Rabu, 11 November 2009

BERTETANGGA ALA RASULULLAH S.A.W.

BERTETANGGA ALA RASULULLAH S.A.W.
Oleh: Muhsin Hariyanto

Suatu hari ‘Aisyah r.a. memasak sup untuk kebutuhan keluarganya. Tidak ada yang istimewa dari masakan sup yang disiapkannya selain pesan Rasulullah s.a.w. kepada untuk memperbanyak kuahnya. Untuk apa? Tentu saja bukan untuk sekadar memenuhi tempat memasaknya atau juga piring dan mangkok-mangkak yang disedaiankan untuk menghidangkan sup itu. Lebih jauh dari itu Rasulullah s.a.w. punya rencana mulai: “agar para tetangganya bisa mencicipi ‘sup’ hasil masakan isterinya”. Kesadaran untuk berbagi kenikmatan telah mengalir dalam jiwa Rasulullah s.a.w., hingga ‘sup’ pun bisa menjadi sesuatu yang memberi inspirasi untuk bersedekah kepada para tetangganya.

Cerita hikmah di atas sudah menjadi santapan harian para mubaligh dan majelis-mejelis taklim kita, Cuma implementasi dan perluasan maknanya belum banyak kita lihat dalam perilaku kita. Karena terlalu banyak kita bicara tentang keharusan-keharusan “normatif”, yang cenderung melangit, sementara pembumiannya terkatung-katung dalam rencana-rencana di benak kita, buku-buku teks dan kumpulan ceramah para mubaligh kita.

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis Rasulullah s.a.w. yang berasal dari Abu Ayyub al-Anshari: ''Siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian, hendaknya “ia” berkata baik atau diam, dan siapa yang beriman (percaya) kepada Allah SWT dan hari kemudian hendla “ia” menghormati tetangganya, dan siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari kemudian, hendaklah “ia” menghormati tamunya.''

Kata “falyukrim (hendaklah “ia” menghormati)” dalam hadis itu menandai sebuah perintah Rasulllah s.a.w. “yang bersifat personal” kepada setiap orang yang beriman. Maknanya setiap pribadi orang yang beriman harus memiliki kesadaran untuk berbuat seperti yang diperintahkan, bila “ia” mengaku beriman. Atau dengan kata lain, pengakuan keimanan seseorang harus dibuktikan dengan ada kesadaran untuk berbuat sesuatu yang diperintahkan di dalam hadis itu.

Pertanyaan krusialnya untuk diri kita yang mengaku beriman ini: “sudahkah kita memiliki kesadaran untuk berbuat sesuatu yang diperintah oleh Rasulullah s.a.w. di dalam hadis tersebut?” Termasuk di dalamnya berbuat sesuatu yang terbaik untuk para tetangga kita. Atau, jangan-jangan kita masih terlalu bisa berbangga diri dengan kebahagiaan kita kita sendiri tanpa kesediaan untuk berbagi kebahagiaan kepada tetangga kita, arogan mengaku sebagai “hero” di tengah keterpurukan sosial para tetangga kita!

Betapa banyak tetangga kita yang masih memerlukan bantuan kita, bukan hanya sekadar semangkok sup masakan kita. Tetapi kita masih enggan berbuat sesuatu, bahkan masih bisa tersenyum menyantap “tonseng, satu, gulai dan tengkleng” yang kita beli dari uang-uang belanja harian kita. Atau, mungkin kita masih bisa tertawa di tengah tangis para bayi tetangga yang merengek minta sebotol susu yang di satu saat belum bisa disediakan oleh bapak-ibunya karena keterbatasan uang yang mereka miliki. Dan, ironisnya kita masih terlalu yakin untuk meminta surga dari Allah dengan sikap ketidakpedualian kita itu. Sungguh tidak pantas, tentunya. Surga Allah terlalu murah bila disediakan untuk orang-orang kikir, yang dengan kelimpahan rezeki dari Allah. Tega membiarkan para tetangga bersusah-payah “kelaparan”, sementara diri dan keluarganya berlimpah kekayaan.

Rasulullah s.a.w. mengajarkan hidup bertetangga, membangun harmonisasi dengan tetangga, saling mengulurkan tangan dalam kesusahan, dan saling memberi penghargaan dan keselamatan manakala tetangga mendapat keberuntungan, hingga untuk urusan kuah sup pun beliau perhatikan untuk berbagi kepada para tetangga beliau. Isteri, anak dan para sahabatnya diberi contoh kongkret bagaimana seharusnya hidup bertetangga. Tidak hanya sekadar berwacana, tetapi melangkah dengan tindakan nyata: “membangun solidaritas dengan sedekah”.

Kini, kita sedang menghadapi kendala internal kita sendiri untuk menjadikan contoh kongkret dari Rasulullah s.a.w. menjadi “perilaku sehari-hari” kita, karena cara berpikir kita yang kurang tepat tentang makna bertetangga. Kita lebih peduli untuk menunggu pemberian daripda bersegera untuk memberi. Mentalitas “mustahiq” (mendahulukan untuk berpikir tentang hak) kita jauh lebih kuat daripada mentalitas “mutashaddiq” (mendahulukan untuk berpikir tentang kewajiban), hingga kita memiliki kesulitan untuk merasa puas ketika memberi, dan jauh lebih bisa cepat puas ketika “diberi”. Akankah kita akan terus-menerus memosisikan kita sebagai para pengemis hak kepada para tetangga kita, dan tidak segera mau beranjak untuk menjadi orang-orang yang berkesadaran untuk menyantuni dan memberdayakan para tetangga, seperi yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w?

Bahkan,. Lebih ironis lagi, masih banyak orang di kana-kiri kita yang tidak hanya tidak berkesadaran untuk berbagi kebahagiaan kepada para tetangganya, tetapi justeru merampas hak para tetangga dan menciptakan penderitaan dengan potensi-potensi yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Berbuat zalim dengan ilmu, kekayaan dan kekuasaannya demi kepuasan hidup pribadi dan orang-orang yang dipentingkan olehnya, lebih dianggap penting daripada para tetangganya.

Bayangkan, dalam sebuah kasus, betapa zalimnya ketika mereka (para perampas hak) itu berulah dengan mengusir para tetangganya yang tengah membutuhkan pertolongan dengan memohon sedikit bantuan “medis” kepada para dokter yang semestinya peduli untuk memberikan perawatan semaksimal mungkin kepada para pasien miskin yang terpaksa berobat kepada paranormal karena penolakan para tenaga medis yang – dengan arogan – menanyakan biasa pengobatan kepada kaum fuqarâ’ dan masâkin’ itu. Sementara dalam ketidakpunyaan mereka mencoba mengeluh kepada kaum aghniyâ’. Ternyata hasilnya pun nihil. Dan, lebih ironis lagi, ketika mereka mengadu kepada para wakil rakyatnya, para wakil rakyat itu pun seolah tak mendengar jerit tangit mereka. Padahal Rasulullah s.a.w. pernah berpesan: “Sebaik-baik tetangga di sisi Allah SWT adalah mereka yang terbaik pada tetangganya.'' Atau dalam riwayat lain dinyatakan: ''Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah dia sakiti tetangganya.''

Nasihat-nasihat dan perilaku Rasulullah s.aw. itu tentu saja harus menjadi acuan kita – umat Islam – hingga kini di mana pun kita berada. Dan di ketika kita masih tidak peduli terhadap tetangga kita, apalagi di ketika kita mampu berbuat sesuatu yang terbaik untuk para tetangga kita yang tengah “keterpurukan” dan “membutuhkan uluran tangan kita”, dan kita masih bersikap acuh tak acuh terhadap nasib mereka, maka pengakuan keislaman apa yang mesti kita banggakan lagi, selain hanya sekadar slogan tanpa makna.

Dengan lugas kita pun bisa berkata, bahwa kita masih jauh dari perilaku Rasulullah s.aw. dalam bertetangga. Dan “azab Allah lebih – ‘rasa-rasanya’ --pantas kita terima daripada rahmat-Nya.”
Na’ûdzu billâhi min dzâlik.

Penulis adalah: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta

AFSYUS SALAM

AFSYUS SALÂM:
Dari Ucapan Menuju Tindakan
Oleh: Muhsin Hariyanto
Ada sebuah pernyataan dari Abu Hurairah r.a. (salah seorang sahabat Nabi s.a.w.), bahwa beliau pernah bersabda:

“Tidaklah kalian masuk surga hingga kalian beriman. Dan tidaklah kalian beriman hingga saling mencintai. Kemudian beliu bersabda: Maukah kalian aku tunjukkan suatu amalan yang jika kalian kerjakan niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (Hadis Riwayat Muslim).
Hadis ini memberi isyarat akan artipentingnya “salâm”. Sekadar mengucapkan salam? Tentu saja tidak sesederhana itu. Karena kata “salâm” dalam hadis itu bisa dimaknai lebih daripada sekadar mengucapkan salam secara verbal. Lebih jauh dari itu, salâm bisa dimaknai sebagai “kedamaian” dalam pengertian luas. Tebarkan kedamaian untuk siapa pun dalam konteks apa pun. Karena Islam hadir dengan tawaran damai: “peace for all” (damai untuk semuanya), selaras dengan misi kerahmatannya, rahmatan li al-âlamîn. Itulah kurang-lebih makna kalimat “afsyus salâm” (tebarkanlah kedamaian untuk semua orang) dalam hadis di atas.
Nabi Muhammad s.a.w. mengajarkan kepada umatnya untuk selalu meningkatkan kecintaan terhadap saudara sesama umat manusia, merekatkan persaudaraan dan kasih sayang. Dan untuk mewujudkannya, beliau perintahkan untuk menyebarkan “salâm” dalam artikulasi yang santun dan ramah, dengan ucapan “assalâmu ‘alaikum, dan bahkan menganjurkan untuk disempurnakan dengan ungkapan “wa rahmatullâhi wa barakâtuh” (kedamaian yang diharapkan hadir bersama kasih sayang dan keberkahan dari Allah).
Perhatikan makna firman Allah SWT berikut:

"Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari Bani Israil (yaitu): janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu, kecuali sebagian kecil darimu, dan kamu selalu berpaling." (QS al-Baqarah [2]: 83)
Namun, seiring dengan hilangnya semangat berbagi di zaman ‘edan'. Ini (meminjam istilah Ronggowarsito), ucapan salam ini sebegitu mudah ditinggalkan oleh sebagian umatnya yang kurang peduli dan – dengan serta-merta – berubah menjadi sû-u zhan (prasangka buruk), kecurigaan yang berbuah pada ketidak-pedulian, dan bahkan sikap permusuhan antarmanusia yang berlarut-larut. Antarkomunitas manusia menjadi terkotak-kotak dalam semangat sektarian-sempit dengan berbagai kepentingan: “ideologi, etnis, agama, serta sejumlah kepentingan duniawi yang lain, dan bahkan – lebih ironis – (terpilah) karena kepentingan politik jangka-pendek, yang ujung-ujungnya adalah: hubbud dunya (cinta-dunia). Konon, kini sudah ada sejumlah ‘berhala’ yang menjadi pilihan hidup, dan menjadikan umat manusia rela berpecah-belah karena kepentingan-kepentingan pemberhalaan terhadap sesuatu yang sesungguhnya tidak pantas diberhalakan. Mereka seolah tak hirau lagi dengan seruan Allah dalam QS Âli ‘Imrân [3]: 103:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”
Sebuah ayat yang mengingatkan kehancuran peradaban disebabkan oleh perpecahan yang terjadi karena mereka lupa untuk mengingat Allah.
Begitulah nasib umat manusia di ketika mereka lalai untuk bertuhan kepada Tuhan (Allah) semata, satu-satunya Tuhan yang layak dipertuhankan, dan justeru mempertuhankan tuhan-tuhan palsu yang mereka ciptakan dalam imajinasi mereka, yang akhirnya benar-benar menjadi “thâghût” (sesuatu yang disembah selain Allah). Mereka asyik dalam kekeliruan, dan menganggap kekeliruan-kekeliruan itu sebagai kebenaran, karena selama ini telah menjadi bagian dari apa yang mereka yakini sebagai “Tuhan”. Kini saatnya “syirik”, ternyata telah merambah dalam benak dan lubuk hati yang paling dalam pada kehidupan “mu’amalah” (baca: interaksi-sosial) umat manusia di seputar kita, hingga mereka lupa bersinergi untuk kepentingan kemashlahatan mereka sendiri, membangun kekuatan bersama dengan: “berbagi salâm” (saling menebar kedamaian).
Hingga kini, ucapan as-salāmu `alaikum memang boleh jadi selalu diucapkan oleh setiap muslim – utamanya -- untuk sesama muslim. Hanya saja ucapan-ucapan salâm mereka boleh jadi tidak tumbuh dari lubuk hati yang paling dalam, hingga para pengucapnya sendiri tidak sadar bahwa makna ucapannya benar-benar memiliki spirit-utama: “mendoakan kepada setiap orang yang dijumpainya” agar mendapatkan kedamaian. Oleh karenanya para pengucap itu kemudian tidak berhasrat untuk mewujudkan ucapan-ucapan verbalnya ke dalam tindakan nyata: “menebarkan kedamaian” kepada siapa pun yang diberi ucapan salâm. Begitu juga spontanitas para penerima salâm yang secara verbal membalas ucapan salâm -verbal para pemberi salâm barangkali tidak semuanya sadar bahwa makna jawaban salâm nya adalah “doa” bagi setiap para pemberi salâm mereka. Akhirnya, tidak berbeda dengan para pemberi salâm, mereka pun sama sekali boleh jadi tidak berhasrat untuk mewujudkan jawaban verbalnya ke dalam tindakan nyata: “menebarkan kedamaian” kepada siapa pun yang memberi ucapan salâm. Dan konklusi pentingnya: “salâm – hingga kini -- tetap hanya sekadar menjadi ucapan-upan verbal tanpa makna”, tak berujung pada kedamaian nyata untuk semuanya.
Padahal, kalau kita cermati, hadis Nabi Muhammad s.a.w. di atas sebenarnya telah mengingatkan kepada kita semua bahwa “salâm” yang selalu terungkap dalam ucapan verbal “as-salāmu `alaikum” beserta kesempurnaan ucapannya seharusnya menjadi pijakan awal untuk berbagi kedamaian di antara kita, agar kita menjadi umat manusia yang saling-mencintai, sebagai bukti dari keberimanan kita. Dan, pada akhirnya kita pun berhak menagih janji Allah berupa surga, “kenikmatan hakiki yang abadi” yang senanntiasa kita dambakan.
Akhirnya, “salam” yang senantiasa kita ucapkan seharusnya mengingatkan kita bahwa kita semua adalah “ummah wâhidah (satu kesatuan umat), ikhwah (bersaudara) dan perlu selalu merekatkan kedekatan kita dengan semangat ukhuwwah (persaudaraan). Dan oleh karenanya kita harus mulai membudayakannya bukan sekadar menjadi ucapan-verbal, tetapi – lebih dari itu – menjadikannya sebagai instrumen penting untuk membangun “cinta” antarsesama, hingga kita antarmanusia bisa saling-mencintai. Dan tentu saja, salam yang kita implementasikan menjadi tindakan nyata, bisa menjadi prasyarat kita (umat Islam) untuk menjadi khairu ummah (umat yang terbaik) di tengah hiruk-pikuk peradaban dunia, kini dan masa mendatang.
Ma’an-Najâh (semoga sukses)


Selasa, 31 Maret 2009

MEMELIHARA SIKAP IKHLAS

MEMELIHARA SIKAP IKHLAS

Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu shalat berjamaah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga shalat di shaf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jamaah yang lain yang melihatnya shalat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senang-hatinya, tenang-hatinya tatkala shalat di shaf yang pertama adalah karena “pandangan manusia”. Dan ia pun beristighfar. Dia yakin: “tidaklah akan berkumpul keikhlasan dalam hati bersama rasa senang untuk dipuji dan disanjung dan keinginan untuk memperoleh apa yang ada pada manusia kecuali sebagaimana terkumpulnya air dan api…”

Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorang pun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini.

Keikhlasan sering terganggu karena orang menginginkan popularitas. Ketenaran (popularitas) memang mahal harganya. Betapa banyak orang yang rela mengorbankan banyak harta benda hanya karena untuk memperoleh ketenaran. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupun para bintang film. Mereka selalu berusaha tampil beda agar bisa menarik perhatian umat dunia. Bahkan ada yang rela untuk melakukan hal-hal yang aneh dan yang diharamkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popularitas (sebagaimana penulis membaca pengakuan seorang wanita yang rela untuk berfoto setengah telanjang -bukan setengah lagi, tapi 90%, karena hanya tersisa beberapa utas benang atau secarik kain yang menutupi tubuhnya, “awas ... jangan dibayangkan!!”-, padalah dia hanya dibayar sangat rendah. Dia mengaku bahwasanya semua itu agar dia menjadi tenar (na'udzu billahi min dzalik), yang toh setelah perjuangan dan pengorbanannya tersebut dia belum tentu tersohor. Kalaupun terkenal, toh belum tentu bertahan lama. Namun bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impian yang didambakan oleh banyak manusia (kafir maupun muslim).

Sebagaimana yang kita saksikan sekarang ini. Hampir seluruh keanehan-keanehan yang dilakukan oleh manusia sesungguhnya dikarenakan cinta popularitas. Kita lihat ada orang yang mengecet rambutnya bewarna warni, ada yang kepalanya setengah gundul dan setengahnya rambutnya panjang hingga bahunya dan dicat hijau (sebagaimana yang pernah kita saksikan di televisi), ada yang rambutnya cuma ditengah saja panjang adapun sisanya gundul (sebagaimana penulis pernah lihat seorang dari tanah air yang model cukurannya seperti itu padahal dia lagi umrah), ada yang dipotong seperti warna macan tutul (botak gundul, botak gundul), ada yang tengahnya gundul dan kanan kiri kepalanya ada rambutnya, ada yang seluruh kepalanya gundul namun tersisia satu pelintiran yang panjang sekali, dan model-model yang lainnya yang banyak sekali dan aneh-aneh. Ini, padahal baru masalah rambut, belum masalah telinga, hiasan leher, apalagi model pakaian. Yang semua ini hanyalah dilakukan demi ketenaran. Demi Allah, seandainya salah seorang di antra mereka itu tinggal di hutan yang tidak ada manusianya sama sekali kecuali dia sendiri, dan dia hanya berteman binatang dan pepohonan, demi Allah dia tidak akan melakukan hal-hal aneh yang telah dia lakukan, karena tidak ada manusia yang memperhatikannya. Kalau dia tetap aneh juga maka dia akan terkenal di antara para hewan. Popularitas merupakan kenikmatan dunia yang mahal harganya.

Penyakit cinta ketenaran ternyata tidak hanya menimpa orang awam saja yang tidak mengetahui perkara-perkara agama, namun juga menjangkiti para ahli ibadah dan para penuntut ilmu syar’i. Walaupun memang bentuknya berbeda, namun hakikatnya sama adalah cinta popularitas. Ahli ibadah juga pingin kesungguhannya dalam beribadah diketahui oleh para ahli ibadah yang lain, ahli ilmu pun ingin orang lain tahu bahwasanya dia adalah seorang yang pandai, sehingga akhirnya martabatnya tinggi di hadapan manusia. Penyakit inilah yang dalam kamus agama disebut penyakit riya’ (pingin dilihat orang) dan sum’ah (pingin didengar orang).

Manusia begitu bersemangat untuk menutupi kejelekan-kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, kejelekan sekecil apa pun, dibungkus rapat jangan sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan mereka menginginkan mendapatkan kehormatan di mata manusia. Dengan terungkapnya kejelekan yang ada pada mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata manusia, "jaga imej", istilah populernya. Seandainya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, sekecil apapun kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, siapa pun orangnya (saudaranya, sahabat karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan isterinya) tidak ada yang mengetahui kebaikannya, tentunya mereka akan mencapai martabat mukhlishin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar yang hanya mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah.

Oleh karena itu banyak orang yang ’benar-benar’ saleh (yang) membenci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga keikhlasan mereka, dan karena mereka khawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.

Bagaimana dengan kita?

Kamis, 19 Maret 2009

ISTIQAMAH

ISTIQÂMAH

Oleh: Muhsin Hariyanto

Suatu ketika, Nabi s.a.w. dimintai nasihat oleh seorang laki-laki: “Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam suatu perkataan yang aku tidak akan menanyakannya lagi kepada seseorang selain hanya kepada engkau.” Atas permintaan itu pun Nabi s.a.w. bersabda: ”Katakanlah! Aku beriman kepada Allah kemudian (bersikap) istiqâmah.” Belum puas dengan nasihat itu, laki-laki itu pun meminta nasihat lagi kepada Nabi s.a.w.: “Ya Rasulullah apa yang harus aku jaga, setelah itu?” Atas permintannya itu pun Nabi s.a.w. mengisyaratkan kepada lidahnya sendiri dan berkata: “ini” (Hadis Shahih riwayat Muslim dari Sofyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi).

Banyak hal yang bisa menjadikan diri kita 'gamang' mengahadapi persoalan hidup, karena kita hidup tidak selalu dalam lingkaran sistem dan budaya 'sehat. Bahkan dalam banyak hal kita ditantang oleh sebuah kenyataan hidup yang serba menggoda, hingga iman kita serasa semakin menipis dan suatu saat mungkin akan sirna karena kelemahan kita sendiri ketika menghadapi realitas kehidupan yang serba menekan.

Hadis di atas mengisyaratkan, bahwa panduan hidup itu cukup sederhana; "jadilah orang yang beriman, bersikap istiqâmah dan – kemudian – "jaga lidah kita". Tiga rangkaian modal kita untuk berproses menuju visi keislaman kita: "menjadi muslim sejati, muslim kâffah, muslim yang – dalam seluruh bagian kehidupan kita -- terhiasi oleh al-Akhlâq al-Karîmah. Fondasi iman dan sikap istiqâmah sering dinyatakan sebagai pasangan, bagaikan dua-sisi dari sekeping mata-uang, dan sekaligus menjadi modal dasar yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi setiap manusia dalan mengarungi kehidupannya. Karena iman tidak mungkin akan mewujud menjadi tindakan serba-positif tanpa sikap istiqâmah, dengan prasyarat pengiring: hifzh al-lisân (menjaga lidah), yang – dalam banyak hal – seringkali menjadikan seseorang tergelincir ke dalam lembah kenistaan.

Kata "istiqâmah" menurut pengertian kebahasaan bahasa bermaka: "lurus, lempang dan tidak berbelok-belok". Dalam kaitannya dengan hal ini, Umar bin Khathab r.a. pernah menjelaskan bahwa, seseorang yang telah bersikap istiqâmah akan selalu mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya, serta tidak akan pernah sedikit pun akan melakukan penyimpangan atas aturan-aturan-Nya. Sementara itu Abu Bakar ash-Shiddiq menambahkan bahwa yang dimaksud dengan perkataan “istiqâmah “ sesudah beriman ialah: "tidak bersikap syirik dalam bentuk apa pun". Bahkan Allah pun menegaskan: “Dan tetaplah (bersikap istiqâmah) sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS asy-Syûrâ, 42: 15). Sikap istiqâmah dalam koridor "iman" mempersyaratkan komitmen kuat untuk hanya bertuhan kepada Allah semata-mata, dalam bentuk mono loyalitas dan membangun semangat (untuk) selalu beramal saleh dalam setiap kesempatan, di mana pun dan kapan pun dalam bentuk apa pun.

Dengan penjelasaan di atas, maka istiqâmah harus bisa membentuk karakter dan kepribadian setiap orang beriman, yang lidahnya tak pernah 'kelu' untuk mengucapkan kalimah thayyibah (ucapan yang baik), dan memiliki integritas sebagai seseorang "muslim yang memiliki kesalehan ganda, vertikal-horisontal. Menjadi selalu menjadi pribadi yang "saleh" dalam konteks hablun minallâh dan hablun minannâs sekaligus. Jadikan hidup kita dengan motto dan garis hidup: "hidup adalah pengabdian, perjuangan dan pengorbanan untuk menggapai ridha Allah".

Ketika kita bertanya, kenapa Nabi s.a.w. menyebut "iman" sebelum istiqâmah? Jawab sederhananya adalah: "tanpa fondasi iman, tentu saja sikap istiqâmah akan menjadi sesuatu yang buram, atau paling tidak akan berocak abu-abu. Sementara itu pertanyaaan lanjutnya: "kenapa iman harus ditindaklanjuti dengan sikap istiqâmah? Jawab tegsanya adalah: "tidak mungkin seseorang dapat mempertahankan eksistensi dirinya sebagai orang beriman tanpa sikap istiqâmah". Kemungkinan besar jika seseorang telah beriman tanpa sikap istiqâmah, ia akan menjadi seseorang mudah tergoda oleh sejumlah kepentingan duniawi. Sementara itu seseorang yang berupaya bersikap istiqâmah dengan prinsip hidupnya yang tidak jelas – tanpa iman-- ia akan terombang-ambing oleh tawaran banyak orang, yang menjajakan berbagai panduan hidup berdasarkan orientasi dan ideologi mereka yang – sangat mungkin – akan mengarahkan dirinya pada visi yang salah. Mungkin saja seseorang akan berhasil dalam "karir" kehidupan duniawinya, tetapi goyah pendiriannya dan luntur kepribadiannya, dan mungkin saja "tergadaikan" pada kepentingan-kepentingan duniawinya.

Kita bisa belajar dari sejarah. Ternyata hanya orang-orang beriman dan bersikap istiqâmahlah yang dapat memikul tanggung jawab yang besar. Para Nabi -- kekasih Allah -- dipilih untuk melaksanakan berbagai tugas besar, dan mereka mampu melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Para shahabat Nabi s.a.w. yang sukses memerankan dirinya sebagai apa pun dalam proses aktualisasi dirinya, ternyata mereka adalah sejumlah orang saleh yang "kokoh" imannya dan memiliki sikap istiqâmah, berpendirian teguh sesudah iman merasuk ke dalam hati-sanubarinya. Sikap istiqâmah mereka melahirkan serangkaian sikap dan tindakan serba-positif: percaya diri dan optimistik, enerjik, kreatif, inovatif ketika melangkah menuju tujuan dan cita-cita hidupnya, Mereka telah dapat membuktikan dirinya menjadi manusia-manusia visioner, dan kisah-kisah hidupnya tertulis dalam "tinta-emas", selalu dikenang dan – tentu saja – layak diteladani.

Ketika kita kuak dalam nash (teks) al-Quran dan sirah (sejarah perjalanan hidup) mereka, kita temukan sejumlah pelajaran dari mereka, teks sejarah mereka telah mengabadikan 'ibrah (contoh pelajaran). Mereka – ternyata -- hadir hanya dengan dua panduan hidup: "iman dan sikap istiqâmah", seperti yang diisyaratkan oleh Nabi s.a.w. kepada seorang laki-laki yang pernah memohon nasihat kepadanya. Nasihat universal dari Nabi s.a.w. untuk siapa pun, dalam konteks apa pun.

Tidak hanya Nabi kita, Nabi Muhammad s.a.w. yang mengisyaratkan artipentingnya "iman dan sikap istiqâmah. Konon, -- dulu -- ketika Nabi Musa a.s. harus berhadapan dengan raja yang mengklaim sebagai maharaja yang paling-berkuasa, seorang diktator yang dikenal sangat zalim; Firaun, yang sejarah kezalimannya diabadikan dalam rangkaian ayat-ayat al-Quran, berhadapan dengan tukang-tukang sihir dan kejaran bala tentara Firaun yang sangat kuat sehingga terdesak sampai di Laut Merah, Ia – Musa a.s. – hanya memerlukan dua senjata: iman dan sikap istiqâmah, yang mampu melahirkan "optimisme". Dan dengan sikap "tawakal", sebagai implikasi dari iman dan sikap istiqâmahnya, akhirnya ia pun memenangkan perseturuan abadinya dengan "Sang Diktator", dengan "husnul khâtimah", happy-ending, menang-telak tanpa balas.

Apalagi ketika kita mau belajar pada sîrah (sejarah perjalanan hidup) Nabi Muhammad s.a.w.. Tidak diragukan lagi bahwa modal dasar "iman dan sikap istiqâmahnya telah menghadirkan kesuksesan yang luar biasa. Peristiwa demi peristiwa, tantangan dan ancaman dilaluinya dengan para shahabatnya. Beberapa kali usaha pembunuhan terhadap dirinya, dan berapa kali usaha penyerbuan mereka untuk menghancurleburkan kaum muslimin, tidak pernah membuat gentar hati beliau dan para shahabatnya. Bahkan – konon – justeru menambah kekuatan iman dan sikap istiqâmah mereka. Karena terbukti, mereka masih bisa berucap: “hasbunallâh wa ni’mal wakîl”, cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Dialah sebaik-baik pelindung" (QS Âli 'Imrân, 3: 173).

Sedemikian besar perhatian Allah terhadap orang-orang yang memiliki iman dan – sekaligus -- sifat istiqâmah. Dari merekalah diharapkan lahir segala macam bentuk kebajikan dan keutamaan, dan – tentu saja -- sekaligus merupakan harapan agar kita – umat Islam – mampu memberi konstribusi yang terbaik terhadap semuanya dalam kehidupan ini, selaras dengan misi Islam sebagai "rahmatan lil ‘âlamin".

Semoga!

Penulis adalah: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'AisyiyahYogyakarta.

Rabu, 18 Maret 2009

WARISAN YUNANI, ISKANDARIAH DAN TIMUR (ASIA)

WARISAN YUNANI, ISKANDARIAH DAN TIMUR (ASIA):

SUASANA TIMUR DEKAT PADA ABAD KETUJUH[1]

Oleh: Majid Fakhry

Penaklukan Arab atas Timur Dekat telah selesai menjelang tahun 541, ketika Iskandariah jatuh ke tangan Jenderal Arab, 'Amr ibn al-'Ash. Kebudayaan Yunani telah tumbuh subur di Mesir, Syria dan Irak sejah masa Iskandar Agung. Tetapi, jatuhnya kota Iskandariah telah menundukkan mereka di bawah kekuasaan Arab, dan mengakhiri abad-abad lama kekuasaan kekuasaan Persia dan Bizantium di wilayah tersebut.

Beberapa alasan telah dikemukakan berkenaan dengan cepatnya proses penaklukan itu. Tindakan perluasan Kaisar Romawi, Heraclius, pada tahun 610, menimbulkan suatu masa perseteruan sengit antara orang-orang Persia dan Bizantium yang telah terlibat dalam suatu pertempuran panjang untuk memperoleh pengaruh militer di Timur Dekat. Hal ini tentu saja sangat melemahkan kekuatan kedua belah pihak yang telah bertarung sedemikian lama, sehingga tentara Arab berhasil mencatat serangkaian kemenangan yang menentukan terhadap kedua pasukan yang jauh lebih unggul dan banyak jumlahnya, meskipun orang-orang Arab sebenarnya belum banyak berpengalaman dalam perang-perang berskala besar.

Selain itu, perbedaan dan perseteruan keagamaan, di mana terlibat orang-orang sekte Nestorian, Monofisite dan Meichite (aliran ortodoks) menimbulkan rasa tidak puas dan senang penduduk Mesir, Syria dan Irak. Dalam keadaan seperti itu, tidak heran kalau orang-orang Arab disambut sebagai pembebas oleh sebagian besar orang-orang yang berharap agar orang-orang Arab itu akan dapat melenyapkan penindasan opresif dari Konstaninopel yang dilakukan dengan dalih menjaga kemurnian (ortodoksi), terutama sejak masa pemerintahan Justinian (527-565).

Iskandariah merupakan pusat studi filsafat dan teologi Yunani yang sangat penting pada abad ketujuh, sekalipun tentu saja bukan satu-satunya. Di Syria dan Irak, (filsafat dan teologi) Yunani sudah dipelajari sejak abad keempat; tepatnya di kota Antioch, Haraan, Edessa dan Qinnesrin di (kawasan) Syria Utara, dan di kota Nisibis dan Ras'aina di dataran tinggi Irak. Pusat-pusat studi ini masih berkembang subur ketika pasukan Arab memasuki wilayah Syria dan Irak. Kajian mengenai Yunani telah diupayakan, terutama sebagai cara untuk memberi kunci masuk ke dalam naskah-naskah teologi yang mengalir, terutama dari Iskandariah kepada para sarjana Syria dari pelbagi lembaga yang patut dihormati ini. Pada saat itu berbagai risalah teologi diterjemahkan ke dalam bahasa Syria, khususnya karya Eusebius: "Sejarah Gereja-gereja", "Pengakuan" yang dianggap berasal dari St. Clement dari Iskandariah, "Theophany" karya Eusebius, "Discourses" karya Titus dari Bostra untuk melawan kaum Manichaean, dan karya-karya Theodor dari Mopseustia serta Diodorus dari Tarsus.[2]

Bersama dengan terjemah naskah-naskah teologis itu, seringkali diikutsertakan terjemah karya-karya yang berkaitan dengan logika. Hal ini didorong oleh kebutuhan untuk meneliti makna yang lebih dalam tentang konsep-konsep teologis dan proses dialektis yang dikenalkan dalam perdebatan kristologis pada masa itu. Tetapi perlu dicatat, bahwa para penerjemah itu tidak meneruskan terjemah mereka sampai pada Isagoge Porphyry, Categories, Hermeutica dan Analytica Priora.[3] Sebagaimana terbukti dalam tradisi yang dinisbatkan atas nama Al-Farabi dalam sumber-sumber yang berbahasa Arab, bahwa studi-studi logika tidak dikejar sampai ada Analytisa Priora, karena adanya bahaya-bahaya yang terkandung dalam mempelajari argumen-argumen demonstratif dan sofistis.[4]

Penaklukan oleh bangsa Arab pada umumnya tidak mengganggu penelitian akademik yang dilakukan para sarjana di Edessa, Nisibis dan pusat-pusat studi lainnya di Timur Dekat. Salah satu indikatornya adalah kenyataan bahwa Edessa (Arb.: Al-Ruha) terus berkembang dengan baik sampai dasa warsa terakhir abad ketujuh Karya teologis dan filosofis yang agung dari salah seorang pakarnya yang terkemuka, Jacob dari Edessa (w. 708) merupakan sebuah monumen yang menandai kebebasan berpikir yang ia nikmati bersama-sama dengan rekan-rekannya yang lain.[5]

Studi-studi teologis masih terus ditekuni tanpa mengalami hambatan pada abad ketujuh di biara Monofisit Qinnesin di Syria Utara. Biara yang didirikan John bar Aphtona (w. 538) pada abad keenam, telah menghasilkan sejumlah sarjana, seorang di antaranya yang paling menonjol ialah Severus Sebokht (w. 667). Ia menyusun beberapa komentar tentang Hermeneutica dan Rethorica Aristoteles dan menulis risalah tentang Syllogisme Analytica Priora.[6] Murid Severus yang paling terkenal ialah Jacob dari Edessa, yang karya-karyanya meliputi bidang yang amat luas, seperti: teologi, filsafat, geologi, tata-bahasa dan kajian ilmiah lainnya. Karya-karya filosofis Jacob yang ada pada kami adalah Risalah tentang Terma-terma Teknis, Enchiridion, dan terjemah Categories[7] (ke dalam bahasa Arab).

Biara Qinnesin menghasikan dua sarjana lainnya yang terkemuka: Athanasius dari Balad (w. 696) dan muridnya, George, seorang Uskup Arab (w. 724) yang kedua-duanya telah menerjemahkan dan mengomentari Categories, Hermeneutica dan buku pertama dari Analytica Priora karya Aristoteles, seperti halnya Isalog karya Porphyry.[8] Begitu tinggi Renan menilai karya George, sehingga ia menyatakan bahwa "di antara para penafsir Syria, tidak ada seorang pun yang dapat menandingi artipenting kecermatannya dalam memberikan penjelasan.[9]

Masih ada dua lembaga studi Yunani lain yang penting pada abad ketujuh di Harran dan Jundishapur. Harran, kota di sebelah utara Syria telah menjadi tempat bermukim aliran para pemuja bintang, yang selama masa pemerintahan Abbasiyah disebut sebagai kaum Sabaean (Arb: Al-Shaba'ah) yang disebut dalam al-Quran. Agama mereka, seperti juga pengaruh-pengaruh Helenistik, Gnostik dan Hermetik, mampu membuat kaum Harran bertindak secara istimewa sebagai mata rantai penyebaran ilmu Yunani kepada orang-orang Arab, dan dari permulaan abad kesembilan mampu melengkapi istana Abbasiyah dengan sekelompok Astrolog yang terpilih. Kita memiliki kesempatan untuk memperhitungkan sumbangan yang diberikan oleh beberapa sarjana Harran yang utama, seperti Tsabit bin Qurra yang termasyhur (w. 901), puteranya, Sinan, dan dua orang cucunya, Tsabit dan Ibrahim, dalam studi matematika dan astronomi serta peranan mereka dalam menyebarkan ilmu Yunani di kalangan orang-orang Arab.

Perguruan Jundishapur, yang didirikan oleh Chosrous I (Anushirwan) sekitar tahun 555 dianggap sebagai lembaga utama pengajian Helenik di Asia Barat, yang pengaruhnya telah menyebar ke dunia Islam pada masa pemerintahan 'Abbasiyah. Guru-gurunya yang beraliran Nestorian, oleh Chosrous yang bijaksana diperkenankan untuk menekuni studi-stdi ilmiah mereka dan merumuskan tradisi-tradisi keilmuan Syria-Yunani. Guru Yunani disambut oleh kalangan istana Persia, ketika sekolah Athena ditutup atas perintah Kaisar Justianus, dan guru-guru pagan diperiksa untuk menghindarkan diri dari persekusi tahun 529. Pada saat itu sekolah Jndishapur dengan fakultas kedoteran, akademi dan observatoriumnya mencapai puncak kemasyhurannya dan masih berkembang dengan pesat ketika kota Baghdad didirikan pada tahun 762 oleh Khalifah 'Abbasiyah di al-Manshur. Karena Jundishapur berdekatan dengan Baghdad, relasi politis orang-orang Persia dengan Khalifah 'Abbasiyah sangat erat. Akhirnya, dari sekolah inilah perkembangan ilmiah dan intelektual menyebar ke seluruh kerajaan Muslim. Sejak awal Jundishapur telah menyumbang kepada Khalifah di Baghdad sejumlah dokter-dokter istana, seperti halnya sejumlah keluarga Nestorian, Bakhtishu yang terkenal, yang mengabdi kepada Khalifah dengan setia lebih dari dua abad. Mereka juga banyak membantu pembangunan rumah-rumah sakit dan observatorium di Baghdad dengan mengikuti model Jundishapur, selama masa pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) dan penerusnya al-Ma'mun (813-833)[10]

Perhatian kepada filsafat dan ilmu-ilmu teoritis juga banyak muncul, berkat dorongan sekolah Jundishapur. Seorang Persia, yaitu Yahya al-Barmaki (w. 657), menteri dan penasihat Harun al-Rasyid, yang antusiasmenya luar biasa terhadap studi-studi Helenis, sangat membantu perkembangan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan seorang murid Jibril bin Bakhtishu-lah, yaitu Yuhanna bin Masawayh (w. 857), guru Hunain Agung, yang menjadi penerjemah Arab pertama yang paling menonjol dari karya-karya Yunani. Ia juga menjadi Kepala Sekolah Baghdad (Bait al-Hikmah) pertama, yang didirikan oleh al-Ma'mun pada tahun 830.


[1] Diterjemahkan oleh Muhsin Hariyanto, dari Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, New York & London: Columbia University Press: 1970

[2] Duval. Histoire d'Edesse, h. 162 dan Wright, History of Syriac Literature, h. 61 dst.

[3] Lihat Georr, Les Categories d'Aristote dans leurs versions syro-arabes, h. 14, Baumstark, Geschichte der Syrischen Literatur, h. 1001; dan Wright, History of Syrac Literaure, h. 74 ds.t.

[4] Lihat Ibnu Abi Ushaybi'ah, 'Uyun a-Anba', II, h. 134 dst. Bandingkan dengan yang di bawah h. 61 dst.

[5] Untuk kegiatan literal Jacob, lihat Duval, Histoire 'Edesse, hh. 244-51.

[6] Georr, Les categories, h. 25 dst. Duval, La literature Syriaque, h. 257. Wrigh History of Syriac Literature, h. 138.

[7] Georr, Les categories, h. 27, dan Baumstark, Geschichte, hh. 248-56. Wright menentang bahwa karya terakhir itu karangan Jacob(History of Syriac Literature, h. 91)

[8] Wright, History of Syriac Literature, hh. 155 dst., dan Duval, La Literature syriaque, hh. 258 dst.

[9] Renan, De philosophia peripatetica apud Syros, h. 33/

[10] Ibn al-Ibri, Mukhtashar Tarikh al-umam, h. 130; dan Hitti, History of the Arabs, h. 309, 365, 373.

Selasa, 10 Maret 2009

MENCARI PEMIMPIN IDEAL

MENCARI PEMIMPIN IDEAL

Oleh: Muhsin Hariyanto

Kita butuh pemimpin ideal, yang berkemampuan untuk memberi suri teladan seperti Nabi kita, Muhammad s.a.w., Seorang yang memiliki karakter utuh: Shiddiq, Fathanah, Amanah, dan Tabligh. Karena kepemimpinannya, masyarakat jahiliyah yang dipimpinya menjadi komunitas yang tercerahkan dan mencerahkan.

Awal tahun 2009 ini, di negeri kita tercinta – Indonesia -- wacana pemimpin dan kepemimpinan semakin hangat dibicarakan. Bahkan pelbagai diskusi dan dialog dibula lebar-lebar, baik dari kalangan politisi, pengamat, kampus sampai di kursi-kursi warung kopi. Berbagai macam asumsi pun diajukan, hingga berupa tawaran gagasan kepemimpinan yang dianggap sesuai dan menjadi model bagi negeri kita ini.

Kita tahu, bahwa pemimpin – dalam konteks kepemimpinan -- adalah suatu peran dalam sistem tertentu, karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki keterampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Adapun istilah kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan keterampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang. Oleh sebab itu kepemimpinan boleh jadi dimiliki oleh orang yang bukan “pemimpin”.

Seorang pemimpin adalah orang yang mau belajar terus-menerus, membaca, berlatih, dan mendengarkan masukan. Dia adalah pelayan yang melihat hidup sebagai suatu "misi" dan bukan sekadar "karir", apalagi peluang untuk memperoleh kue-kekuasaan. Dia pancarkan energi positif, sikap optimis, berpikir positif dan inovatif. Dia adalah orang yang bisa mempercayai orang lain, tidak bereaksi berlebihan pada setiap perilaku negatif, kritik dan kelemahan. Dia hidup dalam keseimbangan, memperhatian keseimbangan jasmani dan ruhani, antara yang tradisional dan modern, dan tentu saja tekstual dan kontekstual. Seorang pemimpin akan melihat hidup sebagai perjalanan hidup. Dia hargai hidup di luar kenyamanan. Dia adalah orang yang sinergistik, memilih untuk memfokuskan diri pada kepentingan komunitas yang dipimpinnya, dan mampu membina energi-energi yang dimiliki kelompoknya.

Dalam hal ini, Islam mengajarkan bahwa seorang pemimpin dituntut (untuk) mampu menampilkan kepribadian yang ber-akhlaqul karimah (memiliki moralitas yang baik), qana’ah (sederhana), dan istiqamah (konsisten/tidak ambivalen). Sedangkan berdasarkan suri tauladan kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w. adalah: Shiddiq artinya jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan. Fathanah artinya cerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan profesional. Amanah artinya dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel. Tabligh artinya senantiasa menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.

Memang ironis! Di ketika kita memiliki sangat banyak bacaan, sangat banyak referensi, banyak pula perbandingan yang boleh dipetik dari kesalahan-kesalahan, tetapi kita terpuruk dalam wilayah krisis kepemimpinan. Bahkan dalam setiap ajang pemilihan yang paling demokratis pun untuk memilih pemimpin baik di ranah nasional maupun lokal, kita gagal menghadirkan sosok pemimpin yang terbaik.

Persolaan pokonya ternyata bukan hanya pada kesalahan rakyat pemilihnya, tetapi faktor terbesar -- yang menghadirkan kesalahan yang terus berulang itu -- adalah terletak pada gagalnya instrumen demokrasi kita untuk menempa, menyeleksi dan menghadirkan sosok-sosok pemimpin yang mumpuni. Karena mulai dari input dan proses yang tidak ‘bergaransi’ terbaik dan terpercaya, maka output yang disodorkan sebagai ‘multiple choice’ bagi rakyat adalah pilihan-pilihan sosok-sosok pemimpin yang bermasalah dan kurang baik. jika tidak boleh dikatakan ‘jelek’.

Hal ini dapat terlihat, bagaimana mungkin menjadi pemimpin yang bakal memimpin bangsa besar tetapi karakteristik calon para pemimpin kita adalah orang-orang yang terjebak atau terperangkap dalam kepentingan partai atau kelompok, dan mereka terperangkap dalam kepentingan-kepentingan sempit. Apalagi memang jika dilihat dari sisi keteladanan, jauh dari kata ‘memadai'.

Selain itu, saat ini terbukti, kita semakin susah mencari seorang pemimpin yang memiliki kemampuan mendamaikan, yang bisa diterima dan dipercaya menjadi ‘penengah’ yang tidak berpikir untuk kepentingan sesuatu kelompok atau pribadinya. Sebab pemimpin yang seperti itu harus memiliki kapabilitas, kredibilitas dan integritasnya yang tinggi, sehingga bisa diterima oleh berbagai pihak.

Jika kita melakukan kilas balik ke belakang, sesungguhnya dahulu kala, ketika pada era kepemimpinan tokoh-tokoh non-formal dalam masyarakat, kita pernah melihat masa kepemimpinan dimana ketika setiap ucapan mereka menjadi fatwa, ketika itu mereka amat disegani. Tapi kini entah siapa yang salah, nilai-nilai itu nampaknya telah bergeser. Bukan sekadar salah rakyat yang tidak lagi menghormati para pemimpinnya, karena tidak sedikit pemimpin yang tidak lagi menunjukkan sikap keteladanan , serta tak lagi bersikap "amanah".

Merujuk pada konsep kepemimpinan, minimal ada tiga aspek penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertama, kapabilitas (capability) - kemampuan; kedua, kredibilitas (credibility) - dapat dipercaya dan ketiga, integritas (integrity) - kejujuran. Bila ketiga faktor ini telah dimiliki oleh seorang pemimpin, maka orang ini sudah termasuk pemimpin yang berkepribadian mulia. Dia akan mampu membawa masyarakatnya kepada kebahagiaan dan kesejahteraan.

Orang bijak selalu mengatakan, bahwa kekuasaan dan kepemimpinan sesungguhnya merupakan amanah dari rakyat. Bila sang pemimpin memperoleh kekuasaan maka kekuasaan itu haruslah dipergunakan sebaik-baiknya untuk peningkatan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat.
Dalam alam-demokrasi, pada pemilu 2009 yang akan dating, memang tidak ada larangan bagi semua warga untu berpartisipasi, ikut bersaing untuk meraih jabatan publik. Hanya saja semua memerlukan 'fatsoen' (etika) politik. Jangan sampai gara-gara ingin jadi pemimpin, lalu bertindak gaya "koboi". Yang penting tujuan tercapai dengan cara apa pun. Ini yang semestinya dihindari. Cuma, siapa yang bisa menjamin bahwa semua tindakan tidak-etis itu akan tidak pernah muncul dalam kampanye politik?
Yang aneh, bahkan imbauan-imbauan dari banyak pihak, tak satu pun yang menyentuh sisi ini. Alih-alih ada imbauan "moral" yang lantang, malah yang datang – tiba-tiba -- justru fatwa sekelompok orang yang cukup otoritatif mengenai "golput". Tentu saja hal ini cukup membingungkan banyak pihak. Utamanya sempat membuat kaget sejumlah komponen anak-bangsa yang kini sudah mulai memiliki budaya politik "partisipan", dan bahkan para calon pemilih yang sedang berproses untuk berbudaya politik subjek. Kata orang, sekarang ini budaya politik masyarakat kita sudah bukan 'budaya politik parokial ' lagi. Sehingga banyak orang – di seputar kita -- bertanya: "kemana arah fatwa ini?.
Munculnya kepemimpinan nasional 'Orde Pembaruan' pasca pemilu 2009 sekarang memang sangat diharapkan oleh seluruh lapisan masyarakat yang sadar akan makna kepemimpinan. Tapi, kenyataan menunjukkan masih adanya calon-calon pemimpin yang sengaja menawarkan diri untuk dipilih menjadi pemimpin dengan motif yang -- diduga kuat -- sangat berorientasi pada "ghanimah" (kepemilikan 'kekayaan').
Pada pemilu 2009 ini, orang berharap 'ada' kejujuran dan keterbukaan dari masing-masing calon pemimpin kita (termasuk tim suksesnya), agar rakyat bisa memilih yang terbaik dan tidak khawatir untuk menjadi -- yang potensial -- tertipu lagi.
Akhirnya, penulis pun berharap: andai saat ini tersedia calon-calon pemimpin yang bisa memberi suri teladan seperti Nabi kita, Muhammad s.a.w., yang memiliki karakteristik: shiddiq (jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan); fathanah (cerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan profesiona)l; amanah (dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel); dan tabligh (senantiasa menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif), bisa kita harapkan pada pemilu 2009 nanti tak perlu ada calon pemilih yang bersikap 'golput'. Dan, untuk selanjutnya para ulama tak perlu repot-repot lagi menerbitkan fatwa yang semacam itu.
Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta.

Senin, 26 Januari 2009

ISTIGHFAR

ISTIGHFÂR

Oleh: Muhsin Hariyanto

Tentanggaku bernama "Sanip", Ia pernah sekali beribadah haji. Sehari-hari dia hanyalah seorang pedagang kecil, petani kecil, dan imam di sebuah masjid kecil. "Orang Betawi asli". Meskipun ibadahnya (di masjid) tak sesering para kiai di pesantren-pesantren, saya bisa merasakan kehangatan imannya. Waktu saya tanya, mengapa shalatnya hanya sebentar, dan doanya begitu pendek, cuma melulu istighfâr (mohon ampun), dia bilang bahwa ia tak ingin minta yang aneh-aneh. "Dia malu kepada Allah", karena sudah terlalu banyak diberi, sementara (ia) belum sempat banyak memberi" untuk dan karena Allah. Dan oleh karenanya "iia merasa perlu banyak ber istighfâr." (Mohammad Sobary, "Saleh dan Malu", dalam Tempo, 16 Maret 1991)

 

Banyak orang yang ketika berdoa, dia selalu meminta apa pun kepada Allah, 'apa saja' yang dia inginkan, dan tak bosan-bosan ia meminta apa pun yang dianggapnya bisa membuat dirinya senang dalam hidupnya, padahal sudah terlalu banyak Allah memberi kepadanya.

Seringkali orang tidak sadar bahwa dirinya telah lupa untuk bersyukur atas berbagai nikmat yang telah diberikan oleh kepadanya, dan ia merasa selalu dalam kekurangan. Dan oleh karena itu ia selalu akan terus "meminta" kepada Allah dalam setiap doanya.

Lain halnya dengan Bang Sanip, yang telah memberi pelajaran bagi kita semua, bahwa yang belum banyak kita lakukan adalah: beristighfâr, memohon ampunan atas segala dosa yang pernah kita lakukan, disertai upaya optimal untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut, dan menindaklanjutinya dengan sejumlah amal saleh.

Kini, kewajiban beristighfâr itu sudah seharusnya menjadi kesaadaran yang semakin kuat bagi kita, (bagi) orang-orang yang hadir dalam sebuah sistem dan budaya 'korup', dalam berbagai kemaksiatan-kolektif yang seolah dilegalkan, karena diri kita yang sudah sedemikian akrab dengannya, dengan "dosa-kolektif".

Mungkin kita – dengan lantang – bisa meneriakkan slogan "anti-maksiat" di tempat kita berpijak. Tetapi ternyata kita menjadi tidak berdaya ketika berhadapan dengan sisten dan budaya 'korup' yang melingkupi diri kita, di "bumi pertiwi" di mana kita berpijak. Karena – ternyata -- siapa pun yang berupaya untuk bisa menghindarkan diri dari perbuatan dosa, harus berhadapan dengan "hegemoni-mayoritas", mayoritas manusia yang menikmati dan memaksakan kehendaknya kepada orang lain untuk menikmati perbuatan dosa. Dan sudah banyak bukti, mereka yang lantang berteriak "anti-maksiat" akan terleliminasi secara sistematik. Menjadi orang-orang yang terpinggirkan, seolah tak berdaya.

Berpijak dari realitas itu, di bumi pertiwi ini – kata orang -- istighfâr bisa berfungsi sebagai perangkat untuk menghilangkan, mencuci atau paling tidak mengurangi kotoran batin kita, "dosa-dosa" pribadi dan kolektif yang melekat pada diri kita karena jebakan sistem dan budaya korup. Dan karena itulah – barangkali -- kenapa majlis-majlis zikir di negeri kita "ada" di mana-mana dan dihadiri olah banyak orang. Mungkin saja karena persepsi kolektif kita tentang "istighfâr" -- yang selalu dilafalkan dalam zikir-zikir mereka -- bisa menghapus segala macam dosa secara otomatis.

Apa yang dipersepsikan manusia tentang kegunaan istighfâr selama ini memang tidak selamnya "salah". Tetapi yang telah menjadi 'salah-kaprah' adalah: banyak di antara manusia mengira bahwa dengan hanya sekadar melafalkan istighfâr, astaghfullâhal azhîm berkali-kali, dengan mulut ber'komat-kamit' dan kepala menggeleng, tiba-tiba tanpa konsideran apa pun dosa-dosa yang menumpuk itu hilang-sirna. Seolah-olah Allah – Tuhan kita – sebegitu mudah ditaklukkan dengan ucapan-ucapan lisan yang sangat mudah dilafalkan oleh siapa pun, kapan pun dan di mana pun, bahkan oleh para pelaku "rutin" dosa-dosa besar. Dan, jangan-jangan para koruptor di seputar kita, yang kadang-kadang tergerak hatinya untuk mengikuti majelis-majelis zikir yang diselenggarakan secara rutin di berbagai tempat di negeri kita, "berasumsi sama seperti itu". Sepekan "korupsi", terhapus dosa mereka oleh "zikir" sesaat.

Padahal, istighfâr bukanlah sekadar ucapan pemanis bibir. Bukan hanya sebuah permohonan ampun dan pengakuan atas laku dosa yang pernah diperbuat, apalagi permainan kata-kata yang tiba-tiba bisa mem"beres"kan semua dosa. Ada seperangkat nilai yang dimiliki oleh istighfâr yang sering kali dilupakan banyak manusia, yakni: kesadaran diri yang disebut ihsân. Esensi istighfâr dengan sikap ihsân terletak pada kesadaran akan kehadiran Allah SWT yang selalu menatap dan mengawasi. Sadar bahwa Allah SWT melihat, mengawasi, dan memonitor diri dalam gerak dan diam kita, lahir maupun batin.

Sikap ihsân dalam istighfâr memiliki dua nilai-sentral: "kejujuran" dan "keikhlasan", yang akan menghadirkan optimasi setiap manusia untuk menyadari artipentingnya meninggalkan perbuatan dosa dan mengerjakan amal saleh. Dan di sinilah makna istighfâr bertautan dengan "taubat", penyesalan yang berujung pada kesadaran untuk kembali ke titik-nol, dan kemudian membuka lembaran baru untuk menjadi yang terbaik.

Seandainya "Bang Sanip" telah memulai. Kita pun seharusnya segera memulainya.

Dalam kaitan dengan arti pentingnya untuk memulai istighfâr, Emha Ainun Najib menyapa diri kita dengan salah satu bait puisinya (sebagai bahan renungan):

Gusti … kamilah pesakitan; di penjara yang kami bangun sendiri; kamilah narapidana yang tak berwajah lagi; kaki dan tangan ini kami ikat sendiri; maka hukumlah dan ampuni kami; dan jangan biarkan terlalu lama menanti (Emha Ainun Najib, "doa pesakitan", dari kumpulan puisi ٍ Seribu Masjid, Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba)

Kini, di saat kita mau mulai menyapa Allah dengan istighfâr kita, bersihkan hati kita dari semua sikap yang bisa menghalangi pertautan diri kita dengan-Nya: "keengganan dan kesombongan", sebagaimana sikap yang ditunjukkan Iblis ketika diminta oleh Allah untuk bersujud-hormat kepada Adam. Isilah diri kita dengan sikap yang bisa melekatkan diri kita kepada-Nya: "keikhlasan" untuk menerima perintah Allah, sebagaimana sikap orang-orang yang beriman ketika dipanggil oleh Allah untuk taat kepada-Nya, dengan satu jawaban: saminâ wa atha'nâ (kami dengar panggilan-Mu – ya Allah -- dan kami taat kepada-Mu)

Di ketika kita harus menghadapi realitas yang kurang bersahabat untuk melahirkan kesalehan di negeri kita tercinta ini, yang kita perlukan dalam menjaga kontinyuitas istighfar kita hanyalah: sikap "istiqâmah" (teguh pendirian), agar diri kita tidak mudah tergoda oleh setan dengan segala macam perangkat tipu-dayanya.

Penulis adalah: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta.