Selasa, 15 Januari 2008

MUJÂHADAH

Mujâhadah berarti “berjuang: melawan susuatu. Ketika kita bermujâhadah untuk melawan (hawa) nafsu berarti berperang melawan diri kita sendiri. Kita sadar bahwa apa yang disukai oleh hawa nafsu akan disukai oleh diri kita sendiri. Hanya dengan ilmu yang tepat saja kita dapat menilai apakah kehendak itu baik atau jahat. Namun sekadar tahu buruk atau baiknya belum cukup untuk melaksanakan kebaikan atau meninggalkan keburukan. Kita perlu bermujâhadah dan terus bermujâhadah. Dan untuk bermujahâdah, kita perlukan keteguhan keyakinan (iman), penjagaan lisan dan perisai tindakan yang disebut dengan sikap “istiqâmah”. Ingatlah, setan yang kita hadapi adalah makhluk kreatif yang sangat kokoh dengan tekadnya untuk menyesatkan manusia. Hanya senjata mujâhadah dan perisai tindakan (istiqâmah) kita mampu berhadapan dengan lawan-lawan kita.
Dalam kaitannya dengan mujâhadah ini Allah SWT berfirman:

"Dan orang orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan Kami, benar benar akan Kami tunjukkan kepada merekajalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS al-‘Ankabût[29]: 69).
Diriwayatkan dari Abu Sa'id al -Khudriy, bahwa ketika Rasulullah (Muhammad) s.a.w. ditanya mengenai jihad terbaik, beliau menjawab,
سُنَنُ أَبِيْ دَاْوُدَ مَشْكُوْلٌ - (ج ١١ / ص ٤١٩)
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
"Jihad yang paling utama adalah perkataan yang adil yang disampaikan kepada seorang penguasa atau pemimpin yang zalim." (Hadis Riwayat at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah).
Maka air mata berlinang dari kedua mata Abu Sa'id ketika mendengar hal ini.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, "Barangsiapa menghiasi lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah. Siapa yang permulaannya tidak memiliki mujahadah dalam tharikat ini, ia tidak akan menemui cahaya yang memancar darinya."
Abu Utsman al-Maghriby mengatakan, "Adalah kesalahan besar bagi seseorang membayangkan bahwa dirinya akan mencapai sesuatu di Jalan Nya atau bahwa sesuatu di Jalan Nya akan tersingkap baginya, tanpa bermujahadah."
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. menegaskan, "Orang yang tidak berdiri dengan mantap di awal perjalanan spiritualnya tidak akan diizinkan beristirahat pada akhir perjalanannya." Dikatakannya pula, "Gerak adalah suatu berkat." Dan katanya kemudian, "Gerakan-gerakan zhahir (lahir) akan melahirkan barakah barakah batin." As-Sary berkata, "Wahai kaum muda, tekunlah kalian, sebelum kamu sekalian menginjak usia seperti diriku, sehingga kalian lemah dan lengah seperti diriku." Padahal pada saat itu tidak seorang pun di antara para pemuda yang mampu menyejajari langkah as-Sary dalam bidang ibadat. Saya mendengar al Hasan al-Qazzaz berkata, "Jangan makan kecuali amat lapar, jangan tidur kecuali amat kantuk, jangan bicara kecuali dalam keadaan darurat.” Ibrahim bin Adham mengatakan, "Seseorang baru akan mencapai deraiat kesalehan, sesudah melakukan enam hal:
1. menutup pintu bersenang senang dan membuka pintu penderitaan;
2. menutup pintu keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati;
3. menutup pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan;
4. menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga;
5. menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kemiskinan;
6. menutup pintu harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi kematian."
Abu Amr bin Nujayd berkata, "Barangsiapa menghargai hawa nafsunya berarti meremehkan agamanya dan pendengarannya."
Abu Ali ar-Rudzbary mengatakan,"Apabila seorang Sufi - sesudah lima hari kelaparan berkata, 'Aku lapar,' kirimlah ia ke pasar untuk mencari nafkah. Prinsip mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebiasaan kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya separijang waktu. "
Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencapai kebaikan: keberlarutan dalam memuja hawa nafsu dan penolakan pada tindak kepatuhan. Manakala jiwa menunggang nafsu, maka Anda harus mengendalikannya dengan kendali takwa. Manakala jiwa bersikukuh menolak untuk selaras dengan kehendak Tuhan, maka Anda harus mengendalikannya agar menolak hawa nafsunya. Manakala jiwa bangkit memberontak, maka Anda harus mengendalikan keadaan ini. Tiada satu hal pun yang berakibat lebih utama selain sesuatu yang muncul menggantikan kemarahan yang kekuatannya telah dihancurkan dan yang nyalanya telah dipadamkan oleh akhlak mulia. Manakala jiwa menemukan kemanisan dalam anggur kecongkakan, niscaya ia akan merana bila tidak sanggup menunjukkan kemampuannya dan menghiasi perbuatan-perbuatannya kepada siapa pun yang melihatnya. Orang harus memutuskannya dari kecenderungan seperti ini dan menyerahkannya pada hukuman kehinaan yang akan datang tatkala diingatkan akan harga dirinya yang rendah, asal usulnya yang hina dan amal amalnya yang menjijikkan. Perjuangan kaum awam berupa pelaksanaan tindakan tindakan; tujuan kaum khawash adalah menyucikan keadaan spiritual mereka. Bertahan dalam lapar dan jaga, adalah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina akhlak dan membersihkan semua hal negatif yang melekat padanya sangatlah sulit.
Satu dari sekian sifat jiwa yang merugikan dan paling sulit dilihat adalah ketergantungannya pada pujian manusia. Orang yang bermental seperti ini berarti menyangga beban langit dan bumi dengan satu alisnya. Satu pertanda yang mengisyaratkan mental seperti ini adalah bahwa apabila pujian orang tidak diberikan kepadanya, niscaya la menjadi pasif dan pengecut.
Dikabarkan bahwa Abu Muhammad al-Murta'isy berkata, "Aku berangkat haji berkali kali seorang diri. Pada suatu ketika aku menyadari bahwa segenap upayaku terkotori oleh kegembiraanku dalam melakukannya. Hal ini kusadari saat ibu memintaku menarikkan seguci air untuknya. Jiwaku merasakan hal ini sebagai beban yang berat. Saat itulah aku mengetahui bahwa apa yang kusangka merupakan kepatuhan kepada Allah swt. dalarn hajiku selama ini tidak lain hanyalah kesenanganku semata, yang datang dari kelemahan dalam jiwa, karena apabila nafsuku sirna, niscaya tidak akan mendapati tugas kewajibanku sebagai sesuatu yang memberatkan dalam hukurn syariat."
Pada suatu ketika seorang wanita lanjut usia ditanya mengenai keadaan ruhaninya. la menjawab, "Semasa muda, aku berpikir bahwa keadaan keadaan ruhani itu berasal dari kekuatan dan semangat yang tak kujumpal saat ini, ketika sudah tua, semua itu sirna sudah."
Dzun Nuun al-Mishry berkata, "Penghormatan yang Allah berkenan memberikannya kepada seorang hamba, maka Allah menunjukkan kehinaan dirinya; penghinaan yang Allah berkenan menimpakannya kepada seorang hamba, maka Allah menyembunylkan kehinaan dirinya dari pengetahuan akan kehinaan itu sendiri.
Ibrahim al-Khawwas menegaskan, "Aku tidak menghadapi seluruh ketakutanku, kecuali secara langsung menghadapinya dengan menunggangnya."
Muhammad bin Fadhl mengatakan, "Istirahat total adalah kebebasan dari keinginan hawa nafsu."
Saya mendengar Abu Ali ar-Rudzbary berkata, "Bahaya yang menimpa manusia datang dari tiga hal: Kelemahan watak, keterpakuan pada kebiasaan, dan mempertahankan teman yang merusak." Saya bertanya kepadanya, "Apakah kelemahan watak itu?" la menjawab, "Mengonsumsi hal hal yang haram." Lalu saya tanyakan, "Apakah keterpakuan pada kebiasaan itu?" la berkata, "Memandang dan mendengarkan segala sesuatu yang haram dan melibatkan diri dalam fitnah." Saya bertanya, "Apakah mempertahankan teman yang merusak itu?" Dijawabnya, "Itu terjadi ketika Anda menuruti hasrat nafsu dalam diri, lalu diri Anda mengikutinya."
An-Nashr Abadzy mengatakan, "Penjara adalah jiwa Anda. Apabila Anda melepaskan diri darinya, niscaya akan sampai pada kedamaian." la juga berkata, "Aku mendengar Muhammad al Farra' berkisah, bahwa Abul Husain al Warraq mengatakan, 'Ketika kami mulai menempuh jalan Nya lewat tasawuf di Masjid Abu Utsman al Hiry, praktik terbaik yang kami lakukan adalah bahwa kami memprioritaskan kemudahan bagi orang lain; kami tidak pernah tidur dengan menyimpan sesuatu tanpa disedekahkan; kami tidak pernah menuntut balas kepada seseorang yang menyinggung hati kami, bahkan kami selalu memaafkan tindakannya dan bersikap rendah hati kepadanya; dan jika kami memandang hina seseorang dalam hati kami, maka kami akan mewajibkan diri kami untuk melayaninya sampai perasaan memandang hina itu lenyap'."
Abu Ja'far berkata, "Nafsu, seluruhnya gelap gulita. Pelitanya adalah batinnya. Cahaya pelita ini adalah taufîq (Ind.: taufik). Orang yang tidak disertai taufik dari Tuhannya, maka kegelapan akan menyelimutinya." Ketika mengatakan, "Pelitanya adalah batinnya," dimaksudkan adalah rahasia antara dirinya dan Allah swt, yakni tempat keikhlasannya. Dengannya si hamba tersebut mengetahui bahwa semua peristiwa adalah karya Tuhan; peristiwa peristiwa bukanlah ciptaan dirinya, tidak pula berasal darinya. Bila mengetahui hal ini, la akan bebas dalam setiap keadaannya, dari kekuatan dan kekuasaannya sendirl dalam melestarikan manfaat waktunya. Orang yang tidak disertai taufik tidak akan memperoleh manfaat dari pengetahuan tentang jiwanya atau tentang Tuhannya. Itulah sebabnya mengapa para syeikh mengatakan, "Orang yang tidak mempunyai sirr akan terus bersikeras menuruti hawa nafsunya."
Abu Utsman berkata, "Selama orang melihat setiap sesuatu baik dalam jiwanya, la tidak akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya. Hanya orang yang berani mendakwa dirinya terusmenerus selalu berbuat salahlah yang akan sanggup melihat kesalahannya itu."
Abu Hafs mengatakan, "Tidak ada jalan yang lebih cepat ke arah kerusakan, kecuali jalan orang yang tidak mengetahui kekurangan diriya, karena kemaksiatan kepada Tuhan adalah jalan cepat menuju kekafiran."
Abu Sulaiman berkata, "Aku tahu bahwa tidak sedikit pun kebaikan dapat ditemukan dalam suatu perbuatan yang kulakukan sendiri, aku berharap diberi pahala karenanya."
As-Sary berkomentar, "Waspadalah terhadap orang yang suka bertetangga dengan orang kaya, pembaca pembaca al-Quran yang sering mengunjungi pasar, dan ulama ulama yang mendekati penguasa."
Dzun Nun al-Mishry mengatakan, "Kerusakan merasuki diri manusia dikarenakan enam hal:
1. mereka memiliki niat yang lemah dalam melakukan amal untuk akhirat;
2. tubuh mereka diperbudak oleh nafsu;
3. mereka tidak henti hentinya mengharapkan perolehan duniawi, bahkan menjelang ajal;
4. mereka lebih suka menyenangkan makhluk, mengalahkan ridha Sang Pencipta;
5. mereka memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak menaruh perhatian yang cukup kepada sunnah Nabi Muhammad s.a.w.;
Mereka membela diri dengan menyebutkan beberapa kesalahan orang lain, dan mengubur prestasi pendahulunya. "

RIYADHAH

RIYÂDHAH

Riyâdhah adalah latihan penyempurnaan diri secara terus menerus yang datangnya dari Alloh SWT ditujukan pada hambaNya. Semua kondisi puncak, puncak kebahagiaan, puncak penderitaan, puncak kegembiraan, puncak kesedihan merupakan wujud riyâdhah. Datangnya bisa tiba-tiba, tidak pasti dan tidak disangka. Manusia hanya mempersiapkan diri dengan berbagai latihan-latihan jiwa, semua datang dan pergi tanpa sempat bertanya kenapa ini terjadi.

Merasa Lebih: "Sikap Diri Yang Membelenggu”

Saya teringat sebuah tulisan mengenai "selembar resep atau obat". Tulisannya menyoroti perilaku orang-orang yang ingin memperoleh "kesembuhan" jiwa, tetapi tak kunjung juga mencapai kesembuhan. Meskipun mereka "giat" melakukan riyâdhah, tetapi tetap saja tutur dan perbuatan mereka memperlihatkan gejala hati yang sakit. Dengan kalimat yang berbeda, aktivitas fisik, lisan dan akal dalam praktek riyâdhah, belum juga ditorehkan ke dalam hati dan menjadi darah dan daging. Menurut teman saya itu, penyebabnya adalah, mereka memperlakukan riyâdhah tak ubahnya seperti mengumpulkan resep semata tanpa meminum obatnya sesuai dengan dosis yang diberikan bagi kesembuhannya. Atau, yang mereka lakukan adalah "mengunyah" lembaran resep yang diberikan dokter dan bukan minum obat yang dirujuk dalam resep tersebut. (Kalau soal mengunyah lembaran koran, penulis punya pengalaman yang menarik.) Akibatnya atau hasilnya dapat diperkirakan.
Dalam kaitannya dengan riyâdhah di atas, saya hanya ingin menyoroti salah satu penyakit hati, yang secara sadar maupun tidak, kita biarkan hidup subur dalam hati kita. Padahal penyakit yang satu ini merupakan hijab paling tebal yang menghalangi kita untuk sampai kepada Allah. Penyakit yang saya maksud adalah ‘ujub, atau bangga akan diri, atau boleh juga kita sebut sombong. Saya cenderung mengartikannya dengan "merasa lebih" dari yang lain. Sebagai contoh, kalau kita merasa diri kita lebih bersih; lebih mengerti; lebih banyak amalnya; dan karena itu, kita meremehkan; memandang dengan sebelah mata; tidak perlu mendengar nasihat atau pendapat orang lain, maka itu adalah tanda-tanda positif kita terjangkiti penyakit ujub. Penyakit ini tak ubahnya seperti ular piton yang membelit tubuh kita, membunuh kita dengan perlahan-lahan dengan cara semakin mengeraskan belitannya, membuat kita sulit bernafas, kemudian meremukkan tulang-tulang kita, menelan tubuh kita bulat-bulat, baru kemudian menghancurkannya dengan asam dalam lambung. Sebuah proses kematian yang perlahan tapi pasti.
Berbeda dengan ular berbisa, jika kita terkena bisa ular karena gigitannya, kita masih bisa diobati dengan menyuntikkan penawarnya. Tetapi tidak ada obat penawar untuk melepaskan belitan ular, kecuali dengan membunuh ular tersebut. Kita harus memotong bagian demi bagian tubuh dimulai dari leher ular tersebut. Kemudian kita harus memisahkan bagian demi bagian tubuh ular tersebut agar jangan sampai tersambung kembali. Baru kita dapat terbebas dari kematian yang melelahkan. Dengan demikian kita juga harus membunuh rasa ujub yang ada di hati kita sedemikian rupa dan jangan membiarkannya tersambung kembali, dan membelit hati kita.
Pelajaran paling berharga bagi kita adalah, pengajaran yang diberikan Allah melalui kitab-Nya, dimana Dia menunjukkan kepada kita gambaran keadaan dan akibat ujubnya iblis. Sebelumnya Iblis adalah mahluk ciptaan yang begitu tekunnya berdzikir dan memuji Allah, sebagaimana malaikat. Bahkan sebagaimana malaikat, iblis pun termasuk mahluk yang mencapai maqam makrifat kepada Allah. Tetapi begitu ia menolak untuk "sujud" kepada manusia, karena menganggap dirinya lebih baik dari manusia dan dibalik itu menyangsikan ilmu Allah yang menyatakan "kelebihan" manusia dari pada dirinya bahkan dari malaikat sekalipun, jatuhlah ia ke dalam kehinaan. Jadi dengan demikian, meskipun kita telah memenuhi waktu kita dengan ketaatan dan pelaksanaan ibadah sunah untuk mendekatkan diri kepada Allah, malam yang tinggal sedikit kita habiskan dengan munajat dan dzikir kepada-Nya, hingga kening kita hitam mengarang, semua itu tidak akan dapat mengantarkan kita untuk sampai kepada Allah selama ‘ujub masih melekat di hati kita.
Nabi s.a.w.. bersabda,
صَحِيْحُ مُسْلِمٍ مَشْكُوْلٌ - (ج ١ / ص ٢٤٧)
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
"Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya ada perasaan sombong, meskipun hanya sekecil biji sawi".
Teman saya yang pernah menulis dengan sebuah tulisan yang saya sebut di atas, sesungguhnya bagaikan sebuah cermin yang bukan sekedar merefleksikan segala sesuatu yang ada dalam dirinya dan juga yang ada di sekitarnya secara visual, tetapi dia juga memancarkan sinyal-sinyal peringatan berfrekuensi tinggi kepada segala sesuatu tersebut yang menurut nuraninya mengalami bias bahkan ketertipuan. Selanjutnya bergantung bagaimana kita "membaca" sinyal tersebut. Kalau dari awal kita salah membaca, keliru menangkap motif yang berada di balik semua itu, maka selanjutnya semua penafsiran kita yang ditarik dari hasil membaca sinyal tersebut, ya keliru juga. Ada orang bijak yang mengatakan, "Tidak sulit untuk mengenal Tuhan, yang sulit adalah mengenal diri sendiri".
MUJÂHADAH

"Dan orang orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan Kami, benar benar akan Kami tunjukkan kepada merekajalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS al-‘Ankabût[29]: 69).

Diriwayatkan dari Abu Sa'id al -Khudriy, bahwa ketika Rasulullah (Muhammad) s.a.w. ditanya mengenai jihad terbaik, beliau menjawab,

سُنَنُ أَبِيْ دَاْوُدَ مَشْكُوْلٌ - (ج ١١ / ص ٤١٩)
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ

"Jihad yang paling utama adalah perkataan yang adil yang disampaikan kepada seorang penguasa atau pemimpin yang zalim." (Hadis Riwayat at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Maka air mata berlinang dari kedua mata Abu Sa'id ketika mendengar hal ini.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, "Barangsiapa menghiasi lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah. Siapa yang permulaannya tidak memiliki mujahadah dalam tharikat ini, ia tidak akan menemui cahaya yang memancar darinya."

Abu Utsman al-Maghriby mengatakan, "Adalah kesalahan besar bagi seseorang membayangkan bahwa dirinya akan mencapai sesuatu di Jalan Nya atau bahwa sesuatu di Jalan Nya akan tersingkap baginya, tanpa bermujahadah."

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. menegaskan, "Orang yang tidak berdiri dengan mantap di awal perjalanan spiritualnya tidak akan diizinkan beristirahat pada akhir perjalanannya." Dikatakannya pula, "Gerak adalah suatu berkat." Dan katanya kemudian, "Gerakan-gerakan zhahir (lahir) akan melahirkan barakah barakah batin."

As-Sary berkata, "Wahai kaum muda, tekunlah kalian, sebelum kamu sekalian menginjak usia seperti diriku, sehingga kalian lemah dan lengah seperti diriku." Padahal pada saat itu tidak seorang pun di antara para pemuda yang mampu menyejajari langkah as-Sary dalam bidang ibadat. Saya mendengar al Hasan al-Qazzaz berkata, "Jangan makan kecuali amat lapar, jangan tidur kecuali amat kantuk, jangan bicara kecuali dalam keadaan darurat.” Ibrahim bin Adham mengatakan, "Seseorang baru akan mencapai deraiat kesalehan, sesudah melakukan enam hal:

1. menutup pintu bersenang senang dan membuka pintu penderitaan;
2. menutup pintu keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati;
3. menutup pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan;
4. menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga;
5. menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kemiskinan;
6. menutup pintu harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi kematian."

Abu Amr bin Nujayd berkata, "Barangsiapa menghargai hawa nafsunya berarti meremehkan agamanya dan pendengarannya."

Abu Ali ar-Rudzbary mengatakan,"Apabila seorang Sufi - sesudah lima hari kelaparan berkata, 'Aku lapar,' kirimlah ia ke pasar untuk mencari nafkah. Prinsip mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebiasaan kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya separijang waktu."

Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencapai kebaikan: keberlarutan dalam memuja hawa nafsu dan penolakan pada tindak kepatuhan. Manakala jiwa menunggang nafsu, maka Anda harus mengendalikannya dengan kendali takwa. Manakala jiwa bersikukuh menolak untuk selaras dengan kehendak Tuhan, maka Anda harus mengendalikannya agar menolak hawa nafsunya. Manakala jiwa bangkit memberontak, maka Anda harus mengendalikan keadaan ini. Tiada satu hal pun yang berakibat lebih utama selain sesuatu yang muncul menggantikan kemarahan yang kekuatannya telah dihancurkan dan yang nyalanya telah dipadamkan oleh akhlak mulia. Manakala jiwa menemukan kemanisan dalam anggur kecongkakan, niscaya ia akan merana bila tidak sanggup menunjukkan kemampuannya dan menghiasi perbuatan-perbuatannya kepada siapa pun yang melihatnya. Orang harus memutuskannya dari kecenderungan seperti ini dan menyerahkannya pada hukuman kehinaan yang akan datang tatkala diingatkan akan harga dirinya yang rendah, asal usulnya yang hina dan amal amalnya yang menjijikkan.

Perjuangan kaum awam berupa pelaksanaan tindakan tindakan; tujuan kaum khawash adalah menyucikan keadaan spiritual mereka. Bertahan dalam lapar dan jaga, adalah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina akhlak dan membersihkan semua hal negatif yang melekat padanya sangatlah sulit.

Satu dari sekian sifat jiwa yang merugikan dan paling sulit dilihat adalah ketergantungannya pada pujian manusia. Orang yang bermental seperti ini berarti menyangga beban langit dan bumi dengan satu alisnya. Satu pertanda yang mengisyaratkan mental seperti ini adalah bahwa apabila pujian orang tidak diberikan kepadanya, niscaya la menjadi pasif dan pengecut.

Dikabarkan bahwa Abu Muhammad al-Murta'isy berkata, "Aku berangkat haji berkali kali seorang diri. Pada suatu ketika aku menyadari bahwa segenap upayaku terkotori oleh kegembiraanku dalam melakukannya. Hal ini kusadari saat ibu memintaku menarikkan seguci air untuknya. Jiwaku merasakan hal ini sebagai beban yang berat. Saat itulah aku mengetahui bahwa apa yang kusangka merupakan kepatuhan kepada Allah swt. dalarn hajiku selama ini tidak lain hanyalah kesenanganku semata, yang datang dari kelemahan dalam jiwa, karena apabila nafsuku sirna, niscaya tidak akan mendapati tugas kewajibanku sebagai sesuatu yang memberatkan dalam hukurn syariat."

Pada suatu ketika seorang wanita lanjut usia ditanya mengenai keadaan ruhaninya. la menjawab, "Semasa muda, aku berpikir bahwa keadaan keadaan ruhani itu berasal dari kekuatan dan semangat yang tak kujumpal saat ini, ketika sudah tua, semua itu sirna sudah."

Dzun Nuun al-Mishry berkata, "Penghormatan yang Allah berkenan memberikannya kepada seorang hamba, maka Allah menunjukkan kehinaan dirinya; penghinaan yang Allah berkenan menimpakannya kepada seorang hamba, maka Allah menyembunylkan kehinaan dirinya dari pengetahuan akan kehinaan itu sendiri.

Ibrahim al-Khawwas menegaskan, "Aku tidak menghadapi seluruh ketakutanku, kecuali secara langsung menghadapinya dengan menunggangnya."

Muhammad bin Fadhl mengatakan, "Istirahat total adalah kebebasan dari keinginan hawa nafsu."

Saya mendengar Abu Ali ar-Rudzbary berkata, "Bahaya yang menimpa manusia datang dari tiga hal: Kelemahan watak, keterpakuan pada kebiasaan, dan mempertahankan teman yang merusak." Saya bertanya kepadanya, "Apakah kelemahan watak itu?" la menjawab, "Mengonsumsi hal hal yang haram." Lalu saya tanyakan, "Apakah keterpakuan pada kebiasaan itu?" la berkata, "Memandang dan mendengarkan segala sesuatu yang haram dan melibatkan diri dalam fitnah." Saya bertanya, "Apakah mempertahankan teman yang merusak itu?" Dijawabnya, "Itu terjadi ketika Anda menuruti hasrat nafsu dalam diri, lalu diri Anda mengikutinya."

An-Nashr Abadzy mengatakan, "Penjara adalah jiwa Anda. Apabila Anda melepaskan diri darinya, niscaya akan sampai pada kedamaian." la juga berkata, "Aku mendengar Muhammad al Farra' berkisah, bahwa Abul Husain al Warraq mengatakan, 'Ketika kami mulai menempuh jalan Nya lewat tasawuf di Masjid Abu Utsman al Hiry, praktik terbaik yang kami lakukan adalah bahwa kami memprioritaskan kemudahan bagi orang lain; kami tidak pernah tidur dengan menyimpan sesuatu tanpa disedekahkan; kami tidak pernah menuntut balas kepada seseorang yang menyinggung hati kami, bahkan kami selalu memaafkan tindakannya dan bersikap rendah hati kepadanya; dan jika kami memandang hina seseorang dalam hati kami, maka kami akan mewajibkan diri kami untuk melayaninya sampai perasaan memandang hina itu lenyap'."

Abu Ja'far berkata, "Nafsu, seluruhnya gelap gulita. Pelitanya adalah batinnya. Cahaya pelita ini adalah taufîq (Ind.: taufik). Orang yang tidak disertai taufik dari Tuhannya, maka kegelapan akan menyelimutinya." Ketika mengatakan, "Pelitanya adalah batinnya," dimaksudkan adalah rahasia antara dirinya dan Allah swt, yakni tempat keikhlasannya. Dengannya si hamba tersebut mengetahui bahwa semua peristiwa adalah karya Tuhan; peristiwa peristiwa bukanlah ciptaan dirinya, tidak pula berasal darinya. Bila mengetahui hal ini, la akan bebas dalam setiap keadaannya, dari kekuatan dan kekuasaannya sendirl dalam melestarikan manfaat waktunya. Orang yang tidak disertai taufik tidak akan memperoleh manfaat dari pengetahuan tentang jiwanya atau tentang Tuhannya. Itulah sebabnya mengapa para syeikh mengatakan, "Orang yang tidak mempunyai sirr akan terus bersikeras menuruti hawa nafsunya."

Abu Utsman berkata, "Selama orang melihat setiap sesuatu baik dalam jiwanya, la tidak akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya. Hanya orang yang berani mendakwa dirinya terusmenerus selalu berbuat salahlah yang akan sanggup melihat kesalahannya itu."

Abu Hafs mengatakan, "Tidak ada jalan yang lebih cepat ke arah kerusakan, kecuali jalan orang yang tidak mengetahui kekurangan diriya, karena kemaksiatan kepada Tuhan adalah jalan cepat menuju kekafiran."

Abu Sulaiman berkata, "Aku tahu bahwa tidak sedikit pun kebaikan dapat ditemukan dalam suatu perbuatan yang kulakukan sendiri, aku berharap diberi pahala karenanya."
As-Sary berkomentar, "Waspadalah terhadap orang yang suka bertetangga dengan orang kaya, pembaca pembaca al-Quran yang sering mengunjungi pasar, dan ulama ulama yang mendekati penguasa."

Dzun Nun al-Mishry mengatakan, "Kerusakan merasuki diri manusia dikarenakan enam hal:

1. mereka memiliki niat yang lemah dalam melakukan amal untuk akhirat;
2. tubuh mereka diperbudak oleh nafsu;
3. mereka tidak henti hentinya mengharapkan perolehan duniawi, bahkan menjelang ajal;
4. mereka lebih suka menyenangkan makhluk, mengalahkan ridha Sang Pencipta;
5. mereka memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak menaruh perhatian yang cukup kepada sunnah Nabi Muhammad s.a.w.;

Mereka membela diri dengan menyebutkan beberapa kesalahan orang lain, dan mengubur prestasi pendahulunya. "

MURAQABATULLAH

MURÂQABATULLÂH

Keterjagaan dan keterasingan kita dari kehidupan dapat membuat pikiran kita kembali segar dan jernih. Inilah yang mesti kita cari, di ketika kita terasing dari keramaian dunia, kita kembali mengingat Allah. Dan, ketika hanya Allah yang tersisa dalam ingatan kita, kita kembali lagi ke tengah keramaian dengan membawa bekal dari Allah: “muraqâbah”. Ketika Allah bersama kita dan selalu setia menemani kita, mengawasi dan peduli. Dan kita pun menjadi selalu peduli untuk mengingat-Nya.

Praktik tasawuf yang sangat penting ialah “keterjagaan”. Kata Arabnya murâqabah. Ini dipraktikkan agar dapat menyaksikan dan menghaluskan keadaan diri sendiri. Dengan praktik murâqabah timbul kepekaan yang kian lama kian besar yang menghasilkan kemampuan untuk menyaksikan "pembukaan" (Ar.: “kasysyâf”) di dalam diri yang selama ini terhambat oleh “selubung” (Ar.: “hijâb”), karena hati manusia kotor dan terkadang menjadi sakit atau bahkan mati. Murâqabah yang terkonsentrasi dan maju terjadi dalam pengasingan diri (khalwat). Selama pengasingan, dan ketika "pembukaan" yang sesungguhnya terjadi, si pencari akan menerima kekosongan dan ketidakterbatasan waktu yang luas dalam dirinya. Ini merupakan “kulminasi” (puncak-pencapaian), boleh dikatakan, dari kesadaran diri dan keterjagaan diri, dan awal dari apa yang dipandang sebagai proses kebangunan gnostik (ma’rifah) atau pencerahan. Maksud dari semua ini ialah, bahwa orang itu sadar setiap waktu tentang keadaan di dalam batin yang tak terlukiskan, yang tak ada batasnya.
Mengawali Hidup dengan Pengasingan Diri (Khalwat)
Sering praktik khalwat dipadu dengan praktik spiritual lain yang ditetapkan selama empat puluh hari. Mengapa empat puluh hari? Dalam dunia alamiah, terdapat banyak hukum alam, sebagian di antaranya berjalan menurut siklus. Juga terdapat banyak hukum biologi, seperti hukum-hukum yang mengatur perkembangbiakan dan pemberian makanan, yang mengikuti suatu ritme tertentu dan siklus waktu. Dalam hal makanan ruhani atau rehabilitasi. ada pula tempo dan frekuensi optimum.
Dalam tradisi praktik khalwat sufi sering kita dapati waktu pengasingan diri ditetapkan oleh guru ruhani (Syaikh [Syekh], yang biasanya diwakili oleh para mursyid) bagi muridnya (sâlik), biasanya untuk jangka waktu empat puluh hari, atau sepuluh hari, atau tujuh atau tiga hari, dan sebagainya. Misalnya, untuk waktu khalwat selama bulan Ramadan, hendaknya seseorang menyendiri (berkhalwat) di mesjid sedikitnya selama tiga hari dan biasanya sepuluh hari.
Syekh sufi menyuruh seorang pencari untuk berkhalwat apabila tubuh, pikiran dan hatinya telah sepenuhnya siap untuk itu. Kata Arab untuk pengasingan diri ialah khalwah (khalwat) Begitu memasuki khalwat, tujuannya ialah-dengan cara dzikrullâh dan berjaga- untuk meninggalkan semua pikiran, dan melalui pemusatan pikiran ke satu titik mengalami kasadaran yang murni. Selama khalwatnya seorang murid, makannya harus diatur dengan cermat oleh syekh. Demikian pula, keadaan mental, emosi, dan ruhaninya diawasi. Pengasingan spiritual dan dzikrullâh tidak akan bermanfaat apabila si pencari tidak siap meninggalkan semua aspek kemakhlukkan. Salah satu bentuk pengasingan spiritual disebut ‘chilla’ yang artinya empat puluh, dan jangka waktunya empat puluh hari. Dikatakan bahwa bila seseorang telah siap untuk dikurung selama empat puluh hari, suatu terobosan atau pembukaan dapat tercapai lebih awal, sebelum genap empat puluh hari.
Jangka waktu khalwat yang disebutkan dalam al-Quran sehubungan dengan Nabi Musa a.s. adalah suatu janji karena Allah selama empat puluh hari (Q.S al-Baqarah [2]: 251),

“Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”
Dimulai tiga puluh hari lalu ditambah sepuluh hari (QS al-A’râf [7]: 142),

“Dan Telah kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. dan Berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah Aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah , dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan."

Nabi Zakaria a.s. diperintahkan untuk tidak berbicara selama tiga hari (QS Maryam [19]: 10),

“Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, berilah Aku suatu tanda". Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat."
Nabi Muhammad s.a.w. ditanya, "Berapa hari seseorang harus bertaubat agar diampuni [yakni sadar akan hakikat]?" Beliau pun menjawab: "Setahun sebelum mati sudah cukup." Kemudian beliau segera berkata: "Setahun terlalu lama; sebulan sebelum mati cukuplah." Kemudian beliau berkata: "Sebulan terlalu lama." Kemudian beliau terus berkata, semakin mengurangi jangka waktunya, sampai beliau berkata: "Langsung bertaubat, juga cukup."

Senin, 14 Januari 2008

DOSA-DOSA HOMOSEKSUAL

GAY, LESBIAN, HOMOSEKSUAL:
“DOSA-DOSA HOMOSEKSUAL”

Homoseksual adalah sejelek-jelek perbuatan keji yang tidak layak dilakukan oleh manusia normal. Allah telah menciptakan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan perempuan sebagai tempat laki-laki menyalurkan nafsu bilogisnya, dan demikian sebaliknya. Sedangkan prilaku homoseksual –semoga Allah melindungi kita darinya- keluar dari makna tersebut dan merupakan bentuk perlawanan terhadap tabiat yang telah Allah ciptakan itu. Prilaku homoseksual merupakan kerusakan yang amat parah. Padanya terdapat unsur-unsur kekejian dan dosa perzinaan, bahkan lebih parah dan keji daripada perzinaan. Aib wanita yang berzina tidaklah seperti aib laki-laki yang melakukan homoseksual. Kebencian dan rasa jijik kita terhadap orang yang berbuat zina tidak lebih berat daripada kebencian dan rasa jijik kita terhadap orang yang melakukan homoseksual. Sebabnya adalah meskipun zina menyelisihi syariat, akan tetapi zina tidak menyelisihi tabiat yang telah Allah ciptakan (di antara laki-laki dan perempuan). Sedangkan homoseksual menyelisihi syariat dan tabiat sekaligus.Para alim ulama telah sepakat tentang keharaman homoseksual. Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mencela dan menghina para pelakunya.

“Artinya : Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya. ‘Mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelum kalian? ‘Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melampui batas” [Al-A’raf : 80-81]

Dalam kisah kaum Nabi Luth ini tampak jelas penyimpangan mereka dari fitrah. Sampai-sampai ketika menjawab perkataan mereka, Nabi Luth mengatakan bahwa perbuatan mereka belum pernah dilakukan oleh kaum sebelumnya.

BESARNYA DOSA HOMOSEKSUAL SERTA KEKEJIAN DAN KEJELEKANNYA

Kekejian dan kejelekan perilaku homoseksual telah mencapai puncak keburukan, sampai-sampai hewan pun menolaknya. Hampir-hampir kita tidak mendapatkan seekor hewan jantan pun yang mengawini hewan jantan lain. Akan tetapi keanehan itu justru terdapat pada manusia yang telah rusak akalnya dan menggunakan akal tersebut untuk berbuat kejelekan. Dalam Al-Qur’an Allah menyebut zina dengan kata faahisyah (tanpa alif lam), sedangkan homoseksual dengan al-faahisyah (dengan alif lam), (jka ditinjau dari bahsa Arab) tentunya perbedaan dua kta tersebut sangat besar. Kata faahisyah tanpa alif dan lam dalam bentuk nakirah yang dipakai untuk makna perzinaan menunjukkan bahwa zina merupakan salah satu perbuatan keji dari sekian banyak perbuatan keji. Akan tetapi, untuk perbuatan homoseksual dipakai kata al-faahisyah dengan alif dan lam yang menunjukkan bahwa perbuatan itu mencakup kekejian seluruh perbuatan keji. Maka dari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Mengapa kalian mengerjakan perbuatan faahisyah itu yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian” [Al-A’raf : 80]

Maknanya, kalian telah mengerjakan perbuatan yang kejelekan dan kekejiannya telah dikukuhkan oleh semua manusia. Sementara itu, dalam masalah zina, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu faahisyah (perbuatan yang keji) dan suatu jalan yang buruk” [Al-Isra : 32]

Ayat ini menerangkan bahwa zina adalah salah satu perbuatan keji, sedangkan ayat sebelumnya menerangkan bahwa perbuatan homoseksual mencakup kekejian. Zina dilakukan oleh laki-laki dan perempuan karena secara fitrah di antara laki-laki dan perempuan terdapat kecenderungan antara satu sama lain, yang oleh Islam kecenderungan itu dibimbing dan diberi batasan-batasan syariat serta cara-cara penyaluran yang sebenarnya. Oleh karena itu, Islam menghalalkan nikah dan mengharamkan zina serta memeranginya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” [Al-Mukminun : 5-7]

Jadi, hubungan apapun antara laki-laki dan perempuan di luar batasan syariat dinamakan zina. Maka dari itu hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan panggilan fitrah keduanya, adapun penyalurannya bisa dengan cara yang halal, bisa pula dengan yang haram. Akan tetapi, jika hal itu dilakukan antara laki-laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan, maka sama sekali tidak ada hubungannya dengna fitrah. Islam tidak menghalalkannya sama sekali karena pada insting dan fitrah manusia tidak terdapat kecenderungan seks laki-laki kepada laki-laki atau perempuan kepada perempuan. Sehingga jika hal itu terjadi, berarti telah keluar dari batas-batas fitrah dan tabiat manusia, yang selanjutnya melanggar hukum-hukum Allah.

“Artinya : Yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelum kalian” [Al-A’raf : 80]

Mujtahid berkata : “Orang yang melakukan perbuatan homoseksual meskipun dia mandi dengan setiap tetesan air dari langit dan bumi masih tetap najis”.

Fudhail Ibnu Iyadh berkata : “Andaikan pelaku homoseksual mandi dengan setiap tetesan air langit maka dia akan menjumpai Allah dalam keadaan tidak suci”.Artinya, air tersebut tidak bisa menghilangkan dosa homoseksual yang sangat besar yang menjauhkan antara dia dengan Rabbnya. Hal ini menunjukkan betapa mengerikannya dosa perbuatan tersebut. Amr bin Dinar berkata menafsirkan ayat diatas : “Tidaklah sesama laki-laki saling meniduri melainkan termasuk kaum Nabi Luth”.Al-Walid bin Abdul Malik berkata : “Seandainya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menceritakan kepada kita berita tentang kaum Nabi luth, maka aku tidak pernah berfikir kalau ada laki-laki yang menggauli laki-laki”.Maka sungguh menakjubkan manakala kita melihat kebiasaan yang sangat jelek dari kaum Nabi Luth ini –yang telah Allah binasakan- tersebar diantara manusia, padahal kebiasaan itu hampir-hampir tidak terdapat pada hewan. Kita tidak akan mendatapkan seekor hewan jantan pun yang menggauli hewan jantan lainnya kecuali sedikit dan jarang sekali, seperti keledai. Maka itulah arti dari firman Allah berikut.

“Artinya : Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas” [Al-A’raf :81]

Allah mengatakan kepada mereka bahwa sesungguhnya perbuatan keji itu belum pernah dilakukan oleh siapapun di muka bumi ini, dan itu mencakup manusia dan hewan. Apabila seorang manusia cenderung menyalurkan syahwatnya dengan cara yang hewan saja enggan melakukannya, maka kita bisa tahu bagaimana kondisi kejiwaan manusia itu. Bukankah ini merupakan musibah yang paling besar yang menurunkan derajat manusia dibawah derajat hewan?! Maksud dari penjelasan di atas adalah sebagai berikut.

Pertama : Jika penyakit ini tersebar di tengah umat manusia, maka keturunan manusia itu akan punah karena laki-laki sudah tidak membutuhkan wanita. Populasi manusia akan semakin berkurang secara berangsur.

Kedua :Pelaku homoseksual tidak mau menyalurkan nafsu biologisnya kepada perempuan. Jika dia telah beristeri, maka dia akan mengabaikan isterinya dan menjadikannya pemuas orang-orang yang rusak. Dan jika dia masih bujangan, maka dia tidak akan berfikir untuk menikah. Sehingga, apabila homosek ini telah merata dalam sebuah kelompok masyarakat, maka kaum laki-lakinya tidak akan lagi merasa membutuhkan perempuan. Akibatnya, tersia-siakanlah kaum wanita. Mereka tidak mendapatkan tempat berlindung dan tidak mendapatkan orang yang mengasihi kelemahan mereka. Disinilah letak bahaya sosial homoseksual yang berkepanjangan.

Ketiga : Pelaku homoseksual tidak peduli dengan kerusakan akhlak yang ada disekitarnya.

CIRI-CIRI KAUM HOMOSEKS

[1]. Fitrah dan tabiat mereka terbalik dan berubah dari fitrah yang telah Allah ciptakan pada pria, yaitu kehendak kepada wanita bukan kepada laki-laki.
[2]. Mereka mendapatkan kelezatan dan kebahagian apabila mereka dapat melampiaskan syahwat mereka pada tempat-tempat yang najis dan kotor dan melepaskan air kehidupan mani) di situ.
[3]. Rasa malu, tabiat, dan kejantanan mereka lebih rendah daripada hewan.
[4]. Pikiran dan ambisi mereka setiap saat selalu terfokus kepada perbuatan keji itu karena laki-laki senantiasa ada di hadapan mereka di setiap waktu. Apabila mereka melihat salah seorang di antaranya, baik anak kecil, pemuda atau orang yang sudah berumur, maka mereka akan menginginkannya baik sebagai objek ataupun pelaku.
[5]. Rasa malu mereka kecil. Mereka tidak malu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala juga kepada makhlukNya. Tidak ada kebaikan yang diharapkan dari mereka.
[6]. Mereka tidak tampak kuat dan jantan. Mereka lemah di hadapan setiap laki-laki karena merasa butuh kepadanya.
[7]. Allah mensifati mereka sebagai orang fasik dan pelaku kejelekan ; “Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik” [Al-Anbiya : 74]
[8]. Mereka disebut juga sebagai orang-orang yang melampui batas : “Sesungguhnya kalian mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsu kalian (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kalian ini adalah kaum yang melapaui batas” [Al-A’raf : 81]. Artinya, mereka melampaui batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah.
[9]. Allah menamakan mereka sebagai kaum perusak dan orang yang zhalim :”Luth berdo’a. ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku (dengan menimpakan azab) atas kaum yang berbuat kerusakan itu’. Dan tatkala utusan Kami (para malaikat) datang kepada Ibrahim membawa kabar gembira, mereka mengatakan, ‘Sesungguhnya kami akan menghancurkan penduduk (Sodom) ini. Sesunguhnya penduduknya adalah orang-orang yang zhalim” [Al-Ankabut : 30-31]

AZAB DAN SIKSA KAUM NABI LUTH

Disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menhujani mereka dengan batu. Tidak tersisa seorangpun melainkan dia terhujani batu tersebut. Sampai-sampai disebutkan bahwa salah seorang dari pedagang di Mekkah juga terkena hujan batu sekeluarnya dari kota itu. Kerasnya azab tersebut menunjukkan bahwa homoseksual merupakan perbuatan yang paling keji sebagaimana yang disebutkan dalam dalil.Dalam suatu hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.“Artinya : Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth” [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 (no. 7337)]

Arti dari laknat Allah adalah kemurkaanNya, dan terjauhkan dari rahmatNya. Allah membalik negeri kaum Luth dan menghujani mereka dengan batu-batu (berasal) dari tanah yang terbakar dari Neraka Jahannam yang susul-menyusul. Tertulis di atas batu-batu itu nama-nama kaum tersebut sebagaimana yang dikatakan Al-Jauhari.

[Disalin dari Majalah Fatawa Vol. 11/Th.1/1424H-2003M. Disarikan dan dialaihbahasakan oleh Yusuf Purwanto dan Abdullah. Alamat Redaksi Islamic Center Bin Baz, Karanggayam, Sitimulyo, Piyungan-Bantul, Yogyakarta]

SUNNAHNYA PUASA 'ASYURA DIBULAN MUHARRAM

SUNNAHNYA PUASA‘ASYURA DI BULAN MUHARAM

Puasa selain merupakan ibadah yang mulia di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengandung sekian banyak manfaat yang lain. Dengan berpuasa seseorang dapat mengendalikan syahwat dan hawa nafsunya. Dan puasa juga menjadi perisai dari api neraka. Puasa juga dapat menghapus dosa-dosa dan memberi syafaat di hari kiamat. Dan puasa juga dapat membangkitkan rasa solidaritas kemanusiaan, serta manfaat lainnya yang sudah dimaklumi terkandung pada ibadah yang mulia ini.

Pada bulan Muharram ada satu hari yang dikenal dengan sebutan hari ‘Asyura. Orang-orang jahiliyah pada masa pra Islam dan bangsa Yahudi sangat memuliakan hari ini. Hal tersebut karena pada hari ini Allah Subhanahu wa Ta’ala selamatkan Nabi Musa ‘alaihissalam dari kejaran Fir’aun dan bala tentaranya. Bersyukur atas karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya, Nabi Musa ‘alaihissalam akhirnya berpuasa pada hari ini. Tatkala sampai berita ini kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wassalam, melalui orang-orang Yahudi yang tinggal di Madinah beliau bersabda,

فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
“Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian (kaum Yahudi)”.

Yang demikian karena pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sampai di Madinah, beliau mendapati Yahudi Madinah berpuasa pada hari ini, maka beliau sampaikan sabdanya sebagaimana di atas. Semenjak itu beliau Saw memerintahkan ummatnya untuk berpuasa, sehingga jadilah puasa ‘Asyura diantara ibadah yang disukai di dalam Islam. Dan ketika itu puasa Ramadhan belum diwajibkan.

Adalah Abdullah bin Abbas radiyallahu ‘anhu yang menceritakan kisah ini kepada kita sebagaimana yang terdapat di dalam Shahih Bukhari No 1900,

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِيْنَةَ فَرَأَى اليَهُوْدَ تَصُوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاء فَقَالَ:ماَ هَذَا؟ قَالُوْا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوْسَى. قَالَ: فَأَناَ أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ. فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Tatkala Nabi Saw datang ke Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi melakukan puasa di hari ‘Asyura. Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam bertanya, “Hari apa ini?”. Orang-orang Yahudi menjawab, “Ini adalah hari baik, pada hari ini Allah selamatkan Bani Israil dari musuhnya, maka Musa ‘alaihissalam berpuasa pada hari ini. Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Saya lebih berhak mengikuti Musa dari kalian (kaum Yahudi). Maka beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan ummatnya untuk melakukannya”. (HR Al Bukhari)

Dan dari Aisyah radiyallahu ‘anha, ia mengisahkan,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِصِيَامِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانَ كَانَ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ
“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan untuk puasa di hari ‘Asyura. Dan ketika puasa Ramadhan diwajibkan, barangsiapa yang ingin (berpuasa di hari ‘Asyura) ia boleh berpuasa dan barangsiapa yang ingin (tidak berpuasa) ia boleh berbuka”. HR Al Bukhari No 1897

Keutamaan puasa ‘Asyura di dalam Islam.

Di masa hidupnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam berpuasa di hari ‘Asyura. Kebiasaan ini bahkan sudah dilakukan beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam sejak sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan dan terus berlangsung sampai akhir hayatnyaShallallahu ‘alaihi wassalam . Al Imam Al Bukhari (No 1902) dan Al Imam Muslim (No 1132) meriwayatkan di dalam shahih mereka dari Abdullah bin Abbas radiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَومَ فَضْلِهِ عَلَى غَيْرِهِ إِلاَّ هَذَا اليَوْمِ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ وَهذَا الشَّهْرُ يَعْنِي شَهْرُ رَمَضَانَ
“Aku tidak pernah mendapati Rasulullah menjaga puasa suatu hari karena keutamaannya dibandingkan hari-hari yang lain kecuali hari ini yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu bulan Ramadhan”.

Hal ini menandakan akan keutamaan besar yang terkandung pada puasa di hari ini. Oleh karena itu ketika beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam ditanya pada satu kesempatan tentang puasa yang paling afdhal setelah Ramadhan, beliau menjawab bulan Allah Muharram. Dan Al Imam Muslim serta yang lainnya meriwayatkan dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ، شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ. وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الفَرِيْضَةَ، صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa) di bulan Allah Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam”.

Dan puasa ‘Asyura menggugurkan dosa-dosa setahun yang lalu. Al Imam Abu Daud meriwayatkan di dalam Sunan-nya dari Abu Qatadah ra,

وَصَوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ إنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَنَة َالتِيْ قَبْلَهُ
“Dan puasa di hari ‘Asyura, sungguh saya mengharap kepada Allah bisa menggugurkan dosa setahun yang lalu”.

Hukum Puasa ‘Asyura

Sebagian ulama salaf menganggap puasa ‘Asyura hukumnya wajib akan tetapi hadits ‘Aisyah di atas menegaskan bahwa kewajibannya telah dihapus dan menjadi ibadah yang mustahab (sunnah). Dan Al Imam Ibnu Abdilbarr menukil ijma’ ulama bahwa hukumnya adalah mustahab.

Waktu Pelaksanaan Puasa ‘Asyura

Jumhur ulama dari kalangan salaf dan khalaf berpendapat bahwa hari ‘Asyura adalah hari ke-10 di bulan Muharram. Di antara mereka adalah Said bin Musayyib, Al Hasan Al Bashri, Malik, Ahmad, Ishaq dan yang lainnya. Dan dikalangan ulama kontemporer seperti Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah. Pada hari inilah Rasullah Saw semasa hidupnya melaksanakan puasa ‘Asyura. Dan kurang lebih setahun sebelum wafatnya, beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

لَئِنْ بَقِيْتُ إِلَى قَابِلٍ َلأَصُوْمَنَّ التَاسِعَ
“Jikalau masih ada umurku tahun depan, aku akan berpuasa tanggal sembilan (Muharram)”

Para ulama berpendapat perkataan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam , “…aku akan berpuasa tanggal sembilan (Muharram)”, mengandung kemungkinan beliau ingin memindahkan puasa tanggal 10 ke tanggal 9 Muharram dan beliau ingin menggabungkan keduanya dalam pelaksanaan puasa ‘Asyura. Tapi ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam ternyata wafat sebelum itu maka yang paling selamat adalah puasa pada kedua hari tersebut sekaligus, tanggal 9 dan 10 Muharram.


Dan Al-Imam Asy-Syaukani dan Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan puasa ‘Asyura ada tiga tingkatan. Yang pertama puasa di hari ke 10 saja, tingkatan kedua puasa di hari ke dan ke 10 dan tingkatan ketiga puasa di hari 9,10 dan 11. Wallahua’lam.

Dikutip dari tulisan al-Ustadz Ja’far Shalih. Judul asli SUNNAH PUASA ‘ASYURA. Sumber: http://www.ahlussunnah-jakarta.org/detail.php?no=176)

Kamis, 03 Januari 2008

SEKILAS MENGENAL ISLAM LIBERAL

SEKILAS MENGENAL ISLAM LIBERAL

ABSTRAK

Jaringan Islam Liberal (JIL) – oleh sebagian kalangan – dipandang sebagai setan di tengah peradaban luhur kaum muslimin. Logika mereka – untuk sementara waktu -- disetarakan dengan logika iblis. JIL – dalam istilah peyoratif – dipandang sebagai bagian dari teror, bahaya dan ancaman terhadap Islam, aliran sesat, agen perusak akidah Islam, penyebar fitnah, kepanjangan tangan Orientalis dan sekularis Barat, anti dialog dan pengecut. Sejumlah pencitraan ini, tidak ada satu pun yang memberikan gambaran dengan implikasinya yang positif terhadap JIL. Posisi JIL pada hakikatnya merupakan representasi atau bentuk miniatur dari gambar besar salah satu dari dua kecenderungan pola interpretasi pemikiran dan keberagamaan di tengah masyarakat Muslim Indonesia yang sangat plural: liberalisme dan anti-liberalisme Islam. Penulis tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa pola interpretasi pemikiran dan keberagamaan Umat Islam Indonesia hanya memiliki dua pola tersebut, karena disadari bahwa pola keberagamaan Muslim di negara ini dalam kenyataannya memang sangat plural. JIL menggambarkan pola Islam Indonesia yang mencoba mempraktikkan pemikiran liberalisme untuk memaknai Islam di dalam konteks modernisasi kehidupan masyarakat Indonesia, sementara itu antitesis dari pemikiran JIL justru mengilustrasikan usaha yang melanjutkan pola pemikiran konservatisme atau anti-liberalisme Islam dalam kehidupan Umat Islam Indonesia dengan maksud agar pemikiran dan praktik Islam tidak mengalami pencemaran dari pemikiran atau ideologi lain, seperti sekularisme dan atau liberalisme yang di antaranya berkembang di Barat.

Prawacana

Membaca Buku memang mengasyikkan, apalagi sebuah buku yang cukup provokatif. Buku yang berjudul “Wajah Liberal Islam Di Indonesia”, yang disunting oleh Luthfi Assyaukanie, yang diterbitkan oleh Penerbit: Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal, cetakan tahun 2002, dengan tebal halaman: xx + 300 halaman memang agak berbeda, karena ditulis oleh oleh Orang Barat yang amat peduli terhadap perkembangan pemikiran Islam di Indonesia (Daniel S. Lev).

Orang yang tak suka dengan tantangan intelektual yang serius, atau malas memikirkan gagasan-gagasan yang tak biasa, atau sudah merasa nyaman dengan apa yang ada, sebaiknya menjauhkan diri dari buku ini. Isinya lain dari yang lain. Membaca kembali diskusi, perdebatan, analisis, argumentasi, tafsiran, dan pertukaran pendapat yang terkandung dalam buku ini bukan hanya tak membosankan, malah semakin menggairahkan pikiran (dan kadang-kadang mengejutkan), seperti pertama kali saya membacanya dalam bentuk artikel lepas di situs internet pagi hari setelah menghidupkan komputer.

Fenomena Historis “Islam Liberal”

Setahun lalu, ketika wacana Islam liberal pertama kali muncul dalam bentuk mailing list (islamliberal@yahoogroups.com), banyak orang yang menyangsikan masa depannya. Kini, terbukti mailing list itu telah menjadi sebuah wadah intelektual yang menarik, berbobot, dan berpengaruh, baik atas pengertian agama Islam maupun (mudah-mudahan) atas penciptaan kembali negara Indonesia.

Dari satu sisi, dapat diduga bahwa gerakan Islam liberal menjadi begitu cepat berkembang karena fenomena hipermodern komputerisasi dan e-mail, yang berimplikasi hanya pada kaum terdidik dan pengguna komputer (terutama dari generasi muda) yang tak takut dengan dunia “modern,” yang bisa ikut dalam wacana Islam liberal. Hal ini, sebagian mungkin betul. Tapi pandangan ini terlalu gampang dan kurang mendalam, karena kini Islam liberal sudah masuk koran dan radio, yang berindikasi pada kalangan peminat yang lebih luas dan kompleks. E-mail menolong perluasan pandangan Islam liberal, tapi tanpa landasan intelektual yang serius dan kuat serta audiensi besar yang haus terhadap pengertian baru, gerakan semacam ini tidak mungkin bertahan lama.

Dapat dimengerti jika di antara para pembaca buku ini akan ada yang merasa terkejut atau kagum atau bahkan marah dan jengkel. Kemarahan dan kejengkelan akan terlihat di dalam buku ini antara yang berdebat keras tentang satu atau lain isu. Ketegangan kelas tinggi sama sekali bukan hal baru dan tidak mengherankan dalam perdebatan tentang soal-soal agama mana pun juga. Malah dapat dikatakan bahwa dalam urusan agama (seperti juga dalam filsafat dan apalagi politik) yang sangat berbahaya adalah ketenangan yang keterlaluan.

Satu Islam dan Keragaman Tafsir Atas Islam

Persoalan pokok adalah bahwa yang menafsirkan prinsip-prinsip agama, pada akhirnya, adalah manusia, dan kalau manusia itu tidak lagi berdebat tentang isi kepercayaannya, atau menyerahkan tugas itu pada kalangan pimpinan agama yang terlalu terbatas, akibatnya pembekuan agama terjadi. Justru ketegangan itu mengisyaratkan bahwa satu agama (atau filsafat, atau politik) belum mati, masih hidup dan masih melayani keperluan komunitasnya.

Sejak lama, setiap agama besar, yang mencoba memonopoli satu ajaran, pada suatu waktu pasti akan ditentang. Dengan kata lain, pertentangan itu adalah evolusi, perubahan, adaptasi, yang pelan atau cepat, pada keperluan manusia dalam sejarah yang terus-menerus mengalami perubahan. Tentunya, proses itu tidak gampang dan tak jarang menyebabkan perang, pembunuhan, siksaan, dan lain-lain sebagainya— sering atas nama Tuhan—yang bertujuan mencegah transformasi. Agama yang berhasil mengelak ketegangan itu, seperti juga negara yang berhasil menindas perdebatan politik, makin lama makin statis dan berorientasi pada kalangan pemuka (dan kepentingan) yang sangat sempit. Mendobrak keadaan semacam itu tak mungkin tanpa perdebatan, ketegangan intelektual, ideologis, dan juga politik. Dan untuk itu kadang-kadang perlu mempertanyakan ide dan prinsip yang paling mendasar, termasuk hingga pada akar eksistensi agama. Tanpa itu, sulit mengharapkan rekonstruksi.

Hanya saja, untuk menantang pemahaman agama tertentu demi menuju pemahaman lain (menyangkut nilai dan norma agama), menuntut keberanian yang luar biasa, kepercayaan diri yang cukup mendalam, rasa bertanggung jawab yang besar, selain imajinasi baru dan pengetahuan agama yang tebal. Dan perlu juga semacam sensitivitas pada titik sejarah yang mungkin terbuka pada pandangan baru. Semua itu—keberanian intelektual, rasa tanggung jawab, imajinasi, pengetahuan—terlihat jelas dalam kumpulan diskusi dan perdebatan dalam buku ini. Buku ini bakal memaksa siapa saja yang suka membaca akan terus membacanya hingga lupa makan dan tidur.

Islam Liberal dan Dinamika Pemikiran Ke-Islaman

Orang mungkin akan bertanya: mengapa pandangan Islam Liberal begitu menonjol justru di Indonesia, dan justru sekarang? Tentu saja, seperti dapat tergambar buku ini, pandangan itu juga terdapat di Timur Tengah dan India-Pakistan sejak dulu, tapi jarang sebegitu terang dan terbuka seperti di Indonesia dalam setahun terakhir ini. Pertanyaan ini sulit dijawab. Tapi saya kira, perubahan mendalam memang lebih gampang di “pinggir” daripada di “pusat,” justru karena di “pusat” konstelasi agama (dan politik juga) lebih gampang diawasi supaya tetap terjaga “kemurniannya.” Dalam sejarah agama Katolik, misalnya, pergolakan dan pembaruan mulai dari luar Italia. Atau mungkin juga Indonesia agak lain dari yang lain karena ukurannya, karena sejak dulu agama Islam di Indonesia jauh lebih kompleks dan telah cukup lama terbiasa dengan konflik tentang isu-isu agama.

Pertanyaan kedua, kenapa sekarang? -- lebih sulit lagi. Mungkin ada beberapa sebab, termasuk kebetulan sejarah yang terbuka untuk perubahan besar, karena negara sedang lemah, suasana politik dan sosial serta intelektual sangat labil, dan masyarakat mengharapkan perubahan. Selain itu, selama hampir empat puluh tahun sedang dibentuk dan dipersiapkan generasi baru pemikir agama yang terdidik, yang tidak merasa diri terisolasi dari kalangan intelektual lain, yang bisa membaca tentang agama lain, yang juga tidak malu memikirkan kembali sejarah agamanya (dan negaranya), dan malah tidak terlalu banyak mempersoalkan asal-usulnya (misalnya apakah ia dari Muhammadiyyah atau Nahdlatul Ulama).

Momen istimewa ini cukup penting. Seperti diterangkan dalam buku ini, pandangan liberal bukan hal baru dalam sejarah Islam, apakah di Timur Tengah atau di Indonesia sendiri. Pada tahun 1950-an para pemimpin partai Islam pernah melontarkan isu-isu pokok agama, tetapi jarang sekali secara terbuka. Pertentangan politik pada zaman itu menjadi hambatan pembicaraan, seolah-olah perdebatan tentang dasar agama merupakan pengakuan kelemahan prinsip partai yang berlandasan Islam (hal sama juga dialami Partai Katolik dan Parkindo). Hanya orang yang terbebas dari tuntutan politik sehari-hari, seperti Pak Hazairin, yang rela mengajukan pandangan baru secara blak-blakan.

Pimpinan Orde Baru, yang meminggirkan kepartaian agama, agak membebaskan umat Islam untuk memikirkan agamanya, lepas dari implikasi atau konsekuensi politik. Pada permulaan tahun 1970-an orang yang sebelumnya menjauhkan diri dari simbol-simbol agama tampak mulai bersembahyang lagi, ikut ke masjid, dan turut aktif dalam grup diskusi Islam—Islam sebagai agama, bukan Islam sebagai landasan politik. Dalam suasana itu, Nurcholish Madjid mencetuskan pandangan barunya (sebetulnya tidak sama sekali baru) yang merupakan salah satu langkah pertama dalam perjuangan Islam liberal. Dalam ceramah dan karangannya, dia berani memisahkan Islam sebagai sumber pandangan etika dan moralitas di satu sisi dari agama sebagai landasan politik di sisi lain, dan menekan pada yang pertama sebagai tujuan terpenting dan menolak yang kedua. Hanya saja, pada waktu itu tampaknya belum ada cukup banyak pemikir yang rela menerima anjuran Nurcholish sebagai pembukaan suatu debat baru yang sangat perlu. Saat itu keadaan belum matang.

Pemikiran Islam Dalam Konteks Perubahan Zaman

Zaman sekarang lain, dan suasana juga lain. Islam liberal, yang berlandasan jiwa intelektual yang berani, terbuka, jujur, dan rela berisiko, memiliki akar yang kokoh dan karenanya hampir tak mungkin jika tak memiliki pengaruh. Dalam buku ini, yang menarik, isu-isu yang sangat peka dan “sensitif” dihadapi dengan santai. Setuju atau tidak setuju tidak jadi soal buat yang menyumbang pandangannya, dan semestinya tidak jadi soal juga buat pembaca. Sesudah diskusi pertama tentang Islam liberal di Timur Tengah, perdebatan makin hangat tentang agenda Islam liberal di masa depan, soal sekularisasi, rekonstruksi sejarah Alquran, dan teologi untuk negara modern. Dengan semua daya tariknya, buku ini bakal menarik perhatian orang (yang beragama Islam atau bukan), semoga semakin banyak yang mau membacanya, dan semoga buku-buku sejenis lainnya akan terbit sesudahnya (dan mudah-mudahan juga akan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain).

Persoalan agama jarang terbatas maknanya pada agama saja. Sejak munculnya negara modern pada abad ke-17, ketegangan antara negara dan agama hampir tak pernah lenyap, dan harus diakui agama merupakan salah satu penjaga negara yang sangat penting. Pembaruan agama mau tak mau akan mempengaruhi juga pembaharuan negara. Yang menarik dalam gerakan Islam liberal adalah kehadiran -- malah dapat dikatakan dominasi -- generasi muda, seperti juga terlihat pada gerakan reformasi lain sejak tahun 1998.

Memahami (Secara Adil) Islam Liberal
"Islam Liberal" adalah istilah Charles Kurzman dalam bukunya yang terkenal Liberal Islam: A Source Book. Penggunaan istilah ini sendiri, seperti diakui Kurzman, pernah dipopulerkan oleh Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), intelektual Muslim-India, sejak tahun 1950-an. Mungkin Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah "Islam liberal." Saya kira, dia juga penulis Muslim pertama yang menggunakan istilah "Islam Protestan" untuk merujuk kecenderungan tertentu dalam Islam. Dengan istilah ini ("Islam Protestan" atau "Islam Liberal"), Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain: Islam yang non-ortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam.
"Liberal" yang menjadi kata sifat bagi "Islam" dalam istilah itu harus dibedakan pengertiannya dengan, misalnya, liberalisme Barat. Hal ini untuk menghindari kekeliruan ketika kita membicarakan tokoh-tokoh dalam wacana ini. Istilah tersebut harus dipahami sebagai nomenklatur untuk memudahkan kita merujuk kepada kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif, dan dinamis. Dalam pengertian ini, "Islam Liberal" sesungguhnya bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19, ketika gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam dimulai.
Ketika kita berbicara tentang "Islam Liberal" sesungguhnya kita sedang membicarakan salah satu wajah Islam. Islam, menurut pemikir Suriah, Aziz Al-Azmeh, adalah agama yang satu, tetapi selalu tampil dalam wajah yang banyak. Kita tidak mungkin berbicara tentang satu Islam, tapi tentang Islam-Islam (Islams) dengan wajahnya yang beragam. "Islam Liberal," saya kira, adalah salah satu Islam yang dimaksudkan Al-Azmeh. Dan karenanya, diskusi kita tentang "Islam Liberal" menjadi sah (sama sahnya ketika kita berbicara tentang "Islam Fundamentalis," "Islam Wahabi," "Islam Syi’ah," "Islam Sunni," "Islam NU," dan lain-lain).
Timur Tengah adalah salah satu kawasan yang sangat subur dalam memproduksi Islam Liberal, sebagaimana ia juga merupakan kawasan yang makmur dalam melahirkan wajah-wajah Islam yang lain (Revivalis, Haraki, Salafi, Wahabi di masa sekarang; Syi’i, Sunni, Khariji, Murji’i di masa lalu). Patut disayangkan bahwa wajah Islam Liberal di kawasan tersebut hampir tidak terlihat. Literatur dan Media lebih senang menulis dan memberitakan wajah-wajah Islam yang kelam dan penuh kekerasan. Padahal, jika kita berbicara tentang gerakan pembaruan pemikiran modern di Timur Tengah, maka –tanpa membesar-besarkan fakta-- Islam Liberal adalah lokomotifnya.
Akar-Akar Liberalisme Islam
Akar-akar gerakan liberalisme Islam di Timur Tengah bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa yang disebut "gerakan kebangkitan" (harakah al-nahdhah) di kawasan itu secara hampir serentak dimulai. Secara inheren, gerakan kebangkitan itu sendiri sebetulnya adalah gerakan liberal, khususnya jika liberalisme diartikan sebagai gerakan pembebasan pemikiran. Tokoh nahdhah "konservatif" semacam Muhammad ibn Abd al-Wahab pun, sesungguhnya turut memberikan kontribusi bagi gerakan liberalisme Islam di kawasan Arab. Khususnya ketika dia mengkampanyekan pembebasan diri dari unsur-unsur takhyul, mitologis, dan khurafat, serta menawarkan Islam yang bersih dan "rasional."
Pada awalnya, kecenderungan liberalisme tokoh-tokoh pembaru Muslim di kawasan Arab dipicu oleh semangat pemberontakan terhadap kolonialisme Eropa pada satu sisi, dan terhadap keterbelakangan kaum Muslim pada sisi lain. Karenanya, misi para pembaru Muslim pada – meminjam istilah Albert Hourani -- masa-masa liberal (liberal age) itu adalah pembebasan dari cengkeraman penjajahan dan pembebasan dari kebodohan. Dua misi ini terus berjalan secara beriringan hingga masa pertengahan abad ke-20, ketika sebagian besar negara-negara Muslim mendapatkan kemerdekaannya. Sementara misi kedua, proyek pembebasan dari kebodohan, masih terus berlanjut sampai sekarang.
Salah satu agenda penting dari misi kedua itu adalah memahami dan menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama (Islam). Apa yang dilakukan tokoh-tokoh awal kebangkitan, seperti Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791) di Jazirah Arab, Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (1787-1860) di Aljazair dan Libia, Rifa’at Rafi’ al-Thahtawi (1801-1873) di Mesir, dan Khairuddin al-Tunisi (1822-1889) di Tunisia, tak lain dari upaya melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi-tradisi Islam serta membangun kembali pemahaman keagamaan kaum Muslim secara benar dan bermakna. Sebagian gagasan rekonstruktif itu mendapatkan respon dari masyarakat Muslim, tapi sebagian lainnya, mengalami tantangan, khususnya dari ulama ortodoks yang dalam hal ini menjadi lawan serius dari gerakan pembaruan Islam.
Secara umum, para pembaru Arab di masa-masa awal kebangkitan meyakini bahwa Islam adalah agama yang cocok bagi setiap masa dan tempat (shâlih li kulli zamân wa makân). Islam juga mampu beradaptasi dengan dunia modern, termasuk dengan pencapaian ilmu pengetahuan dan --dalam beberapa hal-- nilai-nilai Barat. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal.
Sikap yang menjadi inti dari doktrin Islam Liberal itu juga yang kerap membuat para tokohnya harus berhadapan dengan masyarakat dan penguasa (yang didukung oleh ulama ortodoks). Sebab, penafsiran ulang adalah istilah yang tidak populer bagi mereka, khususnya karena dalam istilah itu terkandung makna perlawanan terhadap kemapanan. Tidak heran jika dalam banyak kasus, tokoh-tokoh Muslim liberal lebih sering menemui hambatan ketimbang sukses.
Muhammad Abduh: “Potret Muslim Liberal”
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa gerakan awal-awal kebangkitan Islam mengalami signifikansinya pada figur Muhammad Abduh (1849-1905). Abduh adalah seorang modernis sejati. Kendati dididik secara tradisional dan berguru pada beberapa ulama al-Azhar yang sebagian besar bersikap konservatif, Abduh membuktikan dirinya sebagai seorang intelektual yang terbuka dan progresif. Agaknya, pengaruh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), teman dan gurunya, sangat besar dalam membentuk sisi modernitas Abduh. Lewat al-Afghani lah Abduh mengenal dunia Barat secara langsung (kedua tokoh ini tinggal di Eropa selama kurang-lebih lima tahun), perkenalan yang sangat mempengaruhi sikapnya sebagai intelektual dan tokoh agama.
Kendati sebagai seorang modernis, Abduh masih diterima di kalangan al-Azhar. Terbukti, ia tetap dipercaya menjadi Mufti Agung Mesir, sebuah jabatan yang sulit diraih jika tidak disetujui oleh dewan ulama al-Azhar. Abduh sangat pandai bagaimana dia harus bersikap sebagai seorang ‘alim dan sekaligus sebagai seorang intelektual modernis. Selama menjadi Mufti, Abduh mengeluarkan banyak fatwa yang berkaitan dengan persoalan-persoaaln modern. Tiga fatwanya yang terkenal yang hingga kini masih menjadi isu kontroversial adalah tentang bunga bank; tentang pakaian tradisional (termasuk jilbab); dan tentang daging hasil sembelihan orang-orang non-Muslim.
Karena sikapnya yang dua wajah itu, Abduh diterima baik oleh kalangan tradisional maupun modernis, dengan sama kuatnya. Pada satu sisi, Abduh selalu dilihat sebagai seorang tokoh ‘alim, mujtahid, dan penganjur doktrin orisinalitas Islam (al-ashâlah al-islâmiyyah). Pada sisi lain, Abduh juga dianggap sebagai seorang reformis yang toleran, liberal, dan kaya akan gagasan-gagasan modern. Tidak heran kalau murid-murid Abduh kemudian terpecah menjadi dua kelompok besar yang oleh Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, dianalogikan seperti murid-muridnya Hegel dalam tradisi filsafat Barat. Sama seperti Hegel yang melahirkan dikotomi "kanan" dan "kiri," menurut Hanafi, murid-murid Abduh juga dapat dikelompokkan berdasarkan katagori ini. Yakni, kelompok Kanan Abduh (Abduh al-Yamînî) yang cenderung mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaannya, dan kelompok Kiri Abduh (Abduh al-Yasârî) yang lebih cenderung mengembangkan gagasan-gagasan modernnya.
Di antara murid-murid Abduh yang memiliki kecenderungan "kanan" adalah Muhammad Rashid Ridha (w. 1935) dan Shakib Arslan (w. 1946). Sementara Qasim Amin (w. 1908) dan Ali Abd al-Raziq dianggap sebagai murid-murid Abduh beraliran "kiri." Kecenderungan "kanan" dan "kiri" dalam aliran (mazhab) Abduh ini dalam perkembangan selanjutnya mengalami radikalisasi yang cukup signifikan. Baik yang "kanan" maupun "kiri" sama-sama mengklaim sebagai penerus Abduh yang paling benar. Matarantai murid-murid Abduh bisa digambarkan sebagai berikut:
Dari ilustrasi di atas, kita bisa melihat bahwa murid-murid Abduh yang beraliran "kiri" semakin hari semakin ke "kiri" dan menjadi radikal, yang mencapai puncaknya pada diri Hassan Hanafi, penggagas "Kiri Islam." Dalam hal ini, tokoh-tokoh sekuler (‘ilmani) radikal semacam Fuad Zakariya, Zaki Najib Mahmud, dan Adonis (Ahmad Said) juga merupakan perluasan dari aliran "kiri." Kendati mereka tidak berguru langsung kepada Abduh, tapi penerus kelompok Kiri Abduh, seperti Thaha Hussein, Ahmad Luthfi Sayyid, dan Ismail Mazhar turut mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka. Begitu juga, kelompok kanan, semakin hari semakin ke "kanan" menjadi "Kanan Islam" atau "Fundamentalis." Hal ini bisa dilihat dari murid-murid langsung Rashid Ridha, seperti Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb. Gerakan Ikhwan al-Muslimun dan kelompok-kelompok Islam garis keras lainnya (seperti Hizb al-Tahrir) adalah evolusi panjang dari kelompok kanan Abduh yang secara kental dipengaruhi penafsiran-penafsiran Ridha terhadap Abduh, khususnya gagasan politiknya.
Meletakkan Islam Liberal Secara Proporsional
Saya tidak ingin mengklaim bahwa semua intelektual Arab liberal adalah para penerus aliran Kiri Abduh, atau semua gerakan Islam radikal merupakan pelanjut kelompok Kanan Abduh. Tapi saya kira Abduh memainkan peranan yang sangat penting dalam wacana pemikiran Arab modern, sama pentingnya Hegel bagi dunia filsafat Barat modern. Apa yang didiskusikan oleh para pemikir Arab kontemporer sejak 1970-an, dengan wacana al-turâth wa al-hadâthah (tradisi dan modernitas)-nya yang terkenal itu, saya kira, adalah catatan pinggir (hâsyiah) dari pemikiran-pemikiran Abduh dan para murid-muridnya.
Gerakan feminisme yang dipelopori oleh Nawal Sa’dawi dan Fatima Mernisi misalnya, adalah kelanjutan dari proyek serupa yang pernah digarap oleh Qasim Amin, Malak Hifnî Nâshif (w. 1918), Huda Sha’rawi (w. 1947), dan Nabawiya Mousa (w. 1951), yang secara langsung maupun tidak langsung berada dalam sirkel "Kiri Abduh." Begitu juga, gerakan "pembacaan ulang" atas teks-teks agama yang dipelopori oleh intelektual kontemporer semacam Muhammad Ahmad Khalafallah, Mohammed Arkoun, Muhammad Abed Jabiri, Mahmoud Mohamed Taha, Ahmad Na’im, Hassan Hanafi, dan Nasr Abu Zaid, adalah kelanjutan dan perluasan dari ijtihad-ijtihad Abduh dalam bentuknya yang moderat dan radikal.
Kemunduran Sebagai Akibat dari Kejumudan
Di satu sisi, Islam Liberal di kawasan Arab mengalami perkembangan cukup pesat. Murid-murid dan simpatisan Abduh yang berkecenderungan "kiri" semakin menyebar, tak hanya terbatas di kawasan timur (masyrîq) Arab saja, tapi juga meluas hingga ke kawasan barat (maghrib) seperti Maroko, Tunisia, dan Aljazair. Tokoh-tokoh intelektual semacam Mohammed Arkoun, Mohammed Abed Jabiri, Hisham Djait, Burhan Ghaliun, Salim Yafut, dan Abdullah al-‘Urwa (Laroui) adalah pemikir-pemikir terpandang di kawasan ini yang ide-idenya berada dalam track pemikiran Abduh. Begitu juga, isu-isu yang didiskusikan tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan keagamaan, seperti pada masa-masa awal kebangkitan. Tapi juga meluas hingga persoalan-persoalan demokrasi, HAM, gender, sastra, musik, dan iptek.
Namun di sisi lain, ruang gerak Islam Liberal di dunia Arab sebetulnya semakin mengalami kontraksi. Ia tidak bisa banyak berinteraksi dengan masyarakat secara luas. Bahkan cenderung mengalami konflik yang serius. Kasus-kasus yang menimpa para pemikir Arab akhir-akhir ini adalah bukti betapa pemikiran liberal masih menemukan kendala klasik. Yakni, mudah berbenturan dengan otoritas agama dan masyarakat.
Kasus Nasr Abu Zayd baru-baru ini sungguh sangat memprihatinkan. Apalagi melihat substansi alasan yang membuat intelektual Mesir itu harus berhadapan dengan dewan "inkuisisi" al-Azhar – yang berakhir dengan pengasingannya ke Belanda -- sungguh sangat tidak masuk akal. Kasus-kasus serupa lainnya, seperti pembunuhan Faraj Fuda (1992) oleh ekstrimis Islam, hukuman mati Mahmud Mohammed Taha (1985) oleh pemerintah fundamentalis Sudan, [4] dan beberapa pelecehan terhadap intelektual-intelektual liberal semacam Ahmad Khalafallah, Najib Mahfouz, Fuad Zakariyya, Muhammad Syahrour, dan Hassan Hanafi, juga merupakan bukti "gagalnya" gerakan ini di kawasan itu.
Disukai atau tidak, institusi dan otoritas agama (yang didukung penguasa) telah menjadi musuh terbesar para pemikir liberal. Saya melihat bahwa institusi-institusi keagamaan di dunia Arab sekarang, al-Azhar misalnya, semakin ekstrim dalam menyikapi gerakan-gerakan Islam Liberal, bahkan jauh lebih ekstrim dibandingkan pada masa-masa Abduh dan murid-muridnya. Para pemikir liberal masa-masa Abduh dan setelahnya seperti Ali Abd al-Raziq, Qasim Amin, Farah Antoun, Salamah Mousa, Ahmad Luthfi Sayyid, dan Taha Hussein, memang sempat mengalami kecaman karena gagasan mereka (yang, menurut saya, jauh lebih "berani" ketimbang sekarang), tapi mereka masih bisa terus berkarya dan tidak pernah ada ancaman pembunuhan. Sementara para tokoh Muslim liberal sekarang hampir tidak memiliki ruang gerak untuk berekspresi sesuai dengan keyakinan mereka. Inilah alasan yang melatarbelakangi mereka hengkang ke luar negeri, khususnya di negara-negara Barat, seperti yang dijalani oleh Mohammed Arkoun (Perancis), Aziz Azmeh (Inggris), Nasr Abu Zayd (Belanda), Hisham Sharabi dan Halim Barakat (Amerika Serikat).
Tapi, mengapa gerakan Islam Liberal mengalami kemunduran yang sangat serius dan mengapa masyarakat Arab semakin kuat memperlihatkan resistensinya terhadap gerakan itu? Saya tidak tahu pasti jawabannya. Tapi, saya kira, gerakan Islam Liberal yang ada sekarang terlalu elitis dan tidak mengakar ke lapisan masyarakat bawah. Pada masa-masa awal kebangkitan, yang memegang isu-isu pembaruan adalah tokoh-tokoh agama yang memiliki otoritas dan berpengaruh di masyarakat (misalnya Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, dan Qasim Amin). Tapi kini, isu itu dipegang oleh kalangan akademisi dan peneliti yang tidak memiliki akar kuat di masyarakat. Tidak aneh jika masyarakat umum kemudian merasa terasing dengan isu-isu pembaruan yang digulirkan para akademisi tersebut. Dan tidak aneh pula jika mereka menjadi begitu reaktif ketika berhadapan dengan isu-isu tersebut. Bukankah isu-isu itu digulirkan oleh tokoh-tokoh yang berada di luar lembaga keagamaan (sekuler)?
Agaknya, inilah tantangan terberat yang harus segera diantisipasi para intelektual liberal. Karena jika terus dibiarkan, isu-isu pembaruan yang mereka gulirkan akan tetap berputar di ruang yang sempit. Tentu kita tidak mengharapkan proyek Islam Liberal yang genuine itu berada di satu tempat, sedangkan masyarakat umum berada di tempat yang lain, atau seperti kata orang Arab: "Mereka berada di satu lembah, dan kita berada di lembah yang lain (hum fî wâdin wa nahnu fî wâdin âkhar)."
Islam Liberal: Prospek Dan Tantangannya
Ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar kontradiksi dalam peristilahan (contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan unsur-unsurnya yang eksotik. Kepercayaan Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana diungkapkan Voltaire dalam tulisannya, "Mahomet, or Fanatism". Islam juga disamakan dengan kezaliman, seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai "Kezaliman Timur", atau definisi yang diberikan Francis Bacon "Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai sopan-santun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di Turki."
Tema-tema di atas berlanjut hingga hari ini, sebagaimana persepsi Barat tentang Islam yang diidentifikasikan sebagai imaginasi-imaginasi terorisme, dan gambaran teokrasi yang menakutkan. Revolusi Iran pada tahun 1979 dan kebangkitan radikalisme Islam dari Afrika Barat hingga Asia Tenggara menambah kesan adanya perang dingin yang terlihat. Juga dalam dunia akademik, umat Islam dianggap mencurahkan perhatian kepada pemahaman keagamaan yang radikal. Hal itu terlihat pada karya-karya akademik dengan judul yang meresahkan, seperti; Islam Radikal (Radical Islam), Islam Militan (Militant Islam), dan Jihad (Sacred Rage).
Memang sebagian Muslim sepakat dengan para orientalis Barat bahwa Islam belum diberi kesempatan untuk berubah. Itulah yang menyebabkan umat Islam dihadapkan pada sebuah tantangan untuk memberikan tafsir kontekstual terhadap berbagai persoalan. Namun, wacana tafsir kontekstual itu masih menjadi perdebatan yang seru dikalangan umat Islam. Seorang Muslim Pakistan, misalnya, pernah menulis: "Orang yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha mereka yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam itu pasti akan gagal ... Mengapa Islam harus dimodernkan? Bukankah kemodernan Islam telah selesai, murni sempurna, universal, serta berlaku setiap waktu?"
Dalam kajian historis, di kalangan umat Islam memang terdapat pemahaman-pemahaman yang beraneka ragam. Di antara variasi pemahaman itu adalah adanya sebuah tradisi yang disuarakan dengan konsisten sehingga paralel dengan liberalisme di dunia Barat. Para penerjemah tradisi ini mengekspresikan kejengkelannya, karena posisi mereka pada umumnya "masih diacuhkan" oleh para sarjana dan media massa Barat yang lebih tertarik pada sensasionalisme wacana kaum ekstrimis-fundamentalis.
Fokus dari tradisi yang terabaikan ini, memang terkenal sangat kontroversial. Karena membahas mengenai gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia Islam dewasa ini. Apalagi sering dikonotasikan dengan Barat, sekular dan dipengaruhi cara pandang orientalisme. Sebenarnya tradisi--yang disebut sebagai Islam Liberal--ini sangat menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual. Charles Kurzman, di dalam bukunya Liberal Islam, A Sourcebook, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "Liberal" yaitu: (1). melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2). mendukung gagasan demokrasi; (3). membela hak-hak perempuan; (4) membela hak-hak non-Muslim; (5) membela kebebasan berpikir; (6) membela gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.
Sebenarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai abad ke-17.
Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal--yang pada masanya sudah tidak ada lagi--dan pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity).
Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap keseluruhan tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-ketegangan pilihan ini, Ibn Taymiyah menyarankan suatu "jalan tengah", yaitu suatu sikap moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu ijma' (konsensus) hanya ada dan terjadi pada masa sahabat--oleh karena kesetiaan mreka kepada apa yang dikatakannya dan diperbuatnya--, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas masalah-masalah sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan liberalis, juga revivalis dan neo-fundamentalis.
Usaha Ibn Taymiyah pun dilanjutkan oleh Ibn Khaldun (1332-1406). Dialah yang merintis sosiologi Islam. Berdasarkan praktek-praktek politik studi historiografinya, Ibn Khaldun--sebagai seorang pengembara dan pengabdi dari banyak kerajaan Islam waktu itu yang terpecah-pecah--, percaya sepenuhnya kepada pemikiran politik Ibn Taymiyah, terutama tentang pentingnya kesejahteraan umum (common goods) dan hukum ilahiyah demi menjaga kestabilan dan kesejahteraan negara, yang kemudian diperluasnya dengan teori tentang "solidaritas alamiah" (ashabiyah) dan etika kekuasaan. Sejak Ibn Khaldun ini, pemikiran Islam mengenai sosiologi politik mendapatkan tempat dalam keseluruhan refleksi Islam dan perubahan sosial. Oleh karena itu, penafsiran kembali Islam (ijtihad) menjadi suatu keharusan mutlak dalam masa perubahan politik.
Sebenarnya, liberalisme Islam mendapatkan momentum secara politis lebih mendalam pada saat kesultanan Ottoman di Turki, yang oleh segelintir cendekiawan di Konstantinopel dirasakan sebagai ketinggalan zaman, terlalu kaku, dan terlalu religius. Diantara tokoh-tokoh cendekiawan itu adalah Sinasi, Ziya Pasha dan Namik Kemal. Di Mesir, juga ada tokoh-tokoh sekaliber di Turki yang liberal, seperti Rifa' Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873), Khayr al-Din Pasha (1810-18819), dan Butrus al-Bustam (1819-1883). Mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, yang ringkasnya adalah: Bagaimana masyarakat yang baik itu? Bagaimana bisa mengetahui bahwa (masyarakat) itu baik atau ideal? Norma-norma apa yang sebaiknya membimbing suatu pembaruan sosial? Dari mana norma-norma itu harus dicari? Bolehkah dari Islam ataukah justru dari Barat? Lantas, antara Islam dan Barat, apakah tidak ada pertentangan?
Menurut mereka, 'ulama harus dilibatkan dalam pemerintahan, tetapi untuk itu, 'ulama harus terlebih dulu diberikan pendidikan modern yang memadai, agar mereka dapat melihat situasi dan kebutuhan masyarakat modern sekarang ini. Dari para 'ulama itu, dituntut pengetahuan tentang apa itu dunia modern dan problematikanya, supaya tidak terkurung hanya dalam ajaran-ajaran tradisional. Sementara itu, syari'ah juga harus disesuaikan dengan situasi baru. Antara syari'ah (hukum Islam) dan hukum alam (ilmu pengetahuan) yang dikembangkan di Eropa dianggap tidak banyak perbedaannya secara prinsipil. Karena itu, pendidikan modern adalah suatu keharusan untuk umat Islam. Juga untuk "memperbaharui" syari'ah itu.
Demikianlah, sampai sebelum Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad 'Abduh dan Muhammad Rasyd Ridla (1865-1935), kesadaran bahwa Islam itu--maksudnya tentu saja pemahaman kaum Muslim terhadap Islam--harus "dimodernkan" atau "dirasionalkan" sudah menjadi kesadaran umum para cendekiawan Muslim. Dan ini telah menimbulkan gerakan yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai "gerakan modernisme awal." Oleh karena itu pula, Tahtawi dan seluruh kawan-kawannya yang sezaman, telah melihat bahwa Eropa adalah sumber ide dan penemuan yang tak terelakkan. Maka, Islah harus belajar dari Barat!
Memang, mereka pun menyadari bahaya yang bisa muncul dari proses "pembaratan" ini. Tetapi, mereka juga yakin bahwa kekuatan gagasan yang progresif dari Barat itu, juga akan mampu mengatasi masalah yang akan muncul. Apalagi, bertepatan dengan munculnya gagasan-gagasan itu, secara politis Ottoman mengalami kemunduran.
Selanjutnya, masalah menjadi lain ketika Afghani, 'Abduh dan Rasyd Ridha hidup. Masalah yang dihadapi mereka adalah imperialisme Eropa. Kerajaan Ottoman dalam tahun 1875-1878, telah kemasukan kekuatan militer Eropa. Tahun 1881, Tunisia diduduki Perancis dan tahun 1882, Mesir pun jatuh ke tangan Inggris. Dan pada tahun-tahun ini pula, semua dunia Islam berada dalam genggaman kolonialisme Eropa, termasuk Indonesia. Sehingga, secara politis keadaan sudah berubah. Maka melihat fenomena Barat-Modern tanpa kritisisme pun menjadi naif. Melalui mereka, muncullah gagasan pan-Islamisme yang mau melawan kolonialisme Barat. Dalam diri mereka, sudah timbul suatu kesadaran bahwa Barat yang modern itu ternyata juga mempunyai sisi destruktif, yakni imperialisme yang menghancurkan kebudayaan Islam baik secara sosial-budaya maupun politis. Timbullah kesadaran bahwa yang modern bukan hanya Barat, tetapi bisa juga Islam. Karena itu pemikiran dan gerakan modernisme awal ini, nantinya mendorong munculnya gerakan-gerakan neo-revivalisme, yang terutama dipimpin oleh Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, dan Abu 'Al al-Mawdudi, yang nanti akan "dicap" sebagai akar fundamentalisme Islam kontemporer.
Pada masa-masa ini, gagasan romantisme kejayaan Islam muncul sebagai motivasi melawan penjajahan. Inilah dorongan paling besar yang merefleksikan kembali arti peradaban Islam di dunia modern, di tengah-tengah hegemoni Barat waktu itu. Dorongan ini terus menjadi momentum pemikiran Islam paska kolonialisme. Dari sini, mulailah dilakukan refleksi atas munculnya peradaban Barat, dan hegemoninya atas dunia Islam. Nantinya, sebagai "puncak" pemikiran modernis ini, sangat relevan memberi perhatian atas kajian-kajian ekonomi-politik atas apa yang menjadi pendorong imperialisme Barat terhadap dunia Islam. Pemikir-pemikir Muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Ali Syari'ati, Zia-ul Haq, dan kalangan-kalangan transformis lainnya yang menaruh perhatian pada gagasan pembebasan, layak juga diperhatikan.
Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan modernis-liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam, khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka perihal: Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara kontinu untuk membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan non-Muslim.
Penutup
Gagasan Islam Liberal – sebagaimana yang dapat dipahami dari tulisan di atas – memang bukan barang baru, tetapi barngkali bisa dianggap tetap baru, karena semangat kebaruannya.
Tetapi, dengan pikiran jernih, kita akan dapat menyikapi liberasi pemikiran keislama dengan ‘cerdas’, tanpa kemarahan, tetapi juga bukan harus selalu ‘tersenyum’.Karena, meskipun wajah Islam Liberal selalu bisa tampak ‘indah’, namun bukan selalu akan berdampak indah, termasuk juga antitesisnya: “islam Literal”.
Saatnya kita tidak boleh terpuruk dalam kejumudan, tetapi juga tidak akan ‘bebas’ dengan sebebas-bebasnya. Karena di manapun batas dan sekat akan tetap ada, termasuk di dalamnya untuk “Islam Liberal” yang diasumsikan sebagai Kritisisme Islam di sepanjang zaman.