Kamis, 07 Februari 2008

KORUPSI DAN PEMBELAJARAN SOSIAL

Korupsi dan Pembelajaran Sosial

Baru-baru ini negeri kita mendapatkan predikat sebagai negara paling korup di benua Asia oleh Biro Konsultasi Risiko Politik dan Ekonomi (PERC) yang berbasis di Hongkong. Prestasi ini merupakan yang ketigakalinya diraih Indonesia. Sementara lembaga survei Lembaga Transparansi Internasional (TI) yang bermarkas di Jerman menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup nomor tujuh di antara 133 negara di seluruh dunia. Beberapa bahan yang dijadikan penilaian PERC antara lain kinerja birokrasi, kualitas pekerja dan dinamika politik, sedangkan TI menilai korup tidaknya sebuah negara berdasarkan jumlah kasus penyalahgunaan jabatan publik serta tingkat korupsi pejabat publik dan politikusnya (Jawa Pos, 7/3/2004).

Tentu saja ini sama sekali bukan sebuah prestasi yang membanggakan. Namun masyarakat sudah tidak terlalu kaget begitu mengetahuinya. Kondisi ini semakin memuncak dengan pernyataan sejumlah tokoh masyarakat yang menilai korupsi di Indonesia sudah “nyaris sempurna”. Perilaku korup sudah begitu memasyarakat, dari yang dulu hanya terpusat kini menyebar ke seluruh pelosok negeri. Pertanyaan yang mungkin timbul di benak kita kemudian adalah bagaimana korupsi di depan mata kita itu bisa bertahan demikian kokoh dan semakin menggurita?

Pembelajaran Sosial

Semakin berkembangnya perilaku korupsi menunjukkan kegagalan pengelola negara dalam cara menerapkan hukuman dan bagaimana cara meredam perilaku korupsi itu. Menurut Miller & Dollard, perilaku manusia itu merupakan hasil pembelajaran. Untuk memahaminya harus diketahui prinsip-prinsip psikologis yang terlibat dalam proses pembelajaran itu dan kondisi sosial di mana pembelajaran itu terjadi (Marvin Shaw & Philip Constanzo: 1982). Hal ini ditegaskan oleh Albert Bandura bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh pengamatannya terhadap perilaku orang lain atau model (dalam Wayne Weiten: 1992).

Merujuk pada pemikiran observational learning Bandura, korupsi dilakukan individu karena adanya motivasi untuk mendapatkan keuntungan bagi pelakunya. Namun ini tidak terjadi begitu saja. Empat proses kunci dalam pembelajaran korupsi bisa diidentifikasi sebagai berikut:
• Perhatian (attention). Untuk belajar melakukan korupsi, pelakunya harus memperhatikan dengan cermat perilaku orang lain dan konsekuensi-konsekuensinya. Pada tahapan ini bisa dicontohkan dari berbagai kasus yang terjadi di kantor-kantor dinas pemerintah ataupun swasta. Seseorang (observer) yang dulunya tidak korup, namun dia melihat, misalnya, atasan atau rekannya melakukan korupsi di kantor atau di luar kantor.

•Penyimpanan (retention).

Meski telah melihat transaksi korupsi, observer tidak otomatis bisa melakukan korupsi. Dia harus memiliki peluang, bisa jadi dalam beberapa pekan, bulan atau bahkan beberapa tahun lagi. Pada tahap ini, observer dalam memorinya membentuk representasi mental dari apa yang telah dia lihat.

•Reproduksi (reproduction).

Untuk menirukan, observer harus mampu mereproduksi perilaku korupsi dengan mengubah imaji mental yang telah disimpan dalam memorinya menjadi perilaku aktual. Perilaku korupsi ini tidak mudah ditampilkan karena juga tergantung pada kondisi sosial di mana transaksi itu dilakukan. Jika korupsi dianggap memalukan, observer mungkin menunggu saat yang tepat. Namun jika korupsi dianggap “wajar”, tentu saja dia bisa dengan mudah melakukannya.

•Motivasi (motivation).

Akhirnya, observer akan cenderung melakukan korupsi jika dia termotivasi. Motivasi ini tergantung pada apakah observer berada dalam situasi di mana dia percaya bahwa perilakunya itu akan memberikan keuntungan baginya.

Pada tataran motivasi, penilaian observer terhadap keuntungan apa yang dia dapatkan dengan berperilaku korupsi sangat beragam, bisa untuk mendapatkan uang, jabatan, status atau yang lainnya. Keuntungan ini digambarkan B.F. Skinner (Wayne Weiten, 1992) sebagai penguatan (reinforcement), yang merupakan perwujudan konsepnya bahwa individu cenderung mengulangi perilakunya jika diikuti konsekuensi-konsekuensi yang menyenangkan. Bagi sebagian orang, hasil korupsi bisa dianggap menyenangkan karena memberikan kepuasaan atas kebutuhan orang itu. Jika korupsi dilakukan terus-menerus, maka “keuntungan” itu akan menjadi penguatan (reinforcement) bagi perilaku itu selanjutnya.

Dalam membentuk perilaku korupsi, kondisi dan nilai-nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat memang tak bisa diabaikan. Dalam perspektif Skinner, penguatan (reinforcement ) ini terbagi dua yaitu positif dan negatif. Positive reinforcement terjadi ketika perilaku semakin menguat karena diikuti munculnya stimulus yang menyenangkan. Dalam kategori ini, perilaku korupsi individu semakin mantap karena diikuti hasil yang “menyenangkan” seperti telah dicontohkan di atas.

Sementara dalam negative reinforcement, perilaku semakin menguat karena diikuti hilangnya stimulus yang tidak menyenangkan. Dalam kasus korupsi, kategori ini sangat terkait dengan nilai-nilai sosial yang berkembang di masyarakat. Misalnya, seseorang yang bekerja dalam sebuah lingkungan yang korup. Jika dia tidak melakukan korupsi seperti atasan atau rekan-rekannya, maka dia akan dijauhi dalam pergaulan di lingkungannya. Mungkin dengan terpaksa orang itu melakukan korupsi agar tidak dikucilkan. Tidak adanya pengucilan dalam hal ini menjadi negative reinforcement.

Peran Media Massa

Pada era informasi sekarang ini, media massa berkembang dengan begitu pesat dengan berbagai variannya seperti televisi, radio, koran, majalah, tabloid dan internet, yang kesemuanya bisa menjangkau daerah-daerah pelosok. Berbagai berita tersebar dengan cepatnya tanpa bisa dibendung. Kabar tentang korupsi hampir setiap saat mengisi kehidupan kita, hampir tak terhitung. Meski kasus korupsi banyak diekspos, yang sering pula melibatkan aparat penegak hukum, namun hanya segelintir yang bisa dibawa ke meja hijau apalagi yang menghasilkan vonis penjara. Ditambah berbagai kasus belakangan yang disiarkan media massa, opini publik bisa terbentuk bahwa kasus korupsi sulit dibawa ke pengadilan, ataupun jika tertangkap, peluang untuk lolos sangatlah terbuka lebar.

Secara tidak langsung, meski dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada masyarakat luas, media massa bisa “dimanfaatkan” oleh orang yang sebelumnya termotivasi untuk korupsi sebagai “media pembelajaran”. Orang itu semakin “merasa aman” untuk meneruskan perilakunya. Atau justru orang yang sebelumnya tidak termotivasi, kini bisa mulai mencoba-coba (trial). Dalam kondisi seperti ini, perilaku korupsi bisa semakin menggurita tanpa ada yang bisa menghalangi.

Untuk melemahkan perilaku korupsi, jika kita merujuk pada pendapat Skinner, maka yang diperlukan tidak lain adalah hukuman (punishment). Penerapan punishment dilakukan dengan menerapkan konsekuensi yang tidak menyenangkan atau dicabutnya konsekuensi yang menyenangkan. Dalam konteks korupsi di Indonesia, hukuman ini bisa berupa penjara, pengucilan oleh masyarakat atau penyitaan harta pribadi para pelaku korupsi. Namun bagaimana caranya membuat agar hukuman tersebut bisa efektif?
Menurut Axelrod & Apsche, Parke, Walters & Grusec, seperti yang diikhtisarkan oleh Wayne Weiten (1992), hukuman akan efektif jika memenuhi 5 (lima) hal sebagai berikut:

•Hukuman diterapkan sesegera mungkin. Kita lihat di berbagai media massa, temuan-temuan korupsi oleh sejumlah pihak, baik masyarakat atau lembaga swadaya masyarakat (LSM) terkesan kurang mendapat respon yang cepat dari aparat hukum.

•Hukuman harus cukup berat untuk memberikan efek jera. Dalam hal ini, vonis yang dijatuhkan pengadilan kepada pelaku korupsi kebanyakan dianggap kurang berat, baik oleh sejumlah pengamat ataupun kalangan masyarakat, terutama untuk kasus-kasus besar yang melibatkan miliaran hingga triliunan rupiah.

•Hukuman harus diterapkan secara konsisten. Punishment berbeda dengan reinforcement berkaitan dengan efek konsistensi. Jika perilaku korupsi ingin dihilangkan, maka hukuman harus diberikan setiap saat perilaku ini terjadi. Kita bisa melihat, dalam beberapa kasus, si pelaku atau tersangka bisa lolos dari jeratan hukum tanpa ada pihak yang seharusnya bertanggungjawab. Terkadang beberapa kasus terjadi tanpa tindak lanjut alias masuk “peti es”. Atau kita juga menyaksikan di tayangan media televisi bagaimana seorang tersangka pencuri ayam atau motor dihakimi massa hingga babak belur dan berikutnya sudah mendekam di penjara, sementara tersangka pelaku korupsi.

Menjelaskan maksud hukuman.

Hukuman akan efektif jika orang memahami untuk apa hukuman itu diterapkan. Ini bisa dilakukan dengan sosialisasi, misalnya dengan seminar masih bisa menghirup udara bebas atau diskusi tentang dampak korupsi bagi perekonomian nasional dan kehidupan sosial. Untuk kasus ini, sudah sering digelar oleh kalangan akademisi atau LSM.

Menyelesaikan sumber masalah.

Tak bisa dipungkiri, sebagian kasus korupsi itu melibatkan persoalan ekonomi pelakunya, seperti kecilnya gaji, tidak adanya tunjangan sosial dan prospek masa depan. Sumber masalah korupsi ini juga harus menjadi perhatian serius pemerintah. Sejumlah tokoh juga pernah menegaskan bahwa kebutuhan ekonomi minimum masyarakat itu harus terpenuhi sebelum hukuman itu menjadi efektif.

Penutup

Perilaku korupsi tidak memiliki pilihan selain harus dicerabut sampai ke akar-akarnya. Akibat-akibat yang ditimbulkannya sangat berbahaya karena mengancam sendi-sendi kehidupan baik secara ekonomi, politik, hukum, sosial, budaya, ataupun pendidikan. Selain dengan hukuman yang efektif, pemberantasan korupsi juga harus didekati dengan menyelesaikan sumber-sumber masalahnya seperti perbaikan taraf hidup, tunjangan sosial dan jaminan masa depan. Jika sumber masalah bisa diselesaikan dan hukuman diberikan dengan efektif, maka sekali lagi peran media massa menjadi sangat penting karena menyediakan diri sebagai “media pembelajaran” sosial bagi masyarakat luas. Dengan kondisi ini, pemberitaan di media massa tidak lagi dipenuhi kasus-kasus korupsi tetapi diwarnai oleh prestasi-prestasi bangsa di berbagai bidang.

Semoga.

PESANTREN CYBER: SEBUAH TEROBOSAN BARU

Pesantren Cyber: Sebuah Terobosan Baru

Dakwah adalah seruan ke jalan Allah. Ia menjadi kewajiban bagi setiap muslim dan dilakukan dengan berbagai cara, baik individu maupun berjamaah. Selain bertujuan mengenalkan nur Islam kepada seluruh masyarakat dunia, dakwah juga dilakukan demi mencegah dan melawan kemungkaran lewat penggunaan kekuasaan (power), lisan/tulisan, ataupun sampai tingkat terlemah yakni di dalam hati.

Pada dasarnya, dakwah merupakan bentuk kegiatan komunikasi, yang dapat berupa komunikasi personal, kelompok, ataupun massa. Adapun komunikasi yang baik membutuhkan adanya sumber informasi yang baik, komunikator yang andal, pesan (message) yang sesuai, dan saluran atau medium yang tepat. Pada akhirnya, hal tersebut akan menghasilkan efek positif dari penerima pesan (H.A.Widjaja, Ilmu Komunikasi, Pengantar Studi, 2000).

Dakwah dan Teknologi

Bicara soal medium, sebuah pesan membutuhkan saluran yang tepat untuk sampai ke obyek dakwah (mad'u). Jika pesan dan mediumnya pas, maka mad'u akan mengapresiasi secara positif sehingga dakwah bisa disebut berhasil. Sebaliknya, jika ada salah satu yang tak sesuai, maka hasil positif yang diharapkan dari mad'u akan gagal.
Seiring dengan perkembangan teknologi yang makin maju, berbagai medium muncul untuk menyampaikan risalah Ilahi ini. Dimulai dari medium cetak (koran, majalah, tabloid, selebaran) hingga elektronik (radio, televisi). Belakangan, setelah tahun 90-an, muncullah internet, yang merupakan saluran baru yang penuh potensi. Dalam ruang cyber, semua kegiatan bisa dilakukan dan ditampilkan baik pasif maupun aktif/interaktif.

Bagi umat Islam, bisa jadi internet menjadi sesuatu yang dipertentangkan keberadaannya. Di satu sisi ia memberikan banyak manfaat ilmu, tapi di sisi lain ia menyediakan lahan kemaksiatan yang dalam. Namun bahwa internet menjadi medium baru yang amat luar biasa untuk dieksplorasi bagi para aktifis dakwah agaknya disepakati banyak pihak.

Yang menarik, Gary Bunt, seorang akademisi Barat yang menulis buku Virtual Islamic: Computer Mediated Communications and Cyber Islamic Environment (Cardiff University of Wales: 2000), menyebutkan bahwa rata-rata yang menjadi landasan kalangan muslim mengembangkan layanan di internet, tak lain karena soal dakwah. Bagi mereka, kata Bunt, merancang situs web, menyediakan layanan online Islami, aktif berdiskusi di berbagai mailing list merupakan cara mudah untuk memenuhi kewajiban tersebut. Atau, menurut istilah Jeff Zaleski dalam Spiritualitas Cyber Space (Mizan, 1999), internet merupakan alat dakwah yang berdaya guna dan Islam merupakan agama yang hidup dalam perubahan. “Agama ini cocok untuk berkembang dalam internet yang tidak bersifat hierarkis,” kata Zaleski.

Alasan lainnya adalah, bagi kaum muslimin di kalangan perkotaan, mencari kebutuhan di alam maya jauh lebih mudah dan cepat. Mencari teks kitab suci berikut alunan kiraahnya, misalnya, kini dapat ditelusuri dengan mudah. Jadwal solat lima waktu yang bergeser dari hari ke hari menurut lokasi di seluruh penjuru dunia tak sulit diperoleh. Fasilitas search engine, software penentuan kiblat, dan berbagai keperluan praktis lainnya dapat dijangkau dan dicari tanpa perlu menghabiskan banyak waktu.

Sebagai sebuah dunia maya yang saling terkait, internet memang punya karakteristik unik yang tak dipunyai medium konvensional. Di dunia interenet, tidak dikenal adanya penguasa/pengatur utama. Artinya, orang bebas melakukan komunikasi dan berinteraksi. Seseorang dapat melakukan pertukaran teks, data, suara, dan gambar, serta berbagai pesan dengan berjuta manusia dalam bidang bisinis, akademis, pemerintahan, dan organisasi lain di hampir seluruh belahan dunia. Termasuk, dalam hal mencari perangkat lunak, dokumen, gambar, peta cuaca, katalog perpustakaan, serta bermacam informasi dari berbagai tempat di dunia.

Lewat medium anyar ini, mad’u dimungkinkan bisa tetap berhubungan dengan para da’i tanpa kehilangan sifat interaktifnya. Bentuknya bisa bermacam-macam, dari yang sederhana seperti surat-menyurat elektronik (e-mail), diskusi dan belajar lewat grup mailing list, atau lewat situs web yang dirancang interaktif. Di Indonesia, situs-situs semacam www.pesantren.com, www.eramuslim.com, www.alhikmah.com, atau www.myquran.com, sudah cukup dikenal di kalangan netter yang membutuhkan materi Islami.

Orang dapat juga membangun dan mengembangkan bentuk-bentuk serta metode baru pendidikan Islam, sebagai pilar penting dalam syiar Islam. Gagasan mendirikan sekolah maya (cyber school) atau e-learning merupakan alternatif yang patut dilirik. Untuk pendidikan tinggi seperti kampus dan kursus-kursus di berbagai bidang, model e-learning ini mulai lazim dilakukan, bahkan di dalam negeri.

Yang belum terdengar terobosannya justru pesantren, sebagai lembaga pengembangan keilmuan Islam yang telah ada di Indonesia sejak Islam diperkenalkan pertama kali. Semua kalangan Islam sepakat, pesantren merupakan lembaga keilmuan dan dakwah yang langsung berada dan menyatu dengan masyarakat. Dari pesantrenlah lahir berbagai tokoh yang berjuang di jalan Islam seperti M. Natsir, Buya HAMKA, Agus Salim, Hasyim Asy’arie, Jenderal Soedirman, Kasman Singodimedjo, dan lain-lain.

Potensi Pesantren Cyber

Mengapa perlu mengembangkan pesantren internet? Bukankah itu kesia-siaan atau hal yang percuma? Belum tentu. Paling tidak, ada beberapa alasan mendasar yang mendukung perlunya gagasan ini dicoba.

Pertama, banyaknya jumlah pengguna (user) yang potensial menjadi obyek dakwah. Untuk Indonesia saja, menurut keterangan Ditjen Postel, ada sekitar 4 juta orang yang sudah mengakses internet. Diproyeksikan, 61 juta penduduk bakal dapat menikmati internet di tahun-tahun mendatang.

Kedua, kebanyakan pengguna adalah orang-orang terdidik dari kalangan kelas menengah, dengan usia rata-rata 25 sampai 40 tahun. Dapat diduga, peserta pesantren maya nantinya adalah mayoritas dari kalangan yang sama. Di tahun-tahun belakangan, dengan semakin meningkatnya ghirah mempelajari Islam di kalangan menengah-atas, kehausan memperoleh pengetahuan Islam secara terstruktur hendaknya dapat diantisipasi.
Dengan sifat pesantren yang unik dan menarik perhatian, gagasan ini diharapkan mampu menarik minat banyak orang. Ingat, dalam dunia internet, sesuatu yang unik dan kreatif amat potensial menjaring peminat. Apalagi, kalangan muslim menengah-atas relatif tidak mengalami kesulitan melakukan komunikasi dengan internet, baik di kantor maupun di rumah.

Metode Pesantren Cyber

Tak mudah menyusun operasional pesantren via internet. Perbedaan yang utama sifatnya yang tak dapat mengandalkan pertemuan tatap muka layaknya pesantren konvensional dan modern yang telah dikembangkan. Ini ditambah kekhawatiran tak semua pesan pelajaran bisa ditangkap dengan jelas hanya dengan medium elektronik.
Ada beberapa patokan yang perlu dibuat untuk melancarkan jalannya gagasan tersebut.

1. Keanggotaan (Membership)

Dengan alamat e-mail bagi anggota, akan mudah bagi mereka menerima materi pelajaran, membuka file mata pelajaran tertentu di situs web, atau mengikuti grup diskusi, dan melakukan tanya jawab dengan pengelola. Dalam hal ini, pengelola harus membuat basis data keanggotan. Diperlukan pemikiran mendalam untuk memberikan sesuatu yang lebih bagi yang mendaftarkan diri menjadi anggota atau menjadi santri. Pengelola perlu memikirkan semacam newsletter berkala dan modul-modul pelajaran yang dikirimkan kepada peserta merupakan sesuatu yang harus dirancang dengan serius.

2. Digital Library

Salah satu bentuk fasilitas yang disediakan di pesantren maya adalah perpustakaan digital (digital library). Perpustakaan ini menampung berbagai persoalan, keilmuan, dan buku-buku keislaman. Digital library harus juga menyediakan hyperlink keberbagai sumber (source) kepustakaan digital di inetrnet. Pengelola bisa pula bekerja sama dengan perguruan tinggi atau lembaga tertentu yang telah memiliki digital library lebih maju. Di Indonesia, perpustakaan digital yang dikembangkan Institut Teknologi Bandung dapat dijadikan alternatif.

3. Chatting

Salah satu cara untuk memberikan pelayanan kepada anggota secara mudah adalah dengan membuat forum chatting yang menampilkan pengasuh pesantren secara bergiliran. Di dalam forum chatting ini, setiap santri (anggota) dapat bertanya dan berdiskusi dengan para asatidz mengenai modul-modul pelajaran ataupun mengenai persoalan lain yang menyangkut topik-topik pelajaran. Dibutuhkan penjadwalan waktu yang teliti agar program ini dapat berjalan dan diikuti santri dan asatidz-nya.

4. Forum Diskusi

Pelayanan cara ini ialah dengan membuka forum diskusi seperti mailing list. Fasilitas ini dipandu para staf pengajar dan pengelola yang akan terlibat masuk grup diskusi tertentu sesuai dengan topik yang akan dirancang pengelola pesantren. Dengan ikut berdiskusi, diharapkan kita akan mendapatkan lebih banyak peluang bagi para santri untuk membahas berdiskusi mengembangkan wawasan keislaman.

5. Pertemuan offline

Tidak bisa tidak, keterbatasan yang dimiliki pesantren cyber adalah bahwa tatap muka dan sosialisasi pergaulan sehari-hari --sebagai unsur terpenting pesantren nyata-- justru tidak diperoleh. Karena itu, tetap dibutuhkan pertemuan-pertemuan offline. Ini dapat dilakukan untuk beberapa hal. Pertama, saat melakukan evaluasi atau ujian terhadap kemampuan santri, bila hal ini diminta baik oleh pengelola atau santri sendiri. Kedua, jika ada permintaan dari para santri untuk bersilaturahim antarsantri dan antara santri dengan pengelola serta pengasuh pesantren (asatidz).

Karena domisili santri yang mungkin saja berjauhan, dibutuhkan jaringan (network) yang baik dan luas dari pengelola sehingga dapat meng-handle santri di daerah tertentu. Katakanlah, misalnya, para santri wilayah Jawa Timur berkumpul di Surabaya, santri di Aceh dan Sumatera Utara berkumpul di Medan, dan sebagainya. Konsekuensi pertemuan offline ini adalah, jika ada salah satu santri yang berdomisili di luar negeri, maka ia tak bisa mengikutinya. Dengan teknologi teleconference via kamera web, misalnya, keterbatasan itu dapat diminimalisasi.

6. Komunikasi Penunjang

Selain internet, teknologi lain dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan kegiatan pesantren cyber ini, seperti penyampaian informasi melalui telepon seluler (SMS, data, gambar), radio, televisi, dan lain-lain.

7. Asas Legal Formal

Pendidikan jarak jauh bukanlah hal yang baru di khasanah pendidikan Indonesia. Namun pendidikan lewat jalur internet, harus diakui belum memiliki landasan yang kokoh, khususnya jika dikaitkan dengan formalitas dan status lulusan (santri). Adapun di luar negeri, kegiatan semacam ini sudah mulai dikenal. Karena itu, faktor ini patut dikaji dengan seksama.

Aspek Teknis Pembangunan Pesantren Cyber

Secara teknis, pembuatan pesantren cyber tidak terlalu sulit bagi para webmaster. Kita cukup menyiapkan teks, citra yang berformat JPG atau GIF, suara jika perlu, lalu membuatnya dengan format digital dan mengkonversikan seluruh data yang ada ke format HTML (Hyper Text Mark-up Language) yang merupakan format standar web.
Untuk bisa online, tersedia dua pilihan yakni dengan menyewa server atau memiliki server sendiri. Kita juga diberikan pilihan koneksi, apakah via ISP (Internet Service Provider) atau dengan cara leased line sendiri.

Ketika sebuah home page dibangun, ada dua prinsip (dasar) rancangan yang harus diingat, yaitu ringkas dan fungsional. Situs web harus mampu menuntun anggota (santri) dan pembaca umum untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas melalui pesan yang terdapat di dalamnya.

Aspek Organisasi Pengelola

Organisasi pengelola pesantren maya terdiri atas Pengelola Teknis Situs Web dan perangkatnya (hardware dan software). Pengelola teknis situs web ini merupakan tenaga-tenaga profesional yang telah berpengalaman dalam membangun dan mengelola sebuah situs web. Selain mereka ada Pengelola/pengasuh pesantren. Pihak ini merupakan tenaga profesional yang bertugas menjalankan operasional pesantren sehari-hari, mulai pengelolaan santri (anggota), penyusunan kurikulum, penyusunan dan perbanyakan modul, penyeleksian anggota, penghubung santri dengan narasumber (asatidz), pelaksana evaluasi akhir, dan perencana harian situs web. Nara sumber (asatidz) pesantren bertugas mengasuh masing-masing mata kuliah di pesantren dan berhak untuk membuat dan menilai hasil evaluasi santri.

Kenapa Tidak?

Memang, terbayang rumit dan sulitnya perwujudan pesantren cyber tersebut. Tapi perkembangan teknologi informasi sudah menjadi kenyataan di dunia kini dan masa datang. Ia tak bisa dihindari, atau malah dibenci. Sebaliknya, teknologi adalah alat, yang jika dipergunakan dengan tepat dapat mengatasi kendala -kendala yang selama ini dialami.

Ketika Rasulullah SAW bersabda "Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim" (Hadits Riwayat Baihaqi, Ibnu Abdil Bar, Thabrani: Jamius Shagir, Syuyuti 5264), maka sesungguhnya itu dapat diinterpretasikan pula sebagai anjuran untuk mengembangkan ilmu berikut metodenya dari cara konvesional ke cara modern. Ini amat sesuai, apalagi jika dikaitkan dengan sabda Rasul SAW lainnya: "Barangsiapa menunjukkan kepada sesuatu kebaikan, maka baginya pahala seperti pahala orang yang mengamalkannya" (Hadis Hasan Sahih Riwayat Tirmidzi)

Kuncinya ada di sumber daya manusia (SDM). Tenaga-tenaga profesional muslim yang handal kita yakini dapat menjalankan terobosan unik dan menarik ini, sekaligus menjaring obyek dakwah secara lebih kreatif. Kenapa tidak?

PESANTREN

Pesantren

Kata pesantren atau santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji. Namun, ada juga yang menyebutkan bahwa kata ini berasal dari bahasa India, yaitu shastri yang berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.

Di pesantren, para santri atau murid tinggal bersama kiai atau guru mereka dalam suatu kompleks tertentu sehingga tercipta ciri khas kehidupan pesantren seperti hubungan yang akrab antara kiai dan santri, santri taat kepada kiai, kehidupan yang mandiri dan sederhana, adanya semangat gotong royong dalam suasana yang penuh persaudaraan, dan hidup disiplin.

Ada yang mengatakan asal mula pesantren di Indonesia merupakan bagian dari tradisi Islam, dan ada yang menyebutkan bahwa pesantren di Indonesia awalnya diadakan oleh orang-orang Hindu. Keberadaan pesantren di Indonesia pertama kali ditemukan pada karya-karya Jawa klasik seperti Serat Cabolek dan Serat Centhini yang berasal dari abad ke-16. dari sumber inilah diketahui bahwa pesantren mengajarkan berbagai kitab islam klasik dalam bidang fikih, teologi, dan tasawuf, serta menjadi pusat penyiaran agama islam. Berdasarkan data Departemen Agama tahun 1984-1985, jumlah pesantren di abad ke-16 sebanyak 613 buah.

Menurut laporan Pemerintah Hindia Belanda diketahui bahwa pada tahun 183 di Indonesia terdapat 1.863 lembaga pendidikan Islam tradisional.Van den Berg mengadakan penelitian di tahun 1885 dan hasilnya terdapat 14.929 lembaga pendidikan Islam dengan 300 di antaranya merupakan pesantren. Pesantren terus berkembang baik dari segi jumlah, materi, maupun sistem. Di tahun 1910 beberapa pesantren seperti Pesantren Denanyar, Jombang, membuka pondok khusus untuk santri wanita.

Di tahun 1920-an pesantren-pesantren di Jawa Timur seperti Pesantren Tebuireng, dan Pesantren Singosari mulai mengajarkan pelajaran umum seperti bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi, dan sejarah. Pada masa penjajahan Belanda, pesantren berkembang dengan pesat. Pesantren ini ada yang memiliki kekhususan sehingga berbeda dengan pesantren lainnya. Ada yang khusus mengajarkan ilmu hadis dan fikih, ilmu bahasa Arab, ilmu tafsir, tasawuf, dan lain-lain.

Kemudian pesantren memasukkan sistem madrasah. Dalam sistem ini jenjang-jenjang pendudukan terbagi menjadi ibtidaiah, tsanawiyah, dan aliah. Sistem madrasah ini mendorong perkembangan pesantren sehingga jumlahnya meningkat pesat.Pada tahun 1958/1959 lahir Madrasah Wajib Belajar yang memiliki hak dan kewajiban seperti sekolah negeri. Selanjutnya, di tahun 1965, berdasarkan rumusan Seminar Pondok Pesantren di Yogyakarta, disepakati perlunya memasukkan pelajaran keterampilan seperti pertanian, pertukangan, dan lain-lain di pondok pesantren.

Pada masa Orde Baru, pemerintah melakukan pembinaan terhadap pesantren melalui Proyek Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Dana pembinaan pesantren diperoleh dari pemerintahan terkait, dari pemerintahan pusat hingga daerah. Tahun 1975, muncul gagasan untuk mengembangkan pondok pesantren dengan model baru. Lahirlah Pondok Karya Pembangunan, Pondok Modern, Islamic Center, dan Pondok Pesantren Pembangunan. Akan tetapi pondok pesantren ini mengalami kesulitan dalam pembinaan karena tidak adanya kiai yang karismatik yang bisa memberi bimbingan dan teladan pada santrinya.

Kemudian banyak pesantren yang mendirikan sekolah umum dengan kurikulum sekolah umum yang ditetapkan oleh pemerintah. Bahkan, pada Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 03 tahun 1975, menetapkan mata pelajaran umum sekurang-kurangnya sebanyak 70 persen dari seluruh kurikulum madrasah. Banyak juga madrasah yang mendirikan perguruan tinggi seperti pesantren AS-Syafi’iyah dan pesantren at-Tahiriyah. n mg04/disarikan dari Ensiklopedi Islam

METODE PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AFEKTIF PADA PENDIDIKAN ISLAM TERPADU

METODE PENGEMBANGAN PENDIDIKAN AFEKTIF PADA PENDIDIKAN ISLAM TERPADU

(Studi Kasus pada Sekolah Islam Terpadu di Daerah Istimewa Yogyakarta)


A.Latar Belakang Masalah

Pola kajian kependidikan Islam di Indonesia sebagaimana yang terdapat dalam literatur-literatur yang ada pada saat ini, pada dasarnya terfokus pada tiga kategori, yaitu: pertama, kajian-kajian sosio-historis pendidikan Islam; kedua, kajian pemikiran dan teori pendidikan Islam; dan ketiga, kajian metodologis pendidikan Islam. Pola-pola yang dikembangkan ini secara umum memiliki kesamaan tujuan yaitu mencari format terbaik bagi teori dan landasan praktik pelaksanaan pendidikan Islam.

Ajaran Islam sebagaimana yang tertuang dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw., sebenarnya kaya akan fundamental doctrines dan fundamental values dalam berbagai aspek kehidupan manusia, yang dapat digali dan ditangkap sesuai dengan disiplin keilmuan atau keahlian seseorang. Para pemerhati dan pengembang pendidikan Islam akan berusaha menangkap dan menggalinya dari tinjauan aspek kependidikan.

Salah satu model penggalian dan pengkajian terhadap fundamental doctrines dan fundamental values dari Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang dilakukan oleh para ulama atau pemerhati dan pengembang pendidikan Islam adalah model “Pereneal-Esensialis Kontekstual”, yakni upaya memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah al-shahihah dengan mengikutsertakan dan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik di bidang pendidikan, serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia pendidikan modern. Jadi, model ini selalu mempertimbangkan normatifitas ajaran Islam dengan mendekatkannya dengan realitas modern. Pengkajian pemikiran terhadap pemikiran ulama klasik dimaksudkan untuk menjadikannya sebagai landasan dalam melakukan verifikasi dan relevansi dengan konteks kekinian dan yang akan datang.

Berbicara tentang Pendidikan Islam, agaknya sangat idealis dan utopis bila hanya berkutat pada persoalan fundasional filosofis, karena kegiatan pendidikan sangat concern terhadap persoalan-persoalan operasional. Di antara kelemahan dari kajian Pendidikan Islam yang selama ini mewacana dalam berbagai literatur kependidikan Islam adalah mereka hanya kaya konsep fundasional atau kajian teoritis, tetapi miskin dimensi operasional atau praktisnya, atau sebaliknya kaya praktik/operasional, tetapi lepas dari konsep fundasional dan dimensi teoritiknya.

Untuk mencegah timbulnya kesenjangan sekaligus mencari titik temu dari persoalan tersebut, muncullah gagasan Pendidikan Islam Terpadu, sebuah model pendidikan yang didesain dengan segala keterpaduan dari berbagai sisi dan aspek pendidikan, yang meliputi visi, misi, kurikulum, pendidik, suasana pembelajaran, dan lain sebagainya.
Sekolah Islam Terpadu sebagai bentuk satuan pendidikan pra-dasar, dasar, dan menegah memiliki peran yang sangat strategis dalam membangun, membentuk, membina, dan mengarahkan anak didik menjadi manusia yang seutuhnya. Manusia yang memiliki karakter dan kepribadian yang positif, manusia yang mampu memahami diri sendiri dan orang lain, manusia yang trampil hidupnya, manusia yang mandiri dan bertanggung jawab, dan manusia yang mau dan mampu berperan serta dan bekerja sama dengan orang lain. Untuk itu Sekolah Islam Terpadu mencoba menerapkan sistem terpadu dengan penerapan program full day school. Yang dimaksud program terpadu adalah program yang memadukan antara program pendidikan umum dan pendidikan agama, antara pengembangan potensi intelektual (fikriyah), emosional (ruhiyah) dan fisik (jasadiyah), dan antara sekolah, orang tua dan masyarakat sebagai pihak yang memiliki tugas dan tanggung jawab terhadap dunia pendidikan.

Pemaduan program pendidikan umum dan agama dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Secara kuantitatif artinya porsi program pendidikan umum dan program pendidikan agama diberikan secara seimbang. Sedang secara kualitatif berarti pendidikan umum diperkaya dengan nilai-nilai agama dan pendidikan agama diperkaya dengan muatan-muatan yang ada dalam pendidikan umum. Nilai-nilai agama memberikan makna dan semangat (ruh) terhadap program pendidikan umum.

Potensi dasar (fithrah) manusia seperti ; potensi intelektual ( fikriyah), emosional (ruhiyah), dan fisik (jasadiyah) merupakan anugerah dari Allah yang perlu ditumbuhkan, dikembangkan, dibina, dan diarahkan dengan baik, benar dan seimbang. Program pendidikan terpadu diharapkan menjadi salah satu sarana untuk menumbuhkan, mengembangkan, membina, dan mengarahkan potensi-potensi dasar yang dimiliki anak didik.

Berangkat dari pemahaman bahwa pendidikan merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua, sekolah, dan masyarakat, sekolah sebagai sebuah institusi adalah pelaksana langsung proses pendidikan, sedang orang tua dan masyarakat sebagai pihak pengguna dan penikmat hasil pendidikan perlu diberdayakan. Pemberdayaan orang tua dan masyarakat dalam proses pendidikan dititik beratkan pada peran serta mereka dalam penyamaan perlakuan terhadap anak didik serta dalam jalannya proses pendidikan.

Mereka bisa menjadi fasilitator, evaluator, donatur bahkan menjadi sumber belajar. Program pendidikan terpadu menjadi salah satu wahana untuk mengoptimalkan tugas dan tanggung jawab orang tua, sekolah dan masyarakat terhadap dunia pendidikan.
Dengan demikian Sekolah Islam Terpadu bertolak dari visi yang dibangun atas dasar keyakinan, bahwa proses pendidikan bertolak dari dan menuju fitrah manusia yang hakiki sebagai hamba Allah. Dalam arti pendidikan merupakan proses pencarian jati diri manusia dan proses memanusiakan manusia. Pendidikan membangun kesadaran kepada manusia tentang; siapa yang menjadikan manusia itu ada, dari mana manusia itu berasal, dan apa tugas manusia di bumi ini? Dalam proses pendidikan manusia diposisikan dan diperlakukan sebagai manusia, yang memiliki potensi, ciri dan karakteristik yang unik. Maka dalam proses memanusiakan manusia itu harus sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, Rabb yang menjadikan manusia itu ada dan sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah Saw.

Dalam mencapai visi tersebut, Pendidikan di Sekolah Islam Terpadu mengemban misi menjadi wahana konservasi nilai-nilai ajaran Islam yang dibawa, diajarkan, dan dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Menjadi wahana dalam membangun, menumbuhkan, mengembangkan, membentuk, membina, dan mengarahkan potensi dasar (fithrah) anak didik. Menjadi mediator dalam menghantarkan anak didik memasuki zaman, sejarah, dan tantangan yang akan dihadapinya. Dengan tujuan menumbuhkan, mengembangkan, membentuk, dan mengarahkan anak didik menjadi hamba Allah yang shaleh secara individual dan sosial, serta memberikan kemampuan dasar kepada anak didik berupa pengetahuan, ketrampilan, dan sikap terpuji sesuai usia perkembangannya sebagai bekal hidup dan kehidupannya.

Dalam perkembangannya, model pendidikan ini selalu diorientasikan pada pembentukan karakter anak yang utuh baik diri aspek kognitif, afektif, maupun psikomotoriknya. Dalam aspek kognitif misalnya, anak didik dituntut untuk memiliki wawasan yang luas baik dalam ilmu-ilmu agama maupun ilmu-ilmu umum. Pada aspek afektif anak dituntut memiliki aqidah yang benar, bersikap positif, misalnya: santun, toleran, jujur, berani, disiplin, rajin, cinta kasih sesama, bertanggung jawab, mandiri. Dalam aspek psikomotorik, misalnya anak akan terbiasa mencintai membaca dan menghafal Al-Qur’an maupun Al-Hadits, mampu melaksanakan praktek ibadah secara benar, bertindak trampil dan kreatif, serta selalu mengusahakan kesehatan dirinya.

Sejalan dengan visi, misi, dan tujuan yang dipaparkan di atas, Sekolah Islam Terpadu dirancang dengan sistem terpadu yang memungkinkan siswa mengembangkan potensi dasarnya secara terpadu, terus menerus dan berkesinambungan. Guru tidak hanya berperan sebagi pengajar (mudarris), tetapi juga sebagai pendidik (murabbi) setia yang memahami perkembangan siswa. Guru dituntut menjadi sumber keteladanan yang nyata bagi siswa.

Lingkungan pendidikan dirancang sebagai masyarakat belajar (learning society) sehingga siswa berinteraksi secara simbiosis mutualistik; saling mengingatkan (taushiah bil haq wa shabr), siap menjadi pelajar dan sekaligus menjadi pengajar. Proses pendidikan senantiasa diwarnai nuansa-nuansa religius sehingga membentuk karakter keberagamaan yang baik. Hal ini tidak terlepas dari optimalisasi fungsi masjid/mushala sekolah sebagai media dan sentra kegiatan siswa. Pengembangan pendidikan emosional anak dilakukan secara konseptual melibatkan pengalaman langsung tentang apa yang sedang diajarkan . Orang tua juga diikutsertakan secara aktif dalam membantu penyelenggaraan pendidikan. Mereka berperan sebagai partner dalam penyelenggaraan pendidikan. Orang tua dapat menciptakan dan menerapkan kebiasaan –misalnya hal-hal yang bersifat spiritual- dalam berbagai rutinitas kehidupan sehari-hari. Orang tua secara spontan bisa mengingatkan untuk berdo’a –sesuai dengan yang telah diajarkan di sekolah- dalam berbagai tindakan anak.

Tentu saja dalam melaksanakan program besar ini peran serta orang tua siswa didik menjadi sangat penting, berangkat dari asumsi bahwa pendidikan merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua, sekolah, dan masyarakat. Orang tua sebagai pihak pengguna dan penikmat hasil pendidikan memiliki tugas yang sama dalam mendidik anak. Sekolah dan orang tua melakukan penyelarasan visi, misi, strategi, tujuan dan sasaran pendidikan. Hubungan antar keduanya bersifat mutualistik untuk mewujudkan kerjasama yang produktif, saling pengertian dan atas dasar pembagian wilayah kerja. Media untuk menjembatani terciptanya hubungan tersebut adalah Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan/BP3.

Melalui BP3, orang tua murid dapat memainkan peran dalam membantu kelancaran proses pendidikan, memberikan masukan, saran, tanggapan, gagasan dan melakukan evaluasi terhadap jalannya proses pendidikan. BP3 merupakan bagian integral dari struktur lembaga pendidikan.

Demikianlah dengan segenap keterpaduannya, Pendidikan Islam di Sekolah Islam Terpadu menawarkan berbagai nilai lebih yang bisa diperoleh diantaranya adalah: siswa mendapatkan pendidikan umum yang penuh dengan nuansa keislaman, siswa mendapatkan pendidikan agama Islam secara aplikatif dan teoritis, siswa mendapatkan pendidikan dan bimbingan ibadah praktis (doa, shalat dan dzikir, cara makan/minum, dan lain-lain), siswa mendapat pelajaran dan bimbingan cara baca dan menghapal Al-Qur’an (tahfizh) secara tartil, siswa dapat menyalurkan potensi dirinya melalui kegiatan ekstra kurikuler, perkembangan bakat, minat, dan kecerdasan siswa diantisipasi sejak dini, pengaruh negatif dari luar sekolah dapat diminimalisir, bagi orang tua yang sibuk Sekolah Islam Terpadu –dengan model full day school- merupakan solusi untuk pembinaan kepribadian putra-putrinya, siswa mendapatkan pendidikan bagaimana cara hidup bersama dengan teman, dan nilai-nilai positif lainnya . Selain itu siswa didik akan belajar tentang kecakapan hidup (life skill) yang memberikannya tumbuh akan kesadaran diri (self awareness), trampil berpikir (thinking skill) dan bersosialisasi diri (social skill).

Melihat kenyataan bahwa pola pendidikan –pada umumnya- saat ini hanya sekedar menampilkan aspek ‘simbolis’ bahwa setiap anak didik yang lulus kemudian mendapatkan ijazah yang bertuliskan deret angka, tetapi kurang membentuk sikap dan pola pikir anak. Anak mengalami split-personality akibat salahnya sistem pendidikan. Sekolah seperti ini tidak lagi tampil sebagai suatu lembaga pendidikan tetapi telah terjebak menjadi “industri pengajaran” yang hanya sekedar memenuhi target kurikulum tanpa memperhatikan ‘evaluasi’ terhadap hasil proses belajar-mngajar pada anak didiknya (karakter seperti apa yang ada pada anak setelah selesai mendapat pengajaran?). Anak hanya sekedar tersekolahkan tetapi tidak terdidik oleh budaya intelektual, sosial, budaya dan agama. Kalau orientasi pendidikan pada diri anak sendiri tidak pernah tercapai, lalu bagaimana dengan orientasi kebangsaan yang lebih besar.

Menurut Ki Hadjar Dewantara tentang tujuan pendidikan adalah bahwa pendidikan sebagai penyokong kodrat alami anak-anak agar mereka dapat mengembangkan kehidupan lahir dan bathinnya menurut kodrat masing-masing. Pengetahuan dan kepandaian bukan tujuan melainkan merupakan alat (perkakas) untuk meraih kematangan jiwa yang akan dapat mewujudkan hidup dan penghidupan yang tertib dan suci, serta bermanfaat bagi orang lain . Intinya, pendidikan harus berorientasi kepada kematangan –integritas dan kapabilitas- pribadi untuk suatu perubahan sosial dalam masyarakat.

Secara normatif-konseptual sistem Pendidikan Islam Terpadu sangat siap memenuhi tuntutan ini, tinggal bagaimana membuat langkah-langkah oprerasionalnya yang sistematis, terpadu dan komprehensif. Jika peluang ini telah terbaca, bukan mustahil pendidikan Islam akan menjadi alternatif pilihan untuk membentuk karakter anak menuju pada bangsa yang berperadaban tanpa harus kehilangan identitas dan mengorbankan prinsip.

B.Landasan Teori

Para ahli dan praktisi dalam bidang pendidikan semakin menyadari betapa pentingnya peranan pendidikan afektif, supaya tujuan pendidikan yang sebenarnya dapat tercapai. Tujuan tersebut ialah bahwa subjek didik mampu dan mau mengamalkan pengetahuan yang diperoleh dari dunia pendidikan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih-lebih setelah muncul suatu temuan bahwa EQ (emotional quotion) menyumbang 80% terhadap keberhasilan seseorang dalam kehidupan, dibandingkan dengan IQ (Intelligence quotion) yang hanya menyumbang 20 % (Golemen, alih bahasa Hermaya, 1997). Keseimbangan antara kegiatan zikir dan fikir (juga fisik) juga merupakan ajaran Islam, yang kebenarannya telah terbukti secara empiris.

Kepedulian terhadap pengembangan afektif banyak difokuskan pada segi evaluasi, termasuk perumusan tujuan instruksional. Sementara dalam pendidikan di Indonesia yang berkembang adalah melihat pada prosesnya. Adapun yang menjadi kajian terpenting dalam pendidikan afektif adalah meliputi ketrampilan intrapersonal dan interpersonal. Ketrampilan intrapersonal berkaitan dengan pengembangan kemampuan mengelola diri sendiri, sedangkan ketrampilan interpersonal berhubungan dengan pengembangan kemampuan mengadakan hubungan antarpribadi. Dalam pengembangan ketrampilan intrapersonal selain membangun kesadaran diri, aspek lain yang perlu diperhatiakan adalah minat. Motivasi, sikap, dan nilai (values). Sementara dalam pengembangan keterampilan interpersonal aspek terpenting adalah bagaimana kita dapat menggunakan informasi tentang orang lain, agar dapat berhubungan secara efektif. Di sinilah ketrampilan untuk berkomunikasi dengan orang lain menjadi aspek kecerdasan (kecakapan) sosial. Kemampuan menyimak, asertif, mengatasi konflik, bekerjasama adalah bagian dari ketrampilan ini.

Selain itu –menurut B.S. Bloom- yang juga termasuk ranah afektif (affective domain) adalah: Penerimaan, mencakup kepekaan akan adanya suatu perangsang dan kesediaan untuk memperhatikan rangsangan itu, seperti buku pelajaran atau penjelasan yang diberikan oleh guru; Partisipasi, mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara aktif dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan; Penilai/penentuan sikap, mencakup kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu; Organisasi, kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan; Pembentukan pola hidup, mencakup kemampuan untuk menghayati nilai-nilai kehidupan sedemikian rupa, sehingga menjadi milik pribadi (internalisasi) dan menjadi pegangan nyata dan jelas dalam mengatur kehidupannya sendiri. Dan sistematika yang dipakainya adalah melalui fase pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, evaluasi, baru kemudian hasil.

Penekanan perkembangan afektif adalah pada bagaimana perasaan anak, bukan pada apa yang dirasakan oleh anak. Dengan kata lain yang menjadi pertanyaan utama adalah bagaimana perasaan atau emosi berubah atau bagaimana afeksi ditransformasikan dalam perkembangan . Dengan demikian pendekatan yang dipakai adalah lebih bersifat pedagogis (melihat dari bagaimana metode pengajarannya), karena mengutamakan aspek transfer of values.

C.Rumusan Masalah

Dari latar belakang dan dasar pemikiran di atas dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.Bagaimana implementasi konsep Pendidikan Islam Terpadu bagi pembentukan sikap dan kepribadian anak?
2.Aspek-aspek afektif apa saja yang dikembangkan dari model pembelajaran di Sekolah Islam Terpadu?

D.Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Setelah dirumuskan masalah di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1.Mencari langkah taktis-operasional dari konsep -kurikulum dan metodologi pembelajaran- Pendidikan Islam Terpadu dalam pembentukan sikap dan kepribadian anak.
2.Mengetahui aspek-aspek afektif apa saja yang dihasilkan dari metode pembelajaran di Sekolah Islam Terpadu.

Adapun kegunaan penelitian (contribution to knowledge) ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.Dapat terbangunnya kembali konsepsi-aplikatif Pendidikan Islam sebagai alternatif utama bagi upaya pembentukan dan pencerdasan pribadi dan bangsa.
2.Anak mendapatkan basic keislaman yang memadai sebagai bekal menghadapi berbagai persoalan yang ada di masa depan.
3.Menghilangkan asumsi dikotomisasi antara ilmu agama (reveal knowledge) dengan pengetahuan umum (science), wewenang tanggungjawab sekolah, orang tua dan masyarakat.
4.Mendapatkan kualifikasi tertentu sebagai hasil capaian suatu proses belajar-mengajar. Misalnya, pencapaian kualifikasi kepribadian anak yang lurus aqidahnya, rajin ibadahnya, mulia akhlaknya, sehat dan kuat badannya, cerdas pemikirannya, santun sikapnya, bertanggungjawab, kreatif, mandiri dalam hidupnya, serta bermanfaat bagi orang lain.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah lapangan, bersifat deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dengan pendekatan paedagogis. Subyek penelitiannya adalah Sekolah Islam Terpadu dilakukan secara stratifaid random sampling, yaitu dengan mengambil sampel secara prosentase dari masing-masing tingkatan sekolah (TKIT-SDIT-SMPIT). Dari masing-masing level pendidikan ini akan diambil satu sekolahan sebagai sampel penelitian. Untuk tingkat TK adalah TKIT Salman Al-Farisy di Warungboto, untuk SD adalah SDIT Luqman Al-Hakim di Timoho, dan untuk SLTP adalah SMPIT Abu Bakar di Umbul Harjo.

2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan jalan observasi langsung ke sekolah, wawancara dengan guru, angket, dan dokumentasi. Analisis data kuantitatif dilakukan dengan statistik sederhana. Sedangkan untuk analisis data kualitatifnya adalah menilai hasil dari pengamatan (observasi) tentang kejadian-kejadian di sekolah yang berkaitan dengan siswa dan hasil wawancara dengan guru tentang sejauh mana proses transfer of value yang dikembangkan.

F. Sistematika Pembahasan

Tulisan ini dibagi dalam empat bab dengan rincian:
Bab pertama berisi pendahuluan yang menggambarkan latar belakang pentingnya Pendidikan Islam (Terpadu) serta penegasan istilah dalam judul.
Bab kedua berisi tentang sejarah dan profil Sekolah Islam Terpadu di Yogyakarta.
Bab ketiga berisi tentang analisa kurikulum dan metodologi pembelajaran di Sekolah Islam Terpadu.

Bab keempat berisi kesimpulan dan saran yang mengingatkan tentang pentingnya peran dan tanggungjawab secara terpadu antara pihak sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat dalam usaha melakukan pendidikan kepada anak.

G. Daftar Pustaka

Abaza, Mona, (1999), Pendidikan Islam dan Pergeseran Orientasi, Pustaka LP3ES Indonesia.
Al-Hasyimi, ‘Abdul Hamid, (2001), Ar-Rasulu Al-‘Arabiyyu Al-Murabbi terj. Mendidik Ala Rasulullah, Jakarta: Pustaka Azzam.
Arikunto, Suharsimi, (1997), Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Brannen, Julia, (1999), Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Golemen, Daniel, (2001), Emotional Intelligence terj. Kecerdasan Emosional, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Majalah Pendidikan Gerbang, Yogyakarta (2001): LP-3 UMY.
Mimie Doe & Marsha Walch, (2002), 10 Principles for Spiritual Parenting Nurturing Your Child’s Soul terj. 10 Prinsip Spiritual Parenting: Bagaimana Menumbuhkan dan Merawat Sukma Anak-anak Anda, Bandung: Kaifa Mizan Media Utama.
Muhaimin, Sutiah, Nur Ali, (2001), Paradigma Pendidikan Islam: Upaya mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R., (1998), Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia.
Ulwan, Abdullah Nashih, (1981), Tarbiyatul Aulad fil-Islam terj. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, Semarang: CV. Asy-Syifa’.
Winkel, W.S. (1999). Psikologi Pengajaran, Jakarta: PT. Gramedia.
Zuchdi, Darmiyati. Kumpulan Makalah.

POLIGAMI: ANTARA AKHLAK DAN FIKIH

POLIGAMI: ANTARA AKHLAK DAN FIKIH

Poligami seringkali dianggap bertentangan dengan feminisme, akan tetapi oleh sebgaian besar masyarakat malah dianggap sebagai salah satu solusi problema sosial yang mendapat legitimasi agama.

Trend mutakhir dari perkembangan sosial masyarakat saat ini adalah menuntut dan mempertanyakan kembali segala bentuk tradisi dan aturan agama yang semakin hari dianggap tidak sesuai dengan masa kekinian. Kecenderungan ini tidaklah perlu ditakuti, bahkan hal ini adalah indikasi positif sosial, bahwa masyarakat benar-benar ingin menjalankan tatanan sosial dan tradisi berdasarkan logika dan nalar yang jernih. Islam sebagai agama yang fleksibel yang tercermin dalam al-Quran dan sunah, menyambut hangat reaksi sosial ini. Diantara kajian yang hangat dan kontroversial saat ini, adalah poligami. Meskipun polemik tentang poligami tidak bisa dikatakan sebagai hal yang baru, akan tetapi karena pembahasan ini sensitif khususnya bagi kaum hawa sehingga topik ini selalu menarik minta halayak.

Poligami yang seringkali dianggap bertentangan dengan feminisme, akan tetapi oleh masyarakat malah dianggap sebagai solusi problema sosial yang mendapat legitimasi agama. Bahkan, figur manusia suci Rasulullah Saww sendiri melakukan norma tersebut. Jelas, konsekwensi dari segala perbuatan Rasulullah saww selalu dianggap sebagai sunah untuk ummatnya. Memang terlalu sederhana memandang poligami dari sisi hukum fiqih. Bahwa hukum fiqih lebih cenderung kering apabila tidak diimbuhkan dengan nilai-nilai akhlak.

Dari satu pihak, saya sependapat dengan Faqihudin Abdul Qodir, bahwa ungkapan "poligami itu sunnah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami, sehingga lebih cenderung kaku dalam melihat hukum tersebut, tanpa melihat latar belakang sunnahnya poligami Rasulullah Saww. Akan tetapi dari sisi lain, pendapat yang mengatakan bahwa poligami sama sekali tidak benar dan bertentangan naluri manusia, khususnya wanita adalah pikiran yang dangkal.

Allamah Thabathabai seorang filosof dan mufasir kontemporer, dalam bukunya Maqalot secara jelas menyinggung bahwa pernyataan poligami bertentangan dengan naluri wanita sebagai manusia adalah tidak benar, karena yang menjadi istri kedua juga wanita yang dengan senang hati melakukannya. Seandainya bertentangan dengan naluri wanita, maka tidak akan ada wanita yang bersedia menjadi istri kedua.

Kecenderungan para sarjana Islam yang hanya memandang dari satu sisi diantara doktrinasi tersebut menyebabkan kesalahpahaman yang terus berlanjut. Seperti kajian poligami yang mempunyai aspek murni kajian akhlak dan sosial, kemudian dipaksakan sebagai wacana yang beraspek fiqih. Ayatullah Muhammad Husein Madzohiri, guru akhlak tersohor, dan juga dikenal sebagai pakar fiqih, menyatakan bahwa kajian poligami yang berkembang saat ini adalah murni kajian akhlak dan sosial, bukan fiqih.

Dalam bukunya "Akhlok dar Khoneh" Ayatullah Husein Madzohiri mengklasifikasi poligami menjadi beberapa tipe. Pertama, poligami darurat, bahwa kondisi menuntut untuk berpoligami. Sebagai contoh, apabila istri sakit, sehingga tidak dapat menjalankan tugas-tugasnya sebagai istri, maka suami terpaksa berpoligami. Dan bentuk poligami inilah yang mendapatkan perhatian khusus hadis-hadis Rasulullah saw. Contoh lain, adalah istri yang mandul dan suami-istri menginginkan kehadiran seorang bayi, maka suami terpaksa berpoligami. Berkenaan dengan bentuk poligami ini, Ayatullah Husein Madhohiri menganjurkan, supaya istrinya yang mencarikan istri keduanya yang sesuai dengan kondisi spritualnya. Kedua, poligami dengan motif birahi, bahwa suami membayangkan istri kedua akan memberikan kenikmatan seks yang berbeda. Yang jelas, seorang yang bertumpu kepada hawa nafsu tidak cukup beristri satu, bahkan apabila memungkinkan akan membangun lokalisasi pribadi.

Menurut sudut pandang akhlak, bentuk poligami yang kedua ini sangat berbahaya sekali. Karena mengikuti hawa nafsu seks akan menjebaknya di lembah marabahaya. Bahwa hawa nafsu seks tidak mempunyai batas akhir, yakni seseorang tidak akan pernah klimaks dan puas, sehingga orang yang terjebak didalamnya akan selalu menkonsentrasikan pikirannya demi tujuan-tujuan tersebut. Naluri seks juga akan mengalami krisis, yang biasa disebut dengan istilah "haus seks".

Ayatullah Husein Madzohiri secara jelas dalam bukunya "akhlok dar khoneh" menyatakan bahwa naluri seks yang merupakan pemberian Tuhan akan mengalami haus seks, disaat istrinya tidak dapat menjaga "iffah" (kehormatan). Wanita yang tidak menjaga kehormatannya adalah wanita yang tidak menjaga tatanan agama, sebagai contohnya, wanita yang tidak menjaga auratnya.

Di dalam sejarah banyak contoh tipe poligami kedua ini, seperti yang telah menjadi kebiasaan para penguasa di masa kedigjayaan rezim Bani Umayah dan rezim Bani Abbas, yang hampir-hampir setiap dari mereka memiliki lokalisasi pribadi untuk melampiaskan hawa nafsunya. Semua ini adalah bukti ketidakpuasan individu, yang berangkat dari tidak terhormatnya istri disampingnya.

Ayatullah Husein Madzohiri juga menambahkan, bahwa kondisi haus seks tidak hanya dialami oleh laki-laki saja, tapi juga wanita. Indikasi ini dapat dilihat ketika wanita tidak menjaga auratnya, seperti memperlihatkan bagian-bagian sensitif kepada yang bukan mahramnya. Beliau juga mengingatkan, bahwa poligami jenis kedua ini sama sekali mengabaikan kesetiaan istri pertama, dan juga langkah yang salah.

Dalam buku tersebut beliau membawakan cerita seorang ulama besar dari Najaf yang mempunyai penghormatan khusus dikalangan komunitas pelajar agama, karena akhlak yang mulia dan ketakwaannya yang tinggi. Beliau adalah almarhum Sayid Ibrahim Ghozweini. Pada suatu hari, putri raja Fatah Ali Shah yang bernama Dziya'u Sulthonah telah bercerai dengan suaminya di umur yang relatif masih muda. Setelah perceraian, putri ini tidak ingin kembali ke Iran, tapi memilih hidup di kota Karbala.

Putri ini setelah beberapa lama hidup tanpa didampingi suami, tiba-tiba mengutus seseorang untuk menemui Sayid Ibrahim Ghozweini, dan mengatakan, "Aku ingin sekali, tangan anda menyentuh kepalaku, oleh karenanya aku berharap anda dapat menikahiku". Beliau menjawab, "Sampaikan salam kepada Dziya'u Sulthonah dan katakanlah, Aku tidak sesuai dengan anda, dan juga tidak kufu (istilah fiqih yang menjelaskan ketidaksesuaian) karena aku tua, sedangkan anda masih muda. Anda juga anak raja, sedangkan aku seorang pelajar agama. Dan anda juga juragan sedangkan aku miskin".
Pada hari berikutnya sampailah pesan putri yang menyatakan, "Aku bangga menjadi istri anda. Aku bangga tangan anda berada diatas kepalaku, yang artinya aku adalah istri anda. Masalah uang, aku tidak akan mengharap apa-apa dari anda, bahkan aku juga bersedia membiayai kebutuhan rumah istri pertama".

Melihat kondisi ini, yang mana sang putri sepertinya tidak akan melepaskannya, tiba-tiba Sayid Ghozweini berwudzu' (seakan beliau mencari ketenangan dengan bersuci melalui wudzu) dan menjawab yang kedua kalinya. "Sampaikan salam kepada Dziya'u Sulthonah dan sampaikan kepadanya, Bahwa aku mempunyai istri yang selama 40 tahun telah menanggung kefakiranku, dan juga menerima hidup dalam perantauan, sekaligus menanggung masa-masa susah dan setelah 40 tahun yang masih berkhidmat di rumah, melakukan tugas rumah tangga, melahirkan anak-anak, dan melayani suami, yang keseluruhannya dilakukan dalam kondisi berat dan pahit. Kemudian setelah itu, aku menikah dengan anda. Ini benar-benar menyakiti kesetiaan istri saya. Oleh karena itu, aku tidak rela menikahi anda".

Cerita ini sangat menarik sekali, sekalipun Sayid Ghozweini mempunyai idealisme yang tinggi, tapi tetap menghiraukan masalah yang seringkali dianggap remeh. Ternyata idealisme beliau tidak menghalangi kesetiaannya terhadap istrinya. Beliau sangat merendah dan tidak segan-segan menyatakan bahwa istrinya telah memberikan kontribusi besar dalam kehidupannya.

Ayatullah Madzohiri setelah membawakan cerita ini, menganjurkan lebih baik biaya untuk berpoligami dihadiahkan kepada generasi muda yang berhalangan menikah karena kendala ekonomi. Beliau dalam buku tersebut juga menukil hadis Imam Musa al Kadzim As bersabda, "Seandainya aku dapat mengelola satu keluarga saja dalam satu minggu itu lebih baik bagiku dari 40 kali berhaji".

Bentuk ketiga, poligami kejiwaan, bahwa manusia memiliki kecenderungan yang terkadang terpenuhi dan tidak terpenuhi. Dalam istilah ilmu psikologi disebut kecenderungan dibawah alam sadar. Pakar psikologi menyebutkan, ketika kondisi alam sadar berubah menjadi alam dibawah sadar, saat itu kondisi kejiwaan muncul. Kondisi kejiwaan sangat berbahaya sekali, karena telah kehilangan kontrol diri. Kondisi semacam ini akan muncul karena tekanan terus menerus.

Sebagai contoh, seorang istri yang kurang bisa menyambut suaminya ketika masuk rumah, yang mustinya harus menyambut dengan hangat, tapi malah menampakkan muka masam. Hari berikutnya, mengangkat suara tinggi dihadapan suaminya, sambil memerintah untuk membawa anak-anaknya yang terus mengganggu. Dan hari ketiga, meminta baju mahal yang suami tidak dapat membelinya. Semakin hari terus-menerus mendapat tekanan, sehingga suami merasa terbebani, akhirnya berfikir untuk berpoligami dengan harapan istri kedua akan memberikan ketentraman. Dan suami juga tetap akan melakukan hal yang sama, ketika mendapatkan kondisi yang sama pada istri kedua, yang akhirnya, suami akan mengambil istri yang ketiga.

Ayatullah Madzohiri dalam menerangkan poligami tipe ketiga ini, beliau menyalahkan pihak istri yang tidak dapat melayani suaminya dengan baik, dan juga tidak menjalankan sesuai dengan tuntunan agama.

Dalam memberikan gambaran dari pernikahan poligami jenis ketiga Beliau menukil sebuah cerita suami istri tauladan yang terjadi di zaman Rasulullah Saww. Seorang wanita Anshor (penduduk Madinah) yang bernama Ummu Salim yang mempunyai suami seorang pekerja. Keduanya adalah murid setia Rasulullah Saww yang masing-masing menjalankan tugas kekeluargaannya sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saww. Mereka hanya mempunyai satu anak yang berumur dua tahun yang sangat disayangi.

Pada suatu saat, anak tersebut mengalami sakit berat dan akhirnya meninggal dunia. Istri tidak dapat menahan isak tangis, kemudian sadar bahwa suaminya akan datang dari kerja. Istri tidak ingin suaminya mengalami kegoncangan setelah bekerja seharian. Istri kemudian menyembunyikan anaknya, dan berusaha keras untuk tabah dan menghilangkan kesan sedih, sehingga ketika suami datang tidak akan curiga dengan apa yang sedang terjadi. Suamipun datang, dan disambut dengan hangat, senyum dan melayani suaminya dengan baik, seperti hari-hari biasa. Suami menanyakan kondisi anak, spontan istri menjawab: "Anak dalam kondisi sehat wal afiat". Istripun tidak berbohong, karena anak tersebut telah pergi ke surga dan telah mendapatkan ketenangan sepenuhnya.

Setelah melayani suaminya dengan baik dan dan juga nampak wajah letihnya telah hilang, kemudian sang istri bertanya kepada suaminya, "Apabila seseorang menitipkan amanat kepada kita, kemudian setelah beberapa lama amanat tersebut diminta kembali, apakah kita berhak gusar dengan mengembalikan amanat tersebut kepada pemilik aslinya?" Suami spontan menjawab, "Tidak selayaknya demikian, karena berkhianat dengan amanat adalah dosa besar, maka kita harus mengembalikan amanat tersebut".

Kemudian istri melanjutkan pembicaraannya, "Kalau memang demikian, beberapa tahun yang lalu, Allah swt telah memberikan amanat kepada kita. Dan amanat tersebut telah kembali kepada pemilik aslinya, bahwa sebenarnya anak kami telah meninggal dunia". Suami mendengar berita ini, malah mengucapkan puji syukur kepada Allah swt. Memang, sewajarnya suami mensyukurinya, karena telah mendapatkan istri yang punya pengertian tinggi dalam kondisi yang gawat.

Setelah menimbang latar belakang poligami yang terbagi menjadi tiga tipe diatas, maka saatnya untuk mempertanyakan latar belakang poligami Rasulullah saww. Kenapa Rasulullah merasa cukup dengan Sayyidah Khodijah binti Khuwailid? Jawabannya sangat jelas, karena Rasulullah saww merasa tidak perlu berpoligami dengan kehadiran Sayyidah Khodijah yang sangat mewakili dalam segala aspek.

Maka tidak heran, apabila Rasulullah saww sering memuji-muji beliau dihadapan istri yang lain. Sehingga terkadang pujian Rasulullah saww kepada beliau menimbulkan kecemburuan bagi istri-istri yang tidak sadar dengan kebesaran Sayyidah Khodijah. Kemudian dari sisi lain, dapat ditambahkan, bahwa kenapa Rasulullah saww sepeninggal Sayyidah Khodijah baru berpoligami? Apakah istri yang ada tidak dapat mendampinginya dengan baik?

Untuk menelaah pertanyaan berikut ini, terlebih dahulu harus melihat latar belakang historis di masa itu. Bahwa sejarah membuktikan kepedulian lebih Rasullullah saww kepada anak-anak yatim dan keluarga syuhada peperangan mendorong Rasulullah saww untuk berpoligami, sehingga dapat memberikan perhatian lebih kepada mereka. Mungkin sebagian orang akan bertanya, "Kenapa solusinya harus menikahi ibu anak-anak yatim tersebut? Bahwa kondisi saat itu menuntut Rasulullah harus menikahinya, karena tanpanya tidak akan terealisasi sikap perhatian beliau saw.

Kondisi pada saat itu, dapat dilihat dengan rumah dan ruangan yang terbatas para keluarga syuhada'. Ini dapat dijadikan alasan poligami Rasulullah Saww, karena berada dalam satu ruangan dengan wanita yang bukan mahramnya adalah perbuatan yang tercela, yang mana tidak sesuai dengan kapasitas sebagai Rasulullah saww. Insyaallah, analisa pendek ini dapat dijadikan sebagai bentuk pertimbangan analisa sejarah, sebelum kita terjebak pada sikap yang lebih berani dalam memandang figur suci Rasulullah saw.

Satu hal lagi yang mendapatkan perhatian lebih akhir-akhir ini dalam kajian poligami, adalah hadis kontroversial Rasulullah syang tidak setuju dengan sikap menantunya yang akan menikahi wanita lain. Pada suatu saat, Nabi saww marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad saww, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib as. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru, "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib".

Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilahkan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku, apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku." (Jâmi' al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026).

Pakar sejarah Hasyim Ma'ruf al-Husaini dalam kitabnya Siratul A'immah Istna Asyar secara jelas dan tegas menolak hadis tersebut, dengan menyatakan bahwa hadis ini diriwayatkan dengan riwayat-riwayat yang mursalah, bahwa kevalidan hadis tersebut diragukan. Terlebih para perawi (yang meriwayatkan hadis) juga menyebutkan bahwa wanita yang akan dikawini oleh Imam Ali As adalah Juwairiyah binti Abi Jahal Ammar bin Hisyam al-Makhzumi.

Keraguan hadis ini dapat dilihat dari riwayat yang mengatakan bahwa kejadian ini terjadi sebelum kelahiran Hasan as, putra pertama Sayyidah Fathimah az-Zahra as, berarti sekitar tahun ketiga sebelum hijrah. Sedangkan tahun itu adalah tahun-tahun dimana Rasulullah saww ditekan oleh kelompok Quraisy. Dan Abu jahal adalah tokoh mereka yang sangat getol menyingkirkan Rasulullah saww, dan juga termasuk orang-orang yang mengumpulkan para kabilah dan membagi kerja setiap dari mereka untuk membunuh Nabi saww di malam hijrahnya, sehingga setiap kabilah yang ada mempunyai saham dalam membunuh Nabi saw.

Para pakar sejarah juga sepakat bahwa Abu Jahal mati di peperangan badar, kemudian keluarganya tetap bertahan dalam kondisi musyrik hingga fathu Makkah (pembebasan kota Makkah ) pada tahun kedelapan setelah hijrah. Dengan kondisi politik pada saat itu, bagaimana mungkin Abu Jahal datang kepada Rasulullah saww meminta izin untuk menikahkan putrinya kepada Imam Ali as. Apalagi diceritakan dalam hadis tersebut, Rasulullah datang ke masjid dan naik mimbar. Sedangkan masjid pertama kali berdiri di Madinah, dan tahun ketiga sebelum hijrah tidak ada masjid untuk kaum muslimin, terlebih pada waktu itu adalah dakwah pertama Rasulullah saw.

Sangat jelas sekali keganjalan hadis ini. Oleh karena itu, hadis ini tidak dapat dijadikan sebagai dalil ketidaklegalan poligami dan sikap Nabi saww yang anti poligami. Poligami tetap sebagai solusi sosial dan mendapat legitimasi dari syariat. Tapi tidak berarti bahwa semua bentuk poligami itu sunnah dan mendapat dukungan penuh dari agama. Tapi dalam kondisi tertentu, poligami juga dapat dikatakan sebagai sunnahnya. Sunnah dan tidaknya poligami, tergantung pada bentuk poligami dan motif berpoligami.[]

PRO-KONTRA E-LEARNING

PRO-KONTRA E-LEARNING

Kegiatan e-Learning lebih bersifat demokratis dibandingkan dengan kegiatan belajar pada pendidikan konvensional. Mengapa? Peserta didik memiliki kebebasan dan tidak merasa khawatir atau ragu-ragu maupun takut, baik untuk mengajukan pertanyaan maupun menyampaikan pendapat/tanggapan karena tidak ada peserta belajar lainnya yang secara fisik langsung mengamati dan kemungkinan akan memberikan komentar, meremehkan atau mencemoohkan pertanyaan maupun pernyataannya (Loftus, 2001).

Profil peserta e-Learning adalah seseorang yang (1) mempunyai motivasi belajar mandiri yang tinggi dan memiliki komitmen untuk belajar secara sungguh-sungguh karena tanggung jawab belajar sepenuhnya berada pada diri peserta belajar itu sendiri (Loftus, 2001), (2) senang belajar dan melakukan kajian-kajian, gemar membaca demi pengembangan diri secara terus-menerus, dan yang menyenangi kebebasan, (3) mengalami kegagalan dalam mata pelajaran tertentu di sekolah konvensional dan membutuhkan penggantinya, atau yang membutuhkan materi pelajaran tertentu yang tidak disajikan oleh sekolah konvensional setempat maupun yang ingin mempercepat kelulusannya sehingga mengambil beberapa mata pelajaran lainnya melalui e-Learning, serta yang terpaksa tidak dapat meninggalkan rumah karena berbagai pertimbangan (Tucker, 2000).

Kegiatan e-Learning lebih bersifat demokratis dibandingkan dengan kegiatan belajar pada pendidikan konvensional. Mengapa? Peserta didik memiliki kebebasan dan tidak merasa khawatir atau ragu-ragu maupun takut, baik untuk mengajukan pertanyaan maupun menyampaikan pendapat/tanggapan karena tidak ada peserta belajar lainnya yang secara fisik langsung mengamati dan kemungkinan akan memberikan komentar, meremehkan atau mencemoohkan pertanyaan maupun pernyataannya (Loftus, 2001).

Profil peserta e-Learning adalah seseorang yang (1) mempunyai motivasi belajar mandiri yang tinggi dan memiliki komitmen untuk belajar secara sungguh-sungguh karena tanggung jawab belajar sepenuhnya berada pada diri peserta belajar itu sendiri (Loftus, 2001), (2) senang belajar dan melakukan kajian-kajian, gemar membaca demi pengembangan diri secara terus-menerus, dan yang menyenangi kebebasan, (3) mengalami kegagalan dalam mata pelajaran tertentu di sekolah konvensional dan membutuhkan penggantinya, atau yang membutuhkan materi pelajaran tertentu yang tidak disajikan oleh sekolah konvensional setempat maupun yang ingin mempercepat kelulusannya sehingga mengambil beberapa mata pelajaran lainnya melalui e-Learning, serta yang terpaksa tidak dapat meninggalkan rumah karena berbagai pertimbangan (Tucker, 2000).

(2) Pro dan kontra terhadap e-Learning

Pengkritik e-Learning mengatakan bahwa “di samping daerah jangkauan kegiatan e-Learning yang terbatas (sesuai dengan ketersediaan infrastruktur), frekuensi kontak secara langsung antarsesama siswa maupun antara siswa dengan nara sumber sangat minim, demikian juga dengan peluang siswa yang terbatas untuk bersosialisasi (Wildavsky, 2001). Terhadap kritik ini, lingkungan pembelajaran elektronik dapat membantu membangun/mengembangkan “rasa bermasyarakat” di kalangan peserta didik sekalipun mereka terpisah jauh satu sama lain.

Guru atau instruktur dapat menugaskan peserta didik untuk bekerja dalam beberapa kelompok untuk mengembangkan dan mempresentasikan tugas yang diberikan. Peserta didik yang menggarap tugas kelompok ini dapat bekerjasama melalui fasilitas homepage atau web. Selain itu, peserta didik sendiri dapat saling berkontribusi secara individual atau melalui diskusi kelompok dengan menggunakan e-mail (Website kudos, 2002).

Concord Consortium (2002) (http://www.govhs.org/) mengemukakan bahwa pengalaman belajar melalui media elektronik semakin diperkaya ketika peserta didik dapat merasakan bahwa mereka masing-masing adalah bagian dari suatu masyarakat peserta didik, yang berada dalam suatu lingkungan bersama. Dengan mengembangkan suatu komunitas dan hidup di dalamnya, peserta didik menjadi tidak lagi merasakan terisolasi di dalam media elektronik. Bahkan, mereka bekerja saling bahu-membahu untuk mendukung satu sama lain demi keberhasilan kelompok.

Lebih jauh dikemukakan bahwa di dalam kegiatan e-Learning, para guru dan peserta belajar mengungkapkan bahwa mereka justru lebih banyak mengenal satu sama lainnya. Para peserta belajar sendiri mengakui bahwa mereka lebih mengenal para gurunya yang membina mereka belajar melalui kegiatan e-Learning. Di samping itu, para guru e-Learning ini juga aktif melakukan pembicaraan (komunikasi) dengan orangtua peserta didik melalui telepon dan email karena para orangtua ini merupakan mitra kerja dalam kegiatan e-Learning. Demikian juga halnya dengan komunikasi antara sesama para peserta e-Learning.

Di pihak manapun kita berada, satu hal yang perlu ditekankan dan dipahami adalah bahwa e-Learning tidak dapat sepenuhnya menggantikan kegiatan pembelajaran konvensional di kelas (Lewis, 2002). Tetapi, e-Learning dapat menjadi partner atau saling melengkapi dengan pembelajaran konvensional di kelas. e-Learning bahkan menjadi komplemen besar terhadap model pembelajaran di kelas atau sebagai alat yang ampuh untuk program pengayaan. Sekalipun diakui bahwa belajar mandiri merupakan “basic thrust” kegiatan pembelajaran elektronik, namun jenis kegiatan pembelajaran ini masih membutuhkan interaksi yang memadai sebagai upaya untuk mempertahankan kualitasnya (Reddy, 2002).

3. Simpulan dan Saran

Pengertian e-Learning atau pembelajaran elektronik sebagai salah satu alternatif kegiatan pembelajaran dilaksanakan melalui pemanfaatan teknologi komputer dan internet. Seseorang yang tidak dapat mengikuti pendidikan konvensional karena berbagai faktor penyebab, misalnya harus bekerja (time constraint), kondisi geografis (geographical constraints), jarak yang jauh (distance constraint), kondisi fisik yang tidak memungkinkan (physical constraints), daya tampung sekolah konvensional yang tidak memungkinkan (limited available seats), phobia terhadap sekolah, putus sekolah, atau karena memang dididik melalui pendidikan keluarga di rumah (home schoolers) dimungkinkan untuk dapat tetap belajar, yaitu melalui e-Learning.

Penyelenggaraan e-Learning sangat ditentukan antara lain oleh: (a) sikap positif peserta didik (motivasi yang tinggi untuk belajar mandiri), (b) sikap positif tenaga kependidikan terhadap teknologi komputer dan internet, (c) ketersediaan fasilitas komputer dan akses ke internet, (d) adanya dukungan layanan belajar, dan (e) biaya akses ke internet yang terjangkau untuk kepentingan pembelajaran/pendidikan.
Perkembangan di berbagai negara memperlihatkan bahwa jumlah pengguna internet terus meningkat; demikian juga halnya dengan jumlah peserta didik yang mengikuti e- Learning dan institusi penyelenggara e-Learning. Fungsi e-Learning dapat sebagai pelengkap atau tambahan, dan pada kondisi tertentu bahkan dapat menjadi alternatif lain dari pembelajaran konvensional. Peserta didik yang mengikuti kegiatan pembelajaran melalui program e-Learning memiliki pengakuan yang sama dengan peserta didik yang mengikuti kegiatan pembelajaran secara konvensional.

Peserta didik maupun dosen/guru/instruktur dapat memperoleh manfaat dari penyelenggaraan e-Learning. Beberapa di antara manfaat e-Learning adalah fleksibilitas kegiatan pembelajaran, baik dalam arti interaksi peserta didik dengan materi/bahan pembelajaran, maupun interaksi peserta didik dengan dosen/guru/ instruktur, serta interaksi antara sesama peserta didik untuk mendiskusikan materi pembelajaran.

Lembaga pendidikan konvensional (universitas, sekolah, lembaga-lembaga pelatihan, atau kursus-kursus yang bersifat kejuruan dan lanjutan) secara ekstensif telah menyelenggarakan perluasan kesempatan belajar bagi ‘target audience’ mereka melalui pemanfaatan teknologi komputer dan internet (Collier, 2002). Seiring dengan hal ini, peserta didik usia sekolah yang mengikuti kegiatan pembelajaran elektronik juga terus meningkat jumlahnya (Gibbon, 2002).

Pustaka Acuan

Alhabshi, Syed Othman. (2002). “e-Learning: A Malaysian Case Study”. A Paper presented at the Africa-Asia Workshop on Promoting Cooperation in Information and Communication Technologies Development, organized by United Nations Development Program (UNDP) and the Government of Malaysia at the National Institute of Public Administration (INTAN) on 26 March 2002, in Kuala Lumpur.
Anggoro, Mohammad Toha. 2001. “Tutorial Elektronik melalui Internet dan Fax Internet” dalam Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh, Volume 2, No. 1, Maret 2001. Tangerang: Universitas Terbuka.
Bates, A. W. (1995). Technology, Open Learning and Distance Education. London: Routledge.
Brown, Mary Daniels. 2000. Education World: Technology in the Classroom: Virtual High Schools, Part 1, The Voices of Experience (sumber dari internet 16 September 2002: http://www.education-world.com/a_tech/tech052.shtml)
Collier, Geoff. 2002. E-Learning in Australia (sumber dari internet: http://www.eduworks.com).
Concord Consortium. 2002. (sumber dari internet: http://www.govhs.org/)
Daniel, Sir John. 2000. Inventing the Online University. An Address on the occasion of the opening of the Open University of Hong Kong Learning Center on 4 December 2000, in Hong Kong.
Dowling, James, et.al. 2002. “The e-Learning Hype Cycle” in e-LearningGuru.com (sumber dari internet: http://www.w-learningguru.com/articles)
Downer, Alexander. 2001. The Virtual Colombo Plan-Bringing the Digital Divide. (sumber dari internet: http://www.ausaid.gov.au/)
Feasey, Dave. 2001. E-Learning. Eyepoppingraphics, Inc. (sumber dari Internet tanggal 20 Agustus 2002: http://eyepopping.manilasites.com/profiles/)
Gibbon, Heather S. 2002. Process for Motivating Online Learners from Recruitment through Degree Completion. Brenau University. (sumber dari Internet 20 September 2002).

SKANDAL GELAR TANPA NALAR

Skandal Gelar Tanpa Nalar

Dunia pendidikan kembali dikejutkan oleh keberadaan lembaga-lembaga pendidikan ilegal. Gelar diobral berdasarkan modal yang disetor. Kasus Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI) hanyalah puncak gunung es dari jual beli gelar yang mewabah di Republik ini. Siapakah di antara para penyandang gelar palsu tersebut?

Sebelum kasus IMGI ini mencuat, Wapres, Jusuf Kalla, menyampaikan keraguannya terhadap gelar sarjana, S2 dan S3 yang disandang para calon kepala daerah. Seperti jamur yang tumbuh di musim hujan, tiba-tiba banyak kepala daerah bergelar ria, mulai dari SE, SH, MM, MBA, bahkan doktor. Keluhan serupa disampaikan oleh anggota DPR RI, Mahfud MD, yang meminta tindakan tegas dari pihak kepolisian atas kemungkinan pemalsuan atau pemberian gelar yang lebih mementingkan uang daripada kualitas.

Padahal, menurut Mahfud, untuk mendapatkan gelar doktor apalagi guru besar sungguh sangat sulit persyaratannya, terutama secara akademik. Keraguan Wapres dan anggota DPR RI tersebut patut muncul di tengah merebaknya ijazah palsu dan potret kelam dunia pendidikan kita setelah kegagalan para siswa dalam menempuh ujian nasional.
Kerisauan tentang dunia pendidikan seakan menjadi pelengkap atas carut marut dunia pendidikan kita yang menawarkan banyak cara tapi tanpa makna. Seorang kolega saya yang cukup punya nama, hampir setiap tahun ditawari gelar kehormatan. Mulai sebagai man of the year, tokoh berprestasi, top excutive, sampai gelar doktor honoris causa dengan hanya bermodal jutaan rupiah.

Bagi orang berduit dan haus penghargaan atau gelar, tentu tidak sulit mengambil jalan pintas untuk mendapatkan gelar tersebut. Namun efek lebih jauh dari formalisasi tersebut adalah hancurnya korelasi antara gelar dengan kualitas yang dimilikinya, sehingga muncul inflasi gelar.

Potret Ketidakberdayaan

Dunia pendidikan saat ini memperlihatkan dua potret paradoksal. Di satu sisi, banyak orang yang dengan mudah mendapatkan gelar pendidikan melalui uang yang dimilikinya. Sementara di sisi lain, banyak masyarakat yang tak mampu melanjutkan sekolah karena kekurangan uang. Kedua-duanya menunjukkan kelemahan atau ketidakberdayaan.
Mereka yang berduit tidak berdaya secara kualitas sehingga harus membeli atau mengambil jalan pintas. Sementara mereka yang tak berdaya secara ekonomi, harus memupus masa depannya. Kenyataan paradoks ini patut diprihatinkan karena kualitas manusia merupakan penggerak utama keberlangsungan eksistensi sebuah negara. Negara hanya bisa digerakkan oleh mereka yang berpendidikan, punya pengetahuan, dan kemampuan untuk menjalankan negara ini.

Sehingga tidak berlebihan apabila Plato menganggap seorang cerdik cendekia (philosopher king) sebagai sosok yang paling berhak untuk memimpin sebuah negara. Pernyataan Plato tersebut bukan mengacu pada formalitas pendidikan melalui gelar atau simbol-simbol akademik lainnya, tetapi lebih pada kualitas dan integritas intelektualnya. Pembelian gelar atau pemberian gelar tanpa seleksi yang ketat secara kualitas dengan sendirinya semakin memperparah nasib dunia pendidikan kita.

Belum lagi carut marut standar KBK yang sering diplesetkan menjadi 'Kurikulum Bagaimana Kita.' Sebuah arah pendidikan yang idealnya menjadi landasan bagi pembentukan kualitas generasi bangsa seakan terpendam di antara narasi besar para elit untuk kepentingan citra diri, bukan citra generasi mandiri.

Problem dana yang menyebabkan lembaga pendidikan seperti dihadapkan pada buah simalakama, merupakan problem lain dari dunia pendidikan kita. Lembaga-lembaga pendidikan harus berebut siswa atau mahasiswa agar bisa tetap eksis dan mendapat aliran dana dari peserta didiknya. Kondisi demikian, satu sisi bisa memacu lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitasnya, tetapi di sisi lain, bisa menyebabkan lembaga pendidikan melacurkan diri dengan menerima peserta didik tanpa penyaringan yang berarti. Proses ini pada akhirnya akan bermuara pada menumpuknya lulusan yang secara kualitas tidak bisa dipertanggung jawabkan.

Kalau kita runut berbagai problem tersebut bisa dipilah dalam dua kerangka besar, yaitu problem kultural (cultural issues) dan problem struktural (structural issues). Secara kultur, masyarakat kita masih berkutat pada formalitas pendidikan. Pendidikan dilihat sebagai tujuan (final) dari proses pengembangan kualitas warga bangsa. Paradigma ini pada akhirnya mendorong munculnya kebijakan (structural issues) yang menekankan citra daripada fakta, merayakan simbol daripada substansi.

Para peserta didik dipacu untuk mendapatkan citra dan simbol tersebut dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan cara membeli gelar atau mendapatkan kelulusan secara tidak wajar. Kedua problem tersebut menuntut adanya rekonstruksi terhadap dunia pendidikan secara komprehensif dan berkesinambungan.

Dunia pendidikan harus memiliki standar baku yang dapat diterapkan tanpa terjebak oleh pergantian menteri atau rezim. Standar tersebut bisa tercapai apabila didasarkan pada wacana-wacana yang berkembang dari para praktisi dan pengamat pendidikan yang ada di berbagai pelosok negeri ini. Sehingga pendidikan betul-betul berpijak pada kebutuhan masyarakat dan melahirkan manusia-manusia berkualitas, bukan kuantitas gelar yang hadir tanpa nalar.

Selasa, 05 Februari 2008

Siapa Bertugas Mendidik?

Tahun ini adalah tahun kedua Rahmi bersekolah di sekolah full day di dekat tempat kerja ibunya. Sejak usia Rahmi menginjak dua tahun, ibunya memang telah mulai merintis karirnya di sebuah perusahaan perbankan. Sementara ayah yang seorang insinyur pun harus bekerja penuh dari pagi hingga sore hari.

Semenjak kecil Rahmi jadi terbiasa ditinggal di rumah bersama baby sitter-nya. Baginya, hal ini tak menjadi masalah karena ia memiliki banyak teman di lingkungan rumahnya. Kelincahannya membuat ia betah bermain berlama-lama dengan teman-temannya, dan baru pulang jika tiba saat makan atau tidur.

Tahun demi tahun berlalu dan Rahmi tetap dengan kebiasaannya bermain berlama-lama di luar rumah. Ayah dan ibunya menganggap ini sebagai kebiasaan yang wajar-wajar saja karena Rahmi pun tak menunjukkan perilaku yang mengkhawatirkan.
Namun ternyata perubahan baru terjadi ketika Rahmi mulai duduk di bangku Sekolah Dasar. Ayah ibunya telah mengorbankn banyak biaya untuk bisa menyekolahkan Rahmi di sekolah elite Islam di kota mereka. Mereka memang menginginkan anak semata wayangnya ini memperoleh pendidikan umum dan keagamaan yang seimbang. Dan karena kedua orang tua ini jarang berada di rumah, pilihan sekolah dari pagi hingga sore dirasa akan sangat membantu dalam menangani pendidikan Rahmi.

Namun ternyata perkembangan Rahmi tidaklah seperti yang diharapkan orang tuanya. Gurunya melaporkan bahwa Rahmi berkawan dengan seorang temannya yang memiliki berbagai kebiasaan buruk. Perubahan terjadi demikian cepatnya hingga beberapa bulan kemudian perkembangan Rahmi menjadi kian memburuk. Motivasi belajarnya hilang. Perilakunya pun cenderung memberontak, mengasingkan diri dari teman-teman yang baik, dan berbuat seenaknya sendiri.

Ayah ibunya sangat kecewa dengan perkembangan ini. Anak mereka itu sudah seperti anti dengan nasehat-nasehat orang tuanya. Seakan tak aad keinginan Rahmi untuk berbicara dari hati ke hati dengan ayah ibunya. Apalagi untuk bicara jujur dan mau mendengar pendapat ayah ibunya itu. Ia baru kan menunjukkan apa perilaku baik jika telah memperoleh apa yang ia inginkan dari ayah ibunya, seperti uang jaajn, mainan dan sebagainya.

Penyesalan yang datang terlambat memang tak berguna. Tetapi, tidak lantas berhenti untuk berupaya. Ayah dan ibu Rahmi pun mulai membenahi pola pendidikan di rumah mereka. Para ahli yang mereka datangi memberi saran untuk mengaktifkan kembali komunikasi yang macet bersama anak. Waktu sempit yang tersedia harus efektif dimanfaatkan untuk itu.

Yang lebih penting, mereka sadar bahwa tugas memberi pendidikan memang menjadi tugas utama keluarga, tak bisa dilimpahkan begitu saja kepada pihak sekolah. Dan pendidikan dasar, ketika anak berusia di bawah lima tahun, sangat penting artinya karena itu akan menetap hingga dewasa. Mereka banyak meimba ilmu tentang cara mengefektifkan sedikit waktu dalam sehari yang mereka miliki. Salah satu saran yang mereka peroleh adalkah dengan menciptakan rumah sebagai basis pendidikan. Mengenai hal yang satu ini, akan dibahas secara detil berikut

Rumah Sebagai Basis Pendidikan

Jelas sudah, bahwa orang tua tak bisa menghindarkan diri sebagai pemikul utama penanggung jawab pendidikan nak. Hal ini adalah tugas keluarga. Lembaga pra sekolah dan sekolah hanya berperan sebagai partner pembantu.
Tugas penting orang tua ini akan sangat terukung jika mampu menciptakan suasana rumah menjadi tempat tinggal sekaligus basis pendidikan. Tugasberat, memang. Tetapi ada banyak cara untuk melakukannya.

Rumah sebagai basis pendidikan akan dapat dicapai dengan memperhatikan hal-hal berikut ini ;

1. Melengkapi fasilitas pendidikan

Selain perabot rumah tangga, apa lagi fasilitas rumah tangga yang harus diprioritaskan kalau bukan fasilitas penunjang pendidikan ? Bukankah tugas mendidik anak adalah tugas utama keluarga ? Yang untuk mencapai keberhasilan, mutlak dibutuhkan dukungan dari lingkungan. Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain;

- Tempat Belajar yang menyenangkan.

Sama sekali tidak harus mahal. Seperangkat meja kursi sederhana dilengkapi dengan rak buku sudah bisa diciptakan sebagai meja belajar. Untuk menciptakan suasana menyenangkan, penataannya yang harus disesuaikan dengan kebutuhan anak.
Misalkan, anak-anak suka beragam warna dan gambar yang menarik dan lucu. Beri kesempatan mereka memilih atau membuat sendiri hiasan di sekitar tempat belajarnya. Ajaklah anak untuk kreatif merancang hiasan ini dari bahan-bahan yang tersedia, sehingga tak harus membeli hiasan yang mahal-mahal. Lebih baik lagi jika disediakan tempat khusus untuk memajang hasil karya mereka.

Kalau bisa, harus ada tempat belajar khusus untuk masing-masing anak. Dan beri kebebasan serta tanggung jawab kepada mereka untuk mengurusi meja belajarnya masing-masing. Yang perlu diingat, peran orang tua diperlukan agar tempat belajar ini tetap menyenangkan bagi anak. Bantulah mereka mengurusnya sesekali untuk memberikan pengarahan yang benar.

Semakin baik dan menarik keberadaan fasilitas pendidikan yang satu ini, anak akan merasakan bahwa kegiatan belajar adalah satu hal yang istimewa dalam keluarga. Selanjutnya, ini akan semakin memacu motivasi belajarnya.

- Media Informasi

Ilmu pengetahuan tak bisa dilepaskan kaitannya dengan media informasi. Karena dari sinilah sebagian besar ilmu pengetahuan akan diperoleh. Maka untuk mengakrabkan anak kepada bidang pendidikan, tak bisa tidak harus pula terlebih dahulu mengakrabkan mereka kepada media-media informasi ini.

Media-media ini bisa berupa televisi, radio, computer, buku dan majalah. Seperti layaknya setiap media, informasi yang disediakan tidak semuanya dibutuhkan oleh anak. Bahkan ada yang cenderung merusak anak. Itu sebabnya, tindakan seleksi perlu dilakukan orang tua.

Televisi, misalnya, apabila orang tua ingin memanfaatkannya sebagai media informasi pendidikan bagi anak, maka harus konsekwen dengan hanya memutar acara-acara yang menunjang pendidikan saja. Acara hiburan boleh diberikan hanya sebatas sebagai refreshing, tidak berlebih-lebihan. Tindakan ini perlu dilakukan, karena jika sejak awal anak sudah terbiasa memanfaatkan media-media ini hanya untuk kebutuhan bermain dan bersenang-senang semata, maka untuk selanujutnya fasilitas ini menjadi tak berfungsi sebagai media pendidikan lagi.

- Perpustakaan

Minimal ada buku-buku yang dikoleksi. Karena untuk menumbuhkan motivasi kependidikan anak, buku adalah sarana yang paling tepat. Kecintaan nak terhadap buku mutlak harus ditumbuhkan sedini mungkin. Dan rumah adalah tempat yang paling cocok untuk keperluan itu.

Alhamdulillah jika di dalam rumah bisa disediakan sedikit tempat untuk perpustakaan ini. Kesannya ke dalam hati anak akan jauh lebih mendalam dari pada sekedar meminjam-minjam buku dari teman. Memiliki koleksi buku sendiri, bagi anak akan sangat membanggakan. Jika orang tua mampu menyisihkan anggaran rutin bulanan untuk kebutuhan buku anak-anak ini, tentu koleksi anak akan terus bertambah, sehingga untuk mewujudkan perpustakaan mini tak akan kesulitan.

Penataan dan perawatan yang baik terhadap buku-buku ini akan menunjang keberadaan fasilitas ini. Buku sederhana ataupun bekas pun akan menarik jika disampul yang rapi dan bersih. Dan semakin istimewa orang tua memberikan perhatian terhadap koleksi buku anak-anak ini, semakin anak-anak akan menghargai pula keberadaan perpustakaan mini mereka. Bagi keluarga yang mampu, menyediakan buku-buku referensi dan enxiclopedia anak akan semakin menyemarakkan perpustakaan. Asal saja, keberadaan buku yang mahal-mahal ini tidak sekedar sebagai pajangan belaka.

2. Budaya Ilmiah

Setelah fasilitas tersedia, yang diperlukan berikutnya adalah pembentukan budaya ilmiah dalam rumah. Maksudnya, pembentukan perilaku dan pembiasaan dari anggota-anggota keluarga yang menunjang visi pendidikan. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut.

- Budaya Islami

Satu-satunya cara terbaik untuk memberikan pendidikan keimanan, nilai-nilai moral, adalah dengan teladan langsung. Ajaran tentang dzikir kalimat thayyibah, shalat , kejujuran hingga mencintai Al Qur'an sangat mudah diajarkan jika orang tua langsung mempraktekkannya. Maka tanpa harus banyak memberi nasehat dan mengingatkan, aank akan secara langsng mencontoh.

Menanamkan kebiasaan shalat dan mengaji Al Qur'an, kebiasan membaca doa sehari-hari maupun hafalan surat-surat pendek, tak lagi memerlukan satu waktu yang dialokasikan khusus untuk itu. Tetapi sudah langsung diterapkan di sela-sela kegiatan hidup sehari-hari. Maka, bagi orang tua yang sesibuk apapun, tetap memiliki kesempatan untuk memberikan pendidikan keimanan kepada anak-anaknya. Jadi, tak ada alasan untuk melimpahkan urusan pendidikan keimanan ini ke tangan pihak sekolah semata.

- Budaya Belajar

Yang harus belajar bukan hanya anak-anak. Justru orang tua dan anggota keluarga lain perlu memberikan teladan. Setiap harinya, orang-orang inipun harus belajar sebagaimana mereka mengharapkan nak-anak mereka mau belajr tiap hari pula.

Orang dewasa harus enunjukkan kepada anak-anak, bahwa mereka pun gemar belajar. Materi apa yang dipelejari, tergantung kebutuhan masing-masing. Ayah mempelajari buku-buku ekonomi, ibu mempelajari buku fiqih Islam, misalnya. Harus diluangkan waktu walaupun hanya seperermpat jam bagi orang tua untuk mencontohkan budaya belajar ini.

Gairah orang tua untuk terus belajar inilah yang akan dicontoh anak. Sehingga, tanpa disuruh pun, anak akan senang mencontoh mereka belajar. Sebaliknya, jika orang tua tak pernah menunjukkan aktifitas belajar, tetapi senantiasa menasehati anak untuk rajin belajar, itu hanyalah omong kosong, tak akan mendapat perhatian dari anak-anak.

- Jam Baca

Membudayakan jam baca pun sangat baik untuk dilakukan. Bisa diseraamkan waktunya untuk seluruh anggota keluarga. Misalkan ba'da Isya, ditetapkan jam baca selama 15 hingga 30 menit, dimana setiap anggota keluarga akan mengambil buku masing-masing untuk membaca bersama-sama. Alternatif lain, jam baca ini bisa difleksibelkan waktunya, tidak harus bersama-sama, hanya ditentukan durasi waktunya setiap harinya.
Konsekwensinya, harus ada fasilitas buku-buku yang memadai untuk dibaca. Jangan sampai anak menjadi bosan dan terpaksa membaca apa yang tak ia butuhkan dan tak ia sukai. Untuk keperluan ini baik sekali jika mengajak anak rutin berkunjung ke perpustakaan untuk meminjam buku, sehingga koleksi bahan bacan pun menjadi beragam dan menarik.

Tujuan penetapan jam baca ini bukan untuk memaksa anak belajar, tetapi untuk menumbuhkan minat baca mereka. Itu sebabnya harus dihindari pemaksaan. Beri kesempatan mereka untuk memilih buku apa yang akan mereka baca. Jangan paksa untuk harus membaca buku pelajaran sekolah. Dan bagi anak yang belum lancar membaca, kegiatan ini bisa dipandu oleh orang tua. Bentuknya tidak harus pelajaran membaca, tetapi sekedar 'membaca gambar' dari buku-buku yang ada.

- Gairah Cerita

Sudahkah orang tua membacakan cerita kepada anak-anaknya setiap hari ? Kegiatan ini memiliki manfaat yang besar sekali. Sebagai wahana meluaskan cakrawala berpikir anak, sebagai media bagi orang tua untuk mengajarkan nilai-nilai moral, meningkatkan kecintaan anak terhadap buku, dan memelihara rasia keingintahuan mereka.

Kalau pada kegiatan jam baca anak diberi kebebasan memilih sendiri buku-buku bacanya, maka saat bercerita ini orang tualah yang berkesempatan memasukkan nilai apa yang ia inginkan. Untuk sarana pendidikan keimanan, budaya bercerita ini akan sangat tepat sekali. Jika anak menjadi gelisah ketika suatu malam orang tua tak sempat bercerita, itu menandakan keberhasilan menumbuhkan gairah mereka mendengarkan cerita.

- Gairah Rasa Ingin Tahu

Bukankah pendidikan identik dengan pemenuhan kebutuhan rasa ingin tahu anak ? Jika anak sudah tak memiliki gairah rasa ingin tahu lagi, mereka akan cenderung menolak menerima pendidikan itu. Maka, menumbuhkan budaya ingin tahu di dalam rumah adalah penting sekali.

Rasa ingin tahu ank akan terpancing jika mereka menerima informasi yang menarik. Orang tua bisa mengupayakan hal ini menggunakan sarana media informasi. Bisa diperkuat lagi lewat pancingan-pancingan yang diberikan orang tua.

Sebenarnya, setiap bayi terlahir dengan berbekal rasa ingin tahu yang amat besar. Selanjutnya mereka berkembang menjadi anak-anak yang selalu serba ingin tahu. Pertanyaan-pertanyaan tentang segala sesuatu yang mereka temui seakan tak pernah berhenti mengalir. Fitrah ini penting untuk dipelihara dan diarahkan. Dengan kesabarn orang tua untuk terus menjawab pertanyan anak, memancingnya dengan pertanyaan baru, inilah yang akan mempertinggi gairah rasa ingin tahu anak.

Khatimah

Maka, di dalam rumah yang telah berhasil menjadi basis pendidikan, akan tercipta suasana kependidikan yang khas di dalamnya. Dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan akan diistimewakan dan dihargai tinggi. Walaupun ini memerlukan dana besar, sungguh ini merupakan investasi yang sangat berharga untuk masa depan anak-anak.

Orang tua yang tahu akan kewajibannya, tak akan lalai dalam melakukan hal ini. dan sangat perlu disadari bahwa fungsi rumah sebagai basis pendidikan ini tak akan pernah bisa tergantikan oleh sekolah. Salah besar jika orang tua merasa urusan pendidikan telah selesai di sekolah, karena anak belajar dari pagi sampai sore, misalnya, kemudian di rumah tinggal berkomunikasi dan bersantai bersama keluarga tanpa diberi bobot nilai kependidikan.

Tugas pendidikan anak yang utama tetap dipegang oleh keluarga. Berat, memang, terutama bagi mereka yang termasuk keluarga sibuk. Tetapi Insya Allah, dengan upaya maksimal menciptakan kondisi rumah sebagai basis pendidikan ini akan banyak menolong.

TANGGUNG JAWAB ORANGTUA DALAM PENDIDIKAN ANAK

Tanggung Jawab Orang Tua dalam Pendidikan Anak


“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS.At-Tahrim:6)

Dengan ayat ini Allah Subhaanahu wa Ta’ala mengingatkan orang-orang yang beriman, bahwa semata mata beriman saja belumlah cukup. Iman harus dipelihara, dirawat dan dipupuk dengan cara menjaga keselamatan diri dan seisi rumah tanga dari api neraka.

Ketika menafsirkan ayat ini Al-‘Allamah Ibnu Katsir menukilkan penjelasan para ahli tafsir baik dari generasi sahabat maupun tabi’in, sebagai berikut: Ali Radhiallahu ‘anhu ketika menjelaskan kalimat “peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” berkata, “Didiklah mereka dan ajarlah mereka”. Ibnu Abbas berkata, “Taatlah kepada Allah, jauhilah perbuatan maksiat dan perintahkan keluargamu untuk selalu dzikir (ingat kepada Allah), maka Allah akan menyelamatkanmu dari api neraka.” Qotadah berkata, “Hendaknya engkau perintahkan keluargamu untuk mentaati Allah, engkau larang mereka berbuat maksiat, engkau layani mereka dengan ketentuan-ketentuan Allah dan engkau perintahkan serta engkau bantu mereka untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Allah. Apabila engkau melihat mereka berbuat maksiat maka celalah dan hardiklah mereka.” Adl-Dlahak dan Muqatil berkata, “Setiap orang Islam berkewajiban untuk mengajar keluarganya baik kerabatnya maupun pembantunya tentang apa-apa yang diwajibkan oleh Allah dari apa-apa yang dilarang-Nya.” Selanjutnya Ibnu Katsir mengatakan bahwa makna ayat ini dijelaskan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Perintahkanlah anak untuk shalat ketika telah mencapai umur tujuh tahun dan apabila mencapai umur

Menurut Sayyid Sabiq, memelihara diri dan keluarga termasuk anak dari neraka adalah dengan pendidikan dan pengajaran, kemudian memperhatikan perkembangan mereka agar berakhlak mulia dan menunjukkan kepada mereka hal-hal yang bermanfaat dan membahagiakan. Dengan demikian jelaslah betapa pentingnya pendidikan menurut Islam. Oleh karena itu siapa saja yang mendidik anak sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, ia akan mendapatkan pahala sedang siapa saja yang tidak memberikan pendidikan anak sebagaimana mestinya, ia akan mendapat siksa. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidaklah seseorang diantara kamu yang memiliki tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan kemudian mendidik mereka dengan sebaik-baiknya kecuali ia akan masuk surga.” (HR.At-Tirmidzy dari Abu Said Al-Hudri)

Imam Al-Ghazali berkata, “Anak itu amanah Allah bagi kedua orangtuanya, hatinya bersih bagaikan mutiara yang indah bersahaja, bersih dari setiap lukisan dan gambar. Ia menerima setiap yang dilukiskan, cenderung ke arah apa saja yang diarahkan kepadanya. Jika ia dibiasakan belajar dengan baik ia akan tumbuh menjadi baik, beruntung di dunia dan diakhirat. Kedua orangtuanya semua gurunya, pengajar dan pendidiknya sama-sama mendapat pahala. Dan jika ia dibiasakan melakukan keburukan dan diabaikan sebagaimana mengabaikan hewan, ia akan celaka dan rusak, dan dosanya menimpa pengasuh dan orang tuanya.” Pendidikan yang baik merupakan pemberian terbaik orangtua kepada anak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidak ada pemberian orangtua kepada anak yang lebih utama daripada pendidikan yang baik.” (HR.At-Tirmidzi)

Di samping itu pendidikan yang baik juga merupakan wujud kasih sayang orang tua kepada anak, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits dari Abu Sulaiman, Malik bin Al Haris berkata, “Kami pernah mendatangi nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bermukim selama dua puluh malam. Beliau mengerti bahwa kami sangat menyayangi keluarga kami sehingga beliau menanyakan apa yang kami tinggalkan untuk keluarga kami. Kemudian kami menceritakan bahwa kami tidak meninggalkan apa-apa, lalu dengan lemah-lembut dan penuh kasih sayang beliau berkata, “Kembalilah kalian kepada keluarga kalian, ajarlah mereka dan perintahkanlah mereka shalat…” (HR. Al-Bukhari)

Adapun pendidikan yang harus diberikan oleh orangtua sebagai wujud tanggung jawab terhadap keluarga adalah:

1.Pendidikan Agama

Pendidikan agama dan spiritual adalah pondasi utama bagi pendidikan keluarga. Pendidikan agama ini meliputi pendidikan aqidah, mengenalkan hukum halal-haram memerintahkan anak beribadah (shalat) sejak umur tujuh tahun, mendidik anak untuk mencintai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, orang-orang yang shalih dan mengajar anak membaca Al-Qur’an. Al-Ghazali berkata, “Hendaklah anak kecil diajari Al-Qur’an hadits dan sejarah orang-orang shalih kemudian hukum Islam.”

2.Pendidikan Akhlaq

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Diantara kewajiban bapak kepada anaknya ialah memperbagus budi pekertinya dan membaguskan namanya.” (HR.Baihaqi). Para ahli pendidikan Islam menyatakan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam, sebab tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah mendidik jiwa dan akhlak.

3.Pendidikan Jasmani

Islam memberi petunjuk kepada kita tentang pendidikan jasmani agar anak tumbuh dan berkembang secara sehat dan bersemangat. Allah Ta’ala berfirman: “Makanlah dan minumlah kamu tetapi jangan berlebih-lebihan, sesungguhnya Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan.” (QS.Al-A’raf:31). Ayat ini sesuai dengan hasil penelitian para ahli kesehatan bahwa agar tubuh sehat dan kuat, dianjurkan untuk tidak makan dan minum secara berlebih-lebihan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Ajarilah anak-anakmu berenang dan memanah. Sebaik-baik pengisi waktu bagi wanita beriman adalah memintal. Apabila kedua orang tuamu memanggilmu maka penuhilah panggilan ibumu.” (HR Ad-Dailami)

Diriwayatkan bahwa setelah seluruh negeri Irak dibebaskan oleh shahabat Saad bin Abi Waqqash, beliau membuat rencana (maket) pembangunan kota Kuffah. Setelah maket itu diajukan kepada Khalifah Umar bin Al-Khattab beliau sangat menyetujui. Hanya beliau tambah bahwa disamping mendirikan masjid Jami’, hendaklah disediakan tanah lapangan tempat para pemuda berolah raga, latihan perang seperti melempar tombak, memanah, bermain pedang dan menunggang kuda. Di antara ucapan beliau yang terkenal ialah “Ajarkanlah kepada anak-anak kamu berenang dan memanah, hendaklah mereka dapat melompat ke punggung kuda sekali lompat”.

4.Pendidikan Akal

Yang dimaksud dengan pendidikan akal adalah meningkatkan kemampuan intelektual anak, ilmu alam, teknologi dan sains modern sehingga anak mampu menyesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah. Hal inilah yang diisyaratkan oleh Allah dengan proses penciptaan nabi Adam AS dimana sebelum ia diturunkan ke bumi, Allah mengajarkan nama-nama (asma) yang tidak diajarkan kepada para malaikat. (QS. Al-Baqarah : 31)

5.Pendidikan Sosial

Yang dimaksud dengan pendidikan sosial adalah pendidikan anak sejak dini agar bergaul di tengah-tengah masyarakat dengan menerapkan prinsip-prinsip syari’at Islam. Di antara prinsip syari’at Islam yang sangat erat berkaiatan dengan pendidikan sosial ini adalah prinsip ukhuwwah Islamiyah. Rasa ukhuwwah yang benar akan melahirkan perasaan luhur dan sikap positif untuk saling menolong dan tidak mementingkan diri sendiri. Islam telah menjadikan ukhuwwah Islamiyah sebagai kewajiban yang sangat fundamental dan mengibaratkan kasih sayang sesama muslim dengan sebatang tubuh, apabila salah satu anggota badannya sakit, maka yang lain ikut merasakannya. Untuk mewujudkan ukhuwah Islamiyah ini Islam telah menggariskan syari’at Al-Jama’ah (QS.Ali Imran : 103). Oleh karena itu setiap orang tua harus mengajarkan kehidupan berjama’ah kepada anak-anaknya sejak dini.

Seluruh aspek pendidikan ini akan berjalan maksimal apabila orangtua dapat dijadikan teladan bagi anak-anaknya di samping harus berusaha secara maksimal agar setiap dia melakukan pekerjaan yang baik bagi keluarganya dapat melakukan seperti yang dia lakukan. Hal inilah yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah keluarganya.
Diriwayatkan oleh Muslim bahwa apabila Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengajarkan shalat witir (tahajud yang diakhiri dengan witir) beliau membangunkan isterinya (Aisyah). “Bangunlah dan berwitirlah hai Aisyah”. Dalam riwayat lain beliau bersabda: “Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun pada sebagian malam lalu dibangunkannya keluarganya. Kala dia tidak mau bangun dipercikkannya air di mukanya. Dan Allah merahmati seorang perempuan yang bangun pada sebagian malam lalu dibangunkannya suaminya. Kalau dia tidak mau bangun dipercikkanya di mukanya.” (HR.An-Nasai)

Dengan keteladanan inilah orang tua akan mempunyai pengaruh wibawa dan disegani di tengah-tengah keluarganya sehingga terwujudlah keluarga sakinah yang dihiasi dengan dzurriyah thoyibah (keturunan yang baik dan berkualitas) yang menjadi dambaan semua manisia.

Wallahu a’lam bis shawwab.