Rabu, 11 November 2009

BERTETANGGA ALA RASULULLAH S.A.W.

BERTETANGGA ALA RASULULLAH S.A.W.
Oleh: Muhsin Hariyanto

Suatu hari ‘Aisyah r.a. memasak sup untuk kebutuhan keluarganya. Tidak ada yang istimewa dari masakan sup yang disiapkannya selain pesan Rasulullah s.a.w. kepada untuk memperbanyak kuahnya. Untuk apa? Tentu saja bukan untuk sekadar memenuhi tempat memasaknya atau juga piring dan mangkok-mangkak yang disedaiankan untuk menghidangkan sup itu. Lebih jauh dari itu Rasulullah s.a.w. punya rencana mulai: “agar para tetangganya bisa mencicipi ‘sup’ hasil masakan isterinya”. Kesadaran untuk berbagi kenikmatan telah mengalir dalam jiwa Rasulullah s.a.w., hingga ‘sup’ pun bisa menjadi sesuatu yang memberi inspirasi untuk bersedekah kepada para tetangganya.

Cerita hikmah di atas sudah menjadi santapan harian para mubaligh dan majelis-mejelis taklim kita, Cuma implementasi dan perluasan maknanya belum banyak kita lihat dalam perilaku kita. Karena terlalu banyak kita bicara tentang keharusan-keharusan “normatif”, yang cenderung melangit, sementara pembumiannya terkatung-katung dalam rencana-rencana di benak kita, buku-buku teks dan kumpulan ceramah para mubaligh kita.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis Rasulullah s.a.w. yang berasal dari Abu Ayyub al-Anshari: ''Siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian, hendaknya “ia” berkata baik atau diam, dan siapa yang beriman (percaya) kepada Allah SWT dan hari kemudian hendla “ia” menghormati tetangganya, dan siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian, hendaklah “ia” menghormati tamunya.''

Kata “falyukrim (hendaklah “ia” menghormati)” dalam hadis itu menandai sebuah perintah Rasulllah s.a.w. “yang bersifat personal” kepada setiap orang yang beriman. Maknanya setiap pribadi orang yang beriman harus memiliki kesadaran untuk berbuat seperti yang diperintahkan, bila “ia” mengaku beriman. Atau dengan kata lain, pengakuan keimanan seseorang harus dibuktikan dengan ada kesadaran untuk berbuat sesuatu yang diperintahkan di dalam hadis itu.

Pertanyaan krusialnya untuk diri kita yang mengaku beriman ini: “sudahkah kita memiliki kesadaran untuk berbuat sesuatu yang diperintah oleh Rasulullah s.a.w. di dalam hadis tersebut?” Termasuk di dalamnya berbuat sesuatu yang terbaik untuk para tetangga kita. Atau, jangan-jangan kita masih terlalu bisa berbangga diri dengan kebahagiaan kita kita sendiri tanpa kesediaan untuk berbagi kebahagiaan kepada tetangga kita, arogan mengaku sebagai “hero” di tengah keterpurukan sosial para tetangga kita!

Betapa banyak tetangga kita yang masih memerlukan bantuan kita, bukan hanya sekadar semangkok sup masakan kita. Tetapi kita masih enggan berbuat sesuatu, bahkan masih bisa tersenyum menyantap “tonseng, satu, gulai dan tengkleng” yang kita beli dari uang-uang belanja harian kita. Atau, mungkin kita masih bisa tertawa di tengah tangis para bayi tetangga yang merengek minta sebotol susu yang di satu saat belum bisa disediakan oleh bapak-ibunya karena keterbatasan uang yang mereka miliki. Dan, ironisnya kita masih terlalu yakin untuk meminta surga dari Allah dengan sikap ketidakpedualian kita itu. Sungguh tidak pantas, tentunya. Surga Allah terlalu murah bila disediakan untuk orang-orang kikir, yang dengan kelimpahan rezeki dari Allah. Tega membiarkan para tetangga bersusah-payah “kelaparan”, sementara diri dan keluarganya berlimpah kekayaan.

Rasulullah s.a.w. mengajarkan hidup bertetangga, membangun harmonisasi dengan tetangga, saling mengulurkan tangan dalam kesusahan, dan saling memberi penghargaan dan keselamatan manakala tetangga mendapat keberuntungan, hingga untuk urusan kuah sup pun beliau perhatikan untuk berbagi kepada para tetangga beliau. Isteri, anak dan para sahabatnya diberi contoh kongkret bagaimana seharusnya hidup bertetangga. Tidak hanya sekadar berwacana, tetapi melangkah dengan tindakan nyata: “membangun solidaritas dengan sedekah”.

Kini, kita sedang menghadapi kendala internal kita sendiri untuk menjadikan contoh kongkret dari Rasulullah s.a.w. menjadi “perilaku sehari-hari” kita, karena cara berpikir kita yang kurang tepat tentang makna bertetangga. Kita lebih peduli untuk menunggu pemberian daripda bersegera untuk memberi. Mentalitas “mustahiq” (mendahulukan untuk berpikir tentang hak) kita jauh lebih kuat daripada mentalitas “mutashaddiq” (mendahulukan untuk berpikir tentang kewajiban), hingga kita memiliki kesulitan untuk merasa puas ketika memberi, dan jauh lebih bisa cepat puas ketika “diberi”. Akankah kita akan terus-menerus memosisikan kita sebagai para pengemis hak kepada para tetangga kita, dan tidak segera mau beranjak untuk menjadi orang-orang yang berkesadaran untuk menyantuni dan memberdayakan para tetangga, seperi yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w?

Bahkan,. Lebih ironis lagi, masih banyak orang di kana-kiri kita yang tidak hanya tidak berkesadaran untuk berbagi kebahagiaan kepada para tetangganya, tetapi justeru merampas hak para tetangga dan menciptakan penderitaan dengan potensi-potensi yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Berbuat zalim dengan ilmu, kekayaan dan kekuasaannya demi kepuasan hidup pribadi dan orang-orang yang dipentingkan olehnya, lebih dianggap penting daripada para tetangganya.

Bayangkan, dalam sebuah kasus, betapa zalimnya ketika mereka (para perampas hak) itu berulah dengan mengusir para tetangganya yang tengah membutuhkan pertolongan dengan memohon sedikit bantuan “medis” kepada para dokter yang semestinya peduli untuk memberikan perawatan semaksimal mungkin kepada para pasien miskin yang terpaksa berobat kepada paranormal karena penolakan para tenaga medis yang – dengan arogan – menanyakan biasa pengobatan kepada kaum fuqarâ’ dan masâkin’ itu. Sementara dalam ketidakpunyaan mereka mencoba mengeluh kepada kaum aghniyâ’. Ternyata hasilnya pun nihil. Dan, lebih ironis lagi, ketika mereka mengadu kepada para wakil rakyatnya, para wakil rakyat itu pun seolah tak mendengar jerit tangit mereka. Padahal Rasulullah s.a.w. pernah berpesan: “Sebaik-baik tetangga di sisi Allah SWT adalah mereka yang terbaik pada tetangganya.'' Atau dalam riwayat lain dinyatakan: ''Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia sakiti tetangganya.''

Nasihat-nasihat dan perilaku Rasulullah s.aw. itu tentu saja harus menjadi acuan kita – umat Islam – hingga kini di mana pun kita berada. Dan di ketika kita masih tidak peduli terhadap tetangga kita, apalagi di ketika kita mampu berbuat sesuatu yang terbaik untuk para tetangga kita yang tengah “keterpurukan” dan “membutuhkan uluran tangan kita”, dan kita masih bersikap acuh tak acuh terhadap nasib mereka, maka pengakuan keislaman apa yang mesti kita banggakan lagi, selain hanya sekadar slogan tanpa makna.

Dengan lugas kita pun bisa berkata, bahwa kita masih jauh dari perilaku Rasulullah s.aw. dalam bertetangga. Dan “azab Allah lebih – ‘rasa-rasanya’ --pantas kita terima daripada rahmat-Nya.”
Na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Penulis adalah: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta

Tidak ada komentar: