Senin, 26 Januari 2009

ISTIGHFAR

ISTIGHFÂR

Oleh: Muhsin Hariyanto

Tentanggaku bernama "Sanip", Ia pernah sekali beribadah haji. Sehari-hari dia hanyalah seorang pedagang kecil, petani kecil, dan imam di sebuah masjid kecil. "Orang Betawi asli". Meskipun ibadahnya (di masjid) tak sesering para kiai di pesantren-pesantren, saya bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa shalatnya hanya sebentar, dan doanya begitu pendek, cuma melulu istighfâr (mohon ampun), dia bilang bahwa ia tak ingin minta yang aneh-aneh. "Dia malu kepada Allah", karena sudah terlalu banyak diberi, sementara (ia) belum sempat banyak memberi" untuk dan karena Allah. Dan oleh karenanya "iia merasa perlu banyak ber istighfâr." (Mohammad Sobary, "Saleh dan Malu", dalam Tempo, 16 Maret 1991)

 

Banyak orang yang ketika berdoa, dia selalu meminta apa pun kepada Allah, 'apa saja' yang dia inginkan, dan tak bosan-bosan ia meminta apa pun yang dianggapnya bisa membuat dirinya senang dalam hidupnya, padahal sudah terlalu banyak Allah memberi kepadanya.

Seringkali orang tidak sadar bahwa dirinya telah lupa untuk bersyukur atas berbagai nikmat yang telah diberikan oleh kepadanya, dan ia merasa selalu dalam kekurangan. Dan oleh karena itu ia selalu akan terus "meminta" kepada Allah dalam setiap doanya.

Lain halnya dengan Bang Sanip, yang telah memberi pelajaran bagi kita semua, bahwa yang belum banyak kita lakukan adalah: beristighfâr, memohon ampunan atas segala dosa yang pernah kita lakukan, disertai upaya optimal untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut, dan menindaklanjutinya dengan sejumlah amal saleh.

Kini, kewajiban beristighfâr itu sudah seharusnya menjadi kesaadaran yang semakin kuat bagi kita, (bagi) orang-orang yang hadir dalam sebuah sistem dan budaya 'korup', dalam berbagai kemaksiatan-kolektif yang seolah dilegalkan, karena diri kita yang sudah sedemikian akrab dengannya, dengan "dosa-kolektif".

Mungkin kita – dengan lantang – bisa meneriakkan slogan "anti-maksiat" di tempat kita berpijak. Tetapi ternyata kita menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan sisten dan budaya 'korup' yang melingkupi diri kita, di "bumi pertiwi" di mana kita berpijak. Karena – ternyata -- siapa pun yang berupaya untuk bisa menghindarkan diri dari perbuatan dosa, harus berhadapan dengan "hegemoni-mayoritas", mayoritas manusia yang menikmati dan memaksakan kehendaknya kepada orang lain untuk menikmati perbuatan dosa. Dan sudah banyak bukti, mereka yang lantang berteriak "anti-maksiat" akan terleliminasi secara sistematik. Menjadi orang-orang yang terpinggirkan, seolah tak berdaya.

Berpijak dari realitas itu, di bumi pertiwi ini – kata orang -- istighfâr bisa berfungsi sebagai perangkat untuk menghilangkan, mencuci atau paling tidak mengurangi kotoran batin kita, "dosa-dosa" pribadi dan kolektif yang melekat pada diri kita karena jebakan sistem dan budaya korup. Dan karena itulah – barangkali -- kenapa majlis-majlis zikir di negeri kita "ada" di mana-mana dan dihadiri olah banyak orang. Mungkin saja karena persepsi kolektif kita tentang "istighfâr" -- yang selalu dilafalkan dalam zikir-zikir mereka -- bisa menghapus segala macam dosa secara otomatis.

Apa yang dipersepsikan manusia tentang kegunaan istighfâr selama ini memang tidak selamnya "salah". Tetapi yang telah menjadi 'salah-kaprah' adalah: banyak di antara manusia mengira bahwa dengan hanya sekadar melafalkan istighfâr, astaghfullâhal azhîm berkali-kali, dengan mulut ber'komat-kamit' dan kepala menggeleng, tiba-tiba tanpa konsideran apa pun dosa-dosa yang menumpuk itu hilang-sirna. Seolah-olah Allah – Tuhan kita – sebegitu mudah ditaklukkan dengan ucapan-ucapan lisan yang sangat mudah dilafalkan oleh siapa pun, kapan pun dan di mana pun, bahkan oleh para pelaku "rutin" dosa-dosa besar. Dan, jangan-jangan para koruptor di seputar kita, yang kadang-kadang tergerak hatinya untuk mengikuti majelis-majelis zikir yang diselenggarakan secara rutin di berbagai tempat di negeri kita, "berasumsi sama seperti itu". Sepekan "korupsi", terhapus dosa mereka oleh "zikir" sesaat.

Padahal, istighfâr bukanlah sekadar ucapan pemanis bibir. Bukan hanya sebuah permohonan ampun dan pengakuan atas laku dosa yang pernah diperbuat, apalagi permainan kata-kata yang tiba-tiba bisa mem"beres"kan semua dosa. Ada seperangkat nilai yang dimiliki oleh istighfâr yang sering kali dilupakan banyak manusia, yakni: kesadaran diri yang disebut ihsân. Esensi istighfâr dengan sikap ihsân terletak pada kesadaran akan kehadiran Allah SWT yang selalu menatap dan mengawasi. Sadar bahwa Allah SWT melihat, mengawasi, dan memonitor diri dalam gerak dan diam kita, lahir maupun batin.

Sikap ihsân dalam istighfâr memiliki dua nilai-sentral: "kejujuran" dan "keikhlasan", yang akan menghadirkan optimasi setiap manusia untuk menyadari artipentingnya meninggalkan perbuatan dosa dan mengerjakan amal saleh. Dan di sinilah makna istighfâr bertautan dengan "taubat", penyesalan yang berujung pada kesadaran untuk kembali ke titik-nol, dan kemudian membuka lembaran baru untuk menjadi yang terbaik.

Seandainya "Bang Sanip" telah memulai. Kita pun seharusnya segera memulainya.

Dalam kaitan dengan arti pentingnya untuk memulai istighfâr, Emha Ainun Najib menyapa diri kita dengan salah satu bait puisinya (sebagai bahan renungan):

Gusti … kamilah pesakitan; di penjara yang kami bangun sendiri; kamilah narapidana yang tak berwajah lagi; kaki dan tangan ini kami ikat sendiri; maka hukumlah dan ampuni kami; dan jangan biarkan terlalu lama menanti (Emha Ainun Najib, "doa pesakitan", dari kumpulan puisi ٍ Seribu Masjid, Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba)

Kini, di saat kita mau mulai menyapa Allah dengan istighfâr kita, bersihkan hati kita dari semua sikap yang bisa menghalangi pertautan diri kita dengan-Nya: "keengganan dan kesombongan", sebagaimana sikap yang ditunjukkan Iblis ketika diminta oleh Allah untuk bersujud-hormat kepada Adam. Isilah diri kita dengan sikap yang bisa melekatkan diri kita kepada-Nya: "keikhlasan" untuk menerima perintah Allah, sebagaimana sikap orang-orang yang beriman ketika dipanggil oleh Allah untuk taat kepada-Nya, dengan satu jawaban: saminâ wa atha'nâ (kami dengar panggilan-Mu – ya Allah -- dan kami taat kepada-Mu)

Di ketika kita harus menghadapi realitas yang kurang bersahabat untuk melahirkan kesalehan di negeri kita tercinta ini, yang kita perlukan dalam menjaga kontinyuitas istighfar kita hanyalah: sikap "istiqâmah" (teguh pendirian), agar diri kita tidak mudah tergoda oleh setan dengan segala macam perangkat tipu-dayanya.

Penulis adalah: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta.

MENYELAMATKAN AL-QURAN YANG TERABAIKAN

MENYELAMATKAN AL-QURAN YANG TERABAIKAN

Pergumulan Iman Muslim Dalam Budaya Dungu

Oleh: Muhsin Hariyanto

Kedudukan al-Quran sebagai pedoman utama bagi umat Islam sudah menjadi kesepakatan. Sehingga menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk mengangkat al-Quran sebagai landasan utama dalam mengamalkan Islam di samping berpedoman pula kepada Sunnah Nabi s.a.w.. Mengimani seluruh isi al-Quran hukumnya wajib, sedang mengingkari satu bagian dari ayat al-Quran saja hukumnya haram. Dan keimanan itu harus dibuktikan dengan amal.

Iftitah

Pengakuan terhadap kebenaran al-Quran sebagai “hudan” (petunjuk) bagi umat Islam memang sudah tidak bisa dipungkiri, namun belum tentu setiap muslim bersedia mengimaninya. Padahal ketidakberimanan terhadap kitab suci Al-Quran itu bukan masalah kecil. Sehingga Nabi Muhammad s.a.w. pun pernah mengeluhkan adanya orang Islam yang tidak mempedulikan al-Quran, bahkan keluhan Nabi s.a.w. itu langsung difirmankan oleh Allah SWT:

وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا

"Berkatalah Rasul: "Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur'an ini suatu yang tidak diacuhkan." (Q.S. al-Furqân, 25: 30).

Keprihatinan Nabi Muhammad s.a.w.

Nabi s.a.w. pernah berdoa untuk umatnya sampai menangis, hingga Allah mengutus Malaikat Jibril agar menanyakan kenapa Nabi s.a.w. menangis?

Dalam sebuah hadis diriwayatkan:

Amru bin ‘Ash bercerita bahwa Nabi s.aw. pernah membaca Firman Allah tentang pernyataan Nabi Ibrahim a.s.: “Ya Tuhanku sesungguhnya berhala-berhala itu telah menyesatkan kebanyakan dari manusia, maka barangsiapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku, dan barangsiapa yang mendurhakai aku, maka sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Ibrahim, 14: 36), dan seterusnya. Dan berkata Isa a.s.: “Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan jika Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS al-Maidah, 5: 118). Lalu Nabi s.aw. pun mengangkat kedua tangannya dan bersabda: “Ya Allah, umatku umatku” dan beliau menangis. Maka Allah pun berfirman: Hai Jibril, temuilah muhammad, sedang Tuhanmu lebih mengetahui, lalu tanyalah dia: apa yang menjadikan kamu menangis? Lalu Jibril mendatangi Nabi s.a.w. dan menanyainya. Maka Malaikat pun memberitahukan pada-Nya dengan apa yang telah Nabi katakan, sedang Dia mengetahui. Lalu Allah berfirman: Hai Jibril, temuilah muhammad, lalu katakanlah padanya: Sesungguhnya Aku akan meridhaimu dalam umatmu dan Aku tidak akan pernah membuatmu sedih.” (HR Muslim).

Menurut kebiasaan manusia yang berperasaan mencintai, tingkah laku orang yang dicintai selalu dipandang baik, dibela dan kalau ada kesalahan diusahakan untuk dimaafkan dengan berbagai jalan. Kebiasaan ini pun dialami oleh Nabi s.aw., hingga betapa besar semangat Nabi s.a.w. agar kerabatnya yang dihormati masuk Islam. Karena bersemangatnya itu, sesuai dengan rasa cintanya, karena memang kerabatnya ini (Abu Thalib) selalu membantunya dalam dakwah Islam, Nabi s.a.w. pernah berdoa untuknya (Abu Thalib), namun Allah SWT menegurnya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS. al-Qashash, 28: 56).

Kuatnya rasa kasih sayang Nabi s.a.w. itu ternyata masih dikalahkan oleh “kekerasan” hati kerabatnya sendiri (Abu Thalib). Demikian masih dikalahkan oleh perbuatan kaumnya yang membuatnya sampai mengeluh kepada Allah SWT, lantaran mereka mengabaikan al-Quran. Mereka itu keterlaluan. Betapa tidak! Rasa kasih sayang, bahkan kesabaran Nabi Muhammad s.a.w. bisa disimak dari sikapnya ketika dalam perang Uhud, dalam keadaan wajahnya berdarah, beliau usap darah di wajahnya sambil berdoa untuk umatnya yang durhaka:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِقَوْمِي فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ

[Ya Allah, ampunilah (dosa-dosa) kaumku karena sesungguh-nya mereka tidak mengetahui]. (HR al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud).

Ketidakpedulian terhadap al-Quran, bukanlah kejahatan yang ringan. Mengaduhnya Nabi s.a.w. atas sikap kaumnya yang mengabaikan al-Quran itu, bukan berarti menunjukan keputusasaan beliau. Namun, sikap kaum yang membelakangi al-Quran itulah yang tak tahu diri. Terbukti, Nabi s.a.w. tidak dipersalahkan mengaduh seperti itu. Bahkan Allah sendiri mengecam keras terhadap orang-orang yang mengabaikan al-Quran, dengan firmanNya,

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنْ ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ فَأَعْرَضَ عَنْهَا وَنَسِيَ مَا قَدَّمَتْ يَدَاهُ إِنَّا جَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي ءَاذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِنْ تَدْعُهُمْ إِلَى الْهُدَى فَلَنْ يَهْتَدُوا إِذًا أَبَدًا

"Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat dari Tuhannya lalu dia berpaling daripadanya dan melupakan apa yang telah dikerjakan oleh kedua tangannya? Sesungguhnya Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (Kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya." (QS al-Kahfi, 18: 57)

Ibnu Qayyim pun menyebut ada lima macam komunitas pengabai al-Quran:

  1. tidak bersedia mendengarkan dan mengimani al-Quran
  2. tidak bersedia mengamalkan al-Quran walaupun membaca dan mengimaninya.
  3. tidak bersedia menegakkan dan menggunakan aturannya.
  4. tidak bersedia mengkaji dan memahami maknanya.
  5. tidak bersedia berobat dan mengobati orang lain dengan al-Quran dalam seluruh penyakit hati. (Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Mahâsin al-Ta'wîl , 12/575).

Keluar dari Budaya Dungu

Setiap Muslim sadar bahwa Allah memberikan tuntunan kepada manusia demi kebahagiaan mereka sendiri di dunia dan akharat. Mereka pun sadar bahwa Allah Maha Kasih Sayang, hingga kepada umat Islam diberi petunjuk-petunjuk sempurna dengan sikap dan sifat kasih sayang-Nya. Allah selalu "sudi" memberikan hidayah kepada mereka melalui al-Quran, meskipun di antara mereka masih banyak yang enggan untuk menerima hidayah-Nya. Pantaslah seandainya Nabi s.a.w. mengeluh dengan sangat menyayangkan sikap sebagian kaumnya yang mengabaikan al-Quran, dan Allah pun menyebut kaum semacam itu sebagai “terlalu zalim” (asyaddu zhulman), yang dalam bahasa “gaul” bisa disebut: "disayang, namun tak tahu diri". Lebih-lebih kalau sampai berani mencari-cari alasan untuk membenarkan sikap keengganannya untuk peduli terhadap al-Quran. Sikap semacam itu “keterlaluan”, hingga Allah mengemukakan pertanyaan yang cukup “tegas”:

قُلْ أَتُعَلِّمُونَ اللَّهَ بِدِينِكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

"Katakanlah (kepada mereka): "Apakah kamu akan mengajari Allah tentang agamamu (keyakinanmu) padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS al-Hujurât, 49: 16).

Sikap mengabaikan al-Quran bisa dikikis dengan berbagai usaha. Di Desa-desa, masih banyak masjid, mushalla dan langgar yang setiap malamnya digunakan untuk bertadarrus di bulan Ramadhan. Semangat umat Islam ternyata masih tetap tinggi. Sebaliknya, di masjid-masjid kota yang cukup terang benderang dan banyak berjajar kitab al-Qurannya, tekunkah kita membaca al-Quran dan beri’tikaf di masjid-masjid itu? Dan di balik itu, anak-anak kita serba kita manjakan, apa saja kemauannya kita turuti. Sudahkah kita didik mereka itu secara benar-benar dengan al-Quran?

Pertanyaan penting untuk kita: “apakah kita sudah termasuk golongan orang-orang yang sudah benar-benar menjadi pendukung, bahkan pelopor dalam mengamalkan al-Quran. Dan seberapa usaha kita untuk memahami dan mengamalkan al-Quran? Masih memadaikah sikap kita terhadap al-Quran selama ini, yang sekadar membolak-balik lembaran al-Quran, tanpa bertanya lebih lanjut: sudahkah kita implementasikan nilai-nilai luhur al-Quran dalam kehidupan nyata kita?”

Mudah-mudahan kita, keluarga kita, dan umat Islam pada umumnya terhindar dari golongan orang-orang zalim yang menjadikan al-Quran sebagai “kumpulan firman Allah yang terabaikan”, dan benar-benar menjadi ‘Muta’allim wa ‘Âmil al-Qurân” (Pembelajar dan Pengamal al-Quran). Insyâallâh.