Sabtu, 30 Agustus 2008

MAKNA LAILATUL QADAR DAN NUZULUL QURAN BAGI UMAT ISLAM

MAKNA LAILATUL QADAR DAN NUZÛLUL QURÂN BAGI UMAT ISLAM

Perdebatan di seputar makna Lailatul Qadar di kalangan umat Islam, hingga kini belum menemukan titik-temu yang cukup memuaskan. Apalagi terkait dengan pemahaman umat Islam terhadap momentum Nuzûlul Qurân yang diperingati setiap tahun pada bulan Ramadhan, yang di Indonesia selalu diasumsikan terjadi secara pasti pada tanggal 17 Ramadhan, yang oleh karenanya diyakini bahwa pada saat itulah (wahyu) al-Quran pertama kali diturunkan. Lalu apa kaitan Nuzûlul Qurân dengan Lailatul Qadar? Di sinilah persoalan penting – kontroversi -- yang semestinya segera mendapatkan respon yang cepat dan tepat dari para ulama yang kompeten untuk menjawabnya.
Salah satu momentum yang ditunggu-tunggu oleh orang beriman ialah Lailah al-Qadr (secara populer dilafalkan Lailatul Qadar) dalam bulan Ramadhan. Sama halnya dengan berbagai momentum keagamaan seperti Maulid, Isra’ Mi’raj, Nuzûlul Qurân, dan dua hari raya. Lailatul Qadar menghasilkan bentuk-bentuk tertentu tradisi budaya keagamaan. Di sebagian daerah negeri kita ini, seperti di Jawa tempo dulu, Lailatul Qadar menghasilkan tradisi selamatan "maleman" pada tanggal-tanggal ganjil sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Selamatan itu dibarengi dengan tradisi "oncoran", yaitu kelompok anak muda yang masing-masing membawa obor untuk dibawa keliling desa, seolah-olah hendak membawa cahaya kebenaran kepada penduduk desa itu karena datangnya Lailatul Qadar. Di tempat-tempat lain tentu ada bentuk-bentuk tradisinya sendiri, yang semuanya mengungkapkan betapa pentingnya malam yang suci itu.
Ditilik dari maraknya tradisi budaya keagamaan itu, maka jelas ada sesuatu yang harus dipahami lebih jauh, mendalam dan luas tentang Lailatul Qadar. Karena perjalanan waktu yang panjang, banyak sekali budaya keagamaan yang akhirnya kosong dari makna dan tinggal sebagai kebiasaan lahiriah dan formal saja. Pernyataan ini bukanlah usaha untuk mengecilkan arti suatu budaya keagamaan.
Setiap masyarakat memerlukan prasarana perlambangan untuk menguatkan makna-makna hidup yang lebih mendalam. Tetapi perlambang yang sudah menfosil dan berubah menjadi seolah-olah tujuan dalam dirinya sendiri akan ‘muspra’, tanpa guna.
Karena itu berikut ini kita akan coba melihat lebih jauh makna Lailatul Qadar dan hikmahnya bagi manusia dan kemanusiaan.
Makna Lailatul Qadar dan Nuzûlul Qurân
Secara harfiah, Lailatul Qadar berarti "Malam Penentuan" atau "Malam Kepastian", jika kata-kata qadr dipahami sebagai sama asal dengan kata-kata taqdîr. Tetapi ada juga yang mengartikan Lailatul Qadar dengan "Malam Kemahakuasaan", yakni kemahakuasaan Tuhan, jika kata-kata qadr dipahami sebagai sama asal dengan kata-kata al-Qâdir, yang artinya "Yang Maha Kuasa", salah satu sifat Tuhan. Sudah tentu kedua pengertian itu tidak bertentangan-meskipun pengertian yang pertama lebih umum dianut orang. Kedua pengertian itu saling melengkapi. Sedang dalam pengertian umum, Lailatul Qadar dimaknai sebagai “malam kemuliaan”.
Dalam al-Quran penyebutan dan gambaran ringkas tentang Lailatul Qadar itu dikaitkan dengan malam diturunkannya al-Quran, yaitu dalam Surat al-Qadr (QS 97: 1-5):
!$¯RÎ) çm»oYø9t“Rr& ’Îû Ï's#ø‹s9 Í‘ô‰s)ø9$# ÇÊÈ !$tBur y71u‘÷Šr& $tB ä's#ø‹s9 Í‘ô‰s)ø9$# ÇËÈ ä's#ø‹s9 Í‘ô‰s)ø9$# ׎öy{ ô`ÏiB É#ø9r& 9öky­ ÇÌÈ ãA¨”t\s? èps3Í´¯»n=yJø9$# ßyr”9$#ur $pkŽÏù ÈbøŒÎ*Î/ NÍkÍh5u‘ `ÏiB Èe@ä. 9öDr& ÇÍÈ íO»n=y™ }‘Ïd 4Ó®Lym Æìn=ôÜtB ̍ôfxÿø9$# ÇÎÈ
Sesungguhnya kami Telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan[1]. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.
Jadi disebutkan bahwa Allah menurunkan al-Quran pada Lailatul Qadar yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan atau lebih dari delapan puluh tahun (kurang lebih umur maksimal manusia). Karena pada malam itu para malaikat turun, begitu juga Rûh (yang dalam hal ini ialah Rûh Qudus atau Jibril, malaikat pembawa wahyu Tuhan). Mereka turun dengan membawa ketentuan tentang segala perkara bagi seluruh alam, khususnya umat manusia. Malam itu dinyatakan sebagai malam yang penuh kedamaian, hingga terbit fajar di pagi hari.
Pengertian seperti di atas itu adalah yang paling umum dipegang kaum muslim. Tetapi untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam, kita harus meneliti pengertian masing-masing ungkapan atau istilah dalam Surat al-Qadr itu.
Pertama ialah ungkapan bahwa Allah menurunkan al-Quran pada Lailatul Qadar itu. Menurut Ibn Abbas -- sebagaimana dikutip dalam Tafsir Ibn Katsir -- yang dimaksud ialah diturunkannya al-Quran itu dalam bentuk keseluruhannya secara utuh dan sempurna dari al-Lauh al-Mahfûzh (Lauh Mahfûzh - Papan Yang Terjaga) ke Bait al-‘Izzah (Rumah Kemuliaan) di langit terendah (samâ’ al-dunyâ - langit dunia), lalu diturunkan kepada Nabi s.a.w. secara rinci menurut kejadian-kejadian historis masa beliau selama dua puluh tiga tahun. Malam diturunkannya al-Quran juga disebutkan di bagian lain dalam al-Quran sebagai malam yang diberkati (Lailah Mubarakah)[2], dan malam itu ada dalam bulan Ramadhan.
Bulan Ramadhan, yang padanya diturunkan al-Quran, sebagai petunjuk bagi umat manusia, dan sebagai penjelasan-penjelasan tentang petunjuk (yang telah lalu) dan pembeda (antara mana yang benar dan yang salah)[3].
Yang sedikit menjadi persoalan ialah, tanggal berapa Lailatul Qadar dan Lailah Mubarakah itu dalam bulan Ramadhan? Bagi bangsa Indonesia hal ini menjadi lebih menarik, karena ada tradisi nasional untuk memperingati secara resmi malam diturukannya al-Quran itu, yang biasa disebut sebagai malam Nuzulul Quran pada tanggal 17 Ramadhan (yang kebetulan adalah juga tanggal Proklamasi Kemerdekaan). Konon yang memilih tanggal itu sebagai Hari Nuzulul Quran adalah Haji Agus Salim, bapak modernisme Islam di Indonesia, dengan persetujuan Bung Karno. Dalam menentukan pilihannya itu agaknya Haji Agus Salim merujuk kepada sebuah firman dalam al-Quran: Dan ketahuilah, bahwa apa saja yang kamu dapati sebagai harta rampasan perang, maka sesungguhnya seperlimanya adalah untuk Allah, Rasul-Nya, karib-kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, serta orang yang dalam perjalanan, jika kamu memang beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang telah Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) pada hari yang menentukan, yaitu hari dua pasukan tentera bertemu (berperang). Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu[4].
Jadi firman Allah itu menjelaskan ketentuan tentang bagaimana harta rampasan perang harus dibagi-bagi dan siapa saja yang berhak. Ketentuan itu harus diterima oleh kaum beriman, jika memang mereka beriman kepada Allah dan kepada sesuatu yang diturunkan oleh-Nya kepada Nabi SAW. pada hari yang menentukan, yaitu hari ketika dua pasukan bertemu dalam pertempuran. Ibn Katsir di dalam kitab tafsirnya, dengan merujuk berbagai sumber, menyebutkan bahwa yang dimaksudkan dengan hari yang menentukan itu ialah hari “Perang Badar”. Juga berdasarkan berbagai sumber, Ibn Katsir mengatakan bahwa perang Badar itu terjadi pada hari Jumat tanggal 17 Ramadhan (secara kebetulan Proklamasi Kemerdekaan RI -- 17 Agustus 1945 -- juga hari Jumat). Pada Perang Badar itulah dua pasukan, muslim dan musyrik, bertemu dalam pertempuran. Perang Badar disebut hari yang menentukan (yaum al-furqân) karena perang itu adalah yang pertama kali dialami Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman, para pengikut beliau, dengan kemenangan (yang) telak, kemenangan yang benar (al-haq), tauhîd, atas yang palsu (al-bâthil), syirik. Seandainya dalam perang itu Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman kalah, maka pupuslah sudah agama yang mereka bela dan tegakkan, dan teguhlah faham-faham palsu, khususnya kemusyrikan. Tetapi karena kemenangan telak tersebut, maka Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman telah berhasil memastikan, dengan pertolongan Allah SWT, bahwa yang benar selamanya akan menang, dan yang palsu selamanya akan kalah. Sejarah Nabi s.a.w. dan orang-orang (yang) beriman selanjutnya membuktikan hal itu semua.
Jika benar yang demikian itu, maka sesungguhnya tanggal 17 Ramadhan, (malam) Nuzulul Quran, adalah juga Lailatul Qadar. Hal ini menjadi berbeda dengan yang umum sekali dipercayai umat Islam, berdasarkan keterangan Nabi s.a.w., dalam hadis, bahwa Lailatul Qadar adalah salah satu malam dari malam-malam ganjil sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan. Yang menarik ialah bahwa Nabi s.a.w. tidak menjelaskan dengan rinci malam yang mana di antara malam-malam ganjil itu yang sesungguhnya (malam) Lailatul Qadar. Sikap Nabi s.a.w. ini ditafsirkan sebagai suatu hikmah agar umat Islam tidak mengkhususkan dalam memperbanyak ibadah hanya dalam satu malam tertentu, tetapi terus-menerus melakukannya dalam sepuluh malam hari-hari terakhir bulan puasa yang penuh barakah[5] itu. Tetapi, karena perbedaan tersebut, maka di negeri kita ada sesuatu yang amat unik (tidak terdapat di negeri Islam lain mana pun), yaitu bahwa Nuzûlul Qurân adalah Sesutu yang berbeda dengan Lailatul Qadar, yang selalu diperingati setiap tanggal 17 Ramadhan dengan satu asumsi bahwa saat itulah turunnya (wahyu) al-Quran dan seolah-olah tidak disadari bahwa saat turunnya (wahyu) al-Quran itu bertepatan dengan Lailatul Qadar yang disebutkan di dalam al-Quran, yang kepastian hari dan tanggalnya tidak pernah secara eksplisit disebutkan baik di dalam al-Quran maupun hadis.
Sudah tentu tradisi peringatan resmi Nuzûlul Qurân itu adalah sesuatu yang –- dalam perspektif dakwah – “baik”, dan oleh karenanya layak dipertahankan. Sebab telah terbukti membawa hikmah yang amat bermakna bagi kehidupan sosial-keagamaan kita. Namun adanya perbedaan tersebut ada baiknya dicari penyelesaiannya, dengan mencari titik-temu, sehingga tidak ‘mengganggu’ kekhidmatan umat Islam dalam memaknai peringatan Nuzûlul Qurân setiap tahun .
Agaknya ada perbedaan tafsiran tentang apa yang sebenarnya yang diturunkan Allah pada hari yang menentukan atau Perang Badar sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT (terkutip di atas). Penjelasan Ibn Katsir, dalam kitab tafsirnya, mengesankan pengertian bahwa yang diturunkan Allah pada Perang Badar ialah ketentuan tentang pembagian harta rampasan perang, bukan al-Quran itu sendiri secara keseluruhannya. Tetapi A. Yusuf Ali, seorang penerjemah al-Quran ke dalam Bahasa Inggris dengan komentar yang diakui cukup otoritatif oleh sebagian peminat studi al-Quran, mengisyaratkan bahwa memang yang diturunkan Allah pada hari yang menentukan (yaum al-furqân) itu adalah al-Quran itu sendiri, mungkin dalam pengertian seperti diajukan oleh Ibn Abbas terkutip di atas. Isyarat A. Yusuf Ali itu terjadi karena ia menerangkan apa makna al-Furqân (penentu atau pembeda antara yang benar dan yang palsu) dengan melakukan rujukan silang (cross reference) kepada ayat-ayat di tempat lain dalam al-Quran.
Dalam Surat al-Qadr yang diterjemahkan di atas terbaca ayat yang terjemahnya: “pada malam itu, turun para malaikat dan Rûh dengan izin Tuhan mereka, membawa segala perkara”. Lagi-lagi di sini ada sedikit perbedaan tentang apa yang dimaksud "Rûh" dengan amr (segala perkara). Muhammad Asad, seorang penerjemah dan penafsir al-Quran yang juga memiliki otoritas, mengartikan Rûh dalam firman Allah SWT itu tidaklah sebagai Rûh Qudûs atau Malaikat Jibril, tetapi wahyu itu sendiri atau ilham (bagi yang bukan nabi) dalam “makna” yang seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya.

Wallâhu A’lam.
[1] Malam kemuliaan dikenal dalam bahasa Indonesia dengan (malam) Lailatul Qadar, yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan dan kebesaran, Karena pada malam itulah permulaan turunnya (wahyu) al-Quran.

[2] QS al-Dukhân, 44: 3
[3] QS al-Baqarah, 2: 185.
[4] QS al-Anfâl, 8: 41.
[5] Makna barakah dimaknai oleh para ulama sebagai kebaikan yang banyak dan bersifat kontinyu atau berkesinambungan.

MENCARI LAILATUL QADAR

Mencari Lailatul Qadar


Nuzulul Quran atau Al Quran turun memang pada malam lailatur qadar. Hal itu banyak dijelaskan baik dalam keterangan hadist maupun tafsir. Untuk tidak disalahfahami perlu dimengerti terlebih dahulu, bagaimana Quran itu turun (nuzul).

Nuzulul Quran atau Quran turun itu mengalami tiga kali. Ini yang jarang kita mengerti. Pertama, Quran diturunkan oleh Allah secara keseluruhan (jumlatan wahidatan) tidak berangsur-angsur (munajjaman) ke lauhil mahfudz. Nuzul yang pertama ini tidak ada yang tahu kapan tahunnya, kapan bulannya, tanggal berapa atau malam berapa, semua tidak ada yang tahu. Hal ini diperkuat dalam satu ayat “bal hua qur’anum majid fi lauhin mahfudz”.

Yang kedua, Quran diturunkan dari lauhil mahfudz secara keseluruhan (jumlatan wahidatan) ke samaiddunya yaitu langit dunia yang bisa dipandang dari bumi dan di sana ada satu tempat yang namanya baitul izzah. Jadi nuzul yang kedua terjadi dari lauhil mahfudz ke baitul izzah. Keterangan ini banyak diriwayatkan Ibn Abbas di beberapa tafsir terutama Ibn Katsir. Nuzul yang kedua ini tanggal dan tahunnya tidak ada yang tahu tetapi bulannya jelas yaitu bulan Ramadhan dan malamnya juga jelas, malam lailatul qadar. Hal ini sesuai dengan satu ayat, “Inna anzalnahu fi lailatil qadr”. Ayat yang lain juga juga mengatakan, “Inna anzalnahu fi lailatin mubarakah”. Sesuai dengan riwayat hadist-hadist atau tafsir-tafsir yang dimaksud “lailatun mubarakah” adalah lailatul qadar. Di sini secara umum disinggung juga oleh ayat lain “syahru ramadhanalladzi unzila fihil qur’an”. Yang diturunkan pada bulan Ramadhan itu bukan hanya Quran tetapi kutubul samawiyyah al-arba’ah taurat, zabur, injil ditambah shuhuf Ibrahim.Ini artinya, lailatul qadar tidak bisa dijujug mengingat ia lebih baik dari seribu bulan. Hal itu sengaja dirahasiakan supaya orang mencari lailatul qadar pada semua lail yang lain selama Ramadhan. Kalau lailatul qadar bisa dijujug, maka semua orang menjadi baik, tidak ada orang yang buruk. Dengan kerahasiaan ini, andai di satu malam ada yang tertinggal maka ada kemungkinan tidak mendapatkan lailatul qadar. Dalam sebuah maqolah para ulama mengatakan, “Innallaha ahfa khamsata assya fi khamsta syya”. Allah merahasiakan lima perkara dalam lima perkara diantaranya lailatul qadar fi layali syahri ramadhan.

Ridlallah, di mana letaknya dirahasiakan pada semua bentuk ketaatan kepada Allah. Di salah satunya mesti ada ridlallah tapi yang mana tidak diketahui. Ini artinya, kalau ingin dapat ridlallah ya mau tidak mau harus melakukan semua bentuk ketaatan, begitu sebaliknya dengan murka Allah (suhtullah).

Yang ketiga, nuzulul quran min baitil izzah lewat Jibril diturunkan kepada Rasul tidak secara jumlah wahidah tetapi berangsur-angsur (munajjaman) dengan pendekatan kebutuhan. Mungkin karena ada kejadian (waqiah), ada soal yang tidak bisa dijawan Nabi, ada pertentangan (muhashamah) dan lain sebagainya. Peristiwa itu yang kemudian disebut dengan asbabunnuzul yang mendorong turunnya Al Quran secara munajjaman dengan ayat yang pertama surat Al Alaq 1-5. Dan peristiwa ketiga ini yang diturunkan pada 17 Ramadhan, ditandai dengan usia Rasulillah menginjak 40 tahun, usia cukup untuk menerima tugas berat.

ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA LOKAL

ISLAM DAN AKULTURASI BUDAYA LOKAL

Untuk strategi pengembangan Islam di Indonesia, kita perlu bervisi ke depan. Karena budaya menyentuh seluruh aspek dan dimensi cara pandang, sikap hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Selain itu, gerakan kultural lebih integratif. Kita patut mencontoh metodologi Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Sunan Kalijaga begitu melihat proses keruntuhan feodalisme Majapahit, ia mendorong percepatan proses transformasi itu, justeru dengan menggunakan unsur-unsur lokal guna menopang efektifitas segi teknis dan operasionalnya. Salah satu yang ia gunakan adalah wayang.
Muqaddimah
Ketika seorang pakar menyentak kesadaran kita dengan isu mengganti "Assalamu'alaikum" dengan ucapan "Selamat Pagi" sebagai dalih sampel dari pribumisasi Islam, kita pun bertanya; "Apa tujuan di balik pernyataan itu?" Sikap pro dan kontra pun bermunculan. Kemudian pertanyaan tadi bisa dilanjutkan; apakah ada ketegangan antara agama yang cenderung permanen dengan budaya yang dinamis? Bagaimana hubungan ajaran agama yang universal dengan setting budaya lokal yang melingkupinya? Lalu, bagaimana sikap salaf dalam mengakomodasi tradisi dan nilai-nilai Islam. Kemudian apakah syara' menjustifikasi hal itu? Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas.
Universalisme Islam
Universalisme (al-'Alamiyah) Islam adalah salah satu karakteristik Islam yang agung. Islam sebagai agama yang besar berkarakteristikkan: (1) Rabbaniyyah, (2) Insaniyyah (humanistik), (3) Syumul (totalitas) yang mencakup unsur keabadian, universalisme dan menyentuh semua aspek manusia (ruh, akal, hati dan badan), (4) Wasathiyah (moderat dan seimbang), (5) Waqi'iyah (realitas), (6) Jelas dan gamblang, (7) Integrasi antara al-Tsabat wa al-Murunah (permanen dan elastis).
Universalisme Islam yang dimaksud adalah bahwa risalah Islam ditujukan untuk semua umat, segenap ras dan bangsa serta untuk semua lapisan masyarakat. Ia bukan risalah untuk bangsa tertentu yang beranggapan bahwa dia-lah bangsa yang terpilih, dan karenanya semua manusia harus tunduk kepadanya.
Risalah Islam adalah hidayah Allah untuk segenap manusia dan rahmat-Nya untuk semua hamba-Nya. Manifesto ini termaktub abadi dalam firman-Nya: "Dan tidak Kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmah bagi seluruh alam". "Katakanlah (Muhammad) agar ia menjadi juru peringatan bagi seru sekalian alam.4
Ayat-ayat di atas yang nota bene Makkiyah, secara implisit membantah tuduhan sebagian orientalis yang menyatakan bahwa Muhammad Saw tidak memproklamirkan pengutusan dirinya untuk seluruh umat manusia pada awal kerisalahannya, akan tetapi setelah mendapat kemenangan atas bangsa Arab.5
Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya.6 Ajaran-ajaran Islam yang mencakup aspek akidah, syari'ah dan akhlak (yang sering kali disempitkan oleh sebagian masyarakat menjadi hanya kesusilaan dan sikap hidup), menampakkan perhatiannya yang sangat besar terhadap persoalan utama kemanusiaan. Hal ini dapat dilihat dari enam tujuan umum syari'ah yaitu; menjamin keselamatan agama, badan, akal, keturunan, harta dan kehormatan. Selain itu risalah Islam juga menampilkan nilai-nilai kemasyarakatan (social values) yang luhur, yang bisa di katakan sebagai tujuan dasar syari'ah yaitu; keadilan, ukhuwwah, takaful, kebebasan dan kehormatan. 7
Semua ini akhirnya bermuara pada keadilan sosial dalam arti sebenarnya. Dan seperti kita tahu, bahwa pandangan hidup (world view, weltanschaung) yang paling jelas adalah pandangan keadilan sosial.8
Kosmopolitanisme Kebudayaan Islam
Selain merupakan pancaran makna Islam itu sendiri serta pandangan tentang kesatuan kenabian (wahdat al-nabawiyah; the unity of prophet) berdasarkan makna Islam itu, serta konsisten dengan semangat prinsip-prinsip itu semua, kosmopolitanisme budaya Islam juga mendapat pengesahan-pengesahan langsung dari kitab suci seperti suatu pengesahan berdasarkan konsep-konsep kesatuan kemanusiaan (wihdat al-insaniyah; the unity of humanity) yang merupakan kelanjutan konsep kemahaesaan Tuhan (wahdaniyat atau tauhid; the unity of god). Kesatuan asasi ummat manusia dan kemanusiaan itu ditegaskan dalam firman-firman:
"Ummat manusia itu tak lain adalah ummat yang tunggal, tapi kemudian mereka berselisih (sesama mereka) jika seandainya tidak ada keputusan (kalimah) yang telah terdahulu dari Tuhanmu, maka tentulah segala perkara yang mereka perselisihkan itu akan diselesaikan (sekarang juga)".9
"Ummat manusia itu dulunya adalah ummat yang tunggal, kemudian Allah mengutus para nabi untuk membawa kabar gembira dan memberi peringatan dan bersama para nabi itu diturunkannya kitab suci dengan membawa kebenaran, agar kitab suci itu dapat memberi keputusan tentang hal-hal yang mereka perselisihkan..." 10
Para pengikut Nabi Muhammad diingatkan untuk selalu menyadari sepenuhnya kesatuan kemanusiaan itu dan berdasarkan kesadaran itu mereka membentuk pandangan budaya kosmopolit, yaitu sebuah pola budaya yang konsep-konsep dasarnya meliputi, dan diambil dari dari seluruh budaya ummat manusia. 11
Refleksi dan manifestasi kosmopolitanisme Islam bisa dilacak dalam etalase sejarah kebudayaan Islam sejak jaman Rasulullah, baik dalam format non material seperti konsep-konsep pemikiran, maupun yang material seperti seni arsitektur bangunan dan sebagainya. Pada masa awal Islam, Rasulullah Saw berkhutbah hanya dinaungi sebuah pelepah kurma. Kemudian, tatkala kuantitas kaum muslimin mulai bertambah banyak, dipanggillah seorang tukang kayu Romawi. Ia membuatkan untuk Nabi sebuah mimbar dengan tiga tingkatan yang dipakai untuk khutbah Jumat dan munasabah-munasabah lainnya. Kemudian dalam perang Ahzab, Rasul menerima saran Salman al-Farisy untuk membuat parit (khandaq) di sekitar Madinah. Metode ini adalah salah satu metode pertahanan ala Persi. Rasul mengagumi dan melaksanakan saran itu. Beliau tidak mengatakan: "Ini metode Majusi, kita tidak memakainya!". Para sahabat juga meniru manajemen administrasi dan keuangan dari Persi, Romawi dan lainnya. Mereka tidak ! keberatan dengan hal itu selama menciptakan kemashlahatan dan tidak bertentangan dengan nas. Sistem pajak jaman itu diadopsi dari Persi sedang sistem perkantoran (diwan) berasal dari Romawi.12
Pengaruh filsafat Yunani dan budaya Yunani (hellenisme) pada umumnya dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam sudah bukan merupakan hal baru lagi. Seperti halnya budaya Yunani, budaya Persia juga amat besar sahamnya dalam pengembangan budaya Islam. Jika dinasti Umawiyah di Damascus menggunakan sistem administratif dan birokratif Byzantium dalam menjalankan pemerintahannya, dinasti Abbasiyah di Baghdad (dekat Tesiphon, ibu kota dinasti Persi Sasan) meminjam sistem Persia. Dan dalam pemikiran, tidak sedikit pengaruh-pengaruh Persianisme atau Aryanisme (Iranisme) yang masuk ke dalam sistem Islam. Hal ini terpantul dengan jelas dalam buku al-Ghazali (ia sendiri orang Parsi), Nashihat al-Mulk, siyasat namah (pedoman pemerintahan), yang juga banyak menggunakan bahan-bahan pemikiran Persi. 13
Islam, Bias Arabisme dan Akulturasi Timbal Balik dengan Budaya Lokal
Walaupun Islam sebagai agama bersifat universal yang menembus batas-batas bangsa, ras, klan dan peradaban, tak bisa dinapikan bahwa unsur Arab mempunyai beberapa keistimewaan dalam Islam. Ada hubungan kuat yang mengisyaratkan ketiadaan kontradiksi antara Islam sebagai agama dengan unsur Arab. Menurut Dr. Imarah, hal ini bisa dilihat dari beberapa hal :
Pertama, Islam diturunkan kepada Muhammad bin Abdullah, seorang Arab. Juga, mukjizat terbesar agama ini, al-Quran, didatangkan dengan bahasa Arab yang jelas (al-Mubin), yang dengan ketinggian sastranya dapat mengungguli para sastrawan terkemuka Arab sepanjang sejarah. Sebagaimana memahami dan menguasai al-Quran sangat sulit dengan bahasa apapun selain Arab. Implikasinya, Islam menuntut pemeluknya jika ingin menyelami dan mendalami makna kandungan al-Quran, maka hendaknya mengarabkan diri.
Kedua, dalam menyiarkan dakwah Islam yang universal, bangsa Arab berada di garda depan, dengan pimpinan kearaban Nabi dan al-Quran, kebangkitan realita Arab dari segi "sebab turunnya wahyu" dengan peran sebagai buku catatan interpretatif terhadap al-Qur'an dan lokasi dimulainya dakwah di jazirah Arab sebagai "peleton pertama terdepan" di barisan tentara dakwahnya.
Ketiga, jika agama-agama terdahulu mempunyai karakteristik yang sesuai dengan konsep Islam lokal, kondisional dan temporal, pada saat Islam berkarakteristikkan universal dan mondial, maka posisi mereka sebagai "garda terdepan" agama Islam adalah menembus batas wilayah mereka.14
Walaupun begitu, menurut pengamatan Ibnu Khaldun, seorang sosiolog dan sejarawan muslim terkemuka, bahwa di antara hal aneh tapi nyata bahwa mayoritas ulama dan cendekiawan dalam agama Islam adalah 'ajam (non Arab), baik dalam ilmu-ilmu syari'at maupun ilmu-ilmu akal. Kalau toh diantara mereka orang Arab secara nasab, tetapi mereka 'ajam dalam bahasa, lingkungan pendidikan dan gurunya. 15
Lebih lanjut, Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa bersamaan dengan meluasnya daerah Islam, muncullah banyak masalah dan bid'ah, bahasa Arab sudah mulai terpolusikan, maka dibutuhkan kaidah-kaidah Nahwu. Ilmu-ilmu syari'at menjadi keterampilan atau keahlian istinbath, deduktif, teoritisasi dan analogi. Ia membutuhkan ilmu-ilmu pendukung yang menjadi cara-cara dan metode-metode berupa pengetahuan undang-undang bahasa Arab dan aturan-aturan istinbath, qiyas yang diserap dari aqidah-aqidah keimanan berikut dalil-dalilnya, karena saat itu muncul bid'ah-bid'ah dan ilhad (atheisme). Maka jadilah ilmu-ilmu ini semua ilmu-ilmu keterampilan yang membutuhkan pengajaran. Hal ini masuk dalam golongan komoditi industri, dan sebagaimana telah dijelaskan, bahwa komoditi industri adalah peradaban orang kota sedangkan orang Arab adalah sangat jauh dari hal ini.16 Ibnu Khaldun menyebutkan, intelektual-intelektual yang mempunyai kontribusi sangat besar dalam ilmu Nahwu seperti Imam Sibawaih, al-Farisi, dan al-Zujjaj. Mereka semua adalah 'ajam. Begitu juga intelektual-intelektual dalam bidang hadits, ushul fiqih, ilmu kalam dan tafsir. Benarlah sabda Rasulullah; "Jika saja ilmu digantungkan diatas langit, maka akan diraih oleh orang-orang dari Persia".17
Kita lihat juga bahwa budaya Persia; budaya yang pernah jaya dan saat Islam masuk; ia sedang menyusut, adalah memiliki pengaruh yang demikian dalam, luas, dinamis dan kreatif terhadap perkembangan peradaban Islam. Lihat saja al-Ghazali, meskipun ia kebanyakan menulis dalam bahasa Arab sesuai konvesi besar kesarjanaan saat itu, ia juga menulis beberapa buku dalam bahasa Persi. Lebih dari itu, dalam menjabarkan berbagai ide dan argumennya, dalam menandaskan mutlaknya nilai keadilan ditegakkan oleh para penguasa, ia menyebut sebagai contoh pemimpin yang adil itu tidak hanya Nabi saw dan para khalifah bijaksana khususnya Umar bin Khattab, tetapi juga Annushirwan, seorang raja Persia dari dinasti Sasan.18
Menarik untuk diketengahkan juga walaupun saat ini Persia atau Iran menjadikan Syiah sebagai madzhab, namun lima dari penulis kumpulan hadits Sunni dan Kutub as-Sittah berasal dari Persia. Mereka adalah Imam Bukhari, Imam Muslim al-Naisaburi, Imam Abu Dawud al-Sijistani, Imam al Turmudzi dan Imam al-Nasai.
Dari paparan di atas, menunjukkan kepada kita betapa kebudayaan dan peradaban Islam dibangun diatas kombinasi nilai ketaqwaan, persamaan dan kreatifitas dari dalam diri Islam yang universal dengan akulturasi timbal balik dari budaya-budaya lokal luar Arab yang terislamkan. Pun tidak hendak mempertentangkan antara Arab dan non Arab. Semuanya tetap bersatu dalam label "muslim".
"Yang terbaik dan termulia adalah yang paling taqwa".19
"yang paling suci, yang paling banyak dan ikhlas kontribusi amal-nya untuk kemulian Islam".20
Akulturasi Islam dengan Budaya di Indonesia
Seperti di kemukakan di atas, Islam adalah agama yang berkarakteristikkan universal, dengan pandangan hidup (weltanchaung) mengenai persamaan, keadilan, takaful, kebebasan dan kehormatan serta memiliki konsep teosentrisme yang humanistik sebagai nilai inti (core value) dari seluruh ajaran Islam, dan karenanya menjadi tema peradaban Islam.21
Pada saat yang sama, dalam menerjemahkan konsep-konsep langitnya ke bumi, Islam mempunyai karakter dinamis, elastis dan akomodatif dengan budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri. Permasalahannya terletak pada tata cara dan teknis pelaksanaan. Inilah yang diistilahkan Gus Dur dengan "pribumisasi Islam".
Upaya rekonsiliasi memang wajar antara agama dan budaya di Indonesia dan telah dilakukan sejak lama serta bisa dilacak bukti-buktinya. Masjid Demak adalah contoh konkrit dari upaya rekonsiliasi atau akomodasi itu. Ranggon atau atap yang berlapis pada masa tersebut diambil dari konsep 'Meru' dari masa pra Islam (Hindu-Budha) yang terdiri dari sembilan susun. Sunan Kalijaga memotongnya menjadi tiga susun saja, hal ini melambangkan tiga tahap keberagamaan seorang muslim; iman, Islam dan ihsan. Pada mulanya, orang baru beriman saja kemudian ia melaksanakan Islam ketika telah menyadari pentingnya syariat. Barulah ia memasuki tingkat yang lebih tinggi lagi (ihsan) dengan jalan mendalami tasawuf, hakikat dan makrifat.22
Hal ini berbeda dengan Kristen yang membuat gereja dengan arsitektur asing, arsitektur Barat. Kasus ini memperlihatkan bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha masuk ke Indonesia dengan membawa stupa, demikian juga Hindu. Islam, sementara itu tidak memindahkan simbol-simbol budaya Islam Timur Tengah ke Indonesia. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Dengan fakta ini, terbukti bahwa Islam tidak anti budaya. Semua unsur budaya dapat disesuaikan dalam Islam. Pengaruh arsitektur India misalnya, sangat jelas terlihat dalam bangunan-bangunan mesjidnya, demikian juga pengaruh arsitektur khas mediterania. Budaya Islam memiliki begitu banyak varian. 23
Yang patut diamati pula, kebudayaan populer di Indonesia banyak sekali menyerap konsep-konsep dan simbol-simbol Islam, sehingga seringkali tampak bahwa Islam muncul sebagai sumber kebudayaan yang penting dalam kebudayaan populer di Indonesia.
Kosakata bahasa Jawa maupun Melayu banyak mengadopsi konsep-konsep Islam. Taruhlah, dengan mengabaikan istilah-istilah kata benda yang banyak sekali dipinjam dari bahasa Arab, bahasa Jawa dan Melayu juga menyerap kata-kata atau istilah-istilah yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Istilah-istilah seperti wahyu, ilham atau wali misalnya, adalah istilah-istilah pinjaman untuk mencakup konsep-konsep baru yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam khazanah budaya populer. 24
Dalam hal penggunaan istilah-istilah yang diadopsi dari Islam, tentunya perlu membedakan mana yang "Arabi-sasi", mana yang "Islamisasi". Penggunaan dan sosialisasi terma-terma Islam sebagai manifestasi simbolik dari Islam tetap penting dan signifikan serta bukan seperti yang dikatakan Gus Dur, menyibukkan dengan masalah-masalah semu atau hanya bersifat pinggiran. 25 Begitu juga penggunaan term shalat sebagai ganti dari sembahyang (berasal dari kata 'nyembah sang Hyang') adalah proses Islamisasi bukannya Arabisasi. Makna substansial dari shalat mencakup dimensi individual-komunal dan dimensi peribumisasi nilai-nilai substansial ini ke alam nyata. Adalah naif juga mengganti salam Islam "Assalamu'alaikum" dengan "Selamat Pagi, Siang, Sore ataupun Malam". Sebab esensi doa dan penghormatan yang terkandung dalam salam tidak terdapat dalam ucapan "Selamat Pagi" yang cenderung basa-basi, selain salam itu sendiri memang dianjurkan oleh Allah swt dan Rasul-Nya.
'Urf sebagai justifikasi yang dinamis
Dalam syariat Islam yang dinamis dan elastis, terdapat landasan hukum yang dinamakan 'urf. 'Urf adalah sesuatu yang menjadi kebiasaan dan dijalankan oleh manusia, baik berupa perbuatan yang terlakoni diantara mereka atau lafadz yang biasa mereka ucapkan untuk makna khusus yang tidak dipakai (yang sedang baku). 26
Dari segi shahih tidaknya, 'urf terbagi dua: 'urf shahih dan fasid. Yang pertama adalah adat kebiasaan manusia yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, seperti kebiasaan seorang istri tidak dapat pindah ke rumah suaminya kecuali setelah menerima sebagian dari mahar, karena mahar terbagi dua; ada yang didahulukan dan ada yang diakhirkan. Sedangkan yang diberikan oleh si peminang pada saat tunangan di anggap hadiah bukan bagian dari mahar.27 'Urf Shahih ini wajib diperhatikan dalam proses pembuatan hukum dan pemutusan hukum di pengadilan yang disebabkan adat kebiasaan manusia, kebutuhan dan kemashlahatan mereka. 'Urf Fasid adalah adat kebiasaan manusia menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal seperti kebiasaan makan riba, ikhthilath (campur baur) antara pria dan wanita dalam pesta. 28 'Urf ini tidak boleh digunakan sumber hukum, karena bertentangan dengan syariat.
Validitas 'urf dalam syariah diambil dari ayat; "Berilah permaafan, perintahkan dengan yang makruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh". 29 "Dan dari ucapan Ibnu Mas'ud; "Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka menurut Allah adalah baik. Dan sebaliknya yang dipandang jelek oleh mereka, menurut Allah adalah jelek". 30
Dari dua dalil ini para fuqaha madzahib arba'ah menjadikan 'urf sebagai landasan hukum.
Dalam banyak hal, syara' tidak memberikan batasan-batasan yang kaku, akan tetapi memberikan kelonggaran kepada 'urf untuk menentukan hukumnya. Seperti dalam ayat; "Kewajiban suami memberikan rizki dan pakaian kepada mereka (isteri-isterinya) dengan makruf. 31 "Dan bagi wanita-wanita yang ditalak, (berhak diberi) harta secara makruf". 32
Artinya, 'ufrlah yang menghukumi dan membatasi nafkah kepada istri dan harta mut'ah bagi isteri yang ditalak.
Karenanya, ulama ushul merumuskan sebuah kaidah, "al-'adah muhakkamah". Dan 'urf memiliki i'tibar (pertimbangan) dalam syara'. Imam Malik membangun banyak hukum-hukumnya atas dasar amal penduduk Madinah. Abu Hanifah dan pengikutnya berselisih pendapat dalam beberapa masalah karena menimbang perbedaan 'urf. Al-Syafi'i tatkala tinggal di Mesir merubah sebagian hukum yang ia tetapkan di Bagdhad karena perbedaan 'urf.33 Bahkan, Imam al-Qarafi al-Maliki, menjelaskan dalam kitabnya; "al-Ahkam", bahwa melanggengkan hukum-hukum yang dasarnya 'urf dan adat, sementara adat kebiasaan itu selalu berubah adalah menyalahi ijma' dan tidak mengetahui agama. 34
Khatimah
Jika demikian, jelaslah perjalanan sejarah rekonsiliasi antara Islam sebagai agama dan budaya lokal yang melingkupinya serta adanya landasan hukum legitimatif dari syara' berupa 'urf dan mashlahah. Maka untuk strategi pengembangan budaya Islam di Indonesia, kita perlu bervisi ke depan. Kenapa harus budaya? Karena budaya menyentuh seluruh aspek dan dimensi cara pandang, sikap hidup serta aktualisasinya dalam kehidupan manusia. Selain itu, gerakan kultural lebih integratif dan massal sifatnya. Sehubungan dengan hal ini, kita patut mencontoh metodologi Sunan Kalijaga dalam menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Sunan Kalijaga begitu melihat proses keruntuhan feodalisme Maja pahit dan digantikan oleh egalitarianisme Islam, ia mendorong percepatan proses transformasi itu, justeru dengan menggunakan unsur-unsur lokal guna menopang efektifitas segi teknis dan operasionalnya. Salah satu yang ia gunakan adalah wayang, juga gamelan yang dalam gabungannya dengan unsur-unsur upacara Islam populer adalah menghasilkan tradisi sekatenan di pusat-pusat kekuasaan Islam seperti Cirebon, Demak, Yogyakarta dan Surakarta. Dalam seni musik Islam misalnya, yang mengandung elemen-elemen isi, tujuan, cara penyajian yang islami, kenapa justru alat musiknya seperti rebana yang lebih diperhatikan.35 Alat musik itu, menurut hemat saya, masuk dalam katagori 'urf. Ia bisa berubah sesuai dengan perkembangan jaman. **
Catatan kaki
1. Dr. Yusuf Qardhawi, Al-khashaish al-'aamiyah al-Islam (Beirut cet. VIII, 1993) hal. 3
2. QS. Al-Anbiya: 107
3. QS Al-A'raf : 158
4. QS Al-Furqan: 1
5. Qardhawi, op cit hal. 107-108.
6. Lihat: Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam oleh Abdurrahman Wahid dalam "Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah". Editor: Budhy Munawwar Rahman. (Yayasan Paramadina, cet. I, Mei 1994) hal. 515.
7. Dr. Yusuf Qardhawi, "Madkhal li al-Dirasat al-Islamiyah" (Beirut, cet. I,1993) hal. 61
8. Abdurrahman Wahid, "Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan" (Jakarta, cet. I, 1989) hal. 442
9. QS. Yunus: 19
10. QS Al-Baqarah: 213
11. Dr. Nurkholis Madjid, "Islam, Doktrin dan Peradaban", (Jakarta, cet. II, 1992) hal. 442
12. Qardhawi, Khashais, op cit,hal. 253
13. Madjid, op cit,, hal. 444
14. Dr. Muhammad Imarah, "Al-Islam wa al-'Arubah (al-Haiahal-Mashriyah al-'Ammah li al-Kitab, 1996) hal. 11-12
15. Ibnu Khaldun, "Muqaddimah Ibnu Khaldun" (Beirut, cet. VII, 1989) hal. 543
16. Ibid hal 544
17. Ibid hal 544
18. Madjid, op cit, hal. 547-548
19. QS. Al-Hujurat: 13
20. QS. Al-Mulk: 2
21. Dr. Kuntowijoyo, "Paridigma Islam" (Mizan, cet. III, 1991)hal. 229
22.Abdurrahman Wahid, "Pribumisasi Islam dalam Islam Indonesia, Menatap Masa Depan" (P3M, Jakarta cet. I, 1989) hal. 92
23. Kuntowijoyo, op cit hal. 92
24. Ibid, hal. 235
25. Wahid, op cit hal. 92
26.QS Al-'Ankabut:
27. Dr. Wahbah Zuhaili, "Ushul Fiqh al-Islami" (Beirut, cet.I,1986) jilid II, hal. 833
28. Ibid hal. 830
29. Ibid hal. 30
30. QS. Al- A'raf: 199
31.Terhadap al-hadits ini, al-Zaira'i berkata; ghaarib marfu'. Yang benar, al-hadit ini mauquf kepada Ibnu Mas'ud. Lih. "Nashbu al Rayah" IV: 133. (Diriwayatkan oleh Ahmad al-Bazzar dan al-Thabrani dalam kitab "al-Kabir" dari Ibnu Mas'ud, rijal- nya tsiqat (Majma' al-Zawai I:178)
32. QS Al-Baqarah : 223
33. Dr. Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo, hal. 90
34. Qardhawi, dalam kisah "Khashaish", op cit hal. 246
35.Seperti yang dipahami oleh kalangan tekstualis yang lebih ekstrim.

MARHABAN YA RAMADHAN (Kajian Komprehensif)

MARHABAN YÂ RAMADHÂN

Ramadhan selalu beriring dengan harapan-harapan bagi umat Islam yang memahami arti pentingnya dan bahkan bagi setiap orang yang dapat merasakan manfaat kehadirannya. Namun dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang membebani bagi setiap orang yang hanya dapat merasakan bahwa kewajiban-kewajiban keagamaan merupakan serangkaian beban yang berat untuk diamalkan. Oleh karenanya ungkapan marhaban yâ ramadhân hanya pantas diucapkan oleh mereka yang memahami arti penting dan manfaat kedatangan bulan suci ini. Dan dengan Ramadhan – berharap untuk – memperoleh sesuatu yang bernilai penting dan sangat didambakan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang." Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan "marhaban yâ Ramadhân". Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah. Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang di celahnya terdapat kalimat tersirat yaitu: "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran rendah yang mudah." Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau "lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbah yang antara lain berarti "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban yâ Ramadhân berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan; tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita. Marhaban yâ Ramadhân, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah SWT. Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan ar-Rahmân untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT. Demikian kurang lebih perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madârij as-Sâlikîn. Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya. Puasa Menurut al-Quran Al-Quran menggunakan kata shiyâm sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat. Sekali al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak berbicara: فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا Terjemah: Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (QS Maryam [19]: 26). Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan, sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shâimîn wa ash-shâimât. Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak bergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shâim. Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas – apa pun aktivitas itu -- dinamai shâim (orang yang berpuasa). Pengertian kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyâm hanya digunakan untuk "menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami-isteri dari terbit fajar hingga terbenam matahari". Kaum Sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. Betapa pun, shiyâm atau shaum -- bagi manusia -- pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa. Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa: "Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat az-Zumar (39): 10, قُلْ يَاعِبَادِ الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ Terjemah: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa. Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum sebagaimana disinggung di atas. 1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau semacamnya.3. Puasa sunnah. Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar pada puasa bulan Ramadhan. Puasa Ramadhan Uraian al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di Madinah, karena ulama al-Quran sepakat bahwa surat al-Baqarah turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban tahun kedua Hijrah. Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh al-Quran selama sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap al-Quran yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah-perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat dikatakan demikian. QS al-Baqarah (2): 184 yang menyatakan ayyâman ma'dûdât (beberapa hari tertentu) dipahami oleh sebagian ulama sebagai tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang dengan turunnya QS al-Baqarah (2): 185: … فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ Terjemah:… barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginyaberpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya. Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa Nabi s.a.w. dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari al-Quran, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa sunnah tertentu. Uraian al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat Islam untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun. Perhatikan QS al-Baqarah (2): 185. Ia (ayat tersebut) dimulai dengan panggilan mesra, “yâ ayyuhalladzîna âmanû, kutiba ‘alaikumush shiyâmu … (wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepada kamu berpuasa)." Di sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu, tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "kamâ kutiba ‘alalladzîna min qablikum (sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu)." Jika demikian, maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa sendiri yakni "la’alakum tattaqûn (agar kamu bertakwa, senantiasa berbuat baik dan meninggalkan perbuatan yang tidak baik, sehingga terhindar dari azab [siksa] Allah)." Kemudian al-Quran dalam QS al-Baqarah (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya "beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan," maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain. "Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan bahwa "berpuasa adalah baik." Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa Ramadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahan untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir dan bersyukur. QS al-Baqarah (2): 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya dalam uraian al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena itu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa." Selanjutnya QS al-Baqarah (2): 187 antara lain menyangkut izin melakukan hubungan suami-isteri di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa. Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan hukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau kalimat dari ayat-ayat puasa di atas. Beberapa Aspek Hukum Berkaitan dengan Puasa a. Faman kâna minkum marîdhan (Siapa di antara kamu yang menderita sakit) Marîdh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua: 1. Penderita (sama sekali) tidak dapat berpuasa; dalam hal ini ia diwajibkan untuk berbuka (sebagai satu-satunya pilihan); dan 2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia diperkenankan untuk tidak berpuasa sebagai sebuah anjuran yang dipandang lebih baik untuk dilaksanakan daripada memaksakan diri untuk berpuasa yang pada akhirnya justeru akan menimbulkan dampak buruk pada dirinya . Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar Ibnu Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan, dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus dicatat, bahwa al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat mencakup pemahaman Ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya kita dapat berkata bahwa Allah SWT sengaja memilih redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah ia layak berpuasa atau tidak. Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain. b. Au 'alâ safarin (atau dalam perjalanan) Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan dengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan, maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah). Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini. Apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Jogja yang ditempuh dengan pesawat kurang dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau tidak? Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin (‘illat) safar (perjalanan) ini. Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji, silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubâh (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan berbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya. Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat kemudahan dari Allah SWT? Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan Imam asy-Syafi'i menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak berpuasa. Nabi s.a.w. tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa." Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan al-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan." Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas, yaitu: c. Fa 'iddatun min ayyâmin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain). Ulama keempat mazhab Sunni menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh ulama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban mengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang yang sakit tetapi tidak berpuasa. Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti bunyi harfiah ayat di atas. Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ada sebuah hadis -- tetapi dinilai lemah -- yang menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada ayat puasa yang berbunyi mutatâbi'ât, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadhâ') itu harus dilakukan berkesinambungan tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata mutatâbi'ât dalam fa 'iddatun min ayyâmin ukhar mutâtâbi'ât yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah SWT. Sehingga akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang. Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin, namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat menggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu? Imam Malik, asy-Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di atas. d. Wa 'alal ladzîna yuthiqûnahû fidyatun tha'âmu miskîn (Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin) (QS al-Baqarah [2]: 184). Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah SWT. memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit, yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan. Musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka, yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah. Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut: Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan “mengganti puasanya” di hari lain, seandainya yang mereka khawatirkan adalah “janin” atau “anaknya” yang sedang menyusui. Tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah. Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak setengah sha' (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat. e. Uhilla lakum lailatash-shiyâmir-rafatsu ilâ nisâ'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan bersebadan dengan isteri-isterimu) (QS al-Baqarah [2]: 187) Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan, hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian hubungan seks adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa pun. Karena itu walaupun ayat ini tidak melarang berciuman, atau berpelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma. Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun selain berhubungan seks, kemudian ternyata "basah", maka puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu, maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin. Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi sebelum terbitnya matahari. paling tidak dalam batas waktu yang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama. f. Wakulû wasyrabû hattâ yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar). Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar. Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di atas. Imsâk yang diadakan hanya sebagai peringatan dan persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang. Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk). Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena itu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut saat imsak. g. Tsumma atimmush shiyâma ilal lail (Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam). Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan minum sampai dengan datangnya fajar. Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para ulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah, dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama didukung oleh banyak hadis Nabi s.a.w., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam". Kata lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail. Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi s.a.w. untuk mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapat kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir maghrib sebenarnya belum masuk. Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan. Tujuan Berpuasa Secara jelas al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la'allakum tattaqûn. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi s.a.w. misalnya, "Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga." Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya bahwa "Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan." Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, "Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa. Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya." Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan, misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah, kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa, melakukannya demi karena Allah SWT. Demikian antara lain penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi di atas. Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagainya. Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai dengan cara yang dituntut oleh al-Quran, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah semata. Di sini Anda boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan manusia kepada takwa?" Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan takwa. Puasa dan Takwa Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqûllâh secara harfiah berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah" Makna ini tidak lazim, bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhiNya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah. Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam. a. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas, dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka. Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah SWT ). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia timbul karena adanya Allah SWT (yang menyiksa)." Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah SWT setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah hadis riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah: صحيح البخارى - (ج ١ / ص ٩٧)أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ Terjemah:“Engkau beribadah kepada Allah (dengan) seolah-olah engkau melihatNya; lalu bila engkau tidak dapat membayangkan bahwa engkau melihatNya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, antara 1ain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia meneladani Allah SWT. Puasa: Meneladani Sifat-sifat Allah Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk. Nabi s.a.w. memerintahkan, "Takhallaqû bi akhlâqillâh" (rerakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah). Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu makan, minum, dan hubungan seks. Allah SWT memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai (Dzat Yang) “tidak mempunyai anak atau isteri”: بَدِيعُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنَّى يَكُونُ لَهُ وَلَدٌ وَلَمْ تَكُنْ لَهُ صَاحِبَةٌ وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ Terjemah:Dia Pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai isteri? Dia menciptakan segala sesuatu; dan Dia mengetahui segala sesuatu. (QS al-An'âm [6]: 101) وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا Terjemah:Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak (QS al-Jin [72]: 3). قُلْ أَغَيْرَ اللَّهِ أَتَّخِذُ وَلِيًّا فَاطِرِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ يُطْعِمُ وَلَا يُطْعَمُ قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَسْلَمَ وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ Terjemah:Katakanlah: "Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama sekali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang-orang musyrik." (QS al-An'âm [6]: 14) Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum, bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada. Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi. Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam pengertian di atas dapat pula dicapai. Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran tersebut -- bukan pada sisi lapar dan dahaga -- sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw. menyatakan bahwa, "Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga." Puasa Umat Terdahulu Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kamâ kutiba 'alal ladzîna min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas (umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah, kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya (tata-caranya) dapat berbeda, namun esensi dan tujuannya sama. Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat Islam dan umat-umat terdahulu? Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan berhubungan seks. Binatang -- khususnya binatang-binatang tertentu -- tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga kebutuhan pokok itu, sehingga -- misalnya -- ada waktu atau musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan. Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang hari. Syahwat (hasrat/keinginan) seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin haus bagaikan penyakit eksim, semakin digaruk semakin nyaman dan menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok. Potensi dan daya manusia -- betapa pun besarnya -- memiliki keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan secara berlebihan ke arah tertentu -- arah pemenuhan kebutuhan faali misalnya -- maka arah yang lain, -- mental spiritual -- akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian. Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa. Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh al-Quran. Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumush shiyâm (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa yang mewajibkannya? Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam hal ini adalah Allah SWT. Tetapi boleh jadi juga untuk mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh setiap makhluk yang berakal? Di sisi lain bukankah Nabi s.a.w. bersabda, "Seandainya umatku mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan, niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan." Keistimewaan Bulan Ramadhan Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah menjelaskan bahwa al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan pada ayat lain dinyatakannya bahwa al-Quran turun pada malam Qadar, إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ Terjemah:Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada Lailat al-Qadr. (QS al-Qadr, 47:1) Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu, yang menurut al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Tuhan (Allah), dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar. Di sisi lain – sebagaimana disinggung pada awal uraian -- bahwa dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang mengandung pesan tentang kedekatan Allah SWT. kepada hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa -- siapa pun yang dengan tulus berdoa. Dari hadis-hadis Nabi s.a.w. diperoleh pula penjelasan tentang keistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak ada keistimewaan bagi Ramadhan kecuali Lailat al-Qadr, maka hal itu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia. Khâtimah Kajian tentang Ramadhan memang tidak sesempit apa yang dapat ditulis dalam makalah ini. Tetapi, bagaimanapun juga kita tetap harus bisa memilih dan memilah aspek-aspek terpenting dalam kajian (tentang) Ramadhan dalam konteks yang berbeda-beda. Termasuk di dalamya untuk kajian pada saat ini. Untuk itu, sebagai saran untuk para jamaah, semua yang belum dapat disajikan dalam makalah ini dapat dirujuk pada beberapa buku yang secara komprehensif menguraikan persoalan-persoalan Ramadhan dalam berbagai versinya.

KARAKTERISTIK ISLAM

KARAKTERISTIK ISLAM

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu di dunia dan berbuat baikklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi ini. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS al-Qashash, 28 : 77)

Sebagai muslim, kita tentu ingin menjadi muslim yang sejati. Untuk itu, seorang muslim harus menjalankan ajaran Islam secara kâffah (total, menyeluruh), bukan hanya mementingkan satu aspek dari ajaran Islam lalu mengabaikan aspek yang lainnya. Oleh karena itu, pemahaman kita terhadap ajaran Islam secara syâmil (menyeluruh) dan kâmil (sempurna) menjadi satu keharusan. Disinilah letak pentingnya kita memahami karakteristik atau ciri-ciri khas ajaran Islam dengan baik.

Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Khashâish al-Âmmah Lil Islâm menyebutkan bahwa karakteristik ajaran Islam itu terdiri dari tujuh hal penting yang tidak terdapat dalam agama lain, dan ini pula yang menjadi salah satu sebab mengapa hingga sekarang ini begitu banyak orang yang tertarik kepada Islam sehingga mereka menyatakan diri masuk ke dalam Islam. Ini pula yang menjadi sebab, mengapa hanya Islam satu-satunya agama yang tidak “takut” dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, ketujuh karakteristik ajaran Islam sangat penting untuk kita pahami.

1. Rabbâniyyah
Allah Swt merupakan Rabbul ‘Âlamîn (Tuhan Semesta Alam), disebut juga dengan Rabbun Nâs (Tuhan manusia) dan banyak lagi sebutan lainnya. Kalau karakteristik Islam itu adalah Rabbâniyyah, itu artinya bahwa Islam merupakan agama yang bersumber dari Allah SWT, bukan dari manusia, sedangkan Nabi Muhammad s.a.w. tidak membuat agama ini, tetapi beliau hanya menyampaikannya. Karenanya, dalam kapasitasnya sebagai
Nabi Muhammad s.a.w., beliau berbicara berdasarkan wahyu yang diturunkan kepadanya, Allah berfirman dalam SQ an-Najm, 53: 3-4 yang artinya: “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Karena itu, ajaran Islam sangat terjamin kemurniannya sebagaimana Allah telah menjamin kemurnian Al-Qur’an, Allah berfirman dalam QS al-Hijr, 15: 9 yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” Disamping itu, seorang muslim tentu saja harus mengakui Allah SWT sebagai Rabb (Tuhan) dengan segala konsekuensinya, yakni mengabdi hanya kepada-Nya sehingga dia menjadi seorang yang rabbani dari arti memiliki sikap dan prilaku dari nilai-nilai yang datang dari Allah SWT, Allah SWT berfirman dalam QS Âli ‘Imrân, 3: 79 yang artinya: “Tidak wajar bagi manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, ‘hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku, bukan penyembah Allah’, tapi dia berkata, ‘hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan kamu tetap mempelajarinya.”

2. Insâniyyah
Islam merupakan agama yang diturunkan untuk manusia, karena itu Islam merupakan satu-satunya agama yang cocok dengan fitrah manusia. Pada dasarnya, tidak ada satupun ajaran Islam yang bertentangan dengan jiwa manusia. Seks misalnya, merupakan satu kecenderungan jiwa manusia untuk dilampiaskan, karenanya Islam tidak melarang manusia untuk melampiaskan keinginan seksualnya selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Prinsipnya, manusia itu kan punya kecenderungan untuk cinta pada harta, tahta, wanita dan segala hal yang bersifat duniawi, semua itu tidak dilarang di dalam Islam, namun harus diatur keseimbangannya dengan kenikmatan ukhrawi, Allah berfirman dalam QS al-Qashash, 28: 77 yang artinya: ”Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu di dunia dan berbuat baikklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi ini. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan .”

3. Syumûliyah
Islam merupakan agama yang lengkap, tidak hanya mengutamakan satu aspek lalu mengabaikan aspek lainnya. Kelengkapan ajaran Islam itu nampak dari konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan, mulai dari urusan pribadi, keluarga, masyarakat sampai pada persoalan-persoalan berbangsa dan bernegara. Kesyumuliyahan Islam tidak hanya dari segi ajarannya yang rasional dan mudah diamalkan, tapi juga keharusan menegakkan ajaran Islam dengan metodologi yang islami. Karena itu, di dalam Islam kita dapati konsep tentang dakwah, jihad dan sebagainya. Dengan demikian, segala persoalan ada petunjuknya di dalam Islam, Allah SWT berfirman dalam QS an-Nahl, 16: 89 yang artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu al- Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.”

4. Al Wâqi’iyyah
Karakteristik lain dari ajaran Islam adalah al-wâqi’iyyah (realistis), ini menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang dapat diamalkan oleh manusia atau dengan kata lain dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Islam dapat diamalkan oleh manusia meskipun mereka berbeda latar belakang, kaya, miskin, pria, wanita, dewasa, remaja, anak-anak, berpendidikan tinggi, berpendidikan rendah, bangsawan, rakyat biasa, berbeda suku, adat istiadat dan sebagainya.
Disamping itu, Islam sendiri tidak bertentangan dengan realitas perkembangan zaman bahkan Islam menjadi satu-satunya agama yang mampu menghadapi dan mengatasi dampak negatif dari kemajuan zaman. Ini berarti, Islam agama yang tidak takut dengan kemajuan zaman.

5. Al-Wasathiyyah
Di dunia ini ada agama yang hanya menekankan pada persoalan-persoalan tertentu, ada yang lebih mengutamakan masalah materi ketimbang rohani atau sebaliknya. Ada pula yang lebih menekankan aspek logika daripada perasaan dan begitulah seterusnya. Allah Swt menyebutkan bahwa umat Islam adalah ummatan wasathan (umat yang pertengahan), umat yang seimbang dalam beramal, baik yang menyangkut pemenuhan terhadap kebutuhan jasmani dan akal pikiran maupun kebutuhan rohani.
Manusia memang membutuhkan konsep agama yang seimbang, hal ini karena tawâzun (kesimbangan) merupakan sunnatullah. Di alam semesta ini terdapat siang dan malam, gelap dan terang, hujan dan panas dan begitulah seterusnya sehingga terjadi keseimbangan dalam hidup ini. Dalam soal aqidah misalnya, banyak agama yang menghendaki keberadaan Tuhan secara konkrit sehingga penganutnya membuat simbol-simbol dalam bentuk patung. Ada juga agama yang menganggap tuhan sebagai sesuatu yang abstrak sehingga masalah ketuhanan merupakan khayalan belaka, bahkan cenderung ada yang tidak percaya akan adanya Tuhan
sebagaimana komunisme. Islam mempunyai konsep bahwa Tuhan merupakan sesuatu yang ada, namun adanya tidak bisa dilihat dengan mata kepala kita, keberadaannya bisa dibuktikan dengan adanya alam semesta ini yang konkrit, maka ini merupakan konsep ketuhanan yang seimbang. Begitu pula dalam masalah lainnya seperti peribadatan, akhlak, hukum dan sebagainya.

6. Al-Wudhûh
Karakteristik penting lainnya dari ajaran Islam adalah konsepnya yang jelas (Al-Wudhûh). Kejelasan konsep Islam membuat umatnya tidak bingung dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam, bahkan pertanyaan umat manusia tentang Islam dapat dijawab dengan jelas, apalagi kalau pertanyaan tersebut mengarah pada maksud merusak ajaran Isla itu sendiri. Dalam masalah aqidah, konsep Islam begitu jelas sehingga dengan aqidah yang mantap, seorang muslim menjadi terikat pada ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Konsep syari’ah atau hukumnya juga jelas sehingga umat Islam dapat melaksanakan peribadatan dengan baik dan mampu membedakan antara yang haq dengan yang bathil, begitulah seterusnya dalam ajaran Islam yang serba jelas, apalagi pelaksanaannya dicontohkan oleh Rasulullah sa.w..

7. Al-Jam’u Baina Ats-Tsawâbit wa al-Mutaghayyirât
Di dalam Islam, tergabung juga ajaran yang permanen dengan yang fleksibel (al-jam’u baina ats-tsawâbit wa al-mutaghayyirât). Yang dimaksud dengan yang permanen adalah hal-hal yang tidak bisa diganggu gugat (dia mesti begitu), misalnya shalat lima waktu yang mesti dikerjakan, tapi dalam melaksanakannya ada ketentuan yang bisa fleksibel, misalnya bila seorang muslim sakit dia bisa shalat dengan duduk atau berbaring, kalau dalam perjalanan jauh bisa dijama’ dan diqashar, dan bila tidak ada air atau dengan sebab-sebab tertentu, berwudhu bisa diganti dengan tayamum. Ini berarti, secara prinsip Islam tidak akan pernah mengalami perubahan, namun dalam pelaksanaannya bisa saja disesuaikan dengan situasi dan konsidinya, ini bukan berarti kebenaran Islam tidak mutlak, tapi yang fleksibel adalah teknis pelaksanaannya. Dengan demikian, menjadi jelas bagi kita bahwa, Islam merupakan satu-satunya agama yang sempurna dan kesempurnaan itu memang bisa dirasakan oleh penganutnya yang setia.

Selasa, 26 Agustus 2008

MARHABAN YA RAMADHAN

MARHABAN YA RAMADHAN

Marhaban barasal dari kata rahb yang berarti luas atau lapang. Marhaban menggambarkan suasana penerimaan tetamu yang disambut dan diterima dengan lapang dada, dan penuh kegembiraan. Marhaban ya Ramadhan (selamat datang Ramadhan), mengandungi erti bahwa kita menyambut Ramadhan dengan lapang dada, penuh kegembiraan, tidak dengan keluhan.Rasulullah sendiri senantiasa menyambut gembira setiap datangnya Ramadhan. Dan berita gembira itu disampaikan pula kepada para sahabatnya seraya bersabda:"Sungguh telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang penuh keberkatan. Allah telah memfardlukan atas kamu puasanya. Di dalam bulan Ramadhan dibuka segala pintu surga dan dikunci segala pintu neraka dan dibelenggu seluruh setan. Padanya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barangsiapa tidak diberikan kepadanya kebaikan malam itu maka sesungguhnya dia telah dijauhkan dari kebajikan" (Hr. Ahmad)Marhaban Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah swt.Perjalanan menuju Allah swt itu dilukiskan oleh para ulama salaf sebagai perjalanan yang banyak ujian dan tentangan. Ada gunung yang harus didaki, itulah nafsu. Digunung itu ada lereng yang curam, belukar yang hebat, bahkan banyak perompak yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak dilanjutkan. Bertambah tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat yang indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya.Untuk sampai pada tujuan tentu diperlukankan bekal yang cukup. Bekal itu adalah benih-benih kebajikan yang harus kita tabur didalam jiwa kita. Tekad yang keras dan membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarrus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian untuk agama.

SPIRITUALISME DAN MATERIALISME

Puasa Ramadhan hakekatnya adalah melatih dan mengajari naluri (instink) manusia yang cenderung tak terkontrol. Naluri yang sulit terkotrol dan terkendali itu adalah naluri perut yang selalu menuntut untuk makan dan minum dan naluri seks yang selalu bergelora sehingga manusia kewalahan untuk mengekang dua naluri ini.Dalam sejarah manusia didapatkan dua falsafah yang dapat menguasai dan mendominasi kebanyakan manusia, yakni falsafah materialisme yang berorientsi pada materi saja, dan falsafah spiritualisme yang hanya berorientasi pada rohaniah saja.Orang-orang yang berorientasi materi - terdiri dari orang-orang atheis, komunis dan animisme dan berhalaisme - mereka hidup untuk dunianya saja. Mereka melepaskan kenhendak nalurinya dan tak pernah puas. Bila terpenuhi satu keinginannya, timbul keinginan baru begitu seterusnya. Sahwat manusia bila sudah terbakar maka akan mengheret dari sedikit ke yang banyak, dari banyak ke yang terbanyak.Allah mengecam orang-orang seperti ini: "Biarkanlah mereka makan, dan bersenang-senang, mereka dilalaikan oleh angan-angan dan mereka akan mengetahui akibatnya".(QS Al Hijr 3). Ayat lain: "Orang-orang kafir mereka bersenang-senang dan makan seperti binatang ternak makan. Dan neraka adalah tempat tinggalnya".(QS Muhammad 12)Mereka hidup di dunia ini dalam keadaan kosong. Jiwanya dikuasai nafsunya, menghalalkan segala cara, dan dihari kiamat nanti mereka mendapat balasan yang setimpal. "Demikian itu bersenang-senang di bumi tanpa haq dan mereka sombong".(QS Ghofir 75) Sementara filsafat spiritualisme yang didasarkan pada kerahiban, berpandangan bahwa pengabdian kepada Tuhan harus menekan naluri seks mengikis habis pendorong-pendorongnya dan mematikannya yang juga diatasi dengan mengurangi makan. Dengan kata lain mereka masuk dalam kancah peperangan melawan jasad manusiawinya. Filsafat ini dilakukan oleh gereja sejak dahulu kala.Orang-orang Barat dewasaa ini melepaskan diri dari filsafat gereja, mereka menggunakan waktu dan harta kekayaannya untuk memenuhi sahwat jasmaninya. Filsafat spiritualismenya telah lenyap, bahkan gereja-gereja sudah tiada lagi pengunjungnya walaupun pada hari Minggu. Seandainya masih ada, itu hanya sekelompok minoritas yang hidup di dunia Islam.Agama Islam adalah agama yang seimbang. Ia menghormati rohani dan jasmani sekaligus, ia memperhatikan nilai-nilai ideal manusia, tapi juga menjamin kebutuhan hidup naluri duniawinya asal dalam ruang keutamaan, ketaatan, kehormatan.Ia membolehkan manusia makan dengan catatan dalam batas kewajaran dan kehormatan. "Makanlah dan minumlah, berpakaianlah dan bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan tidak diiringi kesombongan".(HR Bikhari)Islam mengimbangkan antara ruhani dan jasmani. "Ya Allah, a ku berlindung kepadamu dari lapar, karena sesungguhnya seburuk- buruk tidur adalah dalam keadaan lapar. Dan aku berlindung kepadamu dari khianat, karena itu adalah seburuk-buruk suasana kejiwaan".(HR Abu Daud)Islam memperhatikan kehidupan dunia dan akherat, "Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertaqwa: Apa yang Tuhan kalian turunkan? mereka berkata: 'Keuntungan bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini dan akherat lebih baik, dan sebaik tempat bagi orang-orang yang bertaqwa".(QS AN Nahl 30)Ajaran Islam datang untuk mensucikan manusia, mengangkat darjatnya, ia mensucikan fisikalnya dengan mandi dan berwudlu, mensucikan jiwanya denga ruku' dan sujud. Islam adalah jasmani dan ruhani, dunia dan akherat dengan falsafah puasa. Islam menegaskan bahwa manusia terdiri dari jasmani dan ruhani.Nilai manusia tidak terletak pada jasadnya, akan tetapi terletak pada ruhani yang menggerakkannya. Kerena ruhani inilah, Allah memerintahkan pada malaikatnya untuk hormat kepada manusia, karena ruhani datangnya dari Allah swt. Firman Allah:"Ingatlah diwaktu Tuhanmu berkata kepada para malaiakat: "Aku menciptakan manusia dari tanah, dan setelah aku sempurnakan aku tiupkan kedalamnya ruh-Ku, maka hormatlah kalian kepadanya".(QS ShAd 71-72)Setelah itu manusia ada yang mengenali siapa yang meniupkan ruh kapadanya dan yang memuliakannya atas seluruh makhluknya.Mereka itu akan bersyukkur kepada pemberi nikmat, sementara ada manusia-manusia yang melupakan Tuhannya, melupakan kepada dzat yang meniupkan ruh kepadanya.Demikian juga halnya kebudayaan. Kebudayaan yang memegang kendali alam sekarang ini telah melupakan Tuhannya, melalaikan haknya. Dunia ini tidak memiliki kebudayaan yang mengakui ruhani dan jasmani, berorientasi dunia dan akherat dan menentukan hak-hak manusia disamping hak-hak Allah -kebudayaan Islam-.Puasa Ramadhan sebagaimana Rasulullah jelaskan dapat mengangkat derajat pelakunya menjadi unsur rahmat, kedamaian, ketenangan, kesucian jiwa, aklaq mulia dan perilaku yang indah ditengah-tengah masyarakat. "Bila salah seorang dari kalian berpuasa maka hendaknya ia tidakberbicara buruk dan aib. dan jangan berbicara yang tiada manfaatnya dan bila dimaki seseorang maka berkatalah, 'Aku berpuasa'". (HR. Bukhari).Dalam bulan Ramadhan terdapat filsafat Islam yang mengaitkan dunia dengan akhirat, mengaitkan jasmani dan ruhani, mengaitkan bumi dengan langit, mengaitkan manusia dengan wahyu, dan mengaitkan dunia dengan kitab yang menerangi jalannya dan menetukan tujuannya.

FALSAFAH PUASA

FALSAFAH PUASA[1]

Pertanyaan orang tentang puasa tidak terbatas pada keinginan orang untuk mendapatkan jawaban tentang “apa”, apalagi sekadar jawaban hukum puasa yang menyangkut tentang halal-haram, wajib, sunnah, mubah, makruh dan haramnya puasa. Lebih jauh dari itu, orang sudah sampai pada pertanyaan tentang “bagaimana” dan “untuk apa” kita berpuasa. Pertanyaan “epistemologis” dan “aksiologis” tentang puasa ini telah melampau jawaban-jawaban “ontologis” yang sementara ini dianggap oleh para ustadz sebagai jawaban tuntas mengenai puasa. Nah, untuk itu kita perlu mencari jawaban yang lebih dalam daripada sekadar jawaban-jawaban yang selama ini banyak dikemas dalam buku-buku pedoman puasa. Meskipun tentu saja – dalam tuisan ini - tidak akan terjawab semuanya.
Ketika kita telusuri dalam kitab-kitab tafsir, ternyata bukan hanya umat Muhammad s.a.w. yang diwajibkan untuk berpuasa, dan menjalankan ibadah puasa sebagaimana yang telah sama-sama kita amalkan. Sejarah mencatat, bahwa sebelum kedatangan Muhammad s.a.w., umat Nabi-nabi yang lain telah (juga) diwajibkan berpuasa dan menjalankan ibadah puasa dengan keragaman bentuk dan cara, tetapi tujuannya “sama”, beribadah (untuk) menuju “takwa”. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, sejak Nabi Nuh a.s. hingga Nabi Isa a.s. puasa wajib dilakukan tiga hari setiap bulannya (layaknya puasa sunnah ayyâm al-bîdh bagi umat Islam hingga kini). Bahkan, Nabi Adam a.s. diperintahkan untuk tidak memakan buah khuldi, yang ditafsirkan sebagai bentuk ‘puasa’ pada masa itu.

“Dan kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini[2], yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.”(QS al-Baqarah, 2: 35).

Begitu pula Nabi Musa a.s. bersama kaumnya (juga) berpuasa empat puluh hari. Nabi Isa a.s. pun ternyata juga berpuasa. Dalam QS Maryam dinyatakan Nabi Zakaria a.s. dan Maryam sering mengamalkan puasa. Nabi Daud a.s. pun melaksanakannya dengan cara “sehari berpuasa dan sehari berbuka” pada tiap tahunnya. Nabi Muhammad s.a.w. sendiri – sebelum diangkat menjadi Rasul -- telah mengamalkan puasa tiga hari setiap bulan dan turut mengamalkan puasa ‘Asyura yang jatuh pada hari ke-10 bulan Muharram bersama masyarakat Quraisy yang lain.

Konon, bahkan masyarakat Yahudi yang tinggal di Madinah pada masa itu turut mengamalkan puasa ‘Asyura. Begitu pula, binatang dan tumbuh-tumbuhan (juga) dinyatakan “melakukan puasa” demi kelangsungan hidupnya. Selama mengerami telur, ayam harus berpuasa. Demikian pula ular, berpuasa baginya untuk menjaga struktur kulitnya agar tetap keras terlindung dari sengatan matahari dan duri hingga ia tetap mampu melata di bumi. Ulat-ulat pemakan daun pun berpuasa, jika tidak ia tak kan lagi menjadi kupu-kupu dan menyerbuk bunga-bunga. Jika berpuasa merupakan sunnah thabî'iyyah (natural tradition, tradisi yang alami) sebagai langkah untuk tetap survive, mengapa manusia tidak mau melakukannya? Terlebih lagi jika kewajiban untuk berpuasa diembankan kepada umat Islam, tentu saja memikili makna filosofis dan hikmah tersendiri. Karena, ternyata puasa bukan hanya menahan dari segala sesuatu yang merugikan diri sendiri atau orang lain, melainkan merefleksikan diri untuk turut-serta hidup berdampingan dengan orang lain secara harmonis, memusnahkan kecemburuan sosial serta melibatkan diri dengan sikap tepa-selira dengan menjalin hidup dalam kebersamaan, serta melatih diri untuk selalu peka terhadap lingkungan.
Rahasia-rahasia tersebut ternyata ada pada kalimat terakhir yang teramat singkat pada ayat QS al-Baqarah, 2: 183. Allah SWT memerintahkan:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
Allah SWT mengakhiri ayat tersebut dengan rangkaian kata “la’allakum tattaqûn (agar kalian bertakwa)", yang esensinya adalah “harapan”, sekaligus “kepastian” perolehan kemampuan setiap pelakunya untuk memroteksi diri dari segala bentuk nafsu-kebinatangan yang menganggap ‘perut besar’ sebagai agama, menjaga jati-diri kemanusian dan sifat-kodrati manusia dari perilaku -- layaknya -- binatang.

Dengan puasa, manusia dapat menghindari diri dari bentuk perilaku yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain, sekarang (di dunia) atau nanti (di akherat),generasi kini atau esok. Dalam (ibadah) puasa, Islam “memandang sama” derajat manusia. Mereka yang memiliki dolar, atau yang mempunyai sedikit rupiah, atau orang yang tak memiliki sepeserpun, tetap merasakan hal yang sama: “lapar dan haus”. Jika (ibadah) shalat mampu menghapus citra arogansi (kecongkakan) individual manusia, dan – oleh karenanya -- diwajibkan bagi setiap insan muslim; haji dapat mengikis perbedaan status sosial dan derajat umat manusia, dan diwajibkan bagi yang mampu; maka puasa adalah kefakiran total setiap insan (beriman) yang bertujuan mengetuk sensitivitas (kepekaaan) manusia dengan metode amaliah (praktis), dan memberitahukan kepada setiap pelakunya (setiap orang yang mengamalkan ibadah puasa) bahwa kehidupan yang benar adalah “berada di balik kehidupan” itu sendiri. Dan kehidupan itu mencapai suatu tahap paripurna manakala manusia memiliki kesamaan rasa, atau manusia "turut merasakan" bersama (berempati), bukan sebaliknya. Manusia dapat mencapai derajat kesempurnaan (insân kâmil) tatkala turut merasakan sensitivitas satu rasa sakit, bukan turut berebut melampiaskan segala macam dorongan hawa nafsu.

Dari sini (ibadah) puasa – dapat dipahami-- memiliki multifungsi. Dan – ketika direnungkan -- setidaknya ada tiga fungsi (ibadah) puasa yang masing-masing berkaitan: (1) tahdzîb, (2) ta'dîb dan (3) tadrîb. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahdzîb), membentuk karakteristik jiwa seseorang (ta'dîb), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia paripurna (tadrîb), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa, yaitu: “takwa”. Takwa dalam pengertian (yang lebih) luas adalah: “melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya dalam dua dimensi (horisontal dan vertikal)”. Takwa merupakan wujud kesalehan individual dan sosial, dua wajah dari satu keping mata uang yang sama, “integral” (menyatu) dan tak dapat dipisahkan. Ada ‘sejenis’ kaedah kejiwaan, bahwa ketika "cinta" kepada diri sendiri menggelembung menjadi cinta kepada yang ada di luar dirinya karena Allah, maka rasa sakit yang diderita orang lain pun akan terasa sakit pada dirinya . Di ketika orang yang berpuasa bisa merasakan rasa lapar dan dahaga yang dialaminya, maka dia pun akan bisa merasakan betapa lapar dan dahaga orang-orang yang tak memiliki makanan dan minuman pelepas lapar dan dahaga akan terus menjadi derita bagi “kaum fakir”. Dan oleh karenanya dia pun akan berpikir: “apa yang seharusnya dilakukan untuk melepaskan rasa lapar dan dahaga mereka”. Dari sinilah solidaritas sosial terbentuh sebagai hikmah dari (ibadah) puasa.
Dengan jelas dan akurat, Islam melarang keras segala bentuk makanan, minuman, aktivitas seks, penyakit hati dan ucapan merasuki perut dan jiwa orang yang berpuasa. Dari lapar dan dahaga, betapa kita dapat merasakan mereka yang berada di garis kemiskinan, manusia papa yang berada di kolong jembatan, atau kaum tunawisma yang kerap berselimutkan dingin di malam hari atau terbakar terik matahari di siang hari. Ini adalah sebuah manhaj, cara praktis melatih kasih sayang jiwa dan nurani manusia.

Adakah cara yang paling efektif untuk melatih cinta? Bukankah kita tahu bahwa selalu ada dua manhaj yang saling terkait: yang melihat dan yang buta, yang cendikia dan yang awam, serta yang teratur dan yang mengejutkan. Jika cinta antara orang kaya yang lapar terhadap orang miskin yang lapar tercipta, maka untaian hikmah kemanusiaan di dalam diri menemukan kekuasaannya sebagai “al-mubasysyir (sang pembawa berita gembira)" dan al-muyassir (pemberi kemudahan). Sebaliknya, bila justeru "kebencian" yang tercipta, maka hubungan kemanusian menjadi sangat "anergis", antarmanusia dan komunitas akan tercipta konflik berkepanjangan. Setiap manusia akan menjadi "serigala" bagi yang lain.

Dengan berpuasa secara benar, al-Aghniyâ’ (orang yang memiliki kemampuan berbagi) yang hatinya selalu diasah dengan “puasa”-nya , telinga-jiwanya akan mampu mendengarkan rintihan suara al-Fuqarâ’ (orang-orang yang membutuhkan uluran tangan) yang selalu merintih dalam kepedihan. Ia tidak serta-merta mendengar itu sebagai suara "pemohon bantuan", melainkan permohonan akan sesuatu hal yang tidak ada jalan lain untuk disambut, direngkuh dan direspon makna tangisnya dengan kelembutan hati "Sang Dermawan", yang selalu bersedia untuk membantu dengan uluran tangan-keikhlasan.. Al-Aghniyâ’ akan memaknai itu semua sebagai pengabdian yang tulus kepada Allah, dengan fondasi îmân wa ihtisâb. Semua dilakukan karena Allah, karena ia sadar bahwa “hanya Dia” (Allah)-lah "Sang Pemilik" segalanya dan tujuan dari semua pengharapannya.

Nah, ketika kita sudah menjadi “seseorang” yang bermakna, ketika kita mampu dan berkesempatan untuk berbuat sesuatu untuk sesama, kenapa kita tidak berpikir dan segera berbuat untuk menolong siapa pun untuk menjadi “seseorang seperti diri kita?” Kita tak boleh menunggu. Kita harus sadar, bahwa kita tidak hanya dibebani untuk menjadi baik untuk diri kita sendiri, tetapi juga berkewajiban untuk “bersedekah”, menjadikan orang lain sebaik diri kita, dan mungkin lebih dari itu!

Selamat berpuasa, untuk menjadi “Yang Pertama dan Utama” dalam berlomba untuk berbuat baik dan menjadi yang terbaik.

Insyâallâh.

[1] Disampaikan dalam pengajian khusus “Songsong Ramadhan”, Jumat 29 Agustus 2008, di Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta.
[2] Pohon yang dilarang oleh Allah SWT untuk didekati oleh Adam a.s. (dan juga isterinya, Hawa) tidak dapat dipastikan, sebab al-Quran dan Hadis tidak menerangkannya. Ada yang menamakannya “pohon khuldi”, sebagaimana tersebut dalam surat QS Thâhâ, 20: 120, tetapi – menurut para mufassir -- itu adalah nama yang diberikan oleh setan.