Jumat, 07 November 2008

JUSTICE FOR ALL

JUSTICE FOR ALL
(KEADILAN UNTUK SEMUANYA)

Oleh: Muhsin Hariyanto

Umar bin Khattab – ketika menjadi kepala negara -- pernah 'marah besar' kepada Amru bin Ash (Gubernur Mesir pada saat itu), karena ia berbuat zalim terhadap seorang Yahudi Miskin di wilayah kekuasaannya. Dan oleh karenanya, Si Amr bin Ash pun meminta maaf kepada Si Yahudi Miskin itu, dan segera mengembalikan haknya. Itulah keadilan, yang oleh Umar bin Khattab tidak sekadar diteriakkan dengan lantang, seperti teriakan para pendekar hukum di belahan dunia mana pun dengan slogan: "Justice for All", namun benar-benar dilaksanakan. Dan kini, integritas Umar, Sang Penegak Keadilan itu, kembali digaungkan. Namun, hingga kini, tanpaknya tak kunjung hadir menjadi komitmen kita. Kita pun selalu bertanya: "Akankah keadilan itu akan tetap tinggal sebagai teriakan dan sekadar slogan?"

Terlalu banyak untuk dikalkulasi ayat al-Quran dan Hadis yang menyeru manusia untuk menegakkan keadilan dalam setiap sikap dan perbuatan. Para rasul pun diutus ke tengah kaum atau bangsanya juga untuk menegakkan keadilan. Nabi Musa, misalnya, diutus Tuhan untuk membasmi kezaliman Firaun. Nabi Ibrahim diutus buat menegakkan keadilan terhadap Raja Namrud yang memperlakukan bangsa Babilonia sesuka hatinya. Begitu pula Nabi Muhammad s.a.w.. Nabi yang terakhir ini, pertama kali diutus untuk bangsa seluruh umat manusia untuk menegakkan keadilan di tengah kezaliman dan kejahiliyahan bangsa Arab ketika itu. Dan hasilnya pun, menurut para sejarawan, "sangat memuaskan"

Para faqih (ahli fikih) menjelaskan bahwa "keadilan" berarti memberikan satu ketentuan (hukum) yang tidak menyimpang dari kebenaraan. Berdasarkan pengertian umum, kata mereka, keadilan bermakna bertindak sama atau serupa, atau dalam kata lain adalah bertindak "proporsional".

Gagasan keadilan dalam al-Quran dan hadis, oleh para faqih, kemudian dikemas rapi menjadi sebuah "tesis" yang mengandaikan harapan akan munculnya sebuah tatanan kehidupan yang serba harmonis untuk siapa pun dalam konteks apa pun. Dan oleh karenanya, keadilan tidak akan pernah berkolaborasi dengan "kezaliman" dalam segala bentuknya. Kata para pemimpin kita: "keadilan harus terwujud di tengah masyarakat. Keadilan mesti ditegakkan dalam segala bidang kehidupan, baik sosial, ekonomi, maupun kehidupan politik".

Tentu saja, kita semua tidak ada yang tidak sepakat dengan teriakan dan seruan para penganjur keadilan itu. Hanya saja pertanyaannya: "benarkah mereka telah memiliki komitmen yang sebegitu kokoh untuk menegakkannya bersama seluruh elemen umat manusia, termasuk para pemimpinnya?"

Ketika seseorang berkata: ''Keadilan adalah sendi negara. Tak akan pernah kekal suatu kekuasaan tanpa penegakan keadilan. Andai tiada hukum yang adil, maka orang akan hidup dalam anarki, tak punya sandaran dan pegangan.'' Hingga muncul serangkaian kata hikmah: "Keadilan seorang penguasa terhadap rakyatnya memerlukan empat perkara, Pertama, menempuh jalan yang mudah; kedua, meninggalkan cara yang sulit dan mempersulit; ketiga, menjauhkan kesewenang-wenangan; dan keempat, mematuhi kebenaran dalam perilakunya.

Petuah itu semestinya kita jadikan sebagai bahan renungan dengan selalu bertanya: "Sudah sadarkah kita bahwa selama ini – kita semua – telah jauh dari makhluk yang bernama "keadilan" itu? Atau, jangan-jangan kita sudah sebegitu bersahabat dengan "kezaliman", yang membuat kita jauh dari barakah Allah. Dan oleh karenanya kita menjadi manusia-manusia seperti apa yang diprediksi para malaikat dalam QS al-Baqarah [2]: 30: "perusak harmoni alam dan penumpak darah".Puas menjadi predator bagi yang lain, dan tak pernah bercita-cita lagi menjadi "makhluk yang penuh kelembutan dan kasih-sayang antarsesama".

Kini saatnya kita sadar bahwa (kesadaran-diri) untuk menegakkan keadilan harus menjadi bagian yang menyatu dengan seluruh langkah kita. Tegakkah "keadilan" seutuhnya. Jangan sampai karena seseautu alasan yang dibuat-buat, akhirnya tawaran "keadilan" itu berubah fungsi. Jangan karena perbedaan kedudukan, golongan, dan keadaan sosial mengakibatkan perlakuan keadilan itu menjadi sirna. Tiba-tiba kita merasa puas menjadi sangat "formalis", hingga keadilan yang substantif tidak lagi hadir sebagai penyejuk kehidupan intrapersonal, interpersonal dan social kita. Kita menjadi semakin jauh dari ridha Allah, dan menjadi "rela" melangkahkan kaki kita untuk mengikuti langkah-langkah "setan", karena kita sudah terjebak pada , karena kita sudah terjebak pada serangkaian thaghut (segala sesuatu yang kita pertuhankan selain Allah).

Belajarlah pada sejarah. Dulu Nabi kita (Muhammad s.a.w.) pernah menjadi seorang negarawan. Di Madinah, meskipun tanpa proklamasi dan pengangkatan formal, beliau adalah Nabi sekaligus Pemimpin Negara dan Pemerintahan. Beliau sadar bahwa dalam ajaran Islam yang beliau yakini dan sebarluaskan kedudukan rakyat dan pemerintah adalah sama, karena keduanya merupakan pilar negara. Nabi Muhammad s.aw. pernah berkata kepada Usman bin Zaid – sahabatnya -- bahwa kehancuran pemerintahan dahulu karena "ketidak-adilan". Para pemimpinnya selalu memberi dan menjatuhkan hukuman terhadap rakyat kecil, sedangkan para penjahat dari kalangan atas mereka biarkan tak tersentuh oleh hukum. Hingga para ulama pun berceloteh: "Tuntutan berbuat adil haruslah dimulai dari diri sendiri, rumah tangga, dan lingkungan. Adil terhadap anak, misalnya, dengan memberikan nafkah, pendidikan, dan keperluan lainnya.

Tegakkan keadilan tidak hanya terhadap kawan, teman seperjuangan atau seprofesi. Terhadap lawan pun, keadilan harus tetap ditegakkan". Dan sudah saatnya -- "kini" dan "di sini" -- kita mulai dari diri kita sendiri.

Kalau Umar bin Khattab dengan komitmennya telah menunjukkan betapa keadilan itu tidak hanya manis untuk dikatakan, tetapi benar-benar lezat dan terasa nikmat untuk diamalkan, sudahkah para peminpin kita berkompetisi dengan semangat "fastabiqû al-khayrât" untuk menegakkan keadilan? Bukan sekadar menjadi follower (pengekor), yang baru berani menegakkannya di ketika semuanya sudah serba "aman", tetapi benar-benar – dengan gagah-berani – menjadi trend-setter (pelopor) di tengah-tengah hiruk-pikuk kezaliman yang tengah merajalela!

Insyâallâh.

Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta