Senin, 29 Desember 2008

MEMAKNAI KEMBALI HIJRAH NABI MUHAMMAD S.A.W.

MEMAKNAI KEMBALI
HIJRAH NABI MUHAMMAD S.A.W.

Peristiwa hirjrah Nabi Muhammad s.a.w. memang sudah berlalu. Tetapi, pelajaran yang bisa kita peroleh dari peristiwa tersebut untuk masa sekarang dan yang akan datang sangat banyak. Di antaranya adalah semangat untuk berpindah, keinginan kuat dan keberanian untuk "berubah" dari ketidakberdayaan menuju keberdayaan dengan semangat pemberdayaan, untuk diri sendiri dan seluruh umat manusia, terutama untuk umat Islam yang kini masih terlena dalam problem kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan dan dekadensi moral (baca: keterpurukan akhlaq).


Belajar Dari Ayat-ayat Allah

Allah berfirman:

“Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi Ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), Maka sungguh Telah tetap pahalanya di sisi Allah. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS an-Nisâ' 4: 100)

“Dan orang-orang yang berhijrah Karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. dan Sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS an-Nahl, 16: 41)
Kedua ayat di atas mengisyaratkan bahwa Allah SWT berjanji terhadap semua orang yag mau berhijrah di jalan Allah, bahwa mereka pasti akan mendapatkan keberuntungan. Apa wujud keberuntungan itua? Wujudnya – menurut janji Allah – adalah: "Sesuatu yang lebih baik dari apa pernah diperoleh", di dunia dan akhirat.
Fenomena Hijrah Nabi s.a.w.
Suatu malam sekitar tahun 622 Masehi. Sekelompok pemuda mengepung sebuah rumah. Golok terhunus berada di genggaman masing-masing. Tekad mereka bulat. Mereka akan menghabisi lelaki berusia lebih setengah abad itu. Tidak ada negosiasi. Tidak ada kompromi. Menurut mereka – para pengepung itu -- "dosa" lelaki itu sudah sangat jelas, yakni "membongkar kemapanan kehidupan setempat".
Lelaki itu menggelindingkan perubahan. Ia mengingatkan masyarakatnya untuk tidak mengagungkan semua yang tidak layak diagungkan. Ia mengajak untuk hanya mengagungkan satu-satunya yang layak diagungkan. Lelaki itu menggulirkan transformasi sosial yang mengguncang kemapanan masyarakatnya. Karena itu, ia dipandang pantas untuk mati.
Mereka boleh berencana. Yang di Atas, Yang Maha Perencana, punya rencana lain. Sang lelaki itu berhasil menyelinap dari rumahnya. Dua hari ia berlindung di celah batu sebuah bukit, sebelum kemudian tersaruk mengendarai unta melintasi gurun menuju kehidupan baru. Dalam perjalanan itu, kematian terus membayang-bayanginya. Masyarakatnya, juga alam gurun, selalu siap mengeksekusinya. Tapi, ia sangat yakin bahwa langkahnya "benar". Lelaki itu terus melangkah. Ia telah membayar mahal sikapnya dengan mengorbankan kemapanannya. Ia tidak mau berhenti hingga menginjak tanah baru tempat keyakinannya dapat disemaikan.
Di rumah anak yatim, di tanah baru, unta pembawa lelaki itu berhenti. Di rumah itulah ia kemudian tinggal. Di situlah ia tunjukkan perangainya yang luar biasa. Ia menyantuni para (anak) yatim dan kaum fakir-miskin. Ia ajak para sahabatnya untuk menengok para janda tanpa keluarga. Ia selalu berbicara santun pada sang isteri. Ia maafkan para musuh yang telah menginginkan kematiannya. Ia ingatkan bahwa semua manusia adalah sama. Tidak ada yang berbeda. Satu-satunya perbedaan hanyalah di hadapan Sang Pencipta, yakni perbedaan dalam takwa. Ia ajak manusia menjadi manusia sempurna: manusia yang tak terjajah oleh apa pun lantaran hanya mengagungkan Allah. Dengan itulah lelaki tersebut membawa dunia pada peradaban baru.
Siapa pun yang sungguh mencermati perjalanan lelaki itu akan mengakui betapa dahsyat langkah yang telah ditempuhnya. Yang dilakukannya selalu langkah sederhana. Namun, langkah-langkah sederhana itulah yang mengubah peradaban dunia. Langkah-langkah sederhana itulah yang membalik "hari gelap" menjadi "hari terang-benderang". Momentum pembalikan itu adalah hari-hari saat ia lolos dari kepungan para penjagal untuk menaklukkan keganasan gurun. Momentum itulah 'Hijrah' yang oleh Umar -- sahabat lelaki itu -- dipilih sebagai titik nol penanggalan umat.
Sejak itu, dari tahun ke tahun, kita selalu dilewatkan pada momentum penting Hijriyah. Dari tahun ke tahun kita bertemu dengan Tahun Baru Hijriyah. Persoalannya: apakah kita memanfaatkan momentum itu buat menghijrahkan diri dari gelap kemapanan menuju kehidupan yang lebih terang-benderang? Ataukah kita hanya akan melewatinya sebagaimana melewati hari-hari lainnya.
Gelap tak pernah lelah membayangi kita. Gelap selalu menawarkan 'kenyamanan' untuk mapan di dalamnya. Itulah comfort-zone yang akan terus menjebak kita. Gelap membuat kita lebih suka menyalahkan lingkungan dan menolak berhijrah buat menyikapi keadaan kita sendiri. Kita acapkali merasa diri paling sengsara, sedangkan tubuh kita belum pernah berbekas daun kurma yang menjadi alas tidur, perut kita belum pernah harus diganjal batu untuk menahan lapar seperti lelaki itu. Kita gampang marah saat direndahkan orang lain, padahal kita tak pernah ditimpuki cemooh, batu, maupun kotoran binatang seperti lelaki itu.
Mungkin kita malah bersenang-senang dalam gelimang kekayaan hasil korupsi dalam berbagai bentuk dan derivasinya, sedangkan lelaki dari keluarga terhormat dan sempat kaya raya itu harus menikmati rumput-rumput kering akibat pemboikotan ekonomi selama tiga tahun lantaran keyakinannya. Toh, pada akhirnya sang lelaki itulah yang menjadi sang pemenang. Lelaki itulah yang menjadi manusia yang paling mulia. Lelaki itulah Rasulullah SAW.
Di hari baru, tidakkah kita berniat untuk mengisi comfort-zone kemapanan sendiri buat menjalani hari-hari yang lebih menantang seperti telah dilakoni Sang Nabi. Tidakkah kita berani berkata dengan doa yang kita panjatkan ke hadirat-Nya: "Hijrahkan kami ya Allah, sebagaimana Engkau telah menghijrahkan manusia terkasih-Mu itu agar kami meraih kehidupan diri, keluarga, masyarakat, dan bangsa yang terang-benderang."
Kini umat manusia memerlukan sejumlah pioneer dan pahlawan yang memiliki kemauan kuat dan keberanian untuk berhijrah diri dan menghijrahkan umat manusia dari keterpurukan menuju ketercerahan dalam wujud apa pun, Ketercerahan intelektual, ketercerahan spiritual dan tentu saja ketercerahan peradaban untuk menjadi modal dalam perjalanan hidup umat manusia menuju 'shirâthal mustaqím', jalan lempang yang hanya dapat dilalui oleh orang yang telah menghijrahkan dan terhijrahkan dirinya ke dalam petunjuk Sang Pencipta, Allah Rabbul 'Âlamín.
Semoga Allah memberi kekuatan kepada kita untuk bergerak menuju ke arah jalan yang ditunjuki oleh-Nya, dan menjadikan diri menjadi bagian dari al-Muhtadín (sekelompok orang yang benar-benar mendapat hidayah dari-Nya).
Âmín.

Kamis, 25 Desember 2008

AKHLAQ CERMIN AQIDAH

AKHLAQ CERMIN AQIDAH

“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlaq yang agung” (QS al- Qalam, 68 : 4).

Adakah orang yang tidak menyukai perhiasan? jawaban pertanyaan ini jelas, bahwa tidak ada seorangpun melainkan ia menyukai perhiasan dan senang untuk tampil berhias di hadapan siapa saja. Karena itu kita lihat banyak orang berlomba-lomba untuk memperbaiki penampilan dirinya. Ada yang lebih mementingkan perhiasan zhâhir (luar) dengan penambahan aksesoris sepertipakaian yang bagus, make up yang mewah dan emas permata, sehingga mengundang decak kagum orang yang melihat. Adapula yang berupaya memperbaiki kualitas akhlaq, memperbaiki dengan akhlaq islami.

Yang disebut terakhir ini tentunya bukan decak kagum manusia yang dicari, namun karena kesadaran agamanya menghendaki demikian dengan disertai harapan mendapatkan pahala dari Allah subhânahu wa ta’âla. Kalaupun penampilannya mengundang pujian orang, ia segera mengembalikannya kepada Allah karena kepunyaan-Nyalah segala pujian dan hanya Dialah yang berhak untuk dipuji.

Islam Mengutamakan Akhlaq

Mungkin banyak di antara kita kurang memperhatikan masalah akhlaq. Di satu sisi kita mengutamakan tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti agama ini, berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam masalah akhlaq kurang diperhatikan. Sehingga tidak dapat disalahkan bila ada keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan 'awwâm, seperti ucapan : “Wah udah ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua.” Atau ucapan : “Dia sih agamanya bagus tapi sama tetangga tidak pedulian.”, dan lain-lain.

Seharusnya ucapan-ucapan seperti ini ataupun yang semisal dengan ini menjadi cambuk bagi kita untuk mengoreksi diri dan membenahi akhlaq. Islam bukanlah agama yang mengabaikan akhlaq, bahkan islam mementingkan akhlaq. Yang perlu diingat bahwa tauhid sebagai sisi pokok/inti islam yang memang seharusnya kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara penyempurnaannya. Dan akhlaq mempunyai hubungan yang erat. Tauhid merupakan realisasi akhlaq seorang hamba terhadap Allah dan ini merupakan pokok inti akhlaq seorang hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaqnya berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang maka semakin baik akhlaqnya, dan sebaliknya bila seorang muwahhid memiliki akhlaq yang buruk berarti lemah tauhidnya.

Rasululah s.a.w. Diutus Untuk Menyempurnakan Akhlaq

Rasulullah -- Muhammad -- Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam, rasul kita yang mulia mendapat pujian Allah. Karena ketinggian akhlaq beliau sebagaimana firmanNya dalam QS Al-Qalam, 68: 4. Bahkan beliau Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam sendiri menegaskan bahwa kedatangannya adalah (hanyalah) untuk menyempurnakan akhlaq yang ada pada diri manusia, “Hanyalah aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlaq.” (HR.Ahmad, lihat ash-Shahíhah oleh Syaikh Nashiruddin al-Albani, hadis no. 45 dan beliau menshahihkannya).

Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu -- seorang sahabat yang mulia menyatakan -- : “Rasulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam adalah manusia yang paling baik budi pekertinya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Dalam hadis lain Anas bin Malik memuji beliau (Rasulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam): “Belum pernah saya menyentuh sutra yang tebal atau tipis lebih halus dari tangan Rasulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam. Saya juga belum pernah mencium bau yang lebih wangi dari bau Rasulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam. Selama sepuluh tahun saya melayani Rasulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam, belum pernah saya dibentak atau ditegur perbuatan saya : mengapa engkau berbuat ini? Atau mengapa engkau tidak mengerjakan itu?” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Akhlaq merupakan tolok-ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaqnya.” (HR at-Tirmidzi, dari Abu Hurairah radhyiallâhu ‘anhu, diriwayatkan juga oleh Ahmad. Disahihkan oleh Nashiruddin al-Albani dalam ash-Shahíhah No.284 dan 751). Dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin 'Amr bin al-‘Ash radhiyallâhu ‘anhumâ disebutkan : “Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang terbaik akhlaqnya.”

Keutamaan Akhlaq

Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu mengabarkan bahwa suatu saat Rashulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam pernah ditanya tentang kriteria orang yang paling banyak masuk surga. Beliau (Rasulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam) menjawab: “Taqwa kepada Allah dan Akhlaq yang Baik.” (Hadis Shahih Riwayat at-Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Lihat Riyâdhush Shâlihin hadis no. 627, tahqíq Rabbah dan Daqqaq).

Tatkala Rasulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam menasihati sahabatnya, beliau (Rasulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam) menggandengkan antara nasihat untuk bertaqwa dengan nasihat untuk bergaul/berakhlaq yang baik kepada manusia sebagaimana hadis dari Abu Dzar, ia berkata bahwa Rasulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR at-Tirmidzi, ia berkata: hadis (ini) hasan, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Salim al-Hilali).

Dalam timbangan (mízân) amal pada hari kiamat tidak ada yang lebih berat dari pada aklak yang baik, sebagaimana sabda rasulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam: “Sesuatu yang paling berat dalam mízân (timbangan seorang hamba) adalah akhlaq yang baik.” (HR. Abu Daud dan Ahmad, dishahihkan oleh Nashiruddin al-Albani. Lihat ash-Shahíhah Juz 2, hal 535). Juga sabda beliau : “Sesungguhnya sesuatu yang paling utama dalam mizan (timbangan) pada hari kiamat adalah akhlaq yang baik.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Nashiruddin al-Albani. Lihat ash-Shahíhah Juz 2, hal. 535).

Dari Jabir radhiyallâhu ‘anhu (dia) berkata, bahwa Rasulullah Shalallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling saya kasihi dan yang paling dekat padaku majelisnya di hari kiamat ialah yang terbaik budi pekertinya.” (HR. at-Tirmidzi dengan sanad hasan. Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban. Lihat ash-shahíhah Juz 2, hal. 418-419).

Dari hadis-hadis di atas dapat dipahami bahwa akhlaq yang paling baik memiliki keutamaan yang tinggi. Karena itu sudah sepantasnya setiap muslim dan muslimah mengambil akhlaq yang baik sebagai perhiasannya. Yang perlu diingat bahwa ukuran baik atau buruk suatu akhlaq bukan ditimbang menurut selera individu, bukan pula hitam-putih akhlaq itu menurut ukuran adat yang dibuat manusia. Karena boleh jadi, yang dianggap baik oleh adat bernilai jelek menurut timbangan syari’at atau sebaliknya.

Jelas bagi kita bahwa semuanya berpatokan pada syari’at, dalam semua masalah termasuk akhlaq. Allah sebagai Pembuat syari’at ini, Maha Tahu dengan keluasan ilmu-Nya apa yang mendatangkan kemashlahatan/kebaikan bagi hamba-hamba-Nya.

Wallâhu A’lam bish Shawâb.

Senin, 22 Desember 2008

HAKIKAT KEBEBASAN BERAGAMA

HAKIKAT KEBEBASAN BERAGAMA

Salah satu prinsip utama dan fundamental dalam ajaran Islam adalah memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada setiap umat manusia untuk memilih atau menolak suatu agama tertentu, berdasarkan keyakinannya. Seseorang dipersilakan menjadi seorang Muslim yang bersyukur, tunduk dan patuh akan ketentuan Allah SWT atau menjadi seorang yang kufur, menolak dan menentang ajaran-Nya. Hal ini sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam QS al-Insân [76]: 3,
"Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur, ada pula yang kafir.

Bahkan ketika Rasulullah SAW memiliki keinginan kuat agar setiap orang beriman kepada Allah SWT, menjadi Muslim yang baik, dan bila perlu dengan pemaksaan dan tekanan, maka Allah SWT langsung mengingatkannya, dengan firman-Nya dalam QS Yûnus [10]: 99-100,
"Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Dan tidak ada seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya."

Juga firman-Nya dalam QS al-Baqarah [2]: 256,

"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang teguh kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."

Ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya menguasai kembali kota Makkah (Fath Makkah) setelah berhijrah ke kota Madinah selama kurang lebih sembilan tahun, dan pada saat itu kaum musyrikin Makkah sudah tidak memiliki kekuatan apa pun untuk melawannya (padahal dahulunya ketika mereka berkuasa, sangat kejam terhadap Rasulullah dan para sahabatnya), beliau tetap memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada mereka untuk tetap menjadi kafir atau menjadi Muslim. Beliau bersabda: "Kalian bebas merdeka di muka bumi ini, tidak ada kedengkian dan hasud di antara kita."

Tetapi apa yang terjadi? Ternyata dengan kebesaran jiwa beliau tersebut yang merupakan refleksi dan manifestasi dari ketinggian ajaran Islam, mereka semuanya secara sadar dan sukarela mengucapkan dua kalimat syahadat dan menerima Islam sebagai agamanya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS an-Nashr [110]: 1-3,

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhan-Mu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat".

Kebebasan dan kemerdekaan yang seluas-luasnya ini agar pilihan-pilihan agama dan keyakinan tersebut menghasilkan suatu tanggung jawab yang kuat. Setiap orang didorong untuk melaksanakan ajaran agamanya dengan murni dan konsekuen, tanpa mencampuradukkan satu agama dengan agama yang lain atau satu keyakinan dengan keyakinan yang lain.

Ketika seseorang mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi Muslim, maka ia memiliki kewajiban untuk merealisasikan keislamannya dalam kehidupan kesehariannya, baik ketika berhubungan secara vertikal dengan Allah SWT maupun secara horizontal dengan sesama manusia, bahkan juga dengan alam semesta. Ketika sekelompok kaum Muslimin di zaman Abu Bakar secara sadar dan sengaja tidak mau mengeluarkan zakat, Abu Bakar sebagai khalifah pertama ketika itu, langsung berkata : "Demi Allah, saya akan memerangi orang yang memisahkan kewajiban salat dengan kewajiban zakat ..."

Ketegasan ini sangat diperlukan agar orang-orang tidak mempermainkan pelaksanaan ajaran agama berdasarkan hawa nafsunya sendiri, tanpa bimbingan wahyu Allah. Sebab hakikat keislaman dan keimanan seseorang bukan semata-mata ditentukan oleh pengakuannya saja, akan tetapi oleh keikhlasannya dalam menerima dan mengamalkan ajaran-Nya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS an-Nûr [24]: 51-52,

"Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan kami mendengar dan kami patuh (sami'nâ wa atha'nâ). Dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan kebahagaan. Dan barang-siapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan."

Sami'nâ wa atha'nâ bukanlah berarti menutup pintu ijtihad atau kreativitas karena Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk selalu berpikir menggunakan akal seoptimal mungkin, tetapi dalam kaitan peningkatan keimanan dan penguasaan ilmu serta teknologi untuk kesejahteraan umat manusia, sebagai realisasi dari fungsi kekhalifahannya. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas, betapa banyak mujtahid dan pemikir Islam yang menghasilkan karya-karya inovatif dan kreatif yang sangat monumental dalam peradaban umat manusia, yang masih dirasakan relevan sampai saat ini, padahal usianya sudah berabad-abad yang lalu.

Yang dilarang sesungguhnya adalah wilayah-wilayah yang bersifat pasti dan tetap yang setiap Muslim tidak boleh berbeda satu dengan yang lainnya. Sebagai contoh, kewajiban shalat lima waktu dengan jumlah 17 rakaat, kewajiban ibadah haji pada waktu dan bulan tertentu bagi yang mampu, Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir, kebenaran al-Quran yang bersifat mutlak dan absolut, adalah hal yang pasti dan tetap. Setiap muslim wajib memiliki keyakinan yang sama.

Sehingga apabila ada kelompok, organisasi atau golongan yang mengaku sebagai Muslim, namun secara sadar dan sengaja memiliki keyakinan yang berbeda dalam masalah-masalah pokok dan pasti tersebut, maka sesungguhnya kelompok atau organisasi tersebut adalah sesat dan menyesatkan.

Sebab tidak boleh atas nama kebebasan beragama, seseorang atau kelompok orang dan organisasi, dengan seenaknya berpendapat atau berkeyakinan yang justru bertentangan secara diametral dengan ajaran pokok dari agama Islam yang akan menghancurkan tatanan bangunannya.

Semoga umat Islam Indonesia terhindar dari pemahaman dan pemikiran yang merusak tersebut, sehingga bangunan fundamental Islam akan tetap utuh dan kesatuan umat akan tetap terjaga dan terpelihara.

Wallâhu a'lamu bi ash-shawâb.

Kamis, 18 Desember 2008

KETIKA HATI SEBENING KACA

KETIKA HARI SEBENING KACA

Bila hati bisa kita jernihkan dari tumpukan emosi yang tidak perlu, dia akan kembali sebening kaca dan mampu kedamaian, kemudahan, dan keindahan hidup.

Emosi adalah kunci untuk menemukah diri yang sejati. Ironisnya, kebanyakan masalah yang kita temui dalam hidup disebabkan oleh emosi. Contohnya, pernahkah Anda merasa uring-uringan (atau ‘bete’, kata anak zaman sekarang) yang berkepanjangan? Seringkah Anda merasa tak nyaman karena perasaan Anda campur-aduk tak karuan?

Itu suatu pertanda Anda sulit mengenali, menyadari, dan mengelola setiap perasaan yang tengah An¬da alami. Bagaimana cara Anda menghilangkan perasaan negatif: berusaha memendamnya rapat-rapat, melupakannya, atau melampiaskannya kepada orang lain? Meski emosi telah jadi bagian dari kehidupan sehari-hari setiap manusia, tak semua orang bisa menerima, mengakrabi, apalagi mengelola emosi mereka sendiri.

Padahal, mengutip pendapat Daniel Goleman dalam buku Emotional Intelligence, salah satu tanda kecerdasan emosional adalah mampu memonitor apa yang kita rasakan dari momen ke momen un¬tuk memperoleh wawasan psikologis dan pemahaman terhadap diri sendiri.

Peta Emosi

Perasaan atau emosi (dari bahasa Inggris “emo¬tion”), sebenarnya merupakan energy in motion atau energi yang bergerak. Sifat energi adalah dinamis dan kekal; ia tak dapat dimusnahkan, melainkan hanya dapat diubah menjadi bentuk energi yang lain. Perasaan manusia timbul kala energi di dalam dan di sekitar dirinya bergerak. Energi inilah yang menjadi ‘nyawa’ laku kita, mewarnai pikiran, membentuk mimpi, memperkaya hubungan insani, dan menyedi-akan bahan baku bagi daya cipta manusia. Energi ini sebenarnya adalah bagian dari diri kita, yang biasanya tak kita sadari keberadaannya sampai ia muncul men¬jadi sesuatu yang kita kenal sebagai ‘emosi’.

Mempermudah Hidup

Brian Tracy berkata, bila kita menjadikan kedamaian sebagai tujuan tertinggi serta membuat semua kegiatan, keputusan, dan perilaku berdasarkan tujuan ini, maka kita akan lebih bahagia dan efektif dalam kehidupan dan karier. Dengan menerapkan teknologi ikhlas secara teratur, Anda akan menemukan kedamaian serta kehidupan yang lebih mudah dan menyenangkan secara alamiah.

Rasa damai sebetulnya selalu ada di hati manusia, meski seringkali ia tersamar oleh emosi-emosi lain. Kedamaian merupakan hal yang operasional dan bisa dilatih. Setiap kali kita memusatkan perhatian pada kedamaian hati, secara alamiah ia akan tumbuh, berkembang, serta melepaskan kebuntuan yang kita alami.

Menurut Paul R Scheele, bila kita dapat melepaskan konflik-konflik dalam pikiran, emosi, dan perilaku, kita akan dapat mencapai performa terbaik kita seba¬gai manusia. Anda pun akan menemukan kembali apa yang paling didambakan hati.

Selasa, 16 Desember 2008

MALU KEPADA ALLAH

MALU KEPADA ALLAH

Oleh: Muhsin Hariyanto

Perhatikan di masjid-masjid, jamaah yang minta kepada Allah kekayaan, tambahan rezeki, naik gaji, naik pangkat. Mereka pikir Allah itu kepala bagian kepegawaian di kantor kita. Allah kita puji-puji karena akan kita mintai sesuatu. Ini bukan ibadah, tapi dagang. Mungkin bahkan pemerasan yang tak tahu malu. Allah kita sembah, lalu kita perah rezeki dan berkah-Nya, bukannya kita sembah karena kita memang harus menyembah. (A. Sobary, Tempo, 16 Maret 1991)

Malu, atau tepatnya rasa malu, kini teramat mahal. Konon kabarnya sudah tidak banyak dimiliki orang, utamanya rasa malu untuk berbuat maksiat. Seolah-olah orang sudah tidak lagi memiliki rasa 'ewuh-pekewuh', sungkan, tidak merasa enak dilihat orang lain ketika berbuat salah. Apalagi merasa dilihat oleh Allah. Manusia telah banyak kehilangan sikap "murâqabah", sudah tak merasa lagi diawasi oleh Allah, Tuhannya.

Di mana-mana orang lebih banyak menuntut hak daripada menjalankan kewajiban. Dan ironisnya sudah menjadi salah kaprah, sebenarnya 'salah', tapi dianggap 'benar', karena didukung oleh banyak orang. Terlalu banyak orang yang menyatakan bahwa menuntut hak harus diutamakan, sementara yang mengutamakan untuk menjalankan kewajiban terlalu sedikit. Ketika diminta untuk bekerja, mereka katakan "nanti dulu", sementara untuk urusan 'gaji', upah atau kompensasi, mereka teriakkan: "mana hak kami?".

Malu rasanya melihat fenomena ini. Tapi, apa hendak dikata: "semuanya sudah terjadi", dan nampaknya akan terus terjadi dan menjadi pemandangan biasa. Dan karena sudah biasa, bisa jadi dianggap benar. Orang sudah terbiasa untuk membenarkan yang "biasa", dan masih sulit untuk membiasakan yang "benar". Di samping karena minus kemauan, juga tidak ada 'nyali' (keberanian).

Malu – menurut pernyataan Nabi s.a.w. -- adalah salah satu ciri keistimewaan akhlak Islam. Katanya: setiap agama memiliki keistimewaan akhlak dan, keistimewaan akhlak Islam adalah malu.'' Bahkan, kata beliau, ''malu adalah sebagian daripada iman.'' Maksudnya, tidak sempurna iman seseorang kalau dia tidak memiliki sifat malu. ''Malu dan iman keduanya selalu berkaitan. Apabila salah satu di antaranya lenyap, yang lainnya pun akan lenyap pula.'' Karena, ''Malu tidak akan pernah mendatangkan apapa-apa, kecuali kebaikan.''. Dan bahkan beliau pun bersabda: ''Sesungguhnya sebagian yang masih dikenal umat manusia dari perkataan para nabi terdahulu adalah, 'Bila kamu tidak punya rasa malu, maka berbuatlah sesukamu'.'' Inilah sejumlah hadis Nabi s.a.w. yang terlacak dalam Soft-Ware al-Maktabah al-Syâmilah Edisi Terakhir.

Rasa malu memang bisa mejadi kendali, alat kontrol diri yang paling ampuh untuk mengarahkan perilaku kita. Bahkan, kalau kita mengacu pada sejumlah hadis di atas, sekiranya tidak ada rasa malu pada diri kita, tentu apa yang diisyaratkan hadis di atas akan benar-benar terjadi. Kita akan melakukan apa saja yang diinginkan tanpa determinasi (batas) apa pun. Kita menjadi kehilangan kendali untuk melangkah ke arah tujuan hidup kita: "beribadah hanya kepada Allah". Kalau sudah seperti itu kondiosinya, bukan tidak mungkin berbagai penyelewengan dan penyimpangan hampir pasti akan kita lakukan tanpa adanya perasaan bersalah.

Kini tampak jelas, 'cetho welo-welo" (kata orang Jawa), berbagai penyimpangan itu yang dikahatirkan akan terjadi, benar-benar terjadi dengan kemasan indah, dikemas dalam tampilan yang kesalehan semua dan dan seolah-olah "agamis". Bulan-bulan – pada tahun kampanye -- menjelang pemilu banyak orang yang piawai mengemas kesalehan dengan bungkus-bungkus simbol keagamaan yang pekat. Tanpa adanya rasa malu, apa yang tidak layak tiba-tiba menjadi "pantas", dan apa yang terlarang sekonyong-konyong menjadi "boleh" dan dipandang baik oleh banyak orang karena tampilan kosmetikal para badut politik masa kini.

Rasanya teramat penting untuk dipahami, utamanya oleh pemeluk Islam, yang kini tengah sibuk untuk mencitrakan dirinya sebagai yang patut dipuji, dicinta dan dihormati karena sedang berproses untuk menuju singgasana idaman, bahwa rasa malu seharusnya benar-benar (harus) dimiliki, dan diarahkan pada hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan. Katakan – dengan lantang --yang salah adalah salah, dan yang buruk adalah buruk. Sebaliknya tampilkan nyali kita untuk menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang baik adalah baik. Jangan terlalu banyak memakai topeng untuk bersandiwara. Memang, tidak semestinya seseorang malu untuk menuntut apa yang memang menjadi haknya. Namun, ingat juga bahwa ia seharusnya malu jika mengambil apa-apa yang bukan haknya, walaupun tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui perbuatannya. Karena, seberapa canggih orang memanipulasi sikap dan tindakannya, "Allah tidak pernah tidak tahu".

Kita masih ingat tentang cerita kaum Luth, kaum Syu'aib, kaum Tsamud, kaum Nuh, kaum Musa dan bahkan "Si Qarun" (Si Tamak Harta) yang ketika mereka tidak pernah merasa malu untuk berbuat salah, akhirnya harus menghadapi azab Tuhan mereka, Allah Yang Maha Perkasa, yang keperkasaannya tak pernah tertandingi oleh si apapun dalam konteks apa pun.
Nabi Luth a.s. (dan juga para nabi yang lain) selalu mengingatkan kaumnya (yang menyimpang dari aturan Tuhan) ketika mereka datang berbondong-bondong dan dengan bekal dorongan hawa nafsu untuk meraih kenikmatan duniawi. Mereka yakin dan begitu percaya diri akan meraihnya. Namun, apa hendak dikata, dengan rasa malu mereka kepada Allah (Tuhan mereka) yang sudah hilang dari diri mereka untuk melampiaskan 'nafsu' sesuka mereka, akhirnya Allah menurunkan azab atas diri mereka. Mereka telah berbuat sesuatu dengan sia-sia, karena ketidakmauannya untuk ingat kepada Allah. Mereka telah kehilangan rasa malu, atau atau malu kepada Sang Khaliq.

Berbeda dengan para Nabi dengan seluruh pengikut setinya, yang selalu memili memiliki rasa malu yang kuat kepada Allah, sehingga – dengan rasa malu mereka itu -- tertuntun ke arah perilaku yang serba positif. Dan setiap saat setan menggoda di hadapan mereka, mereka selalu berkata "tidak", mirip dengan kampanye 'vulgar' salah satu partai politik peserta pemilu (kita) pada tahun 2009 ini, dengan hati yang bergetar mereka bisikkan rangkaian kata: ''sungguh saya malu pada Allah untuk berbuat yang salah.'' Dan mereka pun berani berteriak: "say no to satan (katakan tidak pada setan), termasuk di dalamnya (untuk) menolak terhadap seluruh bisikan dan bujuk-rayu mereka"

Akhirnya harus kita katakan: andaikata semua orang bisa menyatakan hal yang sama, ketika rasa malu sudah menjadi karakter kolektif bangsa ini, dan menjadi bagian dari budaya mereka, "budaya malu". Di ketika semua pihak berkesadaran untuk saling mengingatkan, sebagaimana pesan moral al-Quran dalam surat al-'Ashr, agar semua orang – utamanya umat Islam -- merasa malu setiap kali terdorong melakukan hal yang salah. Maka "rasa malu", yang selama ini tersimpan di lubuk hati setiap manusia, akan menjadi ''obat panasea'' yang akan memberikan kesembuhan bagi masyarakat luas yang kini tengah terjangkiti penyakit "tidak punya rasa malu".

Insyaallah seluruh lapisan masyarakat kita -- yang semula tidak atau minimal kurang memiliki rasa malu, dengan kesadaran baru untuk membuang penyakit "tidak merasa malu kepada Allah ketika berbuat salah", akan menjadi manusia-manusia "sehat", penuh rasa malu kepada Allah ketika berbuat maksiat.

Seharusnya para pemimpin kita yang tengah mendapatkan amanah dari rakyat benar-benar berbekal "malu". Malu ketika belum mampu berbuat "yang terbaik" untuk rakyat, malu sebelum mampu memberdayakan rakyat, apalagi sampai tega "memperdayai" rakyat. Para ulama atau cendekiawan yang berfungsi sebagai penyejuk hati umat, juga seharusnya berbekal diri dengan "rasa malu". Malu bila mau diperalat penguasa, malu bila tidak bisa memberikan masukan yang positif bagi rakyat, dan malu bila menyembunyikan ilmu yang dimiliki. Kita pun selalu berdoa, semoga Allah SWT selalu menuntun, membimbing, dan melindungi seluruh rakyat di negeri ini dengan "rasa malu" yang sama. Malu ketika belum menjadi orang yang sadar untuk menjadi "yang terbaik" di sisi Allah, menjadi orang-orang yang benar bertakwa kepada Allah.

Sebagaimana pernyataan A. Sobary di atas, tanpa harus bertanya: "apa yang seharusnya diberikan oleh Allah sebagai akibat dari ketakwaan kita terhadap-Nya".
Namun, hingga saat saat ini kita kita pun masih pantas bertanya: "Apakah masih ada rasa malu di hati kita?" Barangkali pertanyaan inilah yang akan menggugah kesadaran dan perhatian kita untuk menjadi penyelamat umat, negara dan bangsa ini, kini dan masa yang akan datang.

Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta

Jumat, 05 Desember 2008

KONTEKSTUALISASI MAKNA JIHAD

KONTEKSTUALISASI KONSEP JIHAD

Di kalangan umat Islam tidak ada kata-kata yang lebih menggetarkan seperti halnya kata-kata “jihâd”. Resonansinya bahkan mungkin terasa lebih kuat lagi justeru di kalangan umat agama lain. Begitu kata-kata jihâd diserukan, lazimnya diiringi pekik “Allâhu Akbar”, maka seakan genderang perlawanan telah ditabuh dan pedang telah dihunuskan.

Berbagai aksi kekerasan mulai dari serangkaian bom bunuh diri di Palestina, perang gerilya di Afghanistan, pembajakan pesawat untuk meledakkan gedung WTC dan Pentagon di Amerika, perang antar golongan di Ambon dan Poso, bom dahsyat di Bali, serta aksi-aksi kekerasan lain di berbagai tempat, semuanya dilakukan oleh para pelakunya atas nama jihâd.

Pertanyaan yang ingin dijawab di sini adalah: Apa sebenarnya konsep jihâd itu? Haruskah jihâd dipahami identik dengan kekerasan? Bagaimana doktrin itu dipahami oleh umat Islam dari waktu ke waktu? Apakah ada ruang untuk memberinya makna baru yang lebih kurang mengerikan, atau bahkan makna yang justeru membebaskan?

Kata jihâd berasal dari kata kerja jâhada yujâhidu, jihâd, secara harfiah artinya “bersungguh-sungguh” atau “sepenuh hati dan all-out”. Demikian pula, kata-kata serumpun yang juga cukup populer, ijtihâd dan mujâhadah. Bedanya, kalau ijtihâd bersungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran; mujâhadah bersungguh-sungguh dalam menghayati kebenaran. Maka jihâd bersungguh-sungguh atau all-out dalam menegakkan kebenaran. Dalam bahasa populernya, jihâd adalah berjuang, mujâhid artinya pejuang.

Ketiga konsep serumpun tersebut (ijtihâd, mujâhadah, jihâd) dalam proses keberagamaan sama-sama penting dan saling melengkapi. Tapi, sebagai aktualisasi dari keberagamaan, jihâd memang istimewa. Apalah artinya kebenaran dalam iman jika hanya di pahami oleh pikiran dan dihayati dalam hati, tapi tidak ditegakkan dalam kehidupan nyata. Dengan jihâd inilah kebenaran dalam iman benar-benar dibuktikan.

Kedudukan tinggi jihâd antara lain dapat dibaca dalam kesaksian sejumlah ayat al-Quran, antara lain:

أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ

Adakah kalian mengira akan masuk surga sementara Tuhan belum membuktikan apakah kalian orang yang “berjihâd” dan orang-orang yang bersabar hati” (QS Âli ‘Imrân, 3: 142).

Bahwa jihâd merupakan alat bukti atas kesejatian iman kepada Tuhan yang paling tinggi nilainya ini, antara lain ditegaskan dalam ayat al-Quran:

قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

"Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) ber jihâd di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik". (QS at-Taubah, 9: 24).

Kesungguhan jihâd sebagai alat bukti iman ini juga dapat dilihat melalui bentuk pengorbanan yang dipersembahkan.

تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

”(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihâd di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya”. (QS As-Shâf, 61: 11).

Juga di gambarkan dalam ayat lain:

لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأُولَئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihâd dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung”. (QS at-Taubah, 9: 88).

Sebagai implementasi dari iman, seharusnya tidak seorang pun dibikin takut, apalagi merasa ngeri, dengan perintah jihâd ini. Bahkan jika jihâd sebagai perjuangan penuh pengorbanan itu ditujukan benar-benar untuk membela kebenaran, seharusnya semua orang akan menyambutnya dengan sukacita. Lebih-lebih bagi meraka yang selama ini mendambakan tegaknya kebenaran dan keadilan, jihâd bisa merupakan ‘ratu adil’ yang didambakan.

Tetapi apa yang terjadi? Kenapa jihâd tiba-tiba menjadi momok? Jihâd mulai dirasakan sebagai momok ketika dipahami identik dengan kekerasan. Persisnya, ketika jihâd didefinisikan sebagai “perang melawan kelompok atau anggota-anggota kelompok yang secara doktrin harus dimusnahkan”. Dengan demikian, maka jihâd tidak diberi pengertian lain kecuali “ tindakan kekerasan fisik yang diarahkan juga kepada musuh yang juga bersifat fisik”.

Bahwa jihâd merupakan aksi keagamaan yang diarahkan terhadap person, individu maupun kelompok tertentu memang ada rujukannya:

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ

“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS at-Tahrîm, 66: 9).

Seperti kita ketahui, dalam masyarakat pra modern dimana wahyu al-Quran diturunkan, person adalah aktor utama dalam segala aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, maupun politik. Pada masa itu, aktor-aktor impersonal dalam ujud institusi maupun sistem dan struktur sosial masih belum disadari benar peranannya. Maka jihâd pun mengambil sasarannya lebih kuat pada objek-objek personal (orang kafir), daripada yang impersonal (sistem atau struktur sosial kekafiran).

Pertanyaannya: haruskah perintah jihâd terhadap person orang kafir dalam ayat di atas dipahami sebagai perintah kekerasan (fisik) terhadap siapa pun yang berbeda keyakinan dengan “kita”? Pertanyaan ini akan ditentukan oleh jawaban atas beberapa pertanyaan berikut: Siapakah dimaksud orang kafir/munafik itu? Dalam semua keadaan bagaimana si kafir harus dijihâdi? Tidak kalah penting: dengan cara apakah jihâd terhadap mereka dilakukan?

Tanpa ijtihad (pengerahan daya nala secara optimal) terlebih dahulu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, maka hampir pasti ajaran jihâd akan dijalankan secara konyol dengan akibat yang fatal, bukan hanya bagi orang/kelompok lain, akan tetapi juga terhadap pelaku jihâd itu sendiri. Jihâd tanpa ijtihad itulah sumbe utama kekerasan atas nama agama.

Bukan rahasia, bahwa mereka yang belakang dikenal dunia sebagai pembawa panji jihâd adalah oknum-oknum yang secara keagamaan rata-rata jauh dari terpelajar. Mereka adalah para pemula yang masih jauh dari kemampuan berfikir ijtihâdi. Itulah sebabnya yang tampak pada umumnya adalah militansi yang kasar dan menyedihkan; niat baik untuk membela Islam berakhir justeru pada penistaan nama baik Islam itu sendiri.

Pertanyaan pertama, tentang siapa orang kafir/munafik. Secara harfiah kafir adalah: “orang yang tertutup hatinya untuk menerima kebenaran”. Sementara secara istilah adalah: “orang yang menolak ajaran agama Islam”. Munafik adalah: “orang yang secara lisan menerima ajaran agama Islam, tetapi di belakang mengingkarinya”. Konsep kafir/munafik ada dalam setiap agama. Semua orang adalah kafir jika dilihat dari sudut keyakinan agama yang tidak diimaninya.

Bahwa perintah jihâd (dalam QS at-Tahrîm, 66: 9) di atas diarahkan kepada orang kafir dan munafik memang benar. Tapi apakah jihâd harus berarti memerangi dan menghancurkan sasaran secara fisik? Tidak ada alasan untuk mengidentikan jihâd dengan perang secara begitu saja. Untuk perang, al-Quran memiliki termanya sendiri, yakni qitâl yang secara harfiah berarti membunuh, atau saling membunuh, atau perang.

Dalam al-Quran terdapat sekurang-kurangnya 15 ayat yang menegaskan perintah atau ijin perang terhadap orang-orang kafir/munafik. Ayat-ayat ini diturunkan setelah Nabi s.a.w. berhijrah ke Madinah, dan sikap permusuhan dari kaum kafir Makkah semakin tak tertahankan. Yang harus dipahami, bahwa tidak satu ayat pun yang menegaskan perintah perang untuk mendahului (pre-emptive strike) seperti yang didoktrinkan oleh Presiden Amerika Geroge W. Bush ketika hendak menyerang Irak.

Jelas sekali bahwa perintah, atau lebih tepatnya ijin perang hanya diberikan untuk tujuan pertahanan diri. Doktrin perang sebagai pertahanan jelas sekali dalam ayat-ayat berikut;

وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS al-Baqarah, 2 190); atau:

وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ

“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir”. (QS at-Taubah, 9: 36).

Dengan demikian, kiranya jelas bahwa perang dalam Islam hanya dibenarkan untuk pertahanan diri (self-defence), dan diarahkan kepada orang/kelompok yang terlebih dahulu memerangi. Meskipun orang lain jelas-jelas kafir, dalam arti menolak tegas kebenaran yang dibawa Islam, akan tetapi jika mereka tidak menyerang umat Islam, maka tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menyerangnya.

Islam memang tidak mengintrodusir doktrin kepasrahan total kepada musuh seperti dalam Bible, “jika kau dipukul pipi kirimu maka berikanlah pipi kananmu”. Yang diajarkan Islam adalah ijin pembalasan setimpal, atau pengampunan:

فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ

“… jika seseorang menyerangmu, maka balaslah secara setimpal ...” (QS al-Baqarah, 2: 194).

وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ

“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”. (QS an-Nahl, 16: 126).

Dengan demikian, kiranya jelas bahwa tindak kekerasan terhadap fisik atau perang tidak ada hubungannya dengan faktor keimanan atau kekufuran. Kekerasan dibenarkan oleh Islam hanyalah karena adanya kekerasan yang mendahului. Baik kekerasan yang mendahului itu dilancarkan oleh orang-orang kafir, yang tidak seiman, atau bahkan oleh orang-orang yang seiman.

Sebuah ayat dalam QS al-Hujurât, 49: 9 menyatakan sbb:

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” .

Artinya, kekafiran (baca: perbedaan iman pada seseorang/sekelompok orang) semata tidak bisa menjadi pembenar bagi umat Islam untuk menyerangnya. Dalam konteks inilah fuqahâ’ (para ahli fiqih) membagi orang kafir kedalam dua kelompok. Yakni, [1] kafir harbiy, yang memerangi umat Islam, dan kerana itu boleh diperangi, dan [2]dan kafir ghair-harbiy, yakni yang tidak memerangi, dan karena itu juga tidak boleh diperangi.

Orang kafir yang ghair-harbiy ini ada dua kategori: Pertama, disebut kafir musta’min yakni orang non-muslim yang mengikat memohon perlindungan dan jaminan keamanan umat/negara Islam. Meskipun sebelumnya ia tergolong memusuhi, akan tetapi jika meminta perlindungan, maka umat Islam harus memberinya.

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS at-Taubah, 9: 6)

Orang kafir musta’min ini secara teknis disebut juga kafir dzimmiy, artinya yang beda agama/iman akan tetapi berhak untuk mendapatkan perlindungan penuh dari umat beriman. Perlindungan terhadap dzimmi ini bukan hanya terhadap integritas fisiknya, akan tetapi juga keyakinannya. Menegaskan mutlaknya jaminan perlindungan dan keamanan bagi Kafir Dzimmiy ini Nabi mengatakan, “Barangsiapa yang menyakiti orang dzimmi, maka sama halnya ia menyakitiku; barangsiapa menyakiti dzimmi, maka akulah yang akan menuntut balas di akhirat nanti” .

Kedua, adalah kafir mu’âhid, yakni orang non-muslim yang mengikat perjanjian dengan umat Islam untuk hidup bersama atau berdampingan secara damai. Berbeda dengan musta’min yang terkesan berada dalam posisi lebih inferior, maka mu’ahid ini berada dalam posisi yang relatif setara. Oleh karena itu hak dan kewajiban mu’âhid dengan umat Islam ini sama, baik sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Dalam posisi kesetaraan inilah, maka kontrak atau perjanjian yang disepakati oleh kedua pihak adalah hukum yang tertinggi yang mengikat semua pihak.

Orang-orang/umat non-muslim di Madinah dan yang hidup di negara kesatuan Republik Indonesia kita yang mengikat janji untuk hidup bersama secara damai dan saling melindungi satu sama lain sebagai satu umat (bangsa) adalah contoh yang baik bagi kelompok mu’âhid ini. Dalam konteks ini, perlu diacu ayat berikut:

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ

”Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS al-Mumtahanah, 60: 8).

Jika jihâd tidak identik atau tidak bisa diidentikkan dengan perang melawan orang yang berbeda agama (kafir), maka tentunya harus ditemukan arti lain. Atau jika diartikan dengan perjuangan, maka pertanyaannya: perjuangan untuk apa, atau melawan apa/siapa?

Dalam al-Quran ada lebih dari 50 ayat bicara dan menganjurkan umat Islam ber jihâd. Hanya 3 (sekitar 0.7 %) ayat tentang jihâd yang bisa diartikan perjuangan fisik menghadapi orang-orang kafir/munafik, itu pun dengan catatan, jika mereka melancarkan aksi serupa terlebih dahulu. Selebihnya, yang 46 ayat (90%) hanya mengatakan jihâd fî sabîlillâh, artinya berjuang di jalan Allah, tanpa menyebut kelompok sasaran tertentu.

Artinya, perintah jihâd yang utama haruslah berarti perjuangan menegakkan kebenaran dan nilai-nilai keluhuran universal dan perennial yang mengatasi kepentingan semua golongan agama, ideologi, ras, etnik dan sebagainya. Ini sejalan dengan keyakinan kita bahwa Allah, dengan sifat Rahman-nya, senantiasa merahmati seluruh makhluknya tanpa membedakan agama, keyakinan, ideologi, warna kulit dan suku bangsanya.

Sasaran utama jihâd fî sabîlillâh, dengan demikian, bukan terutama berupa orang atau sekelompok orang, secara fisik, melainkan sistem atau tata kehidupan yang secara hakiki melawan nilai-nilai universal dan perennial tadi, yakni keadilan. Dalam bahasa inklusifnya, sasaran jihâd yang paling mendasar dan universal adalah kezaliman, lawan dari keadilan.

SIKAP KITA TERHADAP SETAN

SIKAP KITA TERHADAP SETAN

Setan merupakan salah satu dari makhluk Allah SWT yang pada dasarnya diciptakan untuk mengabdi kepada Allah SWT sebagaimana manusia diciptakan juga untuk beribadah kepada-Nya. Hal ini karena setan berasal dari golongan jin yang sama-sama diciptakan untuk mengabdi kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:


"Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia kecuali supaya mengabdi kepada-Ku." (QS adz-Dzâriyât [51]: 56).

Kita mengenal sejarah godaan setan kepada manusia bermula interaksi anergis antara Adam-Hawa dengan Iblis. Adam-Hawa berasal dari golongan manusia, sedang Iblis berasal dari golongan jin.

Disebutkan dalam firman Allah SWT:


“Dan (ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "sujudlah kamu kepada Adam[1]. Maka sujudlah mereka kecuali iblis. dia adalah dari golongan jin, maka ia mendurhakai perintah Tuhannya. Patutkah kamu mengambil dia dan turanan-turunannya sebagai pemimpin selain Aku, sedang mereka adalah musuhmu? Amat buruklah Iblis itu sebagai pengganti (dari Allah) bagi orang-orang yang zalim.” (QS al-Kahfi [18]: 50).

Di dalam al-Quran, Allah SWT mengemukakan sikap-sikap yang ditunjukkan oleh manusia terhadap setan dan menunjukkan kepada kita bagaimana seharusnya kita bersikap kepadanya agar dapat mewujudkan kehidupan yang baik di dunia ini sehingga membawa kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.

1. Setan sebagai Saudara

Dalam bersikap kepada setan, ada manusia yang menjadikannya seperti saudara sehingga ia memiliki sifat-sifat yang sama sebagaimana yang dimiliki oleh setan, satu diantaranya adalah melakukan apa yang disebut dengan tabdzîr dalam penggunaan harta, yakni menggunakan atau membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak dibenarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik sedikit apalagi banyak. Dalam bahasa kita hal ini diistilahkan dengan pemborosan, karena mengandung kesia-siaan.

Orang yang melakukan hal ini disebut dengan mubazir. Harta yang kita miliki, sebanyak apapun dia sangat banyak yang membutuhkannya baik untuk keluarga sendiri yang memang sangat berhak maupun orang lain seperti orang miskin dan orang yang dalam perjalanan yang memerlukan pertolongan, Allah SWT berfirman:

"Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya." (QS al-Isrâ’ [17]: 26-27).

2. Setan sebagai Pemimpin dan Pelindung

Dalam kehidupan ini, manusia membutuhkan pemimpin, namun manusia tidak boleh sembarangan memilih pemimpin, karena hal itu bisa mengakibatkan persoalan yang sangat pelik. Namun yang amat disayangkan adalah ada manusia yang menjadikan setan atau orang-orang yang berwatak setan sebagai pemimpin sehingga kepemimpinan itu membawa akibat negatif yang sangat besar, Allah SWT berfirman:

"Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (setan) hanyalah atas orang-orang yang mengambilnya menjadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya dengan Allah." (QS an-Nahl [16]: 99-100).

Kata sulthân (kekuasaan) dalam ayat di atas berasal dari kata as-Sâlith yang maksudnya adalah minyak yang digunakan untuk menyalakan lampu yang menggunakan sumbu. Ini berarti sulthân adalah keterangan atau bukti yang menjelaskan sesuatu dengan terang dan mampu meyakinkan pihak lain, baik benar maupun salah. Setan memang memiliki kemampuan untuk memperdaya manusia, namun yang bisa diperdaya oleh Setan hanyalah orang-orang yang lemah imannya, yang menjadikannya sebagai pemimpin, sama seperti virus sebuah penyakit yang hanya akan menimpa orang-orang yang tidak memiliki daya tahan tubuh yang kuat.

Penggunaan kata "wali" (pelindung) terhadap setan juga disebutkan dalam firman Allah SWT:


"Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS al-Baqarah [2]: 257).

Ini berarti ada manusia yang menjadikan setan sebagai pemimpin dan pelindung. Kata "wali" bermaksud sesuatu yang langsung datang atau berada sesudah sesuatu yang lain, tidak ada perantara di antara keduanya. Ketika Allah SWT atau setan yang dijadikan sebagai wali oleh manusia, itu artinya manusia memiliki hubungan yang sangat dekat sehingga langsung ditolong, dibantu dan dilindungi. Ketika Allah SWT yang dijadikan sebagai wali (pemimpin dan pelindung), maka Allah SWT akan mengeluarkan manusia dari kegelapan dan kesesatan kepada cahaya yang terang, yakni petunjuk hidup yang benar, namun ketika manusia menjadikan setan sebagai wali, maka setan akan mengeluarkan manusia dari jalan hidup yang benar (cahaya) kepada kegelapan atau kesesatan yang banyak.

3. Setan sebagai Kawan

Dalam kehidupan ini, manusia tidak bisa hidup sendirian, ia membutuhkan kawan yang dapat menghibur dikala duka, yang dapat membantu dikala susah dan menemaninya dikala sepi, bahkan memecahkan persoalan saat menghadapi masalah. Karena itu, manusia seharusnya menjadikan orang-orang yang baik dan shaleh sebagai kawan, karenanya Allah SWT berpesan kepada setiap mukmin untuk selalu berkawan kepada orang-orang yang shiddîq (benar), Allah SWT berfirman:


"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar." (QS at-Taubah [9]: 119).

Karena itu amat disayangkan bila manusia menjadikan setan atau orang-orang yang berwatak setan sebagai kawan dekatnya, akibatnya merebaklah berbagai kejahatan yang disebarluaskan oleh setan, karena setan dan pengikut-pengikutnya hanya akan membuat manusia menempuh jalan hidup yang sesat hingga berujung ke neraka, Allah SWT berfirman:

"Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap setan yang sangat jahat, yang telah ditetapkan terhadap setan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia akan menyesatkannya dan membawanya ke azab neraka ." (QS al-Hajj [22]: 4)

4. Setan sebagai Musuh

Sikap terbaik yang harus ditunjukkan oleh manusia terhadap setan adalah menganggap dan menjadikannya sebagai musuh yang harus diperangi dan diwaspadai setiap saat. Setan harus diperlakukan sebagai musuh karena sepak terjangnya dalam kehidupan kita menjadi kendala besar bagi kita untuk bisa menjadi muslim yang sejati, Allah SWT berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS al-Baqarah [2]: 208)

Disamping itu, seruan Allah SWT untuk memperlakukan setan sebagai musuh tidak hanya ditujukan kepada orang-orang yang beriman, tapi juga kepada seluruh umat manusia, karena ada kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhinya dan ia tidak boleh menghalalkan segala cara dalam upaya mencapainya, Hal ini karena, meskipun manusia tidak beriman kepada Allah SWT atau tidak menjadi muslim, dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, tetap saja mereka yang tidak beriman kepada Allah-pun tidak membenarkan upaya yang menghalalkan segala cara, Allah SWT berfirman:

"Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu." (QS al-Baqarah [2]: 168).

Keharusan manusia menjadikan setan sebagai musuh juga karena dalam kehidupan bersama, manusia sangat mendambakan kedamaian hidup, sedangkan setan selalu menanamkan perselisihan, permusuhan ke dalam jiwa manusia hingga akhirnya terjadi peperangan; tidak hanya dengan kata-kata tapi juga perang secara fisik dengan korban harta dan jiwa yang sedemikian banyak serta membawa dampak kejiwaan yang negatif, dan ini sebenarnya tidak dikehendaki oleh manusia, Allah SWT berfirman:

"Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku: “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan diantara mereka. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi manusia." (QS al-Isrâ’ [17]: 53).

Manakala kita siap menjadikan setan sebagai musuh, maka setiap kita harus waspada 24 jam setiap harinya, memiliki kesiapan untuk “berperang” dengannya dalam arti tidak ada kompromi dengan setan, memiliki daya tahan yang kuat untuk menghalau godaan setan dan memohon perlindungan kepada Allah SWT dari gangguan-gangguan setan, bila ini yang kita lakukan, maka kita bisa menjadi orang yang bertakwa dengan sebenar-benar takwa.



[1] Sujud di sini berarti: menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri. Karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.

Kamis, 04 Desember 2008

FIKIH QURBAN

FIKIH QURBAN

Ikhtilâf (perbedaan pendapat) di seputar masalah ibadah qurban hingga kini tak kunjung usai. Bukan karena tidak ada dalil yang jelas atau beragamnya dalil yang bisa dirujuk, tetapi karena perbedaan para ulama dalam memahami dalil dan menerapkannya.

Qurban dalam istilah fikih adalah al-Udh-hiyyah (الأضحية) yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, yaitu waktu saat matahari naik. Secara terminologi fikih, udh-hiyyah adalah hewan sembelihan yang terdiri onta, sapi, kambing pada hari raya Iedul Adha dan hari-hari tasyriq untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata Qurban artinya mendekatkan diri kepada Allah, maka terkadang kata itu juga digunakan untuk menyebut udh-hiyyah.
Mempersembahkan persembahan kepada tuhan-tuhan adalah keyakinan yang dikenal manusia sejaka lama. Dalam kisah Habil dan Qabil yang disitir al-Quran disebutkan al-Qurthubi meriwayatkan bahwa saudara kembar perempuan Qabil yang lahir bersamanya bernama Iqlimiya sangat cantik, sedangkan saudara kembar perempuan Habil bernama Layudza tidak begitu cantik. Dalam ajaran nabi Adam dianjurkan mengawinkan saudara kandung perempuan mendapatkan saudara lak-laki dari lain ibu. Maka timbul rasa dengki di hati Qabil terhadap Habil, sehingga ia menolak untuk melakukan pernikahan itu dan berharap bisa menikahi saudari kembarnya yang cantik. Lalu mereka sepakat untuk mempersembahkan qurban kepada Allah, siapa yang diterima qurbannya itulah yang akan diambil pendapatnya dan dialah yang benar di sisi Allah. Qabil mempersembahkan seikat buah-buahan dan habil mempersembahkan seekor domba, lalu Allah menerima qurban Habil.
Qurban ini juga dikenal oleh umat Yahudi untuk membuktikan kebenaran seorang nabi yang diutus kepada mereka, sehingga tradisi itu dihapuskan melalui perkataan nabi Isa bin Maryam. Tradisi keagamaan dalam sejarah peradaban manusia yang beragam juga mengenal persembahan kepada Tuhan ini, baik berupa sembelihan hewan hingga manusia. Mungkin kisah nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih anaknya adalah salah satu dari tradisi tersebut.
Dalam al-Quran dikisahkan:
$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þ’ÎoTÎ) 3“u‘r& ’Îû ÏQ$uZyJø9$# þ’ÎoTr& y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2”ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þ’ÎT߉ÉftFy™ bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ !$£Jn=sù $yJn=ó™r& ¼ã&©#s?ur ÈûüÎ7yfù=Ï9 ÇÊÉÌÈ çm»oY÷ƒy‰»tRur br& ÞOŠÏdºtö/Î*¯»tƒ ÇÊÉÍÈ ô‰s% Mø%£‰¹ !$tƒö䔍9$# 4 $¯RÎ) y7Ï9ºx‹x. “Ì“øgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÉÎÈ žcÎ) #x‹»yd uqçlm; (#às¯»n=t7ø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÊÉÏÈ çm»oY÷ƒy‰sùur ?xö/É‹Î/ 5OŠÏàtã ÇÊÉÐÈ
102. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
103. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis-(nya), (nyatalah kesabaran keduanya).
104. Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim,
105. sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (Yang dimaksud dengan "membenarkan mimpi" ialah mempercayai bahwa mimpi itu benar dari Allah SWT dan wajib melaksanakannya)
106. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.
107. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. (QS ash-Shaffât, 37: 102-107)
Sesudah nyata kesabaran dan ketaatan Ibrahim dan Ismail a.s. maka Allah melarang menyembelih Ismail dan untuk meneruskan korban, Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (domba).
Peristiwa ini menjadi dasar disyariatkannya Qurban yang dilakukan pada hari Raya Haji.
Persembahan suci dengan menyembelih atau mengorbankan manusia juga dikenal peradaban Arab sebelum Islam. Disebutkan dalam sejarah bahwa Abdul Muthalib, kakek Rasulullah s.a.w., pernah bernadzar kalau diberi karunia 10 anak laki-laki maka akan menyembelih satu sebagai qurban. Lalu jatuhlah undian kepada Abdullah, ayah Rasulullah s.a.w.. Mendengar itu kaum Quraish melarangnya agar tidak diikuti generasi setelah mereka, akhirnya Abdul Muthalib sepakat untuk menebusnya dengan 100 ekor onta. Karena kisah ini pernah suatu hari seorang badui memanggil Rasulullah "Hai anak dua orang sembelihan" beliau hanya tersenyum, dua orang sembelihan itu adalah Ismail dan Abdullah bin Abdul Muthalib.
Begitu juga persembahan manusia ini dikenal oleh tradisi agama pada masa Mesir kuno, India, Cina, Irak dan lainnya. Kaum Yahudi juga mengenal qurban manusia hingga Masa Perpecahan. Kemudian lama-kelamaan qurban manusia diganti dengan qurban hewan atau barang berharga lainnya. Dalam sejarah Yahudi, mereka mengganti qurban dari menusia menjadi sebagian anggota tubuh manusia, yaitu dengan hitan. Kitab injil penuh dengan cerita qurban. Penyaliban Isa menurut umat Nasrani merupakan salah satu qurban teragung. Umat Katolik juga mengenal qurban hingga sekarang berupa kepingan tepung suci. Pada masa jahilyah Arab, kaum Arab mempersembahkan lembu dan onta ke Ka'bah sebagai qurban untuk Tuhan mereka.
Ketika Islam turun diluruskanlah tradisi tersebut dengan ayat Allah:
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤¶9$# tP#tptø:$# Ÿwur y“ô‰olù;$# Ÿwur y‰Í´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§‘ $ZRºuqôÊÍ‘ur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs† ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r‘‰¹ Ç`tã ωÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#r߉tG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur ’n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3“uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? ’n?tã ÉOøOM}$# Èbºurô‰ãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߉ƒÏ‰x© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[389], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[390], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[391], dan binatang-binatang qalâ-id[392], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keridhaan dari Tuhannya[393] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidil Haram, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (QS al-Mâidah, 5: 2)
[389]Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
[390]Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan Ihram., Maksudnya Ialah: dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan itu.
[391]Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.
[392]Ialah: binatang had-ya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.
[393]Dimaksud dengan karunia Ialah: Keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. keridhaan dari Allah Ialah: pahala amalan haji.
Islam mengakui konsep persembahan kepada Allah berupa penyembelihan hewan, namun diatur sedemikian rupa sehingga sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan bersih dari unsur penyekutuan terhadap Allah. Islam memasukkan dua nilai penting dalam ibadah qurban ini, yaitu nilai historis berupa mengabadikan kejadian penggantian qurban nabi Ibrahim dengan seekor domba dan nilai kemanusiaan berupa pemberian makan dan membantu fakir miskin pada saat hari raya. Dalam Hadits riwayat Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi dari Zaid bin Arqam, suatu hari Rasulullah ditanyai "untuk apa sembelihan ini?" belian menjawab: "Ini sunnah (tradisi) ayah kalian nabi Ibrahim a.s." lalu sahabat bertanya:"Apa manfaatnya bagi kami?" belau menjawab:"Setiap rambut qurban itu membawa kebaikan" sahabat bertanya: "Apakah kulitnya?" beliau menjawab: "Setiap rambut dari kulit itu menjadi kebaikan".
Qurban juga ditujukan untuk memberi makan jamaah haji dan penduduk Makkah yang menunaikan ibadah haji. Dalam surah al-Hajj ditegaskan:
Èe@à6Ï9ur 7p¨Bé& $oYù=yèy_ %Z3¡YtB (#rãä.õ‹u‹Ïj9 zNó™$# «!$# 4’n?tã $tB Nßgs%y—u‘ .`ÏiB ÏpyJ‹Îgt/ ÉO»yè÷RF{$# 3 ö/ä3ßg»s9Î*sù ×m»s9Î) Ó‰Ïnºur ÿ¼ã&s#sù (#qßJÎ=ó™r& 3 ÎŽÅe³o0ur tûüÏGÎ6÷‚ßJø9$# ÇÌÍÈ
"Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka, Maka Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)." (QS al-Hajj, 22: 34)
Begitu juga dijelaskan:
bÏiŒr&ur ’Îû Ĩ$¨Y9$# Ædkptø:$$Î/ š‚qè?ù'tƒ Zw%y`Í‘ 4’n?tãur Èe@à2 9ÏB$Ê šúüÏ?ù'tƒ `ÏB Èe@ä. ?dksù 9,ŠÏJtã ÇËÐÈ
"Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[984] yang datang dari segenap penjuru yang jauh." (QS al-Hajj, 22: 27)
[984]Unta yang kurus menggambarkan jauh dan sukarnya yang ditempuh oleh jemaah haji.
(#r߉ygô±uŠÏj9 yìÏÿ»oYtB öNßgs9 (#rãà2õ‹tƒur zNó™$# «!$# þ’Îû 5Q$­ƒr& BM»tBqè=÷è¨B 4’n?tã $tB Nßgs%y—u‘ .`ÏiB ÏpyJ‹Îgt/ ÉO»yè÷RF{$# ( (#qè=ä3sù $pk÷]ÏB (#qßJÏèôÛr&ur }§Í¬!$t6ø9$# uŽÉ)xÿø9$# ÇËÑÈ
"Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan[985] atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak[986]. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir." (QS al-Hajj, 22: 28)
[985]Hari yang ditentukan ialah hari raya haji dan hari tasyriq, Yaitu tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
[986]Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah binatang-binatang yang termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.
Dalil-dalil Qurban
1. Firman Allah dalam surah al-Kautsar:
Èe@Ásù y7În/tÏ9 öptùU$#ur ÇËÈ
"Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah[1605]." (QS al-Kautsar, 108: 2)
[1605]Yang dimaksud berkorban di sini ialah: menyembelih hewan qurban dan mensyukuri nikmat Allah.
Ayat ini boleh dijadikan dalil disunnahkannya qurban, dengan asumsi bahwa ayat tersebut "madaniyyah", karena ibadah qurban mulai diberlakukan setelah beliau hijrah ke Madinah.
2. Firman Allah dalam surat al-Hajj:
šcô‰ç7ø9$#ur $yg»oYù=yèy_ /ä3s9 `ÏiB Ύȵ¯»yèx© «!$# ö/ä3s9 $pkŽÏù ׎öyz ( (#rãä.øŒ$$sù zNó™$# «!$# $pköŽn=tæ ¤$!#uq¹ ( #sŒÎ*sù ôMt7y_ur $pkæ5qãZã_ (#qè=ä3sù $pk÷]ÏB (#qßJÏèôÛr&ur yìÏR$s)ø9$# §ŽtI÷èßJø9$#ur 4 y7Ï9ºx‹x. $yg»tRö¤‚y™ öNä3s9 öNä3ª=yès9 tbrãä3ô±s? ÇÌÏÈ `s9 tA$uZtƒ ©!$# $ygãBqçté: Ÿwur $ydät!$tBÏŠ `Å3»s9ur ã&è!$uZtƒ 3“uqø)­G9$# öNä3ZÏB 4 y7Ï9ºx‹x. $ydt¤‚y™ ö/ä3s9 (#rçŽÉi9s3çGÏ9 ©!$# 4’n?tã $tB ö/ä31y‰yd 3 ÎŽÅe³o0ur šúüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÌÐÈ * žcÎ) ©!$# ßìÏùºy‰ãƒ Ç`tã tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä† ¨@ä. 5b#§qyz A‘qàÿx. ÇÌÑÈ
36. dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam Keadaan berdiri (dan telah terikat). kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami telah menundukkan untua-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur.
37. Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi Ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
38. Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang telah beriman. Sesungguhnya Allah tidak menyukai tiap-tiap orang yang berkhianat lagi mengingkari nikmat. (QS al-Hajj, 22: 36-38)
3. Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik r.a.: "Rasulullah berqurban dengan dua ekor domba gemuk bertanduk, beliau menyembelihnya dengan tangan beliau dengan membaca bismillah dan takbir, beliau menginjakkan kakinya di paha domba".
Hukum Qurban
1. Mayoritas ulama terdiri antar lain: Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Bilal, Ibnu Mas'ud, Said bin Musayyab, Alqamah, Malik, Syafii, Ahmad, Abu Yusuf dll. Mengatakan Qurban hukumnya sunnah, barangsiapa melaksanakannya mendapatkan pahala dan barang siapa tidak melakukannya tidak dosa dan tidak harus qadla, meskipun ia mampu dan kaya. Qurban hukumnya sunnah (kifayah) kepada keluarga yang beranggotakan lebih satu orang, apabila salah satu dari mereka telah melakukannya maka itu telah mencukupi. Qurban menjadi sunnah ain kepada keluarga yang hanya berjumlah satu orang. Mereka yang disunnah berqurban adalah yang mempunyai kelebihan dari kebutuhan sehari-harinya yang kebutuhan makanan dan pakaian.
2. Riwayat dari ulama Malikiyah mengatakan qurban hukumnya wajib bagi mereka yang mampu.
Adakah Nisab Qurban?
1. Para ulama berbeda pendapat mengenai ukuran seseorang disunnahkan melakukan qurban. Imam Hanafi mengatakan barang siapa mempunyai kelebihan 200 dirham atau memiliki harta senilai itu, dari kebutuhan tinggal, pakaian dan kebutuhan dasarnya.
2. Imam Ahmad berkata: ukuran mampu quran adalah apabila dia bisa membelinya dengan uangnya walaupun uang tersebut didapatkannya dari hutang yang ia mampu membayarnya.
3. Imam Malik mengatakan bahwa ukuran seseorang mampu qurban adalah apabila ia mempunyai kelebihan seharga hewan qurban dan tidak memerlukan uang tersebut untuk kebutuhannya yang mendasar selama setahun. Apabila tahun itu ia membutuhkan uang tersebut maka ia tidak disunnahkan berqurban.
4. Imam Syafii mengatakan: ukuran mampu adalah apabila seseorang mempunyai kelebihan uang dari kebutuhannya dan kebutuhan orang yang menjadi tanggungannya, senilai hewan qurban pada hari raya Idul Adha dan tiga hari tasyriq.
Keutamaan Qurban:
1. Dari Aisyah r.a. Rasulullah s.a.w. bersabda: "Amal yang paling disukai Allah pada hari penyembelihan adalah mengalirkan darah hewan qurban, sesungguhnya hewan yang diqurbankan akan datang (dengan kebaikan untuk yang melakukan qurban) di hari kiamat kelak dengan tanduk-tanduknya, bulu dan tulang-tulangnya, sesunguhnya (pahala) dari darah hewan qurban telah datang dari Allah sebelum jatuh ke bumi, maka lakukanlah kebaikan ini". (H.R. at-Tirmidzi).
2. Hadits Ibnu Abbas Rasulullah bersabda: "Tiada sedekah uang yang lebuh mulia dari yang dibelanjakan untuk qurban di hari raya Adha" (H.R. ad-Daruqutni).
Waktu Penyembelihan Qurban
1. Dari Jundub r.a.: Rasulullah melaksanakan shalat (Idul Adha) di hari penyembelihan, lalu beliau menyembelih, kemudian beliau bersabda: "Barangsiapa menyembelih sebelum shalat maka hendaknyha ia mengulangi penyembelihan sebagai ganti, barangsiapa yang belum menyembelih maka hendaklah ia menyembelih dengan menyebut nama Allah". (H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
2. Dari Barra' bin 'Azib, bahwa paman beliau bernama Abu Bardah menyembelih qurban sebelum shalat, lalu sampailah ihwal tersebut kepada Rasulullah s.a.w. lalu beliau bersabda:"Barangsiapa menyembelih sebelum shalat maka ia telah menyembelih untuk dirinya sendiri dan barang siapa menyembelih setelah shalat maka sempurnalah ibadahnya dan sesuai dengan sunnah (tradisi) kaum muslimin"(H.R. Al-Bukhari dan Muslim).
3. Hadits Barra' bin 'Azib, Rasulullah s.a.w. bersabda: "Pekerjaan yang kita mulai lakukan di hari ini (Idul Adha) adalah shalat lalu kita pulang dan menyembelih, barangsiapa melakukannya maka telah sesuai dengan ajaran kami, dan barangsiapa memulai dengan menyembelih maka sesungguhnya itu adalah daging yang ia persembahkan untuk keluarganya dan tidak ada kaitannya dengan ibadah" (H.R. Muslim).
Perbedaan Pendapat berkaitan dengan hadis-hadis di atas:
1. Imam Nawawi menegaskan dalam syarah sahih Muslim bahwa waktu penyembelihan sebaiknya setelah shalat bersama imam, dan telah terjadi konsensus (ijma') ulama dalam masalah ini. Ibnu Mundzir juga menyatakan bahwa semua ulama sepakat mengatakan tidak boleh menyembelih sebelum matahari terbit.
2. Adapun setelah matahari terbit, Imam Syafi'i dll. menyatakan bahwa sah menyembelih setelah matahari terbit dan setelah tenggang waktu kira-kira cukup untuk melakukan shalat dua rakaat dan khutbah. Apabila ia menyembelih pada waktu tersebut maka telah sah meskipun ia shalat ied atau tidak.
3. Imam Hanafi mengatakan: waktu penyembelihan untuk penduduk pedalaman yang jauh dari perkampungan yang ada masjid adalah terbitnya fajar, sedangkan untuk penduduk kota dan perkampungan yang ada masjid adalah setelah shalat Iedul Adha dan khutbah ied.
4. Imam Malik berkata: waktu penyembelihan adalah setelah shalat ied dan khutbah. Imam Ahmad berkata: waktunya adalah setelah shalat ied. Demikian, waktu penyembelihan berlanjut hingga akhir hari tasyriq, yaitu tanggal 13 Dzulhijjah.
Tidak ada dalil yang jelas mengenai batas akhir waktu penyembelihan dan semua didasarkan pada ijtihad, yaitu didasarkan pada logika bahwa pada hari-hari itu diharamkan berpuasa maka selayaknya itu menjadi waktu-waktu yang sah untuk menyembelih qurban.
Menyembelih di Malam Hari
Menyembelih hewan qurban di malam hari hukumnya makruh sesuai pendapat Imam Syafii. Bahkan menurut imam Malik dan Ahmad: menyembelih pada malam hari hukumnya tidak sah dan menjadi sembelihan biasa, bukan qurban.
Hewan Yang Disembelih
1. Imam Nawawi dalam syarah sahih Muslim menegaskan telah terjadi ijma' ulama bahwa tidak sah melakukan qurban selain dengan onta, sapi dan kambing. Riwayat dari Ibnu Mundzir Hasan bin Sholeh mengatakan sah berqurban dengan banteng untuk tujuh orang dan dengan kijang untuk satu orang.
2. Adapun riwayat dari Bilal yang mengatakan: "Aku tidak peduli meskipun berqurban dengan seekor ayam, dan aku lebih suka memberikannya kepada yatim yang menderita daripada berqurban dengannya", maksudnya bahwa beliau melihat bahwa bersedekah dengan nilai qurban lebih baik dari berqurban. Ini pendapat Malik dan Tsauri. Begitu juga riwayat sebagian sahabat yang membeli daging lalu menjadikannya qurban, bukanlah menunjukkan boleh berqurban dengan membeli daging, melainkan itu sebagai contoh dari mereka bahwa qurban bukan wajib melainkan sunnah.
Makan Daging Qurban
Hukum memakan daging qurban yang dilakukan untuk dirinya sendiri, apabila qurban yang dilakukan adalah nadzar maka haram hukumnya memakan daging tersebut dan ia harus menyedekahkan semuanya. Adapun qurban biasa, maka dagingnya dibagi tiga, sepertiga untuk dirinya dan keluarganya, sepertiga untuk dihadiahkan dan sepertiga untuk disedekahkan.
Membagi tiga ini hukumnya sunnah dan bukan merupakan kewajiban. Qatadah bin Nu'man meriwayatkan Rasulullah s.a.w. bersabda: "Dulu aku melarang kalian memakan daging qurban selama tiga hari untuk memudahkan orang yang datang dari jauh, tetapi aku telah menghalalkannya untuk kalian, sekarang makanlah, janganlah menjual daging qurban dan hadyu, makanlah, sedekahkanlah dan ambilah manfaat dari kulitnya dan janganlah menjualnya, apabila kalian mengharapkan dagingnya maka makanlah sesuka hatimu" (H.R. Ahmad).
Sebaiknya dalam dalam melakukan qurban, pelakunyalah yang menyembelih dan tidak mewakilkannya kepada orang lain. Apabila ia mewakilkan kepada orang lain maka sebaiknya ia menyaksikan.

Wallâhu'alam bish-shawâb.