah, 56: 21).



Menimbang Realitas

Taufiq Ismail, seorang budayawan dan penyair yang sangat peduli terhadap moralitas bangsanya pernah menulis sebuah artikel di majalah GATRA Nomor 7, yang beredar Kamis, 28 Desember 2006 dengan judul: ”13 Wajah Gerakan Syahwat Merdeka”.

Dia katakan bahwa di dalam gelombang reformasi yang membawa perubahan politik sewindu yang lalu, sebuah arus besar digerakkan oleh kelompok permisif dan adiktif menumpang masuk ke tanah air kita. Arus besar itu, sesuai karakteristiknya, tepat disebut sebagai gerakan syahwat merdeka. Tak ada sosok organisasi resminya, tapi jaringan kerja samanya mendunia, kapital raksasa mendanainya, ideologi gabungan melandasinya, dan banyak media massa jadi pengeras suaranya.

Menurutnya, ada tiga belas komponen dalam gerakan dengan seks sebagai jaringan pengikatnya ini:

Pertama adalah praktisi sehari-hari kehidupan pribadi dan kelompok dalam perilaku seks bebas hetero dan homo, terang-terangan dan sembunyi-sembunyi dan sebagian anti-pernikahan resmi.

Kedua, penerbit majalah dan tabloid mesum, yang telah menikmati tiada perlunya SIUPP. Mereka menjual wajah dan kulit perempuan muda, lalu menawarkan jasa hubungan kelamin pada pembaca pria dan wanita lewat nomor telepon genggam.

Ketiga, produser, penulis skrip, dan pengiklan acara televisi syahwat. Seks siswa dengan guru, ayah dengan anak, siswa dengan siswa, siswa dengan pria paruh baya, siswa dengan pekerja seks komersial --ditayangkan pada jam prime time, kalau pemainnya terkenal. Setiap tayangan televisi, rata-rata 170 juta orang yang memirsa.

Keempat, 4,200,000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100,000 (seratus ribu) situs porno Indonesia di internet. Dengan empat kali klik di komputer, anatomi tubuh perempuan dan laki-laki, sekaligus cara berfungsinya, dapat diakses gratis, sama mudahnya dilakukan baik dari San Francisco, Timbuktu, Rotterdam, maupun Sidoarjo.

Kelima, penulis, penerbit, dan propagandis buku syahwat 1/4 sastra dan 1/2 sastra. Di Malaysia, penulis yang mencabul-cabulkan karyanya penulis pria. Di Indonesia, penulis yang asyik dengan wilayah selangkang dan sekitarnya mayoritas penulis perempuan. Ada kritikus sastra Malaysia berkata: "Wah, Pak Taufiq, pengarang wanita Indonesia berani-berani. Kok, mereka tidak malu, ya?" Memang begitulah, RASA malu itu yang sudah terkikis, bukan saja pada penulis-penulis perempuan aliran s.m.s. (sastra mazhab selangkang) itu, melainkan juga pada banyak bagian dari bangsa.

Keenam, penerbit dan pengedar komik cabul. Komik yang kebanyakan terbitan Jepang yang diterjemahkan itu tampak di kulit luar biasa saja, tapi di dalamnya banyak gambar hubungan badannya, misalnya (bukan main) antara siswa dan Bu Guru. Harganya Rp 2.000.

ketujuh, produsen, pengganda, pembajak, pengecer, dan penonton VCD/DVD biru. Indonesia kini jadi surga besar pornografi paling murah di dunia. Angka resmi produksi dan bajakan 2 juta-20 juta keping setahun. Harga yang dulu Rp 30.000 sekeping, kini turun menjadi Rp 3.000. Luar biasa murah. Anak-anak SMA, SMP, bahkan SD kita bisa membelinya tanpa risi karena tak ada larangan peraturan pemerintah. Sesudah menonton, mereka ingin mencobakannya, dan akhirnya bisa terlibat prostitusi dan/atau aborsi.

Kedelapan, pabrikan dan konsumen alkohol. Minuman keras dari berbagai merek dengan mudah bisa diperoleh di pasaran. Kemasan botol kecil diproduksi, mudah masuk kantong celana, harga murah, dijual di kios tukang rokok di depan sekolah, remaja dengan bebas bisa membelinya. Di Amerika dan Eropa, batas umur larangan di bawah 18 tahun.

Kesembilan, produsen, pengedar, dan pengguna narkoba. Tingkat keterlibatan Indonesia bukan pada pengedar dan pengguna saja, bahkan kini sampai pada derajat produsen dunia. Enam juta anak muda Indonesia terperangkap dan ratusan ribu menjadi korbannya.

Kesepuluh, pabrikan, pengiklan, dan pengisap nikotin. Korban racun nikotin 57.000 orang per tahun, maknanya setiap hari 156 orang mati, atau setiap sembilan menit seorang pecandu rokok meninggal. Pemasukan pajak Rp 15 trilyun (1996), tapi ongkos pengobatan berbagai penyakit akibatnya Rp 30 trilyun. Mengapa alkohol, narkoba, dan nikotin termasuk dalam kategori kontributor arus syahwat merdeka ini? Karena sifat adiktifnya, kecanduannya, yang sangat mirip, begitu pula proses pembentukan ketiga adiksi tersebut dalam susunan saraf pusat manusia. Dalam masyarakat permisif, interaksi antara seks dan alkohol, narkoba dan nikotin, akrab sekali. Interaksi ini kemudian berlanjut dengan tindak kriminal berikutnya: pemerasan, perampokan, sampai ke titik puncaknya pembunuhan.

Kesebelas, pengiklan perempuan dan laki-laki panggilan. Dalam masyarakat permisif, iklan semacam ini menjadi jembatan komunikasi yang diperlukan.

Keduabelas, germo dan pelanggan prostitusi. Apabila hubungan syahwat suka-sama-suka yang gratis tidak tersedia, hubungan dalam bentuk perjanjian bayaran merupakan jalan keluarnya. Dalam hal ini, prostitusi berfungsi.

Ketigabelas, dokter dan dukun praktisi aborsi. Akibat kombinasi berbagai faktor di atas, kasus pemerkosaan dan kehamilan di luar pernikahan meningkat drastis.

Seorang peneliti dari sebuah universitas di Jakarta menyebutkan bahwa angka aborsi di Indonesia 2,2 juta setahun. Maknanya setiap 15 detik seorang calon bayi di suatu tempat di negeri kita meninggal akibat dari salah satu atau gabungan faktor-faktor di atas. Inilah produk akhirnya.

Luar biasa destruksi sosial yang dilakukan Gerakan Syahwat Merdeka ini, yang ciri kolektifnya adalah budaya malu yang telah kikis nyaris habis dalam diri mereka.

Apa Kata al-Quran?

Setiap manusia, dalam pandangan al-Quran. Memiliki fitrah untuk mencintai sesuatu yang didambakan. Mereka ingin memiliki, menguasai, meraih, menikmati dan memanfaatkan sesuatu yang mereka pandang indah dan menarik bagi dirinya, tanpa kecuali.

Disebutkan -- misalnya -- dalam QS Âli ‚’Imrân, 3: 14:

z`Îiƒã— Ĩ$¨Z=Ï9 =ãm ÏNºuqyg¤±9$# šÆÏB Ïä!$¡ÏiY9$# tûüÏZt6ø9$#ur ÎŽÏÜ»oYs)ø9$#ur ÍotsÜZs)ßJø9$# šÆÏB É=yd©%!$# ÏpžÒÏÿø9$#ur È@ø‹y‚ø9$#ur ÏptB§q¡ßJø9$# ÉO»yè÷RF{$#ur Ï^öysø9$#ur 3 šÏ9ºsŒ ßì»tFtB Ío4qu‹ysø9$# $u‹÷R‘‰9$# ( ª!$#ur ¼çny‰YÏã ÚÆó¡ãm É>$t«yJø9$#
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

Dalam ayat ini Allah menyebutkan kata zuyyina (dijadikan indah) dalam bentuk pasif. Selanjutnya menyebut kata linnâs (bagi manusia) dengan memakai alif-lâm yang dikaitkan dengan kata an-nâs, dengan didahului huruf lâm yang berarti milk (kepunyaan).

Kata kerja pasif itu mengisyaratkan arti pentingnya sesuatu yang disebut, yaitu kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yang di dalam ayat ini disebutkan dengan rinci ada 6 (enam) macam. Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Enam hal tersebut dengan ihtibâknya (sesuatu yang secara tersirat bisa dipahami termasuk dalam sebutan yang berjumlah enam, yaitu hal-hal yang terkait dengan keenam macam atau bisa dipahami ada dalam keenam macam yang disebutkan) merupakan seutu yang menarik bagi setiap manusia. Dan disilah setiap manusia diuji.

Dalam kaitannya dengan pengujian terhadap hambanya, Allah menyedediakan keenam macam perhiasan dunia yang seringkali membuat manusia terkecoh dan tergelincir oleh godaan setan. Sehingga dirinya menjadi tidak mampu lagi berdzikir dengan benar. Dan di saat inilah manusia benar-benar dapat menunjukkan jati dirinya: apakah dia bisa bersyukur atau kufur terhadap nikmat Allah.

Manajemen Syahwat

Dalam ayat yang lain, Allah menjelaskan betapa sulitnya manusia memenej syahwatnya, sehingga mereka banyak yang tergelincir ke lembah kehinaan karena godaan dari lingkungan sosialnya.

Dalam QS an-Nisâ’, 4: 27 Allah menyatakan:

وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا
Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa godaan setan itu tak pernah padam, dan setan akan selalu berusaha menggoda setiap manusia dengan segala cara. Oleh karenanya, bertaubat menjadi solusi bagi setiap orang yang pernah tergelincir. Dan tentu sja yang dimaksudkan dengan taubat di sini adalah taubatan nasûhâ.

Sejarah telah membuktikan kegagalan kaum Luth dalam memenej syahwatnya, sehingga mereka tergelincir ke dalam budaya liwâth (homo seksual dan lesbian). Dan bagaimana contoh kasus Yusuf a.s. dan Zulaikha yang sangat indah mempertontonkan drama cinta seorang wanita terhadap lelaki pujaan hatinya yang dikarunia iman yang kokoh. Dalam kasus tersebut Zulaikha dipersonifikasikan sebagai wanita yang gagal memenej syahwatnya, sedang Yusuf a.s. digambarkan sebagai sosok-tegar yang berhasil memenej syahwatnya; dan akhirnya berkesudahan dengan happy-ending.

Dalam kisah ini, kita diberi pelajaran untuk menjadi Yususf-Yusuf yang lain di tengah godaan Zulaikha-Zulaikha yang mungkin saja tengah hadir di seputar kita. Dan bagi para wanita, janganlah menjadi Zulaikha-Zulaikha lain yang selalu mempertoontonkan keindahan yang bisa jadi akan menggoda Yusuf-Yusuf yang lain.

Dan dalam kisah Kaum Luth, kita bisa mengambil pelajaran bahwa ketika hawa nafsu telah dipertuhankan oleh siapa pun, maka setiap manusia akan manjadi budaknya (budak syahwatnya). Sebaliknya, ketika iman dibingkai dengan semangat tauhid, maka ia pun akan menjadi raja (malik) syahwatnya, yang akan dikuasainya kapan dan di mana pun ia berada. Tentu saja kita tidak pernah berkeinginan menjadi duplikat Kaum Luth yang Gagal memenej syahwat. Dan bahakan kita ingin menjadi trend-setter, seperti Luth yang tegar di tengah dekadensi moral umatnya.

Natîjah

‘Manajemen Qalbu’ yang digagas dan dipopulerkan oleh Aa’ Gym bisa dikembangkan menjadi ‘Manajemen Syahwat’, atau bait lagunya ”jagalah hati jangan kau kotori, jagalah hati lentera hidup ini” bisa diubah menjadi ”jagalah syahwatmu jangan kau turuti; kalau kau turuti, akan menyesal nanti.“

Hati manusia akan bisa berbolak-balik, di ketika manusia menghadapi persoalan hidup yang selalu berubah. Di ketika ia berada dalam situasi dan kondisi yang sangat mendukung, ia pun akan dekat dengan Sang Khaliq. Namun, bila ia berada dalam lingkaran setan yang sangat menggoda, belum tentu ia akan mampu berdzikir.

Oleh karena, solusi terbaiknya adalah: Jauhi tapak-tapak setan yang siap menghadang, dan dekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak dzikr; bukan dengan sekadar mengucap kata Allah dengan seluruh derivasinya, namun benar-benar menambatkan hati pada diri-Nya dalam setiap kesempatan.



Muhsin Hariyanto

FIKIH MAZHAB INDONESIA

FIKIH MAZHAB INDONESIA

Seorang pemikir Islam garda depan dari Maroko, Dr. Muhammad Abid Al-Jabiri, menyebut peradaban Islam sebagai peradaban fikih (Takwîn Al-‘Aql Al-‘Arabi, hal. 96). Pernyataan ini tentu bukan isapan jempol belaka. Setidaknya bila ditinjau dari tiga hal berikut:

Pertama, fikih sangat dekat dengan umat Islam. Dapat dipastikan di setiap rumah umat Islam terdapat apa yang namanya kitab fikih. Kitab fikih dianggap menghidangkan suguhan siap saji.

Kedua, fikih menjadi pedoman hidup. Dalam setiap permasalahan yang ada, umat Islam selalu menggunakan perspektif fikih.

Ketiga, fikih merupakan salah satu warisan ilmu keislaman terkaya. Terdapat sekian ratus, atau bahkan ribuan, kitab fikih. Sebagaimana juga terdapat sekian banyak ulama fikih. Bahkan, masing-masing kota mempunyai fikihnya sendiri. Madinah, Bashrah, Kufah, Baghdad, Andalusia, Mesir dan yang lainnya terkenal sebagai kota-kota fikih pada masanya.

Aliran-aliran fikih di atas bisa disederhanakan menjadi dua kategori. Yaitu aliran tekstualis dan aliran rasionalis. Aliran tekstualis berpusat di Madinah atau Hijaz dengan menampilkan Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai tokoh-tokoh garda depan. Sedangkan aliran rasionalis berpusat di Bashrah dan kota-kota Irak lain pada umumnya dengan menampilkan Imam Abu Hanifah sebagai tokoh utama.

Kekuatan utama aliran tekstualis adalah teks. Baik teks dalam arti al-Quran, Hadis, atau pun perkataan sahabat Nabi. Hal ini bisa dipahami, mengingat kota Madinah, pusat aliran tekstualis, merupakan “istana teks”. Di kota Nabi ini, sebagian ayat al-Quran diturunkan. Dan di kota ini pula, perkataan, perbuatan, dan sepak terjang Nabi secara umum terekam dengan sangat jelas. Terlebih lagi dengan banyaknya para sahabat yang bermukim di kota tersuci kedua setelah Mekkah itu. Para sahabat bagaikan pita yang merekam “sepak terjang” al-Quran dan Hadis di kota ini dengan cukup sempurna.

Adapun aliran rasionalis menjadikan akal sebagai kekuatan utama mereka. Aliran ini berpusat di Irak dan kota-kota besar di sana pada umumnya. Dari segi intelektualitas, Irak memang tidak kalah dari Madinah dan kota-kota terkenal lain saat itu. Namun dari segi teks keislaman, Irak tidak ada apa-apanya dibandingkan kota Nabi itu. Madinah “bermandikan” teks, sedangkan Irak “gersang” dari teks. Madinah bertaburan para sahabat, sedangkan Irak hanya dikunjungi sebagian kecil sahabat Nabi. Itu pun di masa belakangan, yaitu di masa kekuasaan Utsman (penguasa ketiga dalam Islam) ketika beliau menganulir kebijakan khalifah kedua (Umar bin Khattab) yang melarang sahabat Nabi agar tidak keluar dari kota Madinah.

Sementara teks-teks keislaman terbatas, berbagai macam permasalahan terus menumpuk di
Irak. Masalah-masalah itu seakan tak memahami kondisi Irak yang “krisis teks”. Dari sini kemudian, para ulama Irak menggunakan kekuatan akal/ rasionalisasi yang tak kalah hebatnya daripada teks. Bahkan, dalam beberapa hal, aliran rasionalis menjadikan akal sebagai penyaring teks-teks yang ada untuk mendapatkan teks yang murni dan “jernih”. Itu sebabnya, hadis lemah (dhaif) dan sejenisnya tak terlalu banyak di Irak.

Pertanyaannya adalah, dimana letak fikih yang berkembang di Indonesia dari dua aliran besar di atas? Sebagaimana dimaklumi, mayoritas muslim Indonesia mengikuti mazhab Imam Syafi’i. Itu berarti, fikih yang dikenal pertama oleh bangsa ini adalah fikih tekstualis. Mengapa fikih tekstualis? Karena fikih tekstualis sangat dikenal oleh banyak ulama Indonesia. Di samping juga karena sumber-sumber non-Syafi’i jarang diakses di Indonesia.

Dengan demikian, kondisi Indonesia, kurang lebih sama dengan kondisi Irak pada masa awal Islam. Keduanya sama-sama kekurangan teks; Irak kekurangan teks keislaman, Indonesia kekurangan teks non-Syafi’i. Keduanya pun sama-sama bersikap sesuai dengan kondisinya masing-masing; Irak memilih jalur rasional, karena itu merupakan potensi utama yang ada. Sedangkan Indonesia memilih mazhab Syafi’i, karena memang teks mazhab inilah yang banyak tersebar di tanah air. Oleh karenanya, sejujurnya, fikih yang berkembang di tanah air selama ini, bukanlah fikih mazhab Indonesia. Melainkan fikih Hijaz, fikih Madinah, atau fikih Imam Syafi’i.

Untuk masa-masa awal sejarah Islam di Indonesia, hal ini mungkin bisa dipahami. Karena kondisinya tak memungkinkan untuk mendapatkan yang lebih. Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan era sekarang? Di mana eranya sangat terbuka, dan memberikan jalur akses kepada apa, siapa dan dimana pun. Mampukah semua potensi yang ada ini merumuskan fikih mazhab Indonesia?

Menurut hemat saya, fikih mazhab Indonesia sudah menjadi keharusan yang mendesak. Selain karena alasan sosio-kultural, juga karena alasan historis. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, fikih selalu sesuai dengan kondisi dan karakter masing-masing daerah. Fikih mazhab Indonesia bisa dirumuskan dengan mereformulasi dasar-dasar hukum Islam. Reformulasi ini sangat penting untuk “menjinakkan” kearaban fikih.

Dalam kitabnya berjudul Nahwa Fiqhin Jadid (menuju fikih baru) pembaharu sejati dalam dunia fikih, Gamal Albanna membahas tuntas masalah reformulasi dasar hukum Islam ini. Menurutnya, dasar-dasar hukum Islam adalah akal, nilai-nilai universal al-Quran, sunnah dan adat/kebiasaan. Hal ini merupakan reformulasi dari dasar hukum Islam yang dirumuskan para pakar fikih sebelumnya, yaitu al-Quran, Hadis, Ijma’ dan Qiyas.

Dasar hukum Islam seperti di atas memberikan porsi yang sangat besar bagi kemaslahatan lokal (termasuk Indonesia) dengan segala keragaman kultur dan agama di dalamnya. Dengan akal, fikih Indonesia bisa diarahkan untuk selalu berpihak kepada maslahat kabangsaan dan kemanusiaan. Sedangkan nilai-nilai universal al-Quran bisa dijadikan acuan nilai bersama oleh semua anak bangsa. Walaupun berbeda agama. Karena al-Quran sebagai nilai tidak akan pernah bertentangan dengan ajaran kitab suci agama lain. Semua kitab suci membawa nilai kebaikan, kemaslahatan dan mempunyai tujuan yang sama pula, yaitu kerahmatan global.

Pada tahap ini, fikih mazhab Indonesia sangat membutuhkan arahan dari sunnah sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad. Dengan sunnah kita bisa memahami, bagaimana Nabi menjadikan ajaran agama untuk maslahat kebangsaan dan kemanusiaan. Dengan sunnah, kita bisa memahami bagaimana Nabi meracik tuntunan ilahi hingga tidak bertentangan dengan tradisi yang ada. Dan dengan sunnah pula, kita bisa memahami pentingnya merawat dan melestarikan kebiasaan atau adat-istiadat lokal. Oleh karenanya, tidak berlebihan bila kebiasaan lokal atau tradisi dijadikan sebagai dasar hukum Islam dalam fikih mazhab Indonesia.
Dari empat dasar hukum di atas, kita bisa merilis beberapa problem bangsa sebagai pembahasan utama dalam fikih mazhab Indonesia.

Pertama, problem kebangsaan. Permasalahan ini sangat darurat dan mendesak. Bila tidak, Indonesia sebagai bangsa hanyalah nama yang hampa makna. Apalah arti sebangsa, bila di antara warganya masih saling curiga, saling hujat, bahkan saling menafikan. Baik karena alasan kultur, mazhab, atau bahkan aliran. Fikih mazhab Indonesia harus membahas tuntas dan menyelesaikan problem ini.

Kedua, problem keumatan. Semua agama bertujuan untuk menciptakan dan menjaga kemaslahatan umat. Dengan menjadikan problem keumatan sebagai pembahasan utama, fikih mazhab Indonesia hakikatnya telah menjadikan dirinya sebagai fikih yang terbuka bagi semua agama yang diakui eksistensinya di Indonesia. Fikih mazhab Indonesia hendak mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia sebagai satu umat. Hingga tidak ada lagi istilah, ini masalah umat tertentu, suku tertentu atau bahkan agama tertentu. Satu permasalahan di negri ini, berarti permasalahan semua anak bangsa. Karena kita satu umat, yaitu umat Indonesia.

Ketiga, problem keragaman. Harus diakui, keragaman masih kerapkali menjadi masalah serius bagi bangsa ini. Baik keragaman budaya, bahasa, aliran, atau bahkan agama. Kita belum mampu menjadikan keragaman sebagai spirit untuk saling memahami dan saling mengisi. Padahal, keragaman merupakan keniscayaan hidup. Bahkan, keragaman telah menjadi pilar utama bagi tegaknya bangsa ini. Menentang keragaman di negeri ini, berarti menentang diri sendiri. Dan, melakukan kekerasan karena keragaman, berarti menyakiti dan melukai diri sendiri.

Di sinilah urgensi fikih kita, fikih mazhab Indonesia. Dengan fikih mazhab Indonesia, mari selesaikan tumpukan masalah bangsa. Tak ada gunanya meributkan fikih “orang lain”. Apalagi sampai mengabaikan “fikih kita”.

Cukuplah fikih kita untuk menyelesaikan masalah kita.

BERJIHAD MENGHADAPI MUSUH

BERJIHAD MENGHADAPI MUSUH

Allah Swt memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan dan mengatur strategi menghadapi musuh sebelum berjihad. Salah satu hal yang membantu tercapainya kemenangan adalah pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan musuh, serta tipu dayanya. Karena itu pula al-Quran banyak menguraikan sifat-sifat setan, nafsu manusia, orang kafir, dan orang munafik. Al-Quran dan hadis Nabi Saw. juga memberi petunjuk tentang cara menghadapi setan dan nafsu manusia, serta petunjuk mengenai batasan-batasan jihad dengan menggunakan senjata.
Berjihad Menghadapi Setan dan Nafsu
Kita semua sudah maklum, bahwa sumber segala kejahatan adalah setan yang sering menggunakan kelemahan nafsu manusia. Setan adalah nama yang paling populer di antara nama-nama si perayu kejahatan. Begitu populernya sehingga menyebut namanya saja. terbayanglah. kejahatan itu. Nama setan dikenal dalam ketiga agama samawi: Yahudi, Nasrani dan Islam. Konon kata setan berasal dari bahasa Ibrani. yang berarti "lawan/musuh". Tetapi, barangkali juga berasal dari bahasa Arab, syaththa yang berarti "tepi", dan syatha yang berarti "hancur dan terbakar", atau syathatha yang berarti "melampaui batas".
Setan, karena jauh dari rahmat Allah, akan hancur dan terbakar di neraka. Setan selalu di tepi, memilih yang ekstrem dan melampaui batas. Bukankah seperti sabda Nabi saw. , "Khair al-umûri ausâthuhâ" (Sebaik-baik sesuatu itu adalah yang moderat, yang di tengah) Demikian halnya kedermawanan yang berada di antara keborosan dan kekikiran, dan keberanian berada di tengah antara takut dan ceroboh. Konon kata devil di dalam bahasa Inggris terambil dari kata do yang berati melakukan dan evil yang berarti kejahatan. Dengan demikian setan adalah "yang melakukan kejahatan."
Setan terjahat bernama Iblis. Sebagian pakar Barat berpendapat bahwa kata Iblis asalnya adalah dari bahasa Yunani Diabolos yang mengandung arti memasuki dua pihak untuk menghasut dan memecah belah. Diabolos adalah gabungan Dia yang berarti ketika, dan Ballein yang berarti melontar. Hingga kemudian secara majazi berarti demikian. Dari bahasa Arab, Iblis diduga terambil dari akar kata ablasa yang berarti putus harapan, karena Iblis telah putus harapannya masuk ke surga. Demikian tulis Abbas al-’Aqqad dalam bukunya, Iblis.
Yang jelas Allah Swt. tidak menciptakan setan secara sia-sia. Sejak manusia mengenalnya, sejak itu pula terbuka lebar pintu kebaikan bagi manusia, karena dengan mengenalnya, dan mengetahui sifat-sifatnya, manusia dapat membedakan yang baik dan yang buruk, bahkan dapat mengenal substansi kebaikan. Kebaikan bukan sekadar sesuatu yang tidak jelek atau jahat, bukan pula sekadar lawan kejelekan atau kejahatan. Wujud kebaikan baru nyata pada saat kejahatan yang adaitu diabaikan, lalu dipilihlah yang baik. Itu sebabnya manusia melebihi malaikat, karena kejahatan tidak dimiliki malaikat, sehingga mereka tidak dapat tergoda. Manusia dapat menjadi setan pada saat ia enggan memilih yang baik lalu merayu yang lain untuk memilih kejahatan.
tA$s% !$yJÎ6sù ‘ÏZoK÷ƒuqøîr& ¨by‰ãèø%V{ öNçlm; y7sÛºuŽÅÀ tLìÉ)tFó¡ãKø9$# ÇÊÏÈ §NèO Oßg¨Yu‹Ï?Uy .`ÏiB Èû÷üt/ öNÍk‰É‰÷ƒr& ô`ÏBur öNÎgÏÿù=yz ô`tãur öNÍkÈ]»yJ÷ƒr& `tãur öNÎgÎ=ͬ!$oÿw¬ ( Ÿwur ߉ÅgrB öNèdtsVø.r& šúï̍Å3»x© ÇÊÐÈ
16. Iblis menjawab: "Karena Engkau Telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus,
17. Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (QS Al-A'raf [7]: 16-17).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setan akan menghadang dan merayu manusia dari empat penjuru: depan, belakang, kanan dan kiri. Sehingga tinggal dua penjuru yang aman, yaitu arah atas: “lambang kehadiran Allah Swt. “, dan arah bawah: “lambang kesadaran manusia“ akan kelemahannya di hadapan Allah Swt. Manusia harus berlindung kepada Allah, sekaligus menyadari kelemahannya sebagai makhluk, agar dapat selamat dari godaan dan rayuan setan.
Ulama-ulama menggambarkan godaan setan seperti serangan virus, yaitu seseorang tidak akan terjangkiti olehnya selama memiliki kekebalan tubuh. Imunisasi menjadi cara terbaik untuk memelihara diri dari penyakit jasmani. Kekebalan jiwa diperoleh saat berada di arah "atas" maupun "bawah". Al-Quran surat an-Nisa ayat 76 menggarisbawahi bahwa:
tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä tbqè=ÏG»s)ム’Îû È@‹Î6y™ «!$# ( tûïÏ%©!$#ur (#rãxÿx. tbqè=ÏG»s)ム’Îû È@‹Î6y™ ÏNqäó»©Ü9$# (#þqè=ÏG»s)sù uä!$u‹Ï9÷rr& Ç`»sÜø‹¤±9$# ( ¨bÎ) y‰øŠx. Ç`»sÜø‹¤±9$# tb%x. $¸ÿŠÏèÊ
Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, Karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.
Ini tentu bagi mereka yang memiliki kekeba1an jiwa. Ini menjadi dasar al-Quran memerintahkan manusia untuk ber-ta'awwudz memohon perlindungan- Nya saat terasa ada godaan, sebagaimana dalam berjihad seorang Muslim dianjurkan banyak berzikir, antara lain dengan menyebut atau memekikkan ka1imat takbir "Allahu Akbar".
Al-Quran surat terakhir menggambarkan setan sebagai al-waswas, al-khannas. Kata al-waswas pada mulanya berarti suara yang sangat halus, lantas makna ini berkembang hingga diartikan bisikan-bisikan hati. Biasanya digunakan untuk bisikan-bisikan negatif. karena itu sebagian ulama tafsir memahami kata ini sebagai setan. Menurut mereka setan sering membisikkan rayuan dan jebakannya ke dalam hati seseorang.
Kata al-khannas terambil dari kata khanasa yang berarti kembali, mundur, melempem, dan bersembunyi. Dalam surat An-Nas kata tersebut dapat berarti: (a) Setan kembali menggoda manusia pada saat manusia lengah dan melupakan Allah, atau (b) Setan mundur dan melempem pada saat manusia berzikir dan mengingat Allah.
Pendapat kedua ini didukung hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari -walaupun dalam bentuk mu 'allaq berasal dart Ibnu Abbas- yang berkata bahwa Nabi Saw. bersabda,
إِنَّ الشّيْطَانَ جَاَثِمٌ عَلَى قَلْبِ ابْنِ آدَمَ فَإِذَا غَفِلَ وَسْوَسَ وَإِذَا ذَكَرَ اللهَ خَنَسَ
Sesungguhnya setan itu bercokol di hati putra Adam. Apabila ia berzikir, setan itu mundur menjauh, dan bila ia lengah, setan berbisik.
Ini berarti bahwa setan dapat mundur dan melempem, atau bersembunyi, jika manusia melakukan zikir kepada Allah.
Di atas telah dikemukakan bahwa setan, baik dari jenis jin dan manusia selalu berupaya untuk membisikkan rayuan dan ajakan negatif, yang dalam surat An-Nas disebut yuwaswisufi shudurin-nas. Dalam konteks ini, Al-Quran mengingatkan:
$¨BÎ)ur š¨Zxîu”\tƒ z`ÏB Ç`»sÜø‹¤±9$# Øø÷“tR õ‹ÏètGó™$$sù «!$$Î/ 4 ¼çm¯RÎ) ìì‹ÏJy™ íOŠÎ=tæ ÇËÉÉÈ žcÎ) šúïÏ%©!$# (#öqs)¨?$# #sŒÎ) öNåk¡¦tB ×#Í´¯»sÛ z`ÏiB Ç`»sÜø‹¤±9$# (#r㍞2x‹s? #sŒÎ*sù Nèd tbrçŽÅÇö7•B ÇËÉÊÈ
200. Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada ِِAllah[1] Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
201. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari saitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. (QS Al-A'raf [7]: 200-201)
Tidak mudah membedakan antara rayuan setan dan nafsu manusia. Ulama-ulama. khususnya para sufi, menekankan bahwa pada hakikatnya manusia tidak mengetahui gejolak nafsu dan bisikan hati. kecuali bila dapat melepaskan diri dari pengaruh gejolak tersebut. Al- Tustari seorang sufi agung menyatakan:
Tidak mengetahui bisikan syirik kecuali orang Muslim. tidak mengetahui bisikan kemunafikan kecuali orang Mukmin. demikian juga bisikan kebodohan kecuali yang berpengetahuan. bisikan kelengahan kecuali yang ingat. bisikan kedurhakaan kecuali yang taat, dan bisikan dunia kecuali dengan amalan akhirat.
Bisikan-bisikan tersebut dapat ditolak dengan jihad. yang dilakukan dengan menutup pintu-pintu masuknya. atau dengan mematahkan semua kekuatan kejahatannya. Banyak pintu masuk bisikan negatif ke dalam dada manusia, antara lain:
Ambisi yang berlebihan dan prasangka buruk terhadap Tuhan. Ini melahirkan budaya mumpung serta kekikiran. Pintu masuk tersebut dapat ditutupi dengan keyakinan terhadap kemurahan Ilahi. serta rasa puas terhadap hasil usaha maksimal yang halal.
Gemerlap duniawi. Pintu ini dapat tertutup dengan sikap zuhud dan kesadaran ketidakkonsistenan kehidupan duniawi. Di siang hari Anda dapat melihat seorang kaya, berkuasa, atau cantik, dan menarik. tetapi pada sore hari semuanya dapat hilang seketika.
Merasa lebih dari orang lain. Setan biasanya membisikkan kalimat-kalimat yang mengantarkan mangsanya merasa bahwa yang telah dan sedang dilakukannya adalah benar dan baik. Pintu masuk ini dapat dikunci dengan kesadaran bahwa penilaian Tuhan ditetapkan dengan memperhatikan keadaan seseorang hingga akhir usianya.
Memperkecil-dosa atau kebaikan. Sehingga mengantarkan yang bersangkutan melakukan dosa dengan alasan dosa kecil. atau enggan berbuat baik dengan alasan malu karena amat sederhana. Ini mesti ditampik dengan menyadari terhadap siapa dosa dilakukan. yakni terhadap Allah. Juga kesadaran bahwa Allah tidak menilai bentuk perbuatan semata-mata. tetapi pada dasarnya menilai niat dan sikap pelaku.
Riya' (ingin dipuji baik sebelum. pada saat. maupun sesudah melakukan satu aktivitas) . Hal ini dihindari dengan menyadari bahwa Allah tidak akan menerima sedikit pun amal yang dicampuri pamrih.
Sufi besar Al-Muhasibi menjelaskan bahwa setan amat pandai menyesuaikan bisikannya dengan kondisi manusia yang dirayunya. Orang-orang durhaka digodanya dengan mendorong yang bersangkutan meninggalkan ketaatan kepada Allah dan dibisikan kepadanya bahwa perbuatannya (yang buruk) adalah baik/indah. Upaya setan itu biasanya langsung mendapat sambutan mangsanya.
Adapun terhadap orang yang taat kepada Allah, bisikan setan dilakukan dengan cara mendorong agar menmggalkan amalan-amalan sunah dengan berbagai dalih, misalnya, letih atau mengganggu konsentrasi saat mengamalkannya, bahkan menimbulkan pikiran-pikiran yang dapat mengurangi nilai amal ibadah, Hal-hal tersebut dapat di tampik dengan zikir, meningat Allah. melaksanakan tuntunan-tuntunannya. serta menyadari kelemahan. dan kebutuhan manusia kepada-Nya. .
Di sisi lain perlu diingat bahwa kemiskinan. kebodohan. dari penyakit merupakan senjata-senjata setan sekaligus menjadi ,iklim yang mengembangbiakkan virus-virus kejahatan .
ß`»sÜø‹¤±9$# ãNä.߉Ïètƒ tø)xÿø9$# Nà2ããBù'tƒur Ïä!$t±ósxÿø9$$Î/ ( ª!$#ur Nä.߉Ïètƒ ZotÏÿøó¨B çm÷ZÏiB WxôÒsùur 3 ª!$#ur ììÅ™ºur ÒOŠÎ=tæ
Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia[2]. dan Allah Maha luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui. (QS Al-Baqarah [2]: 268).
Penyakit juga merupakan senjata setan. Perhatikan keluhan Nabi Ayyub a.s.yang diabadikan Al-Quran pada QS Shad [38] : 41 ketika menderita penyakit menahun.
öä.øŒ$#ur !$tRy‰ö7tã z>q•ƒr& øŒÎ) 3“yŠ$tR ÿ¼çm­/u‘ ’ÎoTr& zÓÍ_¡¡tB ß`»sÜø‹¤±9$# 5=óÁãZÎ/ A>#x‹tãur
Dan ingatlah akan hamba kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: "Sesungguhnya Aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan (penyakit)".
Kebodohan juga merupakan senjata dan lahan subur bagi setan untuk memberi janji-janji kepada manusia:
öNèd߉Ïètƒ öNÍkŽÏiYyJãƒur ( $tBur ãNèd߉Ïètƒ ß`»sÜø‹¤±9$# žwÎ) #·‘ráäî
Syaitan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal syaitan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka. (QS Al-Nisa' [4]: 120).
Manusia dituntut berjihad melawan segala macam rayuan setan. menyiapkan iklim dan lokasi yang sehat untuk menghalangi tersebarnya wabah dan virus yang diakibatkan olehnya. Selanjutnya yang akan terjangkiti penyakit hati adalah orang kafir dan munafik. Al-Quran dan Sunnah menjelaskan cara menghadapi mereka. Intinya dijelaskan oleh sabda Nabi Saw.,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
Siapa yang melihat kemungkaran hendaklah dicegahnya dengan tangannya, bila ia tidak mampu maka dengan lidahnya, dan bila tidak mampu maka dengan hatinya. (HR Muslim dari Abu Sa’id al-Khudriy)
[1] Maksudnya: membaca A'udzubillahi minasy-syaithaanir-rajiim.

[2] balasan yang lebih baik dari apa yang dikerjakan sewaktu di dunia.

BERINTERAKSI DENGAN AL-QURAN

BERINTERAKSI DENGAN AL-QURAN

Rabb kita telah memberikan kemuliaan kepada kita -- sebagai kaum Muslimin -- dengan menganugerahkan kitab suci yang terbaik yang diturunkan kepada manusia. Rabb kita juga, telah memuliakan kita dengan mengutus nabi yang terbaik yang pernah diutus kepada manusia. Kitalah, kaum muslimin, satu-satunya umat yang memiliki manuskrip langit yang paling autentik, yang mengandung firman-firman Allah SWT yang terakhir, yang diberikan untuk menjadi petunjuk bagi umat manusia. Dan anugerah itu terus terpelihara dari perubahan dan pemalsuan kata maupun makna. Karena Allah SWT telah menjamin untuk memeliharanya, dan tidak dibebankan tugas itu kepada siapapun dari sekalian makhluk-Nya.
Tidak ada di dunia ini, suatu kitab yang terjaga dari perubahan dan pemalsuan, kecuali al-Quran. Tidak ada seorangpun yang dapat menambah atau mengurangi satu huruf-pun darinya. Ayat-ayatnya dibaca, didengarkan, dihapal dan dijelaskan, sebagaimana bentuknya saat diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad Saw, dengan perantaraan ruh yang terpercaya (Jibril).
Al-Quran berisikan seratus empat belas surah. Seluruhnya dimulai dengan basmalah (bismillâhirrahmânirrahîm), kecuali satu surah saja, yaitu surah at-Taubah. Ia tidak dimulai dengan basmalah. Dan tidak ada seorang pun yang berani untuk menambahkan basmalah ini pada surah at-Taubah, baik dengan tulisan atau bacaan. Karena, dalam masalah al-Quran ini, tidak ada tempat bagi akal untuk campur tangan.
Perhatian kaum muslimin terhadap al-Quran sedemikian besarnya, hingga mereka juga menghitung ayat-ayatnya, bahkan kata-katanya, dan malah huruf-hurufnya. Maka bagaimana mungkin seseorang dapat menambah atau mengurangi suatu kitab yang dihitung kata-kata dan huruf-hurufnya itu?
Tidak ada di dunia ini suatu kitab yang dihapal oleh ribuan dan (bahkan) puluhan ribu orang, di dalam hati mereka, kecuali al-Quran ini, yang telah dimudahkan oleh Allah SWT untuk diingat dan dihapal. Maka tidak aneh jika kita menemukan banyak orang, baik itu lelaki maupun perempuan, yang menghapal al-Quran dalam mereka. Ia juga dihapal oleh anak-anak kecil kaum Muslimin, dan mereka tidak melewati satu huruf-pun dari al-Quran itu. Demikian juga dilakukan oleh banyak orang non Arab, namun mereka tidak melewati satu huruf-pun dari al-Quran itu. Dan salah seorang dari mereka, jika Anda tanya: "siapa namamu?" -- dengan bahasa Arab -- niscaya ia tidak akan menjawab! Ia menghapal Kitab Suci Rabbnya semata untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT, meskipun ia tidak memahami apa yang ia baca dan ia hapal, karena ia tertulis dengan bukan bahasanya.
Al-Quran tidak semata dijaga makna-makna, kalimat-kalimat serta lafazh-lafazhnya saja, namun juga cara membaca dan makhraj huruf-hurufnya. Seperti kata mana yang harus madd (panjang), mana yang harus ghunnah (dengung), izhhar (jelas), idgham (digabungkan), ikhfa’ (disamarkan) dan iqlab (dibalik). Atau seperti yang digarap oleh suatu ilmu khusus yang dikenal dengan "Ilmu Tajwid al-Quran".
Hingga rasam (metode penulisan) al-Quran, masih tetap tertulis dan tercetak hingga saat ini, seperti tertulis pada era khalifah Utsman bin Affan r.a., meskipun metode dan kaedah penulisan telah berkembang jauh. Hingga saat ini, tidak ada suatu pemerintah muslim atau suatu organisasi ilmiah pun, yang berani mengubah metode penulisan al-Quran itu, dan menerapkan kaedah-kaedah penulisan yang berlaku bagi seluruh buku, media cetak, koran dan lainnya yang ditulis dan dicetak, bagi al-Quran.
Allah SWT menurunkan al-Quran untuk memberikan kepada manusia tujuan yang paling mulia, dan jalan yang paling lurus.
Sesungguhnya Al Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, (QS al Isrâ’, 17: 9)
15. Hai ahli kitab, Sesungguhnya Telah datang kepadamu Rasul kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al Kitab yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang) dibiarkannya. Sesungguhnya Telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menerangkan[1].
16. Dengan Kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (QS al-Mâidah, 5: 15-16)
Al-Quran adalah "cahaya" yang dianugerahkan Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, di samping cahaya fithrah dan akal. "Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)." (QS an-Nûr, 24: 35). Dan al-Quran mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai cahaya, dalam banyak ayat.
Seperti dalam firman Allah SWT:
Hai manusia, Sesungguhnya Telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhanmu. (Muhammad dengan mukjizatnya) dan Telah kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (al-Quran). (QS an-Nisâ’, 4: 174)
Dan berfirman kepada para sahabat Rasulullah Saw dengan firman-Nya:
(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka[2]. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. (QS al-A’râf, 8: 157)
Di antara karakteristik cahaya adalah:
· dirinya sendiri telah jelas, kemudian ia memperjelas yang lain.
· membuka hal-hal yang samar,
· menjelaskan hakikat-hakikat,
· membongkar kebatilan-kebatilan,
· menolak syubhat (kesamaran),
· menunjukkan jalan bagi orang-orang yang sedang kebingungan saat mereka gamang dalam menapaki jalan atau tidak memiliki petunjuk jalan,
· menambah jelas dan menambah petunjuk bagi orang yang telah mendapatkan petunjuk.
Dan jika al-Quran mendeskripsikan dirinya sebagai "cahaya", dan dia adalah "cahaya yang istimewa", ia juga mendeskripsikan Taurat dengan kata yang lain: "Di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)."
Seperti dalam firman Allah SWT:
Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS al- Mâidah, 5: 44)
Demikian juga mendeskripsikan Injil seperti itu, seperti dalam firman Allah SWT tentang Nabi 'Isa:
Dan kami iringkan jejak mereka (nabi nabi Bani Israil) dengan Isa putera Maryam, membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. dan kami Telah memberikan kepadanya Kitab Injil sedang didalamnya (ada) petunjuk dan dan cahaya (yang menerangi), dan membenarkan Kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. dan menjadi petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa. (QS al-Mâidah, 5: 46)
Perbedaan dalam dua pengungkapan itu menunjukkan perbedaan antara al-Quran dengan kitab-kitab suci lainnya. Hal itu karena al-Quran ini datang untuk membenarkan kitab-kitab suci yang telah turun sebelumnya. Yaitu yang berkaitan dengan pokok-pokok aqidah dan akhlak, sebelum kitab-kitab itu dipalsukan dan diubah tangan manusia. Al-Quran juga mengungguli kitab-kitab suci sebelumnya, yaitu dengan mengoreksi dan meluruskan tambahan-tambahan dan perubahan-perubahan yang telah disisipkan oleh manusia dalam kitab-kitab itu. Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[3] terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[4], kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu, (QS al-Mâidah, 5: 48)
Al-Quran -- sebagaimana ia diturunkan oleh Allah SWT -- mempunyai keunggulan-keunggulan yang membuatnya istimewa dibanding kitab suci lainnya. Ia adalah kitab Ilahi, kitab suci yang menjadi mukjizat, kitab yang memberikan penjelasan dan dimudahkan untuk dipahami, kitab suci yang dijamin pemeliharaan keautentikannya, kitab suci bagi agama seluruhnya, kitab bagi seluruh zaman, dan kitab suci bagi seluruh manusia.
Al-Quran juga mempunyai maksud dan tujuan yang dibidiknya, di antaranya: meluruskan kepercayaan-kepercayaan dan pola pandang manusia tentang Tuhan, kenabian, dan balasan atas amal perbuatan, serta meluruskan pola pandangan tentang manusia, kemuliaannya dan menjaga hak-haknya, terutama bagi kalangan yang lemah dan tidak berpunya.
Ia juga bertujuan untuk menghubungkan manusia dengan Rabbnya, agar manusia hanya menyembah-Nya semata dan bertaqwa kepada-Nya dalam seluruh urusannya.
Al-Quran juga bertujuan untuk membersihakan jiwa manusia, yang jika jiwa itu telah bersih niscaya bersih dan baiklah seluruh masyarakat. Dan jika jiwa itu rusak, niscaya rusaklah masyarakat seluruhnya.
Ia juga berusaha membentuk keluarga yang kemudian menjadi pangkal kedirian suatu masyarakat. Juga mengajarkan sikap adil terhadap kalangan perempuan, yang merupakan pokok utama dalam bangunan keluarga.
Al-Quran juga membangun umat yang saleh, yang dianugerahkan amanah untuk menjadi saksi bagi manusia, yang diciptakan untuk memberikan manfaat bagi manusia dan memberikan petunjuk bagi mereka.
Setelah itu, mengajak untuk menciptakan dunia manusia yang saling kenal mengenal dan tidak saling mengisolasi diri, saling memberi maaf dan tidak saling membenci secara fanatik, serta untuk bekerja sama dalam kebaikan dan ketaqwaan, bukan dalam kejahatan dan permusuhan.
Kita berkewajiban untuk memperlakukan al-Quran ini secara baik: dengan menghapal dan mengingatnya, membaca dan mendengarkannya, serta mentadabburi dan merenungkannya.
Kita juga berkewajiban untuk berlaku baik terhadapnya dengan memahami dan menafsirkannya. Tidak ada yang lebih baik dari usaha kita untuk mengetahui kehendak Allah SWT terhadap kita. Dan Allah SWT menurunkan kitab-Nya agar kita mentadabburinya, memahami rahasia-rahasianya, serta mengeksplorasi mutiara-mutiara terpendamnya. Dan setiap orang berusaha sesuai dengan kadar kemampuannya.
Namun yang disayangkan, dalam bidang ini telah terjadi kerancuan yang berbahaya, yaitu dalam memahami dan menafsirkan al-Quran. Oleh karena itu harus dibuat rambu-rambu dan petunjuk yang mampu menjaga dari kekeliruan dalam usaha ini, serta perlu diberikan peringatan tentang ‘ranjau-ranjau’ yang menghadang di jalan, yang dapat berakibat fatal jika dilanggar.
Tidak selayaknya umat al-Quran mengalami hal yang sama yang pernah terjadi dengan umat Taurat, yang diungkapkan oleh al-Quran dalam firman-Nya:
Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, Kemudian mereka tiada memikulnya[5] adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. (QS al-Jumu'ah, 62: 5).
Kita juga harus berlaku baik terhadap al-Quran dengan mengikuti petunjuknya, mengerjakan ajarannya, menghukum dengan syari'atnya serta mengajak manusia mengikuti petunjuknya. Ia adalah manhaj bagi kehidupan individu, antarindividu dan sosial.
Umat kita pada abad-abad pertama -- yang merupakan abad-abad yang paling utama -- telah berinteraksi dengan baik terhadap al-Quran. Mereka berlaku baik dalam memahaminya, mengetahui tujuan-tujuannya, berlaku baik dalam mengimplementasikannya secara massive dalam kehidupan mereka, dalam bidang-bidang kehidupan yang beragam, serta berlaku baik pula dalam mendakwahkannya. Contoh terbaik hal itu adalah para sahabat. Kehidupan mereka telah diubah oleh al-Quran dengan amat drastis dan revolusioner. Al-Quran telah mengubah mereka dari perilaku-perilaku jahiliyah menuju kesucian Islam, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan ke dalam cahaya. Kemudian mereka diikuti oleh murid-murid mereka dengan baik, untuk selanjutnya murid-murid generasi berikutnya mengikuti murid-murid para sahabat itu dengan baik pula. Melalui mereka itulah Allah SWT memberikan petunjuk kepada manusia, membebaskan negeri-negeri, memberikan kedudukan bagi mereka di atas bumi, sehingga mereka kemudian menegakaj sistem sosial yang berkeadilan, serta peradaban yang luhur atas dasar iman dan semangat tauhid.
Kemudian datang generasi-generasi berikutnya, yang menjadikan al-Quran terlupakan, mereka menghapal huruf-hurufnya, namun tidak memperhatikan ajaran-ajarannya. Mereka tidak mampu berinteraksi secara benar dengannya, tidak memprioritaskan apa yang menjadi prioritas al-Quran, tidak menganggap besar apa yang dinilai besar oleh al-Quran serta tidak menganggap kecil apa yang dinilai kecil oleh al-Quran. Di antara merek ada yang beriman dengan sebagiannya, namun kafir dengan sebagiannya lagi. Mereka tidak mampu berinteraksi secara baik dengan al-Quran, seperti yang dikehendaki oleh Allah SWT. Meskipun mereka mengambil berkah dengan membawanya serta menghias dinding-dinding rumah mereka dengan ayat-ayat al-Quran, namun mereka lupa bahwa keberkahan itu terdapat dalam mengikuti dan menjalankan ajaran-ajarannya. Seperti difirmankan oleh Allah SWT:
Dan al-Quran itu adalah Kitab yang kami turunkan yang diberkati, Maka ikutilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat. (QS al-An'âm, 6: 155)
Tidak ada jalan untuk membangkitkan umat dari kelemahan, ketertinggalan dan keterpecah-belahan mereka selain daripada kembali kepada al-Quran ini, dengan menjadikannya sebagai panutan dan imam yang diikuti. Dan cukuplah al-Quran sebagai petunjuk.

[1] Cahaya di sini, maksudnya: “Nabi Muhammad s.a.w.”; dan Kitab di sini, maksudnya: “al-Quran”.

[2] Maksudnya: dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang terkenai najis.
[3] Maksudnya: al-Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab sebelumnya.
[4] Maksudnya: umat nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.

[5] Maksudnya: tidak mengamalkan isinya, antara lain tidak membenarkan kedatangan Muhammad s.a.w.

ANTARA SIBOL DAN SUBSTANSI

ANTARA SIMBOL DAN SUBSTANSI:
Mencari Moralitas-Intelektual yang Hilang
AHMAD TOHARI (Senin, 14 Maret 2005) menulis dalam “Resonansi”, kolom khusus Harian Republika, dengan judul yang mengisyaratkan keprihatinan: “KORUPSI DALAM GELAR SARJANA ASPAL”. Tidak ada yang luar biasa dari tulisan itu, kecuali satu hal, penulisnya mencermati bahwa di negeri kita tercinta ini telah terjadi kebohongan yang dibungkus rapi secara kosmetikal, dengan topeng serba indah yang bernama “gelar akademik” dan pada akhirnya memunculkan “kesombongan”.
Sarjana-sarjana dengan sebutan yang bermacam-macam itulah yang kemudian membekali diri dengan sikap percaya diri yang kadang-kadang berlebihan, bahkan terkesan over-confident. Sikap inilah yang sering kali menjadi sebab dari sekian banyak permasalahan moralitas di dunia pendidikan kita yang semakin memprihatinkan.
Dunia pendidikan kita, kini sering disuguhi tontonan moralitas-rendah para pendidiknya. Bukan hanya yang terungkap di media masa cetak dan elektronik saja, yang kadang-kadang kemasan-kemasannya sudah disunting dengan kepiawaian para penyuntinnya dengan berbagai macam kepentingan. Tetapi realitas-objektifnya tidak terlalu berbeda dengan apa yang sudah diungkap oleh media masa di negeri kita tercinta ini.
Mereka yang berulah dengan moralitas-rendah, bukanlah mereka yang tak bergelar akademik saja. Bahkan yang telah bergelar tertinggi pun sempat mempertontonkannya dengan vulgar. Saya pun sempat berkomentar lirih: “pada saatny gelar akademik apa pun tidak harus selalu bersenyawa dengan moralitas-tinggi”. Tetapi apa boleh buat, masyarakat kita masih suka dengan “gelar-gelar formal” itu, simbol-simbol yang tidak selalu mengisyaratkan isi. Hingga, Mas Ahmad Tohari pun sempat bergumam: “mengapa kita doyan betul dengan gelar? Mungkin kita adalah bangsa yang sangat suka dengan simbol. Dan gelar sarjana adalah simbol bagi orang yang berpendidikan, orang pandai. Siapa tidak suka dicitrakan sebagai orang pandai? Soal kenyataannya, urusan belakang.”
Dulu, ketika saya dan kawan-kawan se-almamater bersekolah di pojok barat kota Yogyakarta, Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, pernah bertemu dengan seorang guru yang sama sekali tidak bergelar akademik. Nama sapaannya Pak AR; simplifikasi dari sebuah nama yang pernah menghiasi sejarah kepemimpinan umat Islam di negeri ini.
Pak AR, begitu guru saya itu biasa disebut oleh murid-muridnya yang dengan setia berkhidmat mendengarkan petuah-petuahnya yang terkesan sangat menyentuh kalbu para santrinya (untuk menyebut murid-murid beliau di sekolah ini) bukan seorang sarjana formal ‘keluaran’ sebuah perguruan tinggi mana pun. Beliau hanya seorang guru yang selalu belajar pada siapa pun, termasuk para santrinya di mana pundia berinteraksi dalam proses belajar-mengajar yang tidak selalu dibatasi oleh dinding penyekat. Apalagi penyekat simbolik yang bernama “gelar”. Jangankan gelar akademik yang memang tidak beliau miliki; gelar kehormatan yang biasa diterakan oleh para santri terhadap gurunya pun tidak pernah beliau inginkan untuk disebut, apalagi ditulis. Beliau tidak suka dengan formalitas dan – apalagi – simbol-simbol yang terkadang diberhalakan.
Di ketika sang guru ini berinteraksi dengan para muridnya tidak pernah ada kesan ”kesombongan”, apalagi arogansi intelektual yang sering dipertontonkan oleh para penyandang gelar-akademik yang seringkali ‘mabuk’ dengan status dan simbol-simbolnya. Saya kira, bukan karena beliau tidak bergelar akademik, tetapi bagi beliau – barangkali - kesombongan dalam bentuk apa pun bukan sesuatu yang seharusnya dipertontonkan. Apalagi dalam proses pendidikan yang di samping membebankan keharusan bagi para pendidiknya untuk melakukan transfer of knowledge, juga transfer of value bagi siapapun yang dididiknya. Diperlukan keteladanan yang terus mengalir dari para pribadi pendidik di seluruh ruang pendidikan yang tidak terbatas.
Dari fakta historis ini, saya menjadi teringat ketika di sebuah seminar yang dihadiri oleh para pakar ‘bergelar’ akademik tertinggi para peserta yang terkagum-kagum oleh akrobat akademisi yang tampil sebagai pemakalah sekaligus – ada sebagian kecil – yang mengelus dada mencermati pernyataan-pernyataan mereka yang sangat berkesan “sangat arogan”, dengan lontaran-lontaran pemikiran yang disertai ‘bumbu-bumbu’ pelecehan terhadap pemikiran-pemikiran yang berseberangan dengan main-stream pemikiran mereka. Bahkan ada sebgai dari pernyataan mereka yang cenderung mendiskreditkan tanpa disertai basi-basi yang mengisyaratkan kesantunan. Saya pun menjadi terbawa untuk berkomentar lirih, sambil bertanya: “Di mana moralitas-intelektal mereka simpan, hingga tak keluar secuil pun di forum yang semestinya memerlukannya?”. Sudah saatnyakah sikap rendah-hati itu dibuang oleh mereka yang ‘merasa’ lebih dari orang lain?
Tawadhu’ atau rendah hati merupakan sifat terpuji yang mutlak dimiliki setiap individu Muslim. Orang yang memiliki sifat tawadhu’ pasti akan dicintai. Rasulullah SAW terkenal orang yang sangat tawadhu’, sehingga sangat dicintai oleh umatnya.
''Dan hamba-hamba yang baik dari Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.'' (QS Al-Furqan (25): 63). Lawan dari sifat ini adalah takabbur. Imam Syafi'i berkata, ''Sikap tawadhu’ adalah akhlak orang-orang yang mulia, sedangkan takabbur adalah ciri dari orang-orang yang tercela.'' Rasulullah SAW bersabda, ''Barang siapa yang tawadhu’ karena Allah niscaya Allah akan mengangkatnya (derajatnya). (HR Muslim).
Ada tiga ciri orang yang memiliki sifat tawadhu’:
Pertama, selalu memandang rendah dirinya sendiri, dalam makna bukan menganggap hina dirinya, namun merasa dirinya bukanlah orang yang sempurna, memiliki kekurangan, dan banyak melakukan kesalahan. Sehingga, dengan semua itu kita tidak akan menganggap remeh, menganggap lebih baik, dan lebih mulia daripada orang lain.
Kedua, menghargai orang lain. Muhammad SAW adalah orang yang sangat menghargai orang lain, khususnya para sahabat dan pengikutnya. Salah satu contoh konkretnya adalah pada waktu Perang Badar. Beliau menghentikan pasukan perang di dekat sebuah mata air. Seorang yang bernama Hubab bin Mundhir bin Jamuh (orang yang paling tahu tentang tempat itu) bertanya, ''Rasulullah apa alasan Anda berinisiatif untuk berhenti di tempat ini? Kalau ini merupakan wahyu dari Allah, maka kita tidak akan maju atau mundur setapak pun dari sini. Ataukah ini hanya pendapat Anda dan hanya merupakan taktik bertempur saja?''
Beliau menjawab, ''Ini sekadar pendapat saya dan merupakan taktik perang.'' Kemudian Hubab berkata lagi, ''Jika demikian, tidak tepat kita berhenti di sini. Mari kita beranjak (pindah) sampai ke tempat mata air terdekat dari mereka (musuh), lalu sumur-sumur kering yang berada di belakang itu kita timbun. Selanjutnya kita membuat kolam, kita isi air sepenuhnya. Barulah kita hadapi mereka berperang. Kita akan mendapat air minum, sementara mereka tidak.''
Dengan ketawadhu’annya, Rasulullah SAW menerima usulan itu, meskipun beliau adalah pemimpin tertinggi dalam peperangan ini. Ketiga, menerima pembenaran dan nasihat dari orang lain. Kita adalah manusia yang tidak luput dari salah dan dosa, dan orang lain adalah penilai bagi perilaku kita. Maka, sudah sepantasnya kita sebagai hamba Allah SWT yang dhaif dan tidak sempurna menerima nasihat sebagai pembenaran atas perilaku kita yang salah.
Nah, menjadi apa dan siapa pun diri kita, di mana pun dan kapan pun, sudah siapkah kita menjadi muslim-sejati yang selalu siap bersikap tawadhu’?

ANTARA BID'AH DAN SUNNAH

MENYOAL ULANG BID’AH DAN SUNNAH
Catatan Lepas Atas Buku: NU, Persis atau Muhammadiyah yang Ahli Bid’ah?

Oleh: Muhsin Hariyanto[*]


Prawacana

Gagasan Dakwah Kultural yang mengemuka di Persyarikatan Muhammadiyah, yang kemudian disepakati sebagai sebuah keputusan resmi persyarikatan ini ternyata tidak begitu saja diterima oleh semua warga Muhammadiyah.

Ada sebagian warga Muhammadiyah yang menduga gerakan dakwah kultural telah memunculkan kembali “bid’ah” di dalam pengamalan Islam di kalangan warga Muhammadiyah. Betapa kita --- komentar mereka -- telah mengalami kesulitan untuk mengetahui mana “Islam Yang Sejati” dan mana “Yang Tercampur”. Dan pada akhirnya memunculkan ikhtilaf (kontroversi) baru.

Para Ulama Muhammadiyah -- sejak masa awal pertumbuhan dan perkembangan Muhammadiyah – sebenarnya sudah membahas persoalan di seputar kemungkinan kemurnian dan ketidak-murnian pemahaman dan pengamalan Islam dalam sebuah kajian komprehensif yang dikemas dalam dalam sebuah tema besar yang bertajuk “Bid’ah dan Sunnah”, sebagai langkah kongkret untuk membahas persoalan di seputar kemungkinan penyimpangan pemahaman dan pengamalan Islam sebagai “Agama Yang Lurus”. Di antara kitab yang secara komprehensif yang dirujuk oleh sebagian besar Ulama Muhammadiyah dalam mengkaji persoalan Bid’ah dan Sunnah tersebut adalah: kitab “Al-I’tishâm” dan “As-Sunan wa al-Mubtadi’ât” yang ditulis oleh Imam Asy-Syathibi.

Nah, ternyata kupasan mengenai Bid’ah dan Sunnah yang pernah dipersoalkan oleh para ulama Muhammadiyah selama hampir seabad dikemas ulang oleh seorang penulis muda, Haris Firdaus, dengan judul: NU, Persis atau Muhammadiyah Yang Ahli Bid’ah?. Sebuah buku kecil yang diterbitkan oleh penerbit Mujahid, Bandung, pada tahun 2004.

Substansinya tidak berbeda dengan buku-buku yang sudah pernah terbit. Tetapi pertanyaan dan sinyalemennya untuk Muhammadiyah (dan juga NU dan Persis) cukup menggelitik penulis. Dan oleh karenanya penulis tertarik untuk menelaahnya..

Pengertian Dasar tentang: Bid’ah dan Sunnah

Secara etimologis, Bid’ah berarti: “semua yang diada-adakan dalam bentuk yang belum ada contohnya”.

Pengertian Bid’ah secara terminologis, dalam kajian para ulama, terpilah menjadi dua:

Pertama, Bid’ah dipahami sebagai: "prosedur yang diada-adakan dalam agama, yang dipandang sama dengan syariat itu sendiri, dan dimaksudkan -- dalam pengamalannya -- untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah SWT"

Kedua, Bid’ah dipahami sebagai: “prosedur yang diada-adakan dalam agama, yang dipandang sama dengan syariat itu sendiri, dan dimaksudkan -- dalam pengamalannya -- untuk tujuan pengamalan syari’at agama itu sendiri”.

Dalam memahami pengertian bid’ah, para ulama terpilah menjadi dua kelompok besar. Yang pertama memandang bahwa “bid’ah” adalah: “semua keyakinan dan tindakan yang diada-adakan sesudah Nabi Muhammad saw – tanpa dalil – dalam masalah yang berkaitan dengan masalah ibadah”. Sedang kelompok yang kedua memandang bahwa bid’ah adalah: “semua keyakinan dan tindakan yang diada-adakan sesudah wafat Nabi Muhammad saw – tanpa dalil – dalam semaua masalah agama (tidak terbatas pada persoalan ibadah saja).”

Dengan pengertian bid’ah sebagaimana tersebut di atas, kita dapat memahami sebaliknya, bahwa yang disebut “sunnah” adalah: “prosedur yang dilalui dalam beragama, selaras dengan perilaku Rasulullah s.a.w”.

Bid’ah dan Sunnah Dalam Praktik

Secara praktis, bid’ah dan sunnah telah dikerjakan oleh umat Islam dalam kegiatan sehari-hari. Tetapi, kadang-kadang orang Islam sendiri tidak menyadari atau tidak memahami dengan tepat apa yang telah dikerjakannya sendiri. Oleh karena itu para ulama mengingatkan kepada umat Islam terhadap bahaya bid’ah ini dengan peringatan-peringatan keras.

Ulama membagi perilaku bid’ah – secara makro – menjadi dua macam:

Pertama: “Bid’ah Haqîqiyyah”. Yaitu bid’ah yang bermakna: “sesuatu pekerjaan yang semata-mata diada-adakan, tanpa ada dalil dan dipandang sebagai kewajiban agama.”

Bid’ah semacam ini banyak terjadi di masyarakat, baik yang bersifat “i’tiqâdi” (berkenaan dengan keyakinan), maupun “’amali” (tindakan-tindakan kongkret). Misalnya apa yang selama ini disebut dengan Takhayyul dan Khurafat, pada dasarnya meruapakan keyakinan yang tidak bersadar (tidak ada dalil).

Orang-orang Islam di lingkungan Kraton Jogjakarta, misalnya, percaya terhadap “tuah” air bekas cucian “Kereta Kencana dan Pusaka Kraton Yogyakarta” dan “Berkah Gunungan Grebeg Riyaya dan Mulud”. Kepercayaan ini sedemikian melekat pada benak orang-orang – yang dikatakan -- “Islam Kejawen” dan mungkin saja sebagian orang-orang yang secara formal “mengaku dan diaku” Muhammadiyah, sementara “aqidah”nya masih bersifat sinkretis (bercampur antara Kejawen dan Islam).. Demikian juga kepercayaan kita terhadap “Gugon-Tuhon”, Angka-angka Keramat, Simbol-simbol Kesucian dan Mitos-mitos yang tidak berdasar. Sementara itu, para penganut Islam di lingkungan Kraton Jogjakarta, juga selalu merasa enak bergumul dengan tradisi “labuhan”, yang seolah-olah merupakan amalan “syar’iyyah” (yang dituntunkan oleh agama Islam), dan bahkan menikmatinya sebagai acara dan upacara ritual – yang dirasakan sebagai sesuatu yang bersifat – keagamaan.

Kedua: Bid’ah “idhâfiyyah”. Yaitu bid’ah yang bermakna: “sesuatu yang pada dasarnya bukan agama, sehingga hukumnya “mubah atau masuk dalam kategori sunnah”, tetapi dilakukan dalam konteks ibadah atau pelaksanaan ajaran agama Islam yang tidak mendapatkan legitimasi keagamaan dari dalil-dalil agama, baik dari al-Quran maupun as-Sunnah”.

Contoh kongkret dari bid’ah ini misalnya” “makan dan minum”. Perbuatan ini pada dasarnya boleh dikejakan oleh siapapun. Tetapi, perbuatan ini menjadi “bid’ah” andaikata dilakukan dengan “kaifiyyât” (tata-cara) tertentu, di tempat dan waktu tertentu dan dengan maksud-maksud tertentu, yang ketika mengerjakannya dimaksudkan untuk mengerjakan sesuatu yang dianggap atau diasumsikan sebagai pengamalan keagamaan yang diyakini sebagai sesuatu yang diajarkan oleh syari’at Islam. Misalnya makan-minum dalam rangka menyambut datangnya “bulan Muharram”, dengan disertai keyakinan bahwa pada saat itu orang Islam disyari’atkan untuk menyambutnya dengan makan-minum sebagaimana yang dilakukannya, padahal tidak ada satupun ketentuan syari’at Islam yang menentukannya demikian. Atau yang pada mulanya berkategori sunnah. Seperti: “membaca al-Quran”. Membacanya di sembarang waktu adalah sunnah, tetapi ketika “membaca al-Quran” tersebut kita tentukan waktunya dengan prosedur standar, yang ketika menentukannya disertai “keyakinan” bahwa ketentuan itu adalah bersifat “syar’iyyah”, padahal tidak ada satupun ketentuan agama yang mengajarkannya, maka perbuatan itu pun dapat dikategorikan “bid’ah”. Contoh kongkretnya adalah: upacara ritual “Yasinan”. Membaca surat Yasin adalah bagian dari sunnah Rasulullah saw yang dapat dirujuk dalilnya dari keumuman perintah “membaca al-Quran”. Tetapi, begitu kita tentukan suratnya “harus Yasin”, di tempat tertentu, pada waktu tertentu, dengan prosedur tertentu, yang – penentuan-penentuan tersebut -- tidak mendapatkan legitimasi syari’ah (tidak ada nash (teks) al-Quran dan atau as-Sunnahnya yang mengajarkannya), maka perbuatan tersebut termasuk “bid’ah”.

Dari penjelasan tersebut, jelaslah pengertian “sunnah”, yang berarti sebaliknya. Kita dapat menyatakan dengan tegas bahwa “sunnah” adalah: “perbuatan-perbuatan setiap muslim yang mendapat legitimasi syari’ah”. Dalam pengertian: “melaksnakan perinntah dan meninggalkan larangan Allah dan Rasulnya dan mengerjakan apa saja yang diperkenankan oleh Allah dan Rasulnya dengan niat karena Allah, sebagai bagian dari “ittibâ’ al-rasûl”, mengikuti perilaku Rasulllah saw secara kritis, dengan mendasarkan pada argumen yang kokoh.

Khâtimah.

Dalam penutup tulisan ini, saya ingin menegaskan dengan kalimat pendek. Kata “Bid’ah” selalu terkait dengan sesuatu yang ditambah-tambahkan atau diada-adakan. Tetapi, tidak semua yang ditambah-tambahkan atau diada-adakan setelah Rasulullah saw secara mutlak dapat kita artikan “Bid’ah.

Umat Islam telah melakukan inovasi-inovasi – yang relatif – baru, yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah saw dan Salaf al-Shâlih, tetapi sama sekai tidak dapat disebut bid’ah, karena sama-sekali tidak terkait dengan masalah ibadah dan ketentuan agama. Bahkan dalam beberapa hal telah menunjukkan “pengamalan” ajaran agama Islam secara kongkret dalam wilayah “mu’âmalah-dunyâwiyyah”. Misalnya: “pengembangan Ilmu dan Teknologi dan penerapan-penerapan teori keilmuan dan teknologi yang selaras dengan tujuan syariat Islam itu sendiri”.

Di dalam bangunan teori keilmuan Islam ada istilah yang dikenal dengan sebutan: “al-mashlahah al-mursalah” (kemashlahatan yang terlepas), yang bermakna: “memelihara maksud agama, dengan cara menolak segala macam kerusakan, atas dasar keinginan untuk memelihara kemashlahatan yang tidak – secara tekstual – ditunjukkan oleh nash (teks) al-Quran maupun as-Sunnah, tetapi dapat dipahami secara tersirat bahwa nash (teks) al-Quran maupun as-Sunnah menghendakinya. Inilah yang – kemudian dalam wacana umat Islam – dikatakan sebagai “Kontekstualisasi Doktrin Islam”.

Akhirnya, penulis berharap “mudah-mudahan tulisan ini bisa mengingatkan kepada seluruh warga Muhammadiyah untuk selalu bersikap kritis dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.


[*] Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

ALQURAN EDISI KRITIS

Alquran Edisi Kritis

Oleh Taufik Adnan Amal
Kolom 28/10/2001

Di kalangan kaum muslim awam, teks dan bacaan yang ada dewasa ini di dalam mushaf Alquran diyakini sebagai rekaman lengkap dan otentik wahyu-wahyu Nabi Muhammad yang dikodifikasi Zayd ibn Tsabit berdasarkan otoritas Khalifah Utsman ibn Affan. Pernyataan Alquran dalam 15:9, dipandang sebagai garansi ilahi atas kemurnian mushaf tersebut dari berbagai perubahan dan penyimpangan, bahkan --menurut suatu pendapat yang ahistoris-- dalam titik serta barisnya.
Di kalangan kaum muslim awam, teks dan bacaan yang ada dewasa ini di dalam mushaf Alquran diyakini sebagai rekaman lengkap dan otentik wahyu-wahyu Nabi Muhammad yang dikodifikasi Zayd ibn Tsabit berdasarkan otoritas Khalifah Utsman ibn Affan. Pernyataan Alquran dalam 15:9, dipandang sebagai garansi ilahi atas kemurnian mushaf tersebut dari berbagai perubahan dan penyimpangan, bahkan --menurut suatu pendapat yang ahistoris-- dalam titik serta barisnya.
Tetapi, orang-orang yang mengetahui perjalanan historis Alquran menyadari bahwa keadaan sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Fenomena kesejarahan Alquran yang awal justeru menunjukkan eksisnya keragaman tradisi teks dan bacaan kitab suci itu, yang kemudian menjadi alasan utama dilakukannya standardisasi Alquran oleh Utsman untuk kepentingan kohesi sosio-politik umat Islam.
Sementara bentuk teks Alquran dewasa ini, sebagaimana ditunjukkan sejumlah manuskrip utsmani, pada faktanya telah melalui serangkaian penyempurnaan tulisan, melalui perubahan-perubahan yang bersifat eksperimental, seirama dengan penyempurnaan aksara Arab yang mencapai puncaknya pada penghujung abad ke-9/3H. Sekalipun demikian, sejumlah inkonsistensi penulisan masih tetap tampak di dalamnya, akibat dari introduksi "setengah hati" ragam tulis Arab yang telah disempurnakan (scriptio plena) dalam penyalinan teks utsmani yang telah disepakati (textus receptus).
Demikian pula, bacaan (qiraم’ah) Alquran yang digunakan saat ini adalah dua dari empat belas versi bacaan tujuh (al-qirم’مt al-sab‘) yang mendapat sanksi ortodoksi Islam pada abad ke10/4H. Masing-masing dari bacaan tujuh yang dihimpun Ibn Mujahid itu memiliki dua versi (riwayat), dan bacaan yang digunakan untuk teks Alquran dewasa ini adalah kiraah Ashim yang diriwayatkan Hafsh (Hafsh ‘an Ashim) dan kiraah Nafi‘ yang diriwayatkan Warsy (Warsy ‘an Nafi‘). Bacaan pertama digunakan dalam edisi standar Alquran Mesir (1923), yang menjadi panutan mayoritas umat Islam, dan bacaan kedua digunakan sejumlah kecil kaum Muslimin di barat dan barat laut Afrika, serta di Yaman, khususnya di kalangan sekte Zaydiyah.
Keempatbelas versi bacaan tujuh memang dipandang sebagai bacaan otentik Alquran yang bersumber dari Nabi. Tetapi, doktrin yang dikembangkan secara kaku oleh ortodoksi Islam telah menabukan penggabungan versi-versi itu untuk menciptakan bacaan yang lebih baik, ditinjau dari berbagai sudut pandang. Ibn Mujahid, otoritas paling berpengaruh dalam hal ini, tidak memperkenankan penggabungan antara ragam bacaan yang memiliki asal-usul berbeda, dan menuntut setiap sistem bacaan mesti disampaikan dalam keseluruhan bentuknya tanpa perubahan. Padahal, dalam kenyataannya, sistem-sistem bacaan itu dibentuk para imam kiraah dengan menggabungkan dan menyeleksi --istilah teknisnya ikhtiyمr ("seleksi")-- berbagai bacaan yang mereka terima berdasarkan prinsip mayoritas (ijma‘).
Imam Nafi‘, misalnya, menegaskan telah membaca Alquran di depan 70 orang tabi‘in, dan mengambil bacaan yang disepakati --minimal dua orang di antaranya-- serta meninggalkan bacaan menyimpang, hingga berhasil menyusun kiraahnya. Senada dengan ini, al-Kisa’i dikabarkan berujar telah menyeleksi dari kiraah Hamzah dan lainnya suatu bacaan moderat (mutawassithah) yang tidak menyimpang dari jejak imam-imam kiraah sebelumnya.
Dengan demikian, tidak ada alasan yang solid dan absah untuk menafikan upaya penyuntingan kembali suatu edisi kritis Alquran. Salah satu keberatan terhadap edisi Alquran yang meramu bacaan tujuh ini --dan mungkin juga melibatkan varian non-utsmani-- adalah ia mengganggu stabilitas teks dan bacaan yang telah diupayakan selama berabad-abad. Tetapi, kita hanya perlu menengok ke dalam manuskrip-manuskrip Alquran dan sejarah untuk menemukan bahwa teks Alquran telah mengalami berbagai bentuk penyempurnaan yang bersifat eksperimental, dan bahwa imam-imam besar kiraah pada faktanya juga telah melakukan ikhtiyمr ketika membangun sistem bacaannya.
Edisi kritis Alquran ini tentunya diarahkan untuk menghasilkan bentuk teks Alquran yang lebih memadai dan mudah dibaca. Sementara teks itu sendiri akan didendangkan dengan suatu bentuk bacaan yang merupakan ramuan "terpilih" dari berbagai warisan kesejarahan tradisi kiraah umat Islam.
Berbagai inkonsistensi dalam penulisan teks --seperti penggunaan tم’ mabsûthah sebagai pengganti tم’ marbûthah dalam kata rahmah, ni‘mah, dll., penggantian alif dengan waw dalam kata shalمh, zakمh, dll., penulisan mimmم atau allم yang terkadang disalin terpisah dan terkadang digabung, serta lainnya-- yang memperlihatkan upaya mengakomodasi berbagai perkembangan tradisi oral dan tulisan Alquran yang eksis di kalangan kaum Muslimin ketika itu, barangkali perlu dibenahi.
Pada titik ini, mesti disepakati bahwa ragam tulis adalah produk budaya manusia yang berkembang selaras dengan perkembangan manusia. Tulisan, seperti dinyatakan Abu Bakr al-Baqillani, hanyalah simbol-simbol yang berfungsi sebagai isyarat, lambang dan rumus yang digunakan untuk memudahkan pembacaan. Karena tujuan penulisan Alquran adalah untuk memudahkan pembacaannya secara tepat, maka penyempurnaan teksnya mesti mengabdi pada tujuan tersebut.
Selain butir-butir yang telah dikemukakan, peramuan ragam kiraah untuk menghasilkan bacaan yang lebih memadai juga menjadi signifikan karena beberapa hal: Pertama, dua bacaan yang digunakan dewasa ini terkadang tidak bersesuaian dengan textus receptus utsmani. Bentuk teks مtمni atau مtمnî-llمh dalam 27:36, misalnya, dibaca oleh Nafi‘ dan Hafsh ‘an Ashim sebagai مtمniya-llمh.
Kedua, dalam kasus-kasus tertentu, kedua bacaan tersebut dapat dipermasalahkan dari sudut pandang linguistik. Para pakar bahasa, misalnya, secara bulat menyalahkan Nafi‘ ketika membaca kata nabîyîna dalam 2:58 sebagai nabî’îna, atau kata al-barîyah dalam 98:6 sebagai al-barî’ah, atau ‘asaytum dalam 2:246 sebagai ‘asîtum. Sementara bacaan Hafsh dari Ashim untuk 20:63, yakni hadzمni, secara gramatik keliru dan semestinya dibaca hadzayni, seperti bacaan Abu Amr dan Nafi‘.
Ketiga, dalam berbagai kasus, kedua bacaan resmi itu menampakkan bias --misalnya bias gender, seperti ditunjukkan Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (1999). Disamping itu, keduanya terkadang tidak sejalan dengan konteks langsung Alquran dan nalar rasional manusia. Jadi, bacaan nusyran untuk 7:57, yang dibaca antara lain oleh Ibn Amr dan Ibn Katsir, misalnya, lebih sesuai dengan konteks dan nalar dibandingkan bacaan busyran dalam bacaan Hafsh dari Ashim.
Karena itu, seleksi ragam kiraah untuk edisi kritis Alquran, selain berpijak pada prinsip-prinsip klasik seperti keselarasan bacaan dengan teks dan kaidah-kaidah linguistik, mesti didasarkan pada pemerhatian cermat terhadap konteks langsung Alquran di mana suatu varian bacaan akan ditempatkan. Disamping mempertimbangkan implikasi makna terjemahan dan penyimpulan hukum suatu pilihan bacaan, seleksi tersebut juga harus mempertimbangkan nilai-nilai universal yang diyakini kebenarannya oleh manusia. Wa-llمhu a‘lam bi-l-shawمb.

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=102

ALQURAN EDISI KRITIS

Alquran Edisi Kritis

Oleh Taufik Adnan Amal
Kolom 28/10/2001

Di kalangan kaum muslim awam, teks dan bacaan yang ada dewasa ini di dalam mushaf Alquran diyakini sebagai rekaman lengkap dan otentik wahyu-wahyu Nabi Muhammad yang dikodifikasi Zayd ibn Tsabit berdasarkan otoritas Khalifah Utsman ibn Affan. Pernyataan Alquran dalam 15:9, dipandang sebagai garansi ilahi atas kemurnian mushaf tersebut dari berbagai perubahan dan penyimpangan, bahkan --menurut suatu pendapat yang ahistoris-- dalam titik serta barisnya.
Di kalangan kaum muslim awam, teks dan bacaan yang ada dewasa ini di dalam mushaf Alquran diyakini sebagai rekaman lengkap dan otentik wahyu-wahyu Nabi Muhammad yang dikodifikasi Zayd ibn Tsabit berdasarkan otoritas Khalifah Utsman ibn Affan. Pernyataan Alquran dalam 15:9, dipandang sebagai garansi ilahi atas kemurnian mushaf tersebut dari berbagai perubahan dan penyimpangan, bahkan --menurut suatu pendapat yang ahistoris-- dalam titik serta barisnya.
Tetapi, orang-orang yang mengetahui perjalanan historis Alquran menyadari bahwa keadaan sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Fenomena kesejarahan Alquran yang awal justeru menunjukkan eksisnya keragaman tradisi teks dan bacaan kitab suci itu, yang kemudian menjadi alasan utama dilakukannya standardisasi Alquran oleh Utsman untuk kepentingan kohesi sosio-politik umat Islam.
Sementara bentuk teks Alquran dewasa ini, sebagaimana ditunjukkan sejumlah manuskrip utsmani, pada faktanya telah melalui serangkaian penyempurnaan tulisan, melalui perubahan-perubahan yang bersifat eksperimental, seirama dengan penyempurnaan aksara Arab yang mencapai puncaknya pada penghujung abad ke-9/3H. Sekalipun demikian, sejumlah inkonsistensi penulisan masih tetap tampak di dalamnya, akibat dari introduksi "setengah hati" ragam tulis Arab yang telah disempurnakan (scriptio plena) dalam penyalinan teks utsmani yang telah disepakati (textus receptus).
Demikian pula, bacaan (qiraم’ah) Alquran yang digunakan saat ini adalah dua dari empat belas versi bacaan tujuh (al-qirم’مt al-sab‘) yang mendapat sanksi ortodoksi Islam pada abad ke10/4H. Masing-masing dari bacaan tujuh yang dihimpun Ibn Mujahid itu memiliki dua versi (riwayat), dan bacaan yang digunakan untuk teks Alquran dewasa ini adalah kiraah Ashim yang diriwayatkan Hafsh (Hafsh ‘an Ashim) dan kiraah Nafi‘ yang diriwayatkan Warsy (Warsy ‘an Nafi‘). Bacaan pertama digunakan dalam edisi standar Alquran Mesir (1923), yang menjadi panutan mayoritas umat Islam, dan bacaan kedua digunakan sejumlah kecil kaum Muslimin di barat dan barat laut Afrika, serta di Yaman, khususnya di kalangan sekte Zaydiyah.
Keempatbelas versi bacaan tujuh memang dipandang sebagai bacaan otentik Alquran yang bersumber dari Nabi. Tetapi, doktrin yang dikembangkan secara kaku oleh ortodoksi Islam telah menabukan penggabungan versi-versi itu untuk menciptakan bacaan yang lebih baik, ditinjau dari berbagai sudut pandang. Ibn Mujahid, otoritas paling berpengaruh dalam hal ini, tidak memperkenankan penggabungan antara ragam bacaan yang memiliki asal-usul berbeda, dan menuntut setiap sistem bacaan mesti disampaikan dalam keseluruhan bentuknya tanpa perubahan. Padahal, dalam kenyataannya, sistem-sistem bacaan itu dibentuk para imam kiraah dengan menggabungkan dan menyeleksi --istilah teknisnya ikhtiyمr ("seleksi")-- berbagai bacaan yang mereka terima berdasarkan prinsip mayoritas (ijma‘).
Imam Nafi‘, misalnya, menegaskan telah membaca Alquran di depan 70 orang tabi‘in, dan mengambil bacaan yang disepakati --minimal dua orang di antaranya-- serta meninggalkan bacaan menyimpang, hingga berhasil menyusun kiraahnya. Senada dengan ini, al-Kisa’i dikabarkan berujar telah menyeleksi dari kiraah Hamzah dan lainnya suatu bacaan moderat (mutawassithah) yang tidak menyimpang dari jejak imam-imam kiraah sebelumnya.
Dengan demikian, tidak ada alasan yang solid dan absah untuk menafikan upaya penyuntingan kembali suatu edisi kritis Alquran. Salah satu keberatan terhadap edisi Alquran yang meramu bacaan tujuh ini --dan mungkin juga melibatkan varian non-utsmani-- adalah ia mengganggu stabilitas teks dan bacaan yang telah diupayakan selama berabad-abad. Tetapi, kita hanya perlu menengok ke dalam manuskrip-manuskrip Alquran dan sejarah untuk menemukan bahwa teks Alquran telah mengalami berbagai bentuk penyempurnaan yang bersifat eksperimental, dan bahwa imam-imam besar kiraah pada faktanya juga telah melakukan ikhtiyمr ketika membangun sistem bacaannya.
Edisi kritis Alquran ini tentunya diarahkan untuk menghasilkan bentuk teks Alquran yang lebih memadai dan mudah dibaca. Sementara teks itu sendiri akan didendangkan dengan suatu bentuk bacaan yang merupakan ramuan "terpilih" dari berbagai warisan kesejarahan tradisi kiraah umat Islam.
Berbagai inkonsistensi dalam penulisan teks --seperti penggunaan tم’ mabsûthah sebagai pengganti tم’ marbûthah dalam kata rahmah, ni‘mah, dll., penggantian alif dengan waw dalam kata shalمh, zakمh, dll., penulisan mimmم atau allم yang terkadang disalin terpisah dan terkadang digabung, serta lainnya-- yang memperlihatkan upaya mengakomodasi berbagai perkembangan tradisi oral dan tulisan Alquran yang eksis di kalangan kaum Muslimin ketika itu, barangkali perlu dibenahi.
Pada titik ini, mesti disepakati bahwa ragam tulis adalah produk budaya manusia yang berkembang selaras dengan perkembangan manusia. Tulisan, seperti dinyatakan Abu Bakr al-Baqillani, hanyalah simbol-simbol yang berfungsi sebagai isyarat, lambang dan rumus yang digunakan untuk memudahkan pembacaan. Karena tujuan penulisan Alquran adalah untuk memudahkan pembacaannya secara tepat, maka penyempurnaan teksnya mesti mengabdi pada tujuan tersebut.
Selain butir-butir yang telah dikemukakan, peramuan ragam kiraah untuk menghasilkan bacaan yang lebih memadai juga menjadi signifikan karena beberapa hal: Pertama, dua bacaan yang digunakan dewasa ini terkadang tidak bersesuaian dengan textus receptus utsmani. Bentuk teks مtمni atau مtمnî-llمh dalam 27:36, misalnya, dibaca oleh Nafi‘ dan Hafsh ‘an Ashim sebagai مtمniya-llمh.
Kedua, dalam kasus-kasus tertentu, kedua bacaan tersebut dapat dipermasalahkan dari sudut pandang linguistik. Para pakar bahasa, misalnya, secara bulat menyalahkan Nafi‘ ketika membaca kata nabîyîna dalam 2:58 sebagai nabî’îna, atau kata al-barîyah dalam 98:6 sebagai al-barî’ah, atau ‘asaytum dalam 2:246 sebagai ‘asîtum. Sementara bacaan Hafsh dari Ashim untuk 20:63, yakni hadzمni, secara gramatik keliru dan semestinya dibaca hadzayni, seperti bacaan Abu Amr dan Nafi‘.
Ketiga, dalam berbagai kasus, kedua bacaan resmi itu menampakkan bias --misalnya bias gender, seperti ditunjukkan Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (1999). Disamping itu, keduanya terkadang tidak sejalan dengan konteks langsung Alquran dan nalar rasional manusia. Jadi, bacaan nusyran untuk 7:57, yang dibaca antara lain oleh Ibn Amr dan Ibn Katsir, misalnya, lebih sesuai dengan konteks dan nalar dibandingkan bacaan busyran dalam bacaan Hafsh dari Ashim.
Karena itu, seleksi ragam kiraah untuk edisi kritis Alquran, selain berpijak pada prinsip-prinsip klasik seperti keselarasan bacaan dengan teks dan kaidah-kaidah linguistik, mesti didasarkan pada pemerhatian cermat terhadap konteks langsung Alquran di mana suatu varian bacaan akan ditempatkan. Disamping mempertimbangkan implikasi makna terjemahan dan penyimpulan hukum suatu pilihan bacaan, seleksi tersebut juga harus mempertimbangkan nilai-nilai universal yang diyakini kebenarannya oleh manusia. Wa-llمhu a‘lam bi-l-shawمb.

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=102

TOLOK UKUR KELAKUAN BAIK

Tolok Ukur Kelakuan Baik

Tolok ukur kelakuan baik dan buruk mestilah merujuk kepada ketentuan Allah. Demikian rumus yang dibertkan oleh kebanyakan ulama. Perlu ditambahkan, bahwa apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya, tidak mungkin Dia menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Di sisi lain, Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki segala sifat yang terpuji. Al-Quran suci surat Thaha (20): 8 menegaskan:
(Dialah) Allah. tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai Sifat - sifat yang terpuji (Al-Asma' Al-Husna) (QS Thaha [20]: 8).
Rasulullah Saw. juga memerintahkan umatnya agar berusaha sekuat kemampuan dan kapasitasnya sebagai makhluk untuk meneladani Allah dalam semua sifat-sifat-Nya.
Berakhlaklah dengan akhlak Allah.
Ketika Aisyah ditanya mengenai akhlak Rasulullah Saw. ,beliau menjawab,
Budi pekerti Nabi Saw. adalah Al-Quran (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad) .
Semua sifat Allah tertuang dalam Al-Quran. Jumlahnya bahkan melebihi 99 sifat yang populer disebutkan dalam hadis. Sifat-sifat Allah itu merupakan satu kesatuan. Bukankah Dia Esa di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya? Karenanya tidak wajar jika sifat-sifat itu dinilai saling bertentangan. Artinya, semua sifat memiliki tempatnya masing-masing. Ada tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, juga tempat kasih sayang dan kelemah lembutan-Nya. Ketika seorang Muslim meneladani sifat Al-Kibriya' (Keangkuhan Allah), ia harus ingat bahwa sifat itu tidak akan disandang oleh Tuhan kecuali da1am konteks ancaman terhadap para pembangkang, atau terhadap orang yang merasa dirinya superior. Ketika Rasul Saw. melihat seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan perang, beliau bersabda,
"Itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali dalam kondisi semacam ini. "
Seseorang yang berusaha meneladani sifat Al-Kibriya' tidak akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang angkuh. Dalam konteks ini ditemukan riwayat yang menyatakan.
"Bersikap angkuh terhadap orang yang angkuh adalah sedekah".
Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan kebesaran llahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia terdiri dari jasad dan ruh, sehingga keduanya harus sama-sama kuat. Kekuatan dan kebesaran itu mesti diarahkan untuk membantu yang kecil dan lemah, bukan digunakan untuk menopang yang salah maupun yang sewenang-wenang. Karena ketika Al-Quran mengulang-ulang kebesaran Allah, Al-Quran juga menegaskan bahwa:
Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang yang angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman [31]: 18).
Jika seorang Muslim meneladani Allah Yang Mahakaya, ia harus menyadari bahwa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjukkan sifat itu adalah Al-Ghani. Ini yang maknanya adalah tidak membutuhkan-dan bukan kaya materi-sehingga esensi sifat itu (kekayaan) adalah kemampuan berdiri sendiri atau tidak menghajatkan pihak lain. sehingga tidak perlu membuang air muka untuk meminta-minta.
Orang-orang yang tidak tahu menduga mereka kaya, karena mereka memelihara diri dari meminta-minta (QS Al-Baqarah [2]: 273).
Tetapi dalam kedudukan manusia sebagai makhluk. ia sadar bahwa dirinya amat membutuhkan Allah:
Wahai seluruh manusia, kamu sekalian adalah orang-orang faqir (butuh) kepada Allah (QS Fathir [35]: 15).
Demikian seterusnya dengan sifat-sifat Allah yang lain, yang harus diteladaninya, seperti Maha Mengetahui, Maha Pemaaf, Maha Bijaksana, Maha Agung, Maha Pengasih, dan lain-lain.
Adalah merupakan keistimewaan bagi seseorang atau masyarakat jika menjadikan sifat -sifat Allah sebagai tolok ukur , dan tidak menjadikan kelezatan atau manfaat sesaat sebagai tolok ukur kebaikan. Karena kelezatan dan manfaat dapat berbeda-beda antara seseorang dengan yang lain, bahkan seseorang yang berada dalam kondisi dan situasi tertentu juga bisa berbeda, dengan kondisi lainnya. Boleh jadi suatu masyarakat yang terjangkiti penyakit akan menilai keburukan sebagai kebaikan.

FIKIH POLIGAMI YANG BERWAWASAN ETIKA

POLIGAMI: ANTARA AKHLAK DAN FIKIH

Poligami seringkali dianggap bertentangan dengan feminisme, akan tetapi oleh sebgaian besar masyarakat malah dianggap sebagai salah satu solusi problema sosial yang mendapat legitimasi agama.
Trend mutakhir dari perkembangan sosial masyarakat saat ini adalah menuntut dan mempertanyakan kembali segala bentuk tradisi dan aturan agama yang semakin hari dianggap tidak sesuai dengan masa kekinian. Kecenderungan ini tidaklah perlu ditakuti, bahkan hal ini adalah indikasi positif sosial, bahwa masyarakat benar-benar ingin menjalankan tatanan sosial dan tradisi berdasarkan logika dan nalar yang jernih. Islam sebagai agama yang fleksibel yang tercermin dalam al-Quran dan sunah, menyambut hangat reaksi sosial ini. Diantara kajian yang hangat dan kontroversial saat ini, adalah poligami. Meskipun polemik tentang poligami tidak bisa dikatakan sebagai hal yang baru, akan tetapi karena pembahasan ini sensitif khususnya bagi kaum hawa sehingga topik ini selalu menarik minta halayak.
Poligami yang seringkali dianggap bertentangan dengan feminisme, akan tetapi oleh masyarakat malah dianggap sebagai solusi problema sosial yang mendapat legitimasi agama. Bahkan, figur manusia suci Rasulullah Saww sendiri melakukan norma tersebut. Jelas, konsekwensi dari segala perbuatan Rasulullah saww selalu dianggap sebagai sunah untuk ummatnya. Memang terlalu sederhana memandang poligami dari sisi hukum fiqih. Bahwa hukum fiqih lebih cenderung kering apabila tidak diimbuhkan dengan nilai-nilai akhlak.
Dari satu pihak, saya sependapat dengan Faqihudin Abdul Qodir, bahwa ungkapan "poligami itu sunnah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami, sehingga lebih cenderung kaku dalam melihat hukum tersebut, tanpa melihat latar belakang sunnahnya poligami Rasulullah Saww. Akan tetapi dari sisi lain, pendapat yang mengatakan bahwa poligami sama sekali tidak benar dan bertentangan naluri manusia, khususnya wanita adalah pikiran yang dangkal.
Allamah Thabathabai seorang filosof dan mufasir kontemporer, dalam bukunya Maqalot secara jelas menyinggung bahwa pernyataan poligami bertentangan dengan naluri wanita sebagai manusia adalah tidak benar, karena yang menjadi istri kedua juga wanita yang dengan senang hati melakukannya. Seandainya bertentangan dengan naluri wanita, maka tidak akan ada wanita yang bersedia menjadi istri kedua.
Kecenderungan para sarjana Islam yang hanya memandang dari satu sisi diantara doktrinasi tersebut menyebabkan kesalahpahaman yang terus berlanjut. Seperti kajian poligami yang mempunyai aspek murni kajian akhlak dan sosial, kemudian dipaksakan sebagai wacana yang beraspek fiqih. Ayatullah Muhammad Husein Madzohiri, guru akhlak tersohor, dan juga dikenal sebagai pakar fiqih, menyatakan bahwa kajian poligami yang berkembang saat ini adalah murni kajian akhlak dan sosial, bukan fiqih.
Dalam bukunya "Akhlok dar Khoneh" Ayatullah Husein Madzohiri mengklasifikasi poligami menjadi beberapa tipe. Pertama, poligami darurat, bahwa kondisi menuntut untuk berpoligami. Sebagai contoh, apabila istri sakit, sehingga tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya sebagai istri, maka suami terpaksa berpoligami. Dan bentuk poligami inilah yang mendapatkan perhatian khusus hadis-hadis Rasulullah saw. Contoh lain, adalah istri yang mandul dan suami-istri menginginkan kehadiran seorang bayi, maka suami terpaksa berpoligami. Berkenaan dengan bentuk poligami ini, Ayatullah Husein Madhohiri menganjurkan, supaya istrinya yang mencarikan istri keduanya yang sesuai dengan kondisi spritualnya. Kedua, poligami dengan motif birahi, bahwa suami membayangkan istri kedua akan memberikan kenikmatan seks yang berbeda. Yang jelas, seorang yang bertumpu kepada hawa nafsu tidak cukup beristri satu, bahkan apabila memungkinkan akan membangun lokalisasi pribadi.
Menurut sudut pandang akhlak, bentuk poligami yang kedua ini sangat berbahaya sekali. Karena mengikuti hawa nafsu seks akan menjebaknya di lembah marabahaya. Bahwa hawa nafsu seks tidak mempunyai batas akhir, yakni seseorang tidak akan pernah klimaks dan puas, sehingga orang yang terjebak didalamnya akan selalu menkonsentrasikan pikirannya demi tujuan-tujuan tersebut. Naluri seks juga akan mengalami krisis, yang biasa disebut dengan istilah "haus seks".
Ayatullah Husein Madzohiri secara jelas dalam bukunya "akhlok dar khoneh" menyatakan bahwa naluri seks yang merupakan pemberian Tuhan akan mengalami haus seks, disaat istrinya tidak dapat menjaga "iffah" (kehormatan). Wanita yang tidak menjaga kehormatannya adalah wanita yang tidak menjaga tatanan agama, sebagai contohnya, wanita yang tidak menjaga auratnya.
Di dalam sejarah banyak contoh tipe poligami kedua ini, seperti yang telah menjadi kebiasaan para penguasa di masa kedigjayaan rezim Bani Umayah dan rezim Bani Abbas, yang hampir-hampir setiap dari mereka memiliki lokalisasi pribadi untuk melampiaskan hawa nafsunya. Semua ini adalah bukti ketidakpuasan individu, yang berangkat dari tidak terhormatnya istri disampingnya.
Ayatullah Husein Madzohiri juga menambahkan, bahwa kondisi haus seks tidak hanya dialami oleh laki-laki saja, tapi juga wanita. Indikasi ini dapat dilihat ketika wanita tidak menjaga auratnya, seperti memperlihatkan bagian-bagian sensitif kepada yang bukan mahramnya. Beliau juga mengingatkan, bahwa poligami jenis kedua ini sama sekali mengabaikan kesetiaan istri pertama, dan juga langkah yang salah.
Dalam buku tersebut beliau membawakan cerita seorang ulama besar dari Najaf yang mempunyai penghormatan khusus dikalangan komunitas pelajar agama, karena akhlak yang mulia dan ketakwaannya yang tinggi. Beliau adalah almarhum Sayid Ibrahim Ghozweini. Pada suatu hari, putri raja Fatah Ali Shah yang bernama Dziya'u Sulthonah telah bercerai dengan suaminya di umur yang relatif masih muda. Setelah perceraian, putri ini tidak ingin kembali ke Iran, tapi memilih hidup di kota Karbala.
Putri ini setelah beberapa lama hidup tanpa didampingi suami, tiba-tiba mengutus seseorang untuk menemui Sayid Ibrahim Ghozweini, dan mengatakan, "Aku ingin sekali, tangan anda menyentuh kepalaku, oleh karenanya aku berharap anda dapat menikahiku". Beliau menjawab, "Sampaikan salam kepada Dziya'u Sulthonah dan katakanlah, Aku tidak sesuai dengan anda, dan juga tidak kufu (istilah fiqih yang menjelaskan ketidaksesuaian) karena aku tua, sedangkan anda masih muda. Anda juga anak raja, sedangkan aku seorang pelajar agama. Dan anda juga juragan sedangkan aku miskin".
Pada hari berikutnya sampailah pesan putri yang menyatakan, "Aku bangga menjadi istri anda. Aku bangga tangan anda berada diatas kepalaku, yang artinya aku adalah istri anda. Masalah uang, aku tidak akan mengharap apa-apa dari anda, bahkan aku juga bersedia membiayai kebutuhan rumah istri pertama".
Melihat kondisi ini, yang mana sang putri sepertinya tidak akan melepaskannya, tiba-tiba Sayid Ghozweini berwudzu' (seakan beliau mencari ketenangan dengan bersuci melalui wudzu) dan menjawab yang kedua kalinya. "Sampaikan salam kepada Dziya'u Sulthonah dan sampaikan kepadanya, Bahwa aku mempunyai istri yang selama 40 tahun telah menanggung kefakiranku, dan juga menerima hidup dalam perantauan, sekaligus menanggung masa-masa susah dan setelah 40 tahun yang masih berkhidmat di rumah, melakukan tugas rumah tangga, melahirkan anak-anak, dan melayani suami, yang keseluruhannya dilakukan dalam kondisi berat dan pahit. Kemudian setelah itu, aku menikah dengan anda. Ini benar-benar menyakiti kesetiaan istri saya. Oleh karena itu, aku tidak rela menikahi anda".
Cerita ini sangat menarik sekali, sekalipun Sayid Ghozweini mempunyai idealisme yang tinggi, tapi tetap menghiraukan masalah yang seringkali dianggap remeh. Ternyata idealisme beliau tidak menghalangi kesetiaannya terhadap istrinya. Beliau sangat merendah dan tidak segan-segan menyatakan bahwa istrinya telah memberikan kontribusi besar dalam kehidupannya.
Ayatullah Madzohiri setelah membawakan cerita ini, menganjurkan lebih baik biaya untuk berpoligami dihadiahkan kepada generasi muda yang berhalangan menikah karena kendala ekonomi. Beliau dalam buku tersebut juga menukil hadis Imam Musa al Kadzim As bersabda, "Seandainya aku dapat mengelola satu keluarga saja dalam satu minggu itu lebih baik bagiku dari 40 kali berhaji".
Bentuk ketiga, poligami kejiwaan, bahwa manusia memiliki kecenderungan yang terkadang terpenuhi dan tidak terpenuhi. Dalam istilah ilmu psikologi disebut kecenderungan dibawah alam sadar. Pakar psikologi menyebutkan, ketika kondisi alam sadar berubah menjadi alam dibawah sadar, saat itu kondisi kejiwaan muncul. Kondisi kejiwaan sangat berbahaya sekali, karena telah kehilangan kontrol diri. Kondisi semacam ini akan muncul karena tekanan terus menerus.
Sebagai contoh, seorang istri yang kurang bisa menyambut suaminya ketika masuk rumah, yang mustinya harus menyambut dengan hangat, tapi malah menampakkan muka masam. Hari berikutnya, mengangkat suara tinggi dihadapan suaminya, sambil memerintah untuk membawa anak-anaknya yang terus mengganggu. Dan hari ketiga, meminta baju mahal yang suami tidak dapat membelinya. Semakin hari terus-menerus mendapat tekanan, sehingga suami merasa terbebani, akhirnya berfikir untuk berpoligami dengan harapan istri kedua akan memberikan ketentraman. Dan suami juga tetap akan melakukan hal yang sama, ketika mendapatkan kondisi yang sama pada istri kedua, yang akhirnya, suami akan mengambil istri yang ketiga.
Ayatullah Madzohiri dalam menerangkan poligami tipe ketiga ini, beliau menyalahkan pihak istri yang tidak dapat melayani suaminya dengan baik, dan juga tidak menjalankan sesuai dengan tuntunan agama.
Dalam memberikan gambaran dari pernikahan poligami jenis ketiga Beliau menukil sebuah cerita suami istri tauladan yang terjadi di zaman Rasulullah Saww. Seorang wanita Anshor (penduduk Madinah) yang bernama Ummu Salim yang mempunyai suami seorang pekerja. Keduanya adalah murid setia Rasulullah Saww yang masing-masing menjalankan tugas kekeluargaannya sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saww. Mereka hanya mempunyai satu anak yang berumur dua tahun yang sangat disayangi.
Pada suatu saat, anak tersebut mengalami sakit berat dan akhirnya meninggal dunia. Istri tidak dapat menahan isak tangis, kemudian sadar bahwa suaminya akan datang dari kerja. Istri tidak ingin suaminya mengalami kegoncangan setelah bekerja seharian. Istri kemudian menyembunyikan anaknya, dan berusaha keras untuk tabah dan menghilangkan kesan sedih, sehingga ketika suami datang tidak akan curiga dengan apa yang sedang terjadi. Suamipun datang, dan disambut dengan hangat, senyum dan melayani suaminya dengan baik, seperti hari-hari biasa. Suami menanyakan kondisi anak, spontan istri menjawab: "Anak dalam kondisi sehat wal afiat". Istripun tidak berbohong, karena anak tersebut telah pergi ke surga dan telah mendapatkan ketenangan sepenuhnya.
Setelah melayani suaminya dengan baik dan dan juga nampak wajah letihnya telah hilang, kemudian sang istri bertanya kepada suaminya, "Apabila seseorang menitipkan amanat kepada kita, kemudian setelah beberapa lama amanat tersebut diminta kembali, apakah kita berhak gusar dengan mengembalikan amanat tersebut kepada pemilik aslinya?" Suami spontan menjawab, "Tidak selayaknya demikian, karena berkhianat dengan amanat adalah dosa besar, maka kita harus mengembalikan amanat tersebut".
Kemudian istri melanjutkan pembicaraannya, "Kalau memang demikian, beberapa tahun yang lalu, Allah swt telah memberikan amanat kepada kita. Dan amanat tersebut telah kembali kepada pemilik aslinya, bahwa sebenarnya anak kami telah meninggal dunia". Suami mendengar berita ini, malah mengucapkan puji syukur kepada Allah swt. Memang, sewajarnya suami mensyukurinya, karena telah mendapatkan istri yang punya pengertian tinggi dalam kondisi yang gawat.
Setelah menimbang latar belakang poligami yang terbagi menjadi tiga tipe diatas, maka saatnya untuk mempertanyakan latar belakang poligami Rasulullah saww. Kenapa Rasulullah merasa cukup dengan Sayyidah Khodijah binti Khuwailid? Jawabannya sangat jelas, karena Rasulullah saww merasa tidak perlu berpoligami dengan kehadiran Sayyidah Khodijah yang sangat mewakili dalam segala aspek.
Maka tidak heran, apabila Rasulullah saww sering memuji-muji beliau dihadapan istri yang lain. Sehingga terkadang pujian Rasulullah saww kepada beliau menimbulkan kecemburuan bagi istri-istri yang tidak sadar dengan kebesaran Sayyidah Khodijah. Kemudian dari sisi lain, dapat ditambahkan, bahwa kenapa Rasulullah saww sepeninggal Sayyidah Khodijah baru berpoligami? Apakah istri yang ada tidak dapat mendampinginya dengan baik?
Untuk menelaah pertanyaan berikut ini, terlebih dahulu harus melihat latar belakang historis di masa itu. Bahwa sejarah membuktikan kepedulian lebih Rasullullah saww kepada anak-anak yatim dan keluarga syuhada peperangan mendorong Rasulullah saww untuk berpoligami, sehingga dapat memberikan perhatian lebih kepada mereka. Mungkin sebagian orang akan bertanya, "Kenapa solusinya harus menikahi ibu anak-anak yatim tersebut? Bahwa kondisi saat itu menuntut Rasulullah harus menikahinya, karena tanpanya tidak akan terealisasi sikap perhatian beliau saww.
Kondisi pada saat itu, dapat dilihat dengan rumah dan ruangan yang terbatas para keluarga syuhada'. Ini dapat dijadikan alasan poligami Rasulullah Saww, karena berada dalam satu ruangan dengan wanita yang bukan mahramnya adalah perbuatan yang tercela, yang mana tidak sesuai dengan kapasitas sebagai Rasulullah saww. Insyaallah, analisa pendek ini dapat dijadikan sebagai bentuk pertimbangan analisa sejarah, sebelum kita terjebak pada sikap yang lebih berani dalam memandang figur suci Rasulullah saww.
Satu hal lagi yang mendapatkan perhatian lebih akhir-akhir ini dalam kajian poligami, adalah hadis kontroversial Rasulullah syang tidak setuju dengan sikap menantunya yang akan menikahi wanita lain. Pada suatu saat, Nabi saww marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad saww, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib as. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru, "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib".
Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilahkan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku, apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).
Pakar sejarah Hasyim Ma'ruf al-Husaini dalam kitabnya Sirotul A'immah Istna Asyar secara jelas dan tegas menolak hadis tersebut, dengan menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan dengan riwayat-riwayat yang mursalah, bahwa kevalidan hadis tersebut diragukan. Terlebih para perawi (yang meriwayatkan hadis) juga menyebutkan bahwa wanita yang akan dikawini oleh Imam Ali As adalah Juwairiyah binti Abi Jahal Ammar bin Hisyam al-Makhzumi.
Keraguan hadis ini dapat dilihat dari riwayat yang mengatakan bahwa kejadian ini terjadi sebelum kelahiran Hasan as, putra pertama Sayyidah Fathimah az-Zahra as, berarti sekitar tahun ketiga sebelum hijrah. Sedangkan tahun itu adalah tahun-tahun dimana Rasulullah saww ditekan oleh kelompok Quraisy. Dan Abu jahal adalah tokoh mereka yang sangat getol menyingkirkan Rasulullah saww, dan juga termasuk orang-orang yang mengumpulkan para kabilah dan membagi kerja setiap dari mereka untuk membunuh Nabi saww di malam hijrahnya, sehingga setiap kabilah yang ada mempunyai saham dalam membunuh Nabi saww.
Para pakar sejarah juga sepakat bahwa Abu Jahal mati di peperangan badar, kemudian keluarganya tetap bertahan dalam kondisi musyrik hingga fathu Makkah (pembebasan kota Makkah ) pada tahun kedelapan setelah hijrah. Dengan kondisi politik pada saat itu, bagaimana mungkin Abu Jahal datang kepada Rasulullah saww meminta izin untuk menikahkan putrinya kepada Imam Ali as. Apalagi diceritakan dalam hadis tersebut, Rasulullah datang ke masjid dan naik mimbar. Sedangkan masjid pertama kali berdiri di Madinah, dan tahun ketiga sebelum hijrah tidak ada masjid untuk kaum muslimin, terlebih pada waktu itu adalah dakwah pertama Rasulullah saww.
Sangat jelas sekali keganjalan hadis ini. Oleh karena itu, hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil ketidaklegalan poligami dan sikap Nabi saww yang anti poligami. Poligami tetap sebagai solusi sosial dan mendapat legitimasi dari syariat. Tapi tidak berarti bahwa semua bentuk poligami itu sunnah dan mendapat dukungan penuh dari agama. Tapi dalam kondisi tertentu, poligami juga dapat dikatakan sebagai sunnahnya. Sunnah dan tidaknya poligami, tergantung pada bentuk poligami dan motif berpoligami.[]