Kamis, 15 Mei 2008

AGAMA DAN DEMOKRASI

Agama dan Demokrasi

Demokrasi adalah sebuah sistim penataan hidup kemasyarakatan yang diperkembangkan dalam dunia moderen. Bentuk-bentuk awal dimulai di Yunani pada abad ke-6 SM. Ditemukan pula ciri-cirinya dalam masyarakat Ma’in (Yemen kuno) abad ke-2 SM. Ada yang menyatakan bahwa masyarakat suku-suku Indonesia yang belum mengenal sistim monarki menjalankan demokrasi dalam bentuk musyawarah.
Dari Barat Sekuler
Umumnya diterima bahwa sistim demokrasi merupakan pilihan ideal untuk penataan sosial masyarakat moderen dalam bentuk nation state. Apalagi negara dengan kebhinekaan masyarakat seperti di Indonesia. Adakah kaitan antara agama dengan demokrasi moderen? Dari sejarah kebudayaan Barat, di mana demokrasi moderen berkembang, agama Kristen tidak menjadi motor dalam proses demokrasi. Sebaliknya, dapat dikatakan bahwa demokrasi muncul justru sebagai alternatif terhadap sistim kekuasaan absolut yang pada masa itu didukung gereja. Pembaharuan kebudayaan Barat (Renaissance), pembaharuan gereja (Reformasi), gerakan Pencerahan (Enlightenment), sistim ekonomi kapitalisme, dan perkembangan ilmu dan teknologi moderen merupakan faktor-faktor yang menentukan perkembangan masyarakat Eropa (Barat) dan Amerika ke arah masyarakat moderen. Puncak-puncaknya ditandai 3 revolusi besar: Revolusi Amerika, Revolusi Perancis dan kemudian Revolusi Industri (Inggeris). Kedua revolusi yang pertama mengedepankan prinsip-prinsip demokrasi yang terkait dengan pengakuan terhadap hak-hak asasi politik warga negara. Pembaharuan gereja (Reformasi) bermakna dalam memecah kekuasaan tunggal Gereja, yang dalam kerjasama dengan pusat-pusat kekuasaan lokal meruntuhkan Corpus Christianum, dan memungkinkan proses transformasi Eropa Abad-abad Pertengahan menjadi Eropa moderen. Namun tetaplah jelas bahwa agama (gereja) bukanlah sumber gagasan-gagasan demokrasi moderen. Para pemikir sistim demokrasi dari Perancis, Inggeris atau Amerika pada abad ke-17 - 19 bukanlah para teolog atau pemimpin agama. Baru kemudian gagasan-gagasan dasar demokrasi seperti kebebasan, keadilan, anti diskriminasi dan penegakan hak-hak asasi manusia lainnya, serta aspek-aspek lain yang terkait seperti rekonsiliasi sosial dan kelestarian fungsi ekologi mendapat perhatian dan dukungan pemikiran teologi dan aktivitas gereja.
Ada pemikiran yang melihat kemajuan Barat sebagai buah dari perjumpaan 3 pilar kebudayaan yang masing-masing diperkembangkan dari jalinan warisan tradisi-tradisi yang berbeda dalam sejarahnya: pemikiran kritis obyektif dari tradisi filsafat Yunani, sistim hukum dari tradisi Romawi, dan pandangan sejarah yang linear dari tradisi Yahudi-Kristen. Ketiga akar budaya tersebut memungkinkan manusia menjadi subyek atas sejarah dan alam ciptaan, suatu posisi yang mendukung kreativitas, baik dalam pengembangan ilmu dan aplikasi teknologisnya maupun dalam penataan sosial, yang tidak terikat pada mitos, doktrin agama atau kekuatan lain yang menghalangi pengembangan potensi manusia. Alur pikiran itu mungkin ada benarnya, namun ketika dengan itu dijatuhkan penilaian pejoratif terhadap kebudayaan non-Barat sebagai yang terikat pada pandangan monisme di mana manusia tidak diakui sebagai subyek, orang mengajukan keberatan-keberatan serius.
Ada pandangan yang menyatakan bahwa selain dampak sosial dan politik Reformasi, peran gereja bagi perkembangan demokrasi di Barat dapat ditelusuri dalam 2 jejak sejarah gereja. Yang pertama munculnya sistem kepemimpinan presbiterial dalam gereja pada abad ke-17 di Inggeris, yang sekaligus menentang dominasi kepemimpinan tunggal dan memperluas gagasan kesetaraan warga gereja sesuai doktrin Protestan mengenai imamat am orang beriman. Yang kedua berkaitan dengan perkembangan kapitalisme, yang merupakan dukungan ekonomi bagi pengembangan demokrasi. Sebagaimana dalam tesis Max Weber yang terkenal --namun banyak dipersoalkan-- bahwa sistim kapitalisme didukung oleh etika Protestan.
Bagaimanapun perkembangan yang penting dalam sejarah Kekristenan di Barat -–yang berpengaruh ke seluruh dunia Kriisten sejak itu–- adalah penemuan kembali gereja terhadap hubungannya dengan politik, yakni bukan berada di atas atau di dalam pemerintahan duniawi, sebagaimana berlangsung di Eropa sejak masa Konstantinus Agung sampai akhir Abad Pertengahan (disebut dalam sejarah Barat sebagai the Constantinian Era), melainkan mendampingi kekuasaan politik secara kritis, sesuai tradisi para nabi dan yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Ajaran ‘dua pedang di tangan gereja’ (gereja memegang kuasa rohani maupun kuasa duniawi sehingga raja-raja harus tunduk kepada Sri Paus) pada Abad-abad Pertengahan ditinggalkan. Gereja menarik diri dari dunia politik praktis yang berurusan langsung dengan perjuangan mencapai tampuk kekuasaan. Dalam dunia moderen, adanya partai politik Kristen pada prinsipnya lebih untuk menjalankan peran moral kenabian daripada mengimpikan negara atau pemerintahan Kristen. Prinsip utama dalam peran itu adalah supaya penguasa menegakkan keadilan, menciptakan perdamaian dan memajukan kesejahteraan seluruh rakyat. Karena itu, menurut Alkitab, pemerintah adalah ‘hamba Allah’ untuk mewujudkan kebaikan (Roma 13), tetapi sebaliknya pemerintah yang lalim dan korup adalah si binatang yang muncul dari dalam laut (Wahyu 13).
Apakah di luar pengaruh kebudayaan Barat dapat juga diperkembangkan sistim demokrasi? Dasar-dasar demokrasi, seperti sistim pemerintahan yang memisahkan fungsi-fungsi kekuasaan (trias politika), asas kedaulatan rakyat, dan hak-hak (politik) warga negara memang tidak berkembang di luar peradaban Barat. Monarki absolut yang umumnya dilegitimasi agama berganti-ganti memerintah dunia kuno di Mesir, Babilonia, Persia dan wilayah-wilayah berkebudayaan India, Cina, dan juga dunia Islam. Lebih seribu tahun Nusantara mengalami pemerintahan silih berganti dari Kerajaan Hindu, Buddha dan Islam sampai fihak Barat datang dengan kuasa penjajahan. Dan berbeda dengan di Barat, di dunia non Barat tidak berkembang kekuatan-kekuatan dan pemikiran kreatif yang membebaskan manusia dari cengekeraman penguasa absolut yang dilegitimasi agama. Demokrasi mempunyai habitatnya dalam masyarakat di mana agama memasuki periode substansi etika bagi pengembangan kebudayaan. Ketika gereja masih menekankan formalisme agama dan bersekutu dengan para penguasa absolut maka dunia Barat berada dalam periode Middle Ages (abad ke-5 - 16 M), yang oleh para humanis disebut sebagai a thousand-year period of darkness and ignorance. Baru kemudian setelah gereja tergusur dari panggung kekuasaan formal maka agama Kristen memasuki peran lain yang lebih bermakna dan substansial, yakni memberikan dasar-dasar moral-etik bagi pengembangan kemanusiaan dan kemasyarakatan yang dewasa, rasional dan terbuka. Itulah sekularisasi. Dengan penekanan pada substansi moral-etik agama tidak mudah diekploitasi atau dimanipulasi kepentingan politik yang beroristasi kekuasaan.
Jadi, pertanyaan mengenai hubungan agama dan demokrasi -–dengan mengacu pada sejarah Barat–- menunjuk pada pentingnya reformasi dan transformasi agama, dari formalisme dan keterjalinan dengan kekuasaan menjadi kekuatan moral individual dan sosial yang berada di luar namun tetap menjalankan fungsi kritis-konstruktif terhadap kekuasaan. Dalam hal ini suatu partai politik dengan bendera agama mestinya bukanlah untuk membangunan suatu religius state, melainkan lebih pada pengembangan a religiously-based political ethics.
Formalisme versus Substansialisme
Dari titik ini kita dapat membahas hubungan agama dan demokrasi dari sudut yang lain: apakah masyarakat yang ditopang kebudayaan non-Barat, seperti dunia Islam, dapat mengembangkan demokrasi?
Pertanyaan ini bersifat historis, dalam arti jawabannya ditentukan oleh faktor-faktor kesejarahan, termasuk atau khususnya hubungan dengan dunia Barat. Untuk kasus dunia Islam, hubungan dengan Barat diwarnai oleh konflik dan konfrontasi, baik pergulatan dunia Mediteranian yang berpuncak pada perang-perang salib (abad ke 11-13), maupun era kolonialisme, pasca kolonialisme dan (pasca) perang dingin, termasuk dampak luas dari peristiwa 11 September 2001lalu.
Dalam alur pemikiran di atas, tantangan demokrasi dalam dunia Islam meliputi beberapa aspek. Secara internal usaha-usaha yang menekankan substansi (etika) Islam dalam format demokrasi moderen berhadapan dengan kecenderungan formalisme dan jalinan dengan kekuasaan, yang demikian kuat (misalnya dalam gagasan-gagasan Islamic state atau Islamic ideology). Bahtiar Efendy, salah seorang pemikir muda Islam, menyimpulkan bahwa pertentangan antara fihak yang cenderung legalistik dan formalistik dengan yang melihat Islam dalam dimensinya yang lebih substantif ikut mempersulit dan bahkan faktor yang dominan dalam upaya melakukan sintesis antara Islam dan negara (Teologi Baru Politik Islam, h. 8).
Di Indonesia perkembangan yang cukup menarik adalah perjuangan para intelektual Islam sejak periode pergerakan kemerdekaan mengembangkan ideologi Islam dalam rangka membentuk negara Islam. Malahan ada usaha-usaha secara sempalan mendirikan negara Islam (DI/TII). Pertarungan ideologis pada periode demokrasi liberal yang gagal dan tampilnya dominasi militer memunculkan gagasan-gagasan baru yang lebih ke arah substansi Islam dengan meninggalkan ide Islamic state ke Islamic society dengan gagasan masyarakat madani sebagai salah satu puncak wacananya. Dengan menyinggung masyarakat madani, kita memasuki suatu bentuk dari upaya Islam mewujudkan demokrasi. Istilah ‘masyarakat madani’ masih kontroversial karena penafsiran yang berbeda-beda. Bagaimana pun, istilah ini mengandung di dalamnya upaya Islam untuk mengembangkan sistim kemasyarakat moderen yang tidak sekadar meniru demokrasi moderen dari Barat, melainkan memberinya corak dan subtansi Islam.
Dalam hubungan itu adanya kecenderungan dewasa ini meng-aplikasikan syari’a Islam dalam kehidupan nasional secara legal-konstitusional dapat dilihat sebagai kemunduran ke arah formalisme agama dalam kekuasaan. Tetapi dapat pula merupakan bingkai bagi pengembangan gagasan masyarakat madani, yakni jika aplikasi syari’ah Islam terarah pada substansi yang diformulasi dan diterapkan dalam kerangka penguatan nilai-nilai moral keagamaan suatu civil society. Jika tidak demikian maka kecenderungan tersebut merupakan aborsi terhadap pengembangan gagasan masyarakat madani. Catatan ini mengedepankan salah satu faktor dalam kelemahan masyarakat Islam mengembangkan demokrasi, yakni kecenderungan yang formalistik-ideologis. Di samping perbedaan itu, kekuatan-keluatan politik Islam juga diperlemah oleh perpecahan-perpecahan, yang nampaknya lebih disebabkan oleh ambisi kekuasaan daripada perbedaan substansial mengenai format dan ideologi perjuangan politik.
Selain faktor internal tersebut, kelemahan lainnya berkaitan dengan beberapa kenyataan sosial yang menghambat pengembangan demokrasi, seperti rendahnya tingkat pendidikan dan kesadaran politik masyarakat, pluralitas budaya dan kaitan etnis dan kedaerahan, lemahnya kelas menengah terpelajar, serta dominasi militer dalam politik. Hal-hal yang disebutkan ini bukan saja menjadi masalah bagi politik Islam, melainkan juga bagi pengembangan demokrasi di Indonesia secara keseluruhan.
Di lain fihak, politik Islam Indonesia berhadapan dengan kekuatan-kekuatan politik yang menolak Islam sebagai pilihan ideologis. Sejarah politik Indonesia sejak pergerakan kemerdekaan mewariskan perbedaan-perbedaan yang mendasar. Tetapi kesepakatan yang dicapai dalam perumusan Pancasila pada tahun 1945 sebenarnya merupakan tonggak penting bagi pengembangan suatu kebersamaan yang demokratis dalam alam kemerdekaan, keadilan, dan persaudaraan masyarakat kita yang serba majemuk, termasuk kemajemukan agama. Dan terlepas dari semua penyimpangan terhadap Pancasila selama ini, kelima prinsip dasar di dalamnya tetap relevan bagi kehidupan bangsa kita. Pancasila mencakup berbagai aspek yang saling melengkapi bagi pengembangan kehidupan nasional yang religius, humanistik, bersatu, demokratis, dan berkeadilan sosial.
Dewasa ini kita menyaksikan munculnya kelompok-kelompok radikal keagamaan -–dewasa ini khususnya Islam–- yang mennimbulkan kecemasan dengan gagasan-gagasan politik kegamaan yang legalistik dan formalistik dan disertai mobilisasi massa dengan dukungan kekuatan-kekuatan para-militer, yang menciderai citra Islam sebagai agama damai. Tetapi di fihak lain ada perkembangan yang menggembirakan bahwa para cendekiawan dari masing-masing agama terus berusaha mengembangkan gagasan-gagasan kreatif yang bertolak dari ajaran agama masing-masing untuk menjawab kebutuhan kita menjadi bangsa yang maju dan demokratis. Masa depan demokrasi Indonesia akan juga ditentukan -–selain faktor-faktor lain seperti peran politik tentara–- oleh kemampuan cendekiawan dan umat Islam memperhubungkan substansi Islam dengan tuntutan demokrasi moderen. Bahtiar Efendi menunjuk pada 3 alur pemikiran dalam kalangan pembaruan Islam Indonesia, “yang berusaha mengembangkan format politik Islam yang lebih memperhatikan isi (susbstance), daripada bentuk (form).” Ketiganya meliputi pembaruan pemikiran keagamaan, pembaruan politik dan birokrasi, dan transformasi sosial. Sebagai penutup pengantar ini dapat dikutip harapannya dalam usaha menjembatani kesenjangan ideologi antara Islam dan negara:
“Islam tidak seharusnya diposisikan secara antagonistik dalam hubungannya dengan negara. Dalam hal ini, adalah penting untuk tidak mempertentangkan antara Islam dan Pancasila. Sebaliknya, hubungan di antara keduanya dapat bersifat komplementer. Pandangan seperti ini didorong oleh kenyataan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sesuai dengan nilai-nilai Islam. Karenanya, dari sudut pandang keagamaan tidak ada kewajiban bagi orang islam untuk mempersoalkan legitimasi konstruksi negara Indonesia yang berdasarkan pancasila.” (Teologi Baru Politik Islam, h. 21).
--------------
Makassar, 27 Maret 2002
*Zakaria J. Ngelow, teolog Kristen, dosen pada STT INTIM MAKASSAR. Summary:
1. Modern democracy emerged in the West from a background of the decline of Corpus Christianum. Supported by Enlightenment and other factors in the Western history, American, French and Industrial revolutions. Democracy development went hand in hand with development of modern science and technology, capitalism economy and human rights.
2. There were some tracks of Christian indirect support to the development of modern democracy, but in general democracy is not a religious achievement. Only recently Christian theological thoughts engaged with problems of democracy.
3. It is a striking phenomenon that modern democracy developed in Western or western influenced societies. Are the non-Western cultures immune to democracy? Why did great civilizations of non-Western worlds seem to be unfit to democratic systems?
4. In the case of Islamic countries, reluctance to apply democracy partly is caused by unharmonious relationship to the West almost from the beg
inning of Islam emergence as political and economical power in the Mediterranean and then in the long period of colonialism until the recent development. Democracy regarded and rejected as a Western cultural value.
5. The most important factor is the tendency among Muslim politicians to apply Islamic political principles in a rigid, legalistic and formalistic way. But this tendency is countered by a more substantive approach by modern enlightened Islamic scholars. The future of Indonesian democracy will be determined by the efforts of this groups. Of course some other factors like economic and military roles are significant. Another significant factor is political education among Muslim to free them from religious political exploitation or manipulation.
6. The concept of ‘masyarakat madani” (Islamic type of civil society) should be developed into a creative and complementary way with Pancasila.
Zakaria Ngelow
----------------
International conference on: Democratic challenges in Muslim Countries,
Hotel Sahid Makassar, 27 March 2002,
organized by
Ifo-RESO (Institue for Religious and Social Change Studies)

TEORI POLITIK ISLAM

Teori Politik Islam
« Pembentukan Negara Islam «

Pendahuluan
Di antara fenomena yang disadari oleh sebagian pengkaji teori-teori politik secara umum, adalah: adanya hubungan yang erat antara timbulnya pemikiran-pemikiran politik dengan perkembangan kejadian-kejadian historis (1). Jika fenomena itu benar bagi suatu jenis atau madzhab pemikiran tertentu, dalam bidang pemikiran apapun, hal itu bagi pertumbuhan dan perkembangan teori-teori politik Islam amatlah jelas benarnya. Teori-teori ini ---terutama pada fase-fase pertumbuhan pertamanya-- berkaitan amat erat dengan kejadian-kejadian sejarah Islam. Hingga hal itu harus dilihat seakan-akan keduanya adalah seperti dua sisi dari satu mata uang. Atau dua bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Sifat hubungan di antara keduanya berubah-ubah: terkadang pemikiran-pemikiran itu tampak menjadi penggerak terjadinya berbagai kejadian, dan terkadang pula kejadian-kejadian itu menjadi pendorong atau rahim yang melahirkan pendapat-pendapat itu. Kadang-kadang suatu teori hanyalah sebuah bias dari kejadian yang berlangsung pada masa lalu. Atau suatu kesimpulan yang dihasilkan melalui perenungan atas suatu pendapat yang telah diakui pada masa sebelumnya. Atau bisa pula hubungan itu berbentuk lain.
Karena adanya hubungan antara dua segi ini, segi teoretis dan realistis, maka jelaslah masing-masing dari kedua hal itu tidak dapat dipahami tanpa keberadaan yang lain. Metode terbaik untuk mempelajari teori-teori ini adalah dengan mengkajinya sambil diiringi dengan realitas-realitas sejarah yang berkaitan dengannya. Secara berurutan sesuai dengan fase-fase perkembangan historisnya ---yang sekaligus merupakan runtutan alami dan logisnya. Sehingga dapat dipahami hakikat hubungan yang mengkaitkan antara dua segi, dapat memperjelas pendapat-pendapat, dan dapat menunjukkan bumi yang menjadi tempat tumbuhnya masing-masing pemikiran hingga berbuah, dan mencapai kematangannya. Inilah metode yang akan kami gunakan.
Era Kenabian
Era ini merupakan era pertama dalam sejarah Islam. Yaitu dimulai semenjak Rasulullah Saw memulai berdakwah mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT hingga meninggalnya beliau. Era ini paling baik jika kita namakan sebagai era "kenabian" atau "wahyu". Karena era itu memiliki sifat tertentu yang membedakannya dari era-era yang lain. Ia merupakan era ideal yang padanya ideal-ideal Islam terwujudkan dengan amat sempurna.
Era ini terbagi menjadi dua masa, yang keduanya dipisahkan oleh hijrah. Kedua fase itu tidak memiliki perbedaan dan kelainan satu sama lain, seperti yang diklaim oleh beberapa orientalis (2). Bahkan fase yang pertama merupakan fase yang menjadi titik tolak bagi fase kedua. Pada fase pertama, embrio 'masyarakat Islam' mulai tumbuh, dan telah ditetapkan kaidah-kaidah pokok Islam secara general. Kemudian pada fase kedua bangun 'masyarakat Islam' itu berhasil dibentuk, dan kaidah-kaidah yang sebelumnya bersifat general selesai dijabarkan secara mendetail. Syari'at Islam disempurnakan dengan mendeklarasikan prinsip-prinsip baru, dan dimulailah pengaplikasian dan pelaksanaan prinsip-prinsip itu seluruhnya. Sehingga tampillah Islam dalam bentuk sosialnya secara integral dan aktif, yang semuanya menuju kepada tujuan-tujuan yang satu.
Sejarah, dalam pandangan politik, lebih terpusat pada fase kedua dibandingkan dengan fase pertama. Karena saat itu jama'ah Islam telah menemukan kediriannya, dan telah hidup dalam era kebebasan dan independensi. Ia juga telah meraih 'kedaulatan'nya, secara penuh. Sehingga prinsip-prinsip Islam sudah dapat diletakkan dalam langkah-langkah praksis. Namun, dalam pandangan sejarah, ciri terbesar yang menandai kedua fase itu adalah sifatnya sebagai fase 'pembentukan', dan fase pembangunan dan permulaan. Fase ini memiliki urgensitas yang besar dalam menentukan arah kejadian-kejadian historis selanjutnya, dan sebagai peletak rambu-rambu yang diikuti oleh generasi-generasi berikutnya sepanjang sejarah. Sedangkan dari segi pemikiran teoritis, pengaruhnya terbatas pada kenyataannya sebagai ruh umum yang terus memberikan ilham terhadap pemikiran ini, memberikan contoh atau teladan ideal yang menjadi rujukan pemikiran-pemikiran itu, meskipun pemikiran-pemikiran itu berbeda satu sama lain, dan memberikan titik pertemuan bagi pendapat-pendapat dan madzhab-madzhab yang berbeda. Sedangkan selain itu, ia tidak memiliki hubungan dengan tumbuhnya pendapat-pendapat parsial yang memiliki kekhasan masing-masing. Terutama jika objek kajiannya adalah analisis terhadap sistem umum yang menjadi platform kenegaraan ummat, atau tentang hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, atau analisis terhadap salah satu sifatnya. Atau dengan kata lain, analisis terhadap masalah-masalah yang dinamakan sebagai 'politik'. Karena pendapat-pendapat personal itu tidak tumbuh dalam satu atmospir. Namun pendapat-pendapat itu tampil seiring dengan terjadinya perbedaan pendapat dan kecenderungan-kecenderungan. Yang mendorong timbulnya pendapat-pendapat itu juga adalah adanya perasaan kurang sempurna yang ada di tengah masyarakat, dan keinginan untuk mengoreksi sistem atau perilaku-perilaku yang sedang berlangsung. Sedangkan jika suatu sistem telah sempurna, yang mencerminkan prinsip-prinsip agung yang diamini oleh seluruh anggota jama'ah (ummat), dan adanya persatuan yang terwujud di antara individu-individu, kemudian mereka menyibukkan diri mereka untuk berbicara dan berdebat tentang agenda-agenda kerja yang besar, niscaya tidak diperlukan sama sekali tumbuhnya pendapat-pendapat individu atau tampil 'teori-teori'.
Demikianlah, era Rasulullah Saw mencerminkan era persatuan, usaha dan pendirian bangunan umat. Serta menampilkan ruh yang mewarnai kehidupan politik, dan mewujudkan replika bangunan masyarakat yang ideal untuk diteladani dan ditiru oleh generasi-generasi yang datang kemudian. Namun, 'pemikiran teoritis' saat itu belum dimulai. Hal ini tentu amat logis dengan situasi yang ada. Yang jelas, belum ada kebutuhan terhadap hal itu. Namun demikian, belum lagi era tersebut berakhir, sudah timbul faktor-faktor fundamental yang niscaya mendorong timbulnya pemikiran ini, dan membentuk 'teori-teori politik' secara lengkap. Di antara faktor-faktor yang terpenting ada tiga hal: pertama, sifat sistem sosial yang didirikan oleh Rasulullah Saw. Kedua, pengakuan akan prinsip kebebasan berpikir untuk segenap individu. Ketiga, penyerahan wewenang kepada umat untuk merinci detail sistem ini, seperti tentang metode manajerialnya, dan penentuan beberapa segi formatnya. Kami perlu menjelaskan lebih lanjut tentang faktor-faktor ini.
Islam dan Politik
Sistem yang dibangun oleh Rasulullah Saw dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah --jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern-- tidak disangsikan lagi dapat dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik par excellence. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motivasinya, dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak.
Dengan demikian, suatu sistem dapat menyandang dua karakter itu sekaligus. Karena hakikat Islam yang sempurna merangkum urusan-urusan materi dan ruhani, dan mengurus perbuatan-perbuatan manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Bahkan filsafat umumnya merangkum kedua hal itu, dan tidak mengenal pemisahan antara keduanya, kecuali dari segi perbedaan pandangan. Sedangkan kedua hal itu sendiri, keduanya menyatu dalam kesatuan yang tunggal secara solid; saling beriringan dan tidak mungkin terpisah satu sama lain. Fakta tentang sifat Islam ini amat jelas, sehingga tidak membutuhkan banyak kerja keras untuk mengajukan bukti-bukti. Hal itu telah didukung oleh fakta-fakta sejarah, dan menjadi keyakinan kaum Muslimin sepanjang sejarah yang telah lewat. Namun demikian, ada sebagian umat Islam sendiri, yang mengklaim diri mereka sebagai 'kalangan pembaru', dengan terang-terangan mengingkari fakta ini!. Mereka mengklaim bahwa Islam hanyalah sekadar 'dakwah agama' (3): maksud mereka adalah, Islam hanyalah sekadar keyakinan atau hubungan ruhani antara individu dengan Rabb-nya. Dan dengan demikian tidak memiliki hubungan sama sekali dengan urusan-urusan yang kita namakan sebagai urusan materi dalam kehidupan dunia ini. Di antara urusan-urusan ini adalah: masalah-masalah peperangan dan harta, dan yang paling utama adalah masalah politik. Di antara perkataan mereka adalah: "agama adalah satu hal, dan politik adalah hal lain".
Untuk mengcounter pendapat mereka, tidak ada manfaatnya jika kami mendedahkan pendapat-pendapat ulama Islam; karena mereka tidak mau mendengarkannya. Juga kami tidak memulainya dengan mengajukan fakta-fakta sejarah, karena mereka dengan sengaja telah mencampakkannya!. Oleh karena itu, cukuplah kami kutip beberapa pendapat orientalis dalam masalah ini, dan mereka telah mengutarakan hal itu dengan redaksi yang jelas dan tegas. Hal itu kami lakukan karena para 'pembaru-pembaru' itu tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih modern dari para orientalis itu, juga tidak dapat mengklaim bahwa mereka lebih mampu dalam menggunakan metode-metode riset modern, dan penggunaan metode-metode ilmiah. Di antara pendapat-pendapat para orientalis itu adalah sebagai berikut:
1. Dr. V. Fitzgerald (4) berkata: "Islam bukanlah semata agama (a religion), namun ia juga merupakan sebuah sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai kalangan 'modernis', yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama lain".
2. Prof. C. A. Nallino (5) berkata: "Muhammad telah membangun dalam waktu bersamaan: agama (a religion) dan negara (a state). Dan batas-batas teritorial negara yang ia bangun itu terus terjaga sepanjang hayatnya".
3. Dr. Schacht berkata (6): " Islam lebih dari sekadar agama: ia juga mencerminkan teori-teori perundang-undangan dan politik. Dalam ungkapan yang lebih sederhana, ia merupakan sistem peradaban yang lengkap, yang mencakup agama dan negara secara bersamaan".
4. Prof. R. Strothmann berkata (7): "Islam adalah suatu fenomena agama dan politik. Karena pembangunnya adalah seorang Nabi, yang juga seorang politikus yang bijaksana, atau "negarawan".
5. Prof D.B. Macdonald berkata (8): "Di sini (di Madinah) dibangun negara Islam yang pertama, dan diletakkan prinsip-prinsip utama undang-undang Islam".
6. Sir. T. Arnold berkata (9): " Adalah Nabi, pada waktu yang sama, seorang kepala agama dan kepala negara".
7. Prof. Gibb berkata (10): "Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam bukanlah sekadar kepercayaan agama individual, namun ia meniscayakan berdirinya suatu bangun masyarakat yang independen. Ia mempunyai metode tersendiri dalam sistem kepemerintahan, perundang-undangan dan institusi".
Bukti Sejarah
Seluruh pendapat-pendapat tadi diperkuat oleh fakta-fakta sejarah : di antara fakta sejarah yang tidak dapat diingkari oleh siapapun adalah, setelah timbulnya dakwah Islam, kemudian terbentuk bangunan masyarakat baru yang mempunyai identitas independen yang membedakannya dari masyarakat lain. Mengakui satu undang-undang, menjalankan kehidupannya sesuai dengan sistem yang satu, menuju kepada tujuan-tujuan yang sama, dan di antara individu-individu masyarakat yang baru itu terdapat ikatan ras, bahasa, dan agama yang kuat, serta adanya perasaan solidaritas secara umum. Bangunan masyarakat yang memiliki semua unsur-unsur tadi itulah yang dinamakan sebagai bangunan masyarakat 'politik'. Atau yang dinamakan sebagai 'negara'. Tentang negara, tidak ada suatu definisi tertentu, selain aanya fakta terkumpulnya karakteristik-karakteristi yang telah disebutkan tadi dalam suatu bangunan masyarakat.
Di antara fakta-fakta sejarah yang tidak diperselisihkan juga adalah, bangunan masyarakat politik ini atau 'negara', telah memulai kehidupan aktifnya, dan mulai menjalankan tugas-tugasnya, dan merubah prinsip-prinsip teoritis menuju dataran praksis. Setelah tersempurnakan kebebasan dan kedaulatannya, dan kepadanya dimasukkan unsur-unsur baru dan adanya penduduk. Yaitu setelah pembacaan bai'at Aqabah satu dan dua, yang dilakukan antara Rasulullah Saw dengan utusan dari Madinah, yang dilanjutkan dengan peristiwa hijrah. Para faktanya, kedua bai'at ini --yang tidak diragukan oleh seorangpun tentang berlangsungnya kedua bai'at ini-- merupakan suatu titik transformasi dalam Islam (11). Dan peristiwa hijrah hanyalah salah satu hasil yang ditelurkan oleh kedua peristiwa bai'at itu. Pandangan yang tepat terhadap kedua bai'at tadi adalah dengan melihatnya sebagai batu pertama dalam bangunan 'negara Islam'. Dari situ akan tampak urgensitas kedua hal itu. Alangkah miripnya kedua peristiwa bai'at itu dengan kontrak-kontrak sosial yang di deskripsikan secara teoritis oleh sebagian filosof politik pada era-era modern. Dan menganggapnya sebagai fondasi bagi berdirinya negara-negara dan pemerintahan. Namun bedanya, 'kontrak sosial' yang dibicarakan Roussou dan sejenisnya hanyalah semata ilusi dan imajinasi, sementara kontrak sosial yang terjadi dalam sejarah Islam ini berlangsung dua kali secara realistis di Aqabah. Dan di atas kontrak sosial itu negara Islam berdiri. Ia merupakan sebuah kontrak historis. Ini merupakan suatu fakta yang diketahui oleh semua orang. Padanya bertemu antara keinginan-keinginan manusiawi yang merdeka dengan pemikiran-pemikiran yang matang, dengan tujuan untuk mewujudkan risalah yang mulia.
Dengan demikian, negara Islam terlahirkan dalam keadaan yang amat jelas. Dan pembentukannya terjadi dalam tatapan sejarah yang jernih. Karena Tidak ada satu tindakan yang dikatakan sebagai tindakan politik atau kenegaraan, kecuali dilakukan oleh negara Islam yang baru tumbuh ini. Seperti Penyiapan perangkat untuk mewujudkan keadilan, menyusun kekuatan pertahanan, mengadakan pendidikan, menarik pungutan harta, mengikat perjanjian atau mengirim utusan-utusan ke luar negeri. Ini merupakan fakta sejarah yang ketiga. Adalah mustahil seseorang mengingkarinya. Kecuali jika kepadanya dibolehkan untuk mengingkari suatu fakta sejarah yang terjadi di masa lalu, dan yang telah diterima kebenarannya oleh seluruh manusia. Dari fakta-fakta yang tiga ini --yang telah kami sebutkan-- terbentuk bukti sejarah yang menurut kami dapat kami gunakan sebagai bukti --di samping pendapat kalangan orientalis yang telah disitir sebelumnya-- atas sifat politik sistem Islam. Jika telah dibuktikan, dengan cara-cara yang telah kami gunakan tadi, bahwa sistem Islam adalah sistem politik, dengan demikan maka terwujudlah syarat pertama yang mutlak diperlukan bagi keberadaan pemikiran politik. Karena semua pemikiran tentang hal ini: baik tentang pertumbuhannya, hakikatnya, sifat-sifatnya atau tujuan-tujuannya, niscaya ia menyandang sifat ini, yaitu sifatnya sebagai suatu pemikiran politik. Syarat ini merupakan faktor yang terpenting dalam pertumbuhan pemikiran ini. Bahkan ia merupakan landasan berpijak bagi kerangka-kerangka teoritis dan aliran-aliran pemikiran yang beragam. Oleh karena itu, amatlah logis jika kami curahkan seluruh perhatian ini untuk meneliti dan menjelaskannya.
Catatan kaki:
(1) Di antara tokoh yang mengatakan hal itu adalah Prof. J.N. Figgis dalam buku "The Divine Right of Kings --yang dengan bukunya itu ia mendapatkan salah satu penghargaan sastra yang besar-- , dalam beberapa tempat dari bukunya itu, ia membuktikan bahwa teori itu lahir akibat situasi dan kondisi yang berlangsung pada saat itu. Di antara ungkapannya itu adalah yang ia tulis dalam pendahuluan bukunya itu: "Teori ini lebih tepat dikatakan sebagai akibat dari realitas yang ada, ketimbang sebagai buah pemikiran murni", hal. 6.
J. Matters juga mengatakan dalam bukunya "Concepts of State, Sovereignty and International Law", p.2, sebagai berikut: "ini adalah fakta yang penting, meskipun tidak diketahui oleh banyak orang: bahwa teori-teori yang ditelurkan oleh Hocker, Hobbes, Locke, dan Roussou merupakan hasil dari kecenderungan-kecenderungan politik mereka, dan perhatian mereka terhadap hasil peperangan-pepernagan agama dan politik, yang --secara berturut-turut--terjadi pada zaman mereka, di negara-negara mereka, atau di negara-negara yang menjadi perhatian mereka".
(2) Di antara klaim-klaim yang salah, yang didengung-dengungkan oleh banyak orientalis adalah: bahwa peristiwa hijrah merupakan permulaan era baru. Maksudnya, ia merupakan starting point terjadinya perubahan fundamental, yang tidak saja terlihat dalam pergeseran sifat kejadian-kejadian yang berlangsung setelahnya, namun juga pada karakteristik Islam itu sendiri, prinsip-prinsip yang diajarkan olehnya, serta dalam lingkup kejiwaan Rasulullah Saw dan tujuan-tujuan beliau. Untuk membuktikan klaim itu, mereka melakukan komparasi antara kehidupan Rasulullah Saw yang bersifat menyerah dan mengalah di Mekkah dengan kehidupan jihad dan revolusi di Madinah!. Untuk membantah klaim ini, kita cukup berdalil dengan fakta bahwa tidak kontradiksi antara kedua priode kehidupan Rasulullah Saw itu (priode Mekkah dan madinah), dan priode kedua tak lebih dari kontiunitas periode pertama. Dan perbedaan yang ada hanyalah terletak pada kondisi dan faktor-faktor penggerak kejadian; setiap kali ada fenomena tertentu yang signifikan, saat itu pula timbul dimensi baru dalam kehidupan Islam.
Namun kita cukup mengutip apa yang dikatakan oleh seorang tokoh orientalis yang besar, yaitu Prof. H.A.R. Gibb. Ia berkata dalam bukunya yang berbicara tentang Islam "Muhammedanism", p. 27, in the Series (H.U.L), 1949, sebagai berikut:
"Peristiwa hijrah sering dilihat sebagai starting point transformasi menuju era baru dalam kehidupan Muhammad dan penerusnya; namun pembandingan secara mutlak yang biasanya dilakukan antara pribadi seorang Rasul yang tidak terkenal dan tertindas di Mekkah, dengan pribadi seorang mujahid [Muhammad] dalam membela aqidah di Madinah, tidak memiliki landasannya dalam sejarah. Tidak ada perubahan dalam pandangan Muhammad tentang misinya atau kesadarannya terhadap misinya itu. Meskipun dalam segi pisik tampak gerakan Islam dalam bentuk yang baru, namun hal itu hanyalah bersifat sebagai penampakkan sesuatu yang sebelumnya tertutup, dan pendeklarasian sesuatu yang sebelumnya disembunyikan. Adalah suatu pemikiran Rasul yang tetap -- seperti yang juga dilihat oleh musuhnya dalam memandang masyarakat agama baru yang didirikan olehnya itu-- bahwa dia akan mendirikan suatu bangunan politik; sama sekali bukan sekadar bentuk agama yang terpisah dari dan terletak di bawah kekuasaan pemerintahan duniawi. Dia selalu menegaskan, saat menjelaskan sejarah risalah-risalah rasul sebelumnya, bahwa ini (pendirian negara) merupakan salah satu tujuan utama diutusnya rasul-rasul oleh Tuhan. Dengan demikian, sesuatu hal baru yang terjadi di Madinah --hanyalah-- berupa: jama'ah Islam telah mengalami transformasi dari fase teoritis ke fase praksis".
(3) Diantara tokoh mengusung pendapat ini dan membelanya adalah Ali Abdurraziq, mantan hakim pengadilan agama di Manshurah, dan mantan menteri perwakafan, dalam bukunya yang dipublikasikan pada tahun 1925, dan berjudul: Al Islam wa Ushul al Hukm. Di samping bantahan-bantahan yang kami ketengahkan saat ini, kami akan kembali mendiskusikn pendapat-pendapatnya dan memberikan bantahan atasnya nanti secara lebih terperinci dalam pasal-pasal berikutnya. (lihat, terutama, pasal keempat, dalam buku ini, di bawah sub-judul: bantahan atas klaim-klaim beberapa penulis kontemporer).
(4) Dalam 'Muhammedan Law", ch. I, p. 1.
(5) Dikutip oleh Sir. T. Arnold dalam bukunya: The Caliphate, p. 198.
(6) Encyclopedia of Social Sciences, vol. VIII, p. 333
(7) The Encyclopedia of Islam, IV, p. 350.
(8) Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, New York, 1903, p. 67
(9) The Caliphate, Oxford, 1924, p. 30.
(10) Muhammedanism, 1949, p. 3
(11) Deskripsi detail tentang kedua bai'at tadi dapat dirujuk di dalam buku-buku sejarah politik. Dalam kesempatan ini kami sebutkan dua referensi: pertama, Sirah ibnu Hisyam (cet. Al Maktabah at Tijariah al Kubra), juz 2, hal. 35-90. kedua, Muhadharat fi Tarikh al Umam al Islamiah, karya Muhammad Khudhari, juz 1, hal. 79-83. Kami cukup mengutip sedikit darinya tentang kedua bai'at itu. Yaitu bahwa bai'at yang pertama terjadi satu tahun tiga bulan sebelum peristiwa hijrah, dan dihadiri oleh dua belas laki-laki dari penduduk Madinah. Kesepakatan yang diucapkan pada saat itu adalah tentang keharusan bertauhid, memegang kaidah-kaidah akhlak sosial umum yang menjadi dasar bagi undang-undang masyarakat yang ideal. Sedangkan bai'at yang kedua terjadi satu tahun setelah itu, pada musim haji yang berikutnya. Dihadiri oleh tujuh puluh tiga laki-laki dan dua orang wanita. Perjanjian yang diucapkan saat itu ---disamping point-point yang disepakati sebelumnya-- adalah untuk saling bantu-membantu daslam peperangan dan perdamaian dalam melawan musuh negara yang baru berdiri itu, dan agama yang baru, serta untuk taat dalam kebaikan dan membela kebenaran.

KONTEKSTUALISASI KONSEP JIHAD

KONTEKSTUALISASI KONSEP JIHAD

Di kalangan umat Islam tidak ada kata-kata yang lebih menggetarkan seperti halnya kata-kata “jihâd”. Resonansinya bahkan mungkin terasa lebih kuat lagi justeru di kalangan umat agama lain. Begitu kata-kata jihâd diserukan, lazimnya diiringi pekik “Allâhu Akbar”, maka seakan genderang perlawanan telah ditabuh dan pedang telah dihunuskan.
Berbagai aksi kekerasan mulai dari serangkaian bom bunuh diri di Palestina, perang gerilya di Afghanistan, pembajakan pesawat untuk meledakkan gedung WTC dan Pentagon di Amerika, perang antar golongan di Ambon dan Poso, bom dahsyat di Bali, serta aksi-aksi kekerasan lain di berbagai tempat, semuanya dilakukan oleh para pelakunya atas nama jihâd.
Pertanyaan yang ingin dijawab di sini adalah: Apa sebenarnya konsep jihâd itu? Haruskah jihâd dipahami identik dengan kekerasan? Bagaimana doktrin itu dipahami oleh umat Islam dari waktu ke waktu? Apakah ada ruang untuk memberinya makna baru yang lebih kurang mengerikan, atau bahkan makna yang justeru membebaskan?
Kata jihâd berasal dari kata kerja jâhada yujâhidu, jihâd, secara harfiah artinya “bersungguh-sungguh” atau “sepenuh hati dan all-out”. Demikian pula, kata-kata serumpun yang juga cukup populer, ijtihâd dan mujâhadah. Bedanya, kalau ijtihâd bersungguh-sungguh untuk menemukan kebenaran; mujâhadah bersungguh-sungguh dalam menghayati kebenaran. Maka jihâd bersungguh-sungguh atau all-out dalam menegakkan kebenaran. Dalam bahasa populernya, jihâd adalah berjuang, mujâhid artinya pejuang.
Ketiga konsep serumpun tersebut (ijtihâd, mujâhadah, jihâd) dalam proses keberagamaan sama-sama penting dan saling melengkapi. Tapi, sebagai aktualisasi dari keberagamaan, jihâd memang istimewa. Apalah artinya kebenaran dalam iman jika hanya di pahami oleh pikiran dan dihayati dalam hati, tapi tidak ditegakkan dalam kehidupan nyata. Dengan jihâd inilah kebenaran dalam iman benar-benar dibuktikan.
Kedudukan tinggi jihâd antara lain dapat dibaca dalam kesaksian sejumlah ayat al-Quran, antara lain:
أَمْ حَسِبْتُمْ أَنْ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَعْلَمِ اللَّهُ الَّذِينَ جَاهَدُوا مِنْكُمْ وَيَعْلَمَ الصَّابِرِينَ
Adakah kalian mengira akan masuk surga sementara Tuhan belum membuktikan apakah kalian orang yang “berjihâd” dan orang-orang yang bersabar hati” (QS Âli ‘Imrân, 3: 142).
Bahwa jihâd merupakan alat bukti atas kesejatian iman kepada Tuhan yang paling tinggi nilainya ini, antara lain ditegaskan dalam ayat al-Quran:
قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
"Katakanlah: "Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) ber jihâd di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik". (QS at-Taubah, 9: 24).
Kesungguhan jihâd sebagai alat bukti iman ini juga dapat dilihat melalui bentuk pengorbanan yang dipersembahkan.
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
”(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihâd di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya”. (QS As-Shâf, 61: 11).
Juga di gambarkan dalam ayat lain:
لَكِنِ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ جَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ وَأُولَئِكَ لَهُمُ الْخَيْرَاتُ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Tetapi Rasul dan orang-orang yang beriman bersama dia, mereka berjihâd dengan harta dan diri mereka. Dan mereka itulah orang-orang yang memperoleh kebaikan; dan mereka itulah (pula) orang-orang yang beruntung”. (QS at-Taubah, 9: 88).
Sebagai implementasi dari iman, seharusnya tidak seorang pun dibikin takut, apalagi merasa ngeri, dengan perintah jihâd ini. Bahkan jika jihâd sebagai perjuangan penuh pengorbanan itu ditujukan benar-benar untuk membela kebenaran, seharusnya semua orang akan menyambutnya dengan sukacita. Lebih-lebih bagi meraka yang selama ini mendambakan tegaknya kebenaran dan keadilan, jihâd bisa merupakan ‘ratu adil’ yang didambakan.
Tetapi apa yang terjadi? Kenapa jihâd tiba-tiba menjadi momok? Jihâd mulai dirasakan sebagai momok ketika dipahami identik dengan kekerasan. Persisnya, ketika jihâd didefinisikan sebagai “perang melawan kelompok atau anggota-anggota kelompok yang secara doktrin harus dimusnahkan”. Dengan demikian, maka jihâd tidak diberi pengertian lain kecuali “ tindakan kekerasan fisik yang diarahkan juga kepada musuh yang juga bersifat fisik”.
Bahwa jihâd merupakan aksi keagamaan yang diarahkan terhadap person, individu maupun kelompok tertentu memang ada rujukannya:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali”. (QS at-Tahrîm, 66: 9).
Seperti kita ketahui, dalam masyarakat pra modern dimana wahyu al-Quran diturunkan, person adalah aktor utama dalam segala aspek kehidupan baik sosial, ekonomi, maupun politik. Pada masa itu, aktor-aktor impersonal dalam ujud institusi maupun sistem dan struktur sosial masih belum disadari benar peranannya. Maka jihâd pun mengambil sasarannya lebih kuat pada objek-objek personal (orang kafir), daripada yang impersonal (sistem atau struktur sosial kekafiran).
Pertanyaannya: haruskah perintah jihâd terhadap person orang kafir dalam ayat di atas dipahami sebagai perintah kekerasan (fisik) terhadap siapa pun yang berbeda keyakinan dengan “kita”? Pertanyaan ini akan ditentukan oleh jawaban atas beberapa pertanyaan berikut: Siapakah dimaksud orang kafir/munafik itu? Dalam semua keadaan bagaimana si kafir harus dijihâdi? Tidak kalah penting: dengan cara apakah jihâd terhadap mereka dilakukan?
Tanpa ijtihad (pengerahan daya nala secara optimal) terlebih dahulu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi, maka hampir pasti ajaran jihâd akan dijalankan secara konyol dengan akibat yang fatal, bukan hanya bagi orang/kelompok lain, akan tetapi juga terhadap pelaku jihâd itu sendiri. Jihâd tanpa ijtihad itulah sumbe utama kekerasan atas nama agama.
Bukan rahasia, bahwa mereka yang belakang dikenal dunia sebagai pembawa panji jihâd adalah oknum-oknum yang secara keagamaan rata-rata jauh dari terpelajar. Mereka adalah para pemula yang masih jauh dari kemampuan berfikir ijtihâdi. Itulah sebabnya yang tampak pada umumnya adalah militansi yang kasar dan menyedihkan; niat baik untuk membela Islam berakhir justeru pada penistaan nama baik Islam itu sendiri.
Pertanyaan pertama, tentang siapa orang kafir/munafik. Secara harfiah kafir adalah: “orang yang tertutup hatinya untuk menerima kebenaran”. Sementara secara istilah adalah: “orang yang menolak ajaran agama Islam”. Munafik adalah: “orang yang secara lisan menerima ajaran agama Islam, tetapi di belakang mengingkarinya”. Konsep kafir/munafik ada dalam setiap agama. Semua orang adalah kafir jika dilihat dari sudut keyakinan agama yang tidak diimaninya.
Bahwa perintah jihâd (dalam QS at-Tahrîm, 66: 9) di atas diarahkan kepada orang kafir dan munafik memang benar. Tapi apakah jihâd harus berarti memerangi dan menghancurkan sasaran secara fisik? Tidak ada alasan untuk mengidentikan jihâd dengan perang secara begitu saja. Untuk perang, al-Quran memiliki termanya sendiri, yakni qitâl yang secara harfiah berarti membunuh, atau saling membunuh, atau perang.
Dalam al-Quran terdapat sekurang-kurangnya 15 ayat yang menegaskan perintah atau ijin perang terhadap orang-orang kafir/munafik. Ayat-ayat ini diturunkan setelah Nabi s.a.w. berhijrah ke Madinah, dan sikap permusuhan dari kaum kafir Makkah semakin tak tertahankan. Yang harus dipahami, bahwa tidak satu ayat pun yang menegaskan perintah perang untuk mendahului (pre-emptive strike) seperti yang didoktrinkan oleh Presiden Amerika Geroge W. Bush ketika hendak menyerang Irak.
Jelas sekali bahwa perintah, atau lebih tepatnya ijin perang hanya diberikan untuk tujuan pertahanan diri. Doktrin perang sebagai pertahanan jelas sekali dalam ayat-ayat berikut;
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”. (QS al-Baqarah, 2 190); atau:
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُمْ مِنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ وَلَا تُقَاتِلُوهُمْ عِنْدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ حَتَّى يُقَاتِلُوكُمْ فِيهِ فَإِنْ قَاتَلُوكُمْ فَاقْتُلُوهُمْ كَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ
“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu), maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir”. (QS at-Taubah, 9: 36).
Dengan demikian, kiranya jelas bahwa perang dalam Islam hanya dibenarkan untuk pertahanan diri (self-defence), dan diarahkan kepada orang/kelompok yang terlebih dahulu memerangi. Meskipun orang lain jelas-jelas kafir, dalam arti menolak tegas kebenaran yang dibawa Islam, akan tetapi jika mereka tidak menyerang umat Islam, maka tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menyerangnya.
Islam memang tidak mengintrodusir doktrin kepasrahan total kepada musuh seperti dalam Bible, “jika kau dipukul pipi kirimu maka berikanlah pipi kananmu”. Yang diajarkan Islam adalah ijin pembalasan setimpal, atau pengampunan:
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
“… jika seseorang menyerangmu, maka balaslah secara setimpal ...” (QS al-Baqarah, 2: 194).
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُمْ بِهِ وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِلصَّابِرِينَ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar”. (QS an-Nahl, 16: 126).
Dengan demikian, kiranya jelas bahwa tindak kekerasan terhadap fisik atau perang tidak ada hubungannya dengan faktor keimanan atau kekufuran. Kekerasan dibenarkan oleh Islam hanyalah karena adanya kekerasan yang mendahului. Baik kekerasan yang mendahului itu dilancarkan oleh orang-orang kafir, yang tidak seiman, atau bahkan oleh orang-orang yang seiman.
Sebuah ayat dalam QS al-Hujurât, 49: 9 menyatakan sbb:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” .
Artinya, kekafiran (baca: perbedaan iman pada seseorang/sekelompok orang) semata tidak bisa menjadi pembenar bagi umat Islam untuk menyerangnya. Dalam konteks inilah fuqahâ’ (para ahli fiqih) membagi orang kafir kedalam dua kelompok. Yakni, [1] kafir harbiy, yang memerangi umat Islam, dan kerana itu boleh diperangi, dan [2]dan kafir ghair-harbiy, yakni yang tidak memerangi, dan karena itu juga tidak boleh diperangi.
Orang kafir yang ghair-harbiy ini ada dua kategori: Pertama, disebut kafir musta’min yakni orang non-muslim yang mengikat memohon perlindungan dan jaminan keamanan umat/negara Islam. Meskipun sebelumnya ia tergolong memusuhi, akan tetapi jika meminta perlindungan, maka umat Islam harus memberinya.
وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّى يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْلَمُونَ
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui”. (QS at-Taubah, 9: 6)
Orang kafir musta’min ini secara teknis disebut juga kafir dzimmiy, artinya yang beda agama/iman akan tetapi berhak untuk mendapatkan perlindungan penuh dari umat beriman. Perlindungan terhadap dzimmi ini bukan hanya terhadap integritas fisiknya, akan tetapi juga keyakinannya. Menegaskan mutlaknya jaminan perlindungan dan keamanan bagi Kafir Dzimmiy ini Nabi mengatakan, “Barangsiapa yang menyakiti orang dzimmi, maka sama halnya ia menyakitiku; barangsiapa menyakiti dzimmi, maka akulah yang akan menuntut balas di akhirat nanti” .
Kedua, adalah kafir mu’âhid, yakni orang non-muslim yang mengikat perjanjian dengan umat Islam untuk hidup bersama atau berdampingan secara damai. Berbeda dengan musta’min yang terkesan berada dalam posisi lebih inferior, maka mu’ahid ini berada dalam posisi yang relatif setara. Oleh karena itu hak dan kewajiban mu’âhid dengan umat Islam ini sama, baik sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Dalam posisi kesetaraan inilah, maka kontrak atau perjanjian yang disepakati oleh kedua pihak adalah hukum yang tertinggi yang mengikat semua pihak.
Orang-orang/umat non-muslim di Madinah dan yang hidup di negara kesatuan Republik Indonesia kita yang mengikat janji untuk hidup bersama secara damai dan saling melindungi satu sama lain sebagai satu umat (bangsa) adalah contoh yang baik bagi kelompok mu’âhid ini. Dalam konteks ini, perlu diacu ayat berikut:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
”Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. (QS al-Mumtahanah, 60: 8).
Jika jihâd tidak identik atau tidak bisa diidentikkan dengan perang melawan orang yang berbeda agama (kafir), maka tentunya harus ditemukan arti lain. Atau jika diartikan dengan perjuangan, maka pertanyaannya: perjuangan untuk apa, atau melawan apa/siapa?
Dalam al-Quran ada lebih dari 50 ayat bicara dan menganjurkan umat Islam ber jihâd. Hanya 3 (sekitar 0.7 %) ayat tentang jihâd yang bisa diartikan perjuangan fisik menghadapi orang-orang kafir/munafik, itu pun dengan catatan, jika mereka melancarkan aksi serupa terlebih dahulu. Selebihnya, yang 46 ayat (90%) hanya mengatakan jihâd fî sabîlillâh, artinya berjuang di jalan Allah, tanpa menyebut kelompok sasaran tertentu.
Artinya, perintah jihâd yang utama haruslah berarti perjuangan menegakkan kebenaran dan nilai-nilai keluhuran universal dan perennial yang mengatasi kepentingan semua golongan agama, ideologi, ras, etnik dan sebagainya. Ini sejalan dengan keyakinan kita bahwa Allah, dengan sifat Rahman-nya, senantiasa merahmati seluruh makhluknya tanpa membedakan agama, keyakinan, ideologi, warna kulit dan suku bangsanya.
Sasaran utama jihâd fî sabîlillâh, dengan demikian, bukan terutama berupa orang atau sekelompok orang, secara fisik, melainkan sistem atau tata kehidupan yang secara hakiki melawan nilai-nilai universal dan perennial tadi, yakni keadilan. Dalam bahasa inklusifnya, sasaran jihâd yang paling mendasar dan universal adalah kezaliman, lawan dari keadilan.

MENJAGA KEBERSIHAN

MENJAGA KEBERSIHAN

“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS al-Baqarah [2]: 222)
Islam mengajarkan kepada umatnya cara hidup bersih dan suci. Bersih dalam arti fisik, bebas dari najis. Suci dalam arti senantiasa menjaga diri tidak berhadas. Dan setiap kali mukmin hendak beribadah, maka disyaratkan baginya untuk bersih dan suci.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan, Rasulullah S.A.W. pernah bertanya kepada sahabat Bilal bin Abi Rabah r.a. tentang rahasianya sehingga Rasulullah S.A.W. mendengar terompah sahabatnya tersebut di surga. Bilal bin Abi Rabah r.a. mengatakan bahwa dia selalu menjaga wudhunya. Setiap kali batal wudhu, sahabat Nabi ini wudhu lagi lalu shalat dua rakaat.
Dengan hukum-hukum yang rinci tentang bersuci (thaharah), apalagi itu dikaitkan dengan ibadah di mana misi hidup setiap Muslim adalah beribadah, maka keadaan umat Islam senantiasa bersih dan suci. Dengan indikasi hidup sehat luar dalam itu diharapkan umat Islam memiliki capaian yang signifikan dalam memacu keunggulan komparatifnya.
Namun sayang, dalam kehidupan masyarakat plural yang ada di negeri Muslim terbesar ini, indikasi hidup bersih dan suci ini tidak muncul. Kalau kita jalan-jalan ke mal-mal, terminal bus atau stasiun kereta api, toiletnya hampir dipastikan jorok dan bau. Padahal, ada yang menjaga dan mengutip retribusi.
Dari segi pengguna toilet, sama saja. Bahkan, tidak jarang di bandara yang paling bagus sekalipun, tidak sedikit penumpang pes.a.w.at, yang notabene orang berduit, tidak melaksanakan adab buang hajat yang menjaga kebersihan dan kesucian. Na'ûdzubillâhi min dzâlik..
Kenapa terjadi? Ada satu faktor, yakni tidak digunakan akal dalam perilaku. Seorang Muslim yang masih mengingat doa masuk WC, mestinya dia berpikir, kalau terhadap setan yang tidak terlihat saja, kita mohon perlindungan kepada Allah akan bahayanya, apalagi bahaya najis akibat buang air kecil maupun air besar yang jelas kasat mata. Bagaimana bisa tidak berlindung dari bahayanya?
Seorang Muslim yang masuk WC umum, setelah berdoa, dia mesti memastikan bahwa WC tersebut bersih dari najis, supaya tidak membahayakan dirinya. Dan sebelum keluar dari WC, dia mesti memastikan bahwa WC tersebut bersih dari najis supaya tidak membahayakan pengguna berikutnya. Mari kita mulai mewujudkan negeri ini menjadi negeri yang bersih dan suci dari diri kita sendiri. Jadikan diri kita Muslim yang selalu menjaga kebersihan dan kesucian

MENUJU SIKAP IHSAN

MENUJU SIKAP “IHSÂN”

''Beri tahu aku tentang ihsan,'' tanya malaikat Jibril saat menyamar menjadi seorang lelaki berpakaian putih, berambut kelam, yang tak tampak bekas-bekas perjalanan jauhnya. Rasulullah SAW menjawab, ''Engkau menyembah Allah seakan-akan Engkau melihat-Nya. Jika Engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu.'' Inilah sepenggal makna hadis Rasululah s.a.w. yang diriwayat oleh Muslim.
Ihsan adalah puncak ibadah dan akhlak (amal shaleh) yang senantiasa menjadi target seluruh hamba Allah SWT. Sebab, ihsan menjadikan kita sosok yang mendapatkan kemuliaan dari-Nya. Sebaliknya, seorang hamba yang tidak mampu mencapai target ini akan kehilangan kesempatan yang sangat mahal untuk menduduki posisi terhormat di mata Allah SWT.
Rasulullah SAW sangat menaruh perhatian akan hal ini, sehingga seluruh ajarannya mengarah pada satu hal, yaitu mencapai ibadah yang sempurna dan akhlak yang mulia.
            •   
''Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik..'' (QS al-Baqarah [2]: 195).
Esensi Ihsan terletak pada kesadaran akan kehadiran Allah SWT yang selalu menatap dan mengawasi. Sadar bahwa Allah SWT melihat, mengawasi, dan memonitor diri dalam gerak dan diam, lahir maupun batin (murâqabah. Kata murâqabah seakar dengan kata raqîb yang berarti penjaga atau pengawal, yang merupakan salah satu nama Allah SWT (asmâ’ al-husnâ). Dan Allah SWT adalah raqîb al-ruqabâ' (Sang Maha Pengawas).
                                      
''Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia bersemayam di atas ´arsy, Ddia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya . dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.'' (QS al-Hadîd [57]: 4).
Ihsan memiliki dua sisi. Pertama, ihsan adalah kesempurnaan dalam beramal sambil menjaga keikhlasan dan jujur pada saat beramal. Ini adalah ihsan dalam tata-cara (metode). Kedua, ihsan adalah senantiasa memaksimalkan amalan-amalan sunah yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, selama hal itu adalah sesuatu yang diridhai-Nya dan dianjurkan untuk melakukannya.
Perintah ihsan tidak hanya dalam hal ibadah tapi juga dalam hal muamalah. Ihsan kepada kedua orang tua, kerabat karib, anak yatim, fakir miskin, tetangga dekat/jauh, teman sejawat, ibnu sabil, hamba sahaya, perlakuan dan ucapan yang baik, serta kepada binatang.
                           •       • 
''Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh , dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, '' (QS an-Nisâ’ [4]: 36).
Dan yang terakhir adalah: ihsan dalam akhlak. Akhlâq Ma’a Allâh, Akhlâq Ma’a al-Rasûl, Akhlâq Ma’a al-Nâs (intrapersonal, Interpersonal, maupun Sosial), dan Akhlâq Ma’a al-Bî’ah (Akhlak terhadap Lingkungan). Ini semua –sesungguhnya -- merupakan buah dari ibadah dan muamalah kita, yang sering disebut sebagai “Consequential Involvement of Relegiousity” (keberagamaan dalam bentuk keterlibatan yang bersifat konsekuensial, yaitu: keadaan yang menggambarkan sejauhmana perilaku seseorang terkait dengan ajaran agamanya).
Wallâhu a'lam bish-shawâb.

BERBISNIS SECARA SYARI'AH

BERBISNIS SECARA SYARIAH:
Mengkaji Ulang Multi Level Marketing (MLM)

Akhir-akhir ini kita menyaksikan sebuah fenomena maraknya para aktivis dakwah terlibat dalam upaya mengembangkan bisnis secara mandiri sebagai lahan penghidupan mereka. Tentu saja ini adalah sebuah fenomena yang sangat menarik dan patut kita syukuri, apalagi hal tersebut dikembangkan di tengah-tengah kondisi masyarakat yang tengah terpuruk di segala bidang kehidupan, termasuk ekonomi. Salah satu bentuk bisnis yang marak saat ini adalah Multi Level Marketing (MLM).
Berbisnis merupakan aktivitas yang sangat dianjurkan dalam ajaran Islam. Bahkan, Rasulullah SAW sendiri pun telah menyatakan bahwa 9 dari 10 pintu rezeki adalah melalui pintu berdagang (al-hadîts). Artinya, melalui jalan perdagangan inilah, pintu-pintu rezeki akan dapat dibuka sehingga karunia Allah terpancar daripadanya. Jual beli merupakan sesuatu yang diperbolehkan dengan catatan selama dilakukan dengan benar sesuai dengan tuntunan ajaran Islam.

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS al-Baqarah, 2: 275),
Salah satu pola bisnis yang saat ini sangat marak dilakukan adalah bisnis dengan sistem MLM (Multi Level Marketing). Pada dasarnya, berbisnis dengan metode ini boleh-boleh saja, karena hukum asal mu’amalah itu adalah al-ibâhah (boleh) selama tidak ada dalil yang melarangnya.
الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Meski demikian, bukan berarti tidak ada rambu-rambu yang mengaturnya. Penulis melihat bahwa pada prakteknya masih sering terdapat berbagai penyimpangan dari aturan syariah, sehingga adalah tugas kita bersama untuk meluruskannya.
Kejelasan Akad
Berbicara mengenai masalah mu’amalah, maka ajaran Islam sangat menekankan pentingnya peranan akad dalam menentukan sah tidaknya suatu perjanjian bisnis. Yang membedakan ada tidaknya unsur riba dan gharar dalam sebuah transaksi adalah terletak pada akadnya. Sebagai contoh adalah akad murabahah dan pinjaman bunga dalam bank konvensional. Secara hitungan matematis, boleh jadi keduanya sama. Misalnya, seseorang membutuhkan sebuah barang dengan harga pokok Rp 1000. Jika ia pergi ke bank syariah dan setuju untuk mendapatkan pembiayaan dengan pola murabahah, dengan marjin profit yang disepakatinya 10 %, maka secara matematis, kewajiban orang tersebut adalah sebesar Rp 1100. Jika ia memilih bank konvensional, yang menawarkan pinjaman dengan bunga sebesar 10 %, maka kewajiban yang harus ia penuhi juga sebesar Rp 1100. Namun demikian, transaksi yang pertama (murabahah) adalah halal, sedangkan yang kedua adalah haram. Perbedaannya adalah terletak pada faktor akad.
Bisnis MLM yang sesuai syariah adalah yang memiliki kejelasan akad. Jika akadnya murabahah, maka harus jelas barang apa yang diperjualbelikan dan berapa marjin profit yang disepakati. Jika akadnya mudarabah, maka harus jelas jenis usahanya, siapa yang bertindak sebagai rabbul mâl (pemilik modal) dan mudarib-nya (pengelola usaha), serta bagaimana rasio bagi hasilnya. Jika akadnya adalah musyarakah, maka harus jelas jenis usahanya, berapa kontribusi masing-masing pihak, berapa rasio berbagi keuntungan dan kerugiannya, dan bagaimana kontribusi terhadap aspek manajemennya. Jika akadnya ijarah, maka barang apa yang disewakannya, berapa lama masa sewanya, berapa biaya sewanya, dan bagaimana perjanjiannya. Kalau akadnya adalah akad wadi’ah atau titipan, maka tidak boleh ada tambahan keuntungan berapapun besarnya. Demikian pula kalau bisnis tersebut dikaitkan sebagai sarana tolong menolong dengan mekanisme infak dan shadaqah sebagai medianya, maka embel-embel pemberian royalti harus dihindari. Dan masih banyak contoh-contoh lainnya. Bisnis MLM yang akadnya tidak jelas dan semata-mata hanya memanfaatkan networking, merupakan salah satu bentuk money game yang dilarang oleh ajaran Islam.
Logika Bisnis Riil
Aspek lain yang perlu diperhatikan adalah logika bisnis riil. Apakah mungkin suatu usaha bisnis riil dapat menjanjikan keuntungan berlipat-lipat, bahkan hingga ribuan persen, dalam waktu yang sangat singkat? Ini adalah sesuatu yang tidak mungkin. Biasanya profit semacam itu hanya dihasilkan dari aktivitas spekulasi di pasar uang dan pasar modal konvensional, dengan instrumen bunga dan gharar yang sangat kental.
Menjanjikan keuntungan berlipat-lipat di awal sesungguhnya merupakan penyebab hilangnya etos kerja. Hal ini akibat adanya mimpi untuk menjadi kaya dalam waktu yang sangat singkat. Tentu saja, hal tersebut bertentangan dengan sunnatullah dan ajaran Islam yang menekankan pentingnya usaha yang sungguh-sungguh dan maksimal di dalam mencari rezeki. Karena itulah, penulis mengajak kita semua untuk bersama-sama meluruskan kembali aktivitas bisnis kita agar senantiasa selaras dengan tuntunan ajaran Islam, sehingga hidup kita pun menjadi semakin berkah.

JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN

JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN DALAM PENGALAMAN PARA SUFI

Banyak jalan menuju surga. Itulah ungkapan yang sering kita dengan dan baca. Tetapi, dalam khazanah tasawuf, jalan itu cukup terasa terjal dan berliku. Jangankan menuju surga! Untuk bertemu dengan pemilik surga saja sudah terlampau berat. Meski begitu beratnya, seorang sufi tidak boelh berputus asa untuk melaluinya dengan proses yang panjang dan melelahkan. Menggapai atau tidak, bukan persoalan. Yang terpenting adalah selalu berusaha, tanpa kenal lelah, untuk mencapainya.

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tharîqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia.

Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasiun-stasiun yang dalam bahasa Arab disebut maqâmât -- tempat seorang calon sufi menunggu -- sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasiun berikutnya. Sebagaimana telah di sebut di atas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Quran dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.

Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasiun pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasiun kedua, yaitu zuhud. Di stasiun ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Quran dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannya pun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan ruhani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Quran dan berdzikir.

Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Quran dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasiun wara'. Di stasiun ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.

Dari stasiun wara', ia pindah ke stasiun faqr. Di stasiun ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.

Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasiun sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.

Selanjutnya ia pindah ke stasiun tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.

Dari stasiun tawakkal, ia meningkat ke stasiun ridha. Dari stasiun ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.

Karena maqâmât (stasiun-stasiun) tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasiun berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.

Pengalaman Sufi

Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasiun ridha, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke stasiun mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut:

Pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.

Kedua, menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi.

Ketiga, mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.

Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. QS al-Mâidah (5): 54 :
                 •                     

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui."

Selanjutnya QS Âli ‘Imrân (3): 30 menyebutkan,
    •           •            
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang Telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.”

Hadis juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut,

"Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."

Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiyah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan,

"Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka,
bukan pula karena ingin masuk surga,
tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya."

Ia bermunajat:

"Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka,
bakarlah mataku karena Engkau,
janganlah sembunyikan keindahan-Mu
yang kekal itu dari pandanganku."

Sewaktu malam telah sunyi ia berkata:

"Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan,
mata-mata telah bertiduran,
pintu-pintu istana telah dikunci,
tiap pecinta telah berduaan dengan yang dicintainya,
dan inilah aku berada di hadirat-Mu."

Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas mengucapkan:

"Tuhanku,
malam telah berlalu dan siang segera akan menampakkan diri.
Aku gelisah, apakah Engkau terima aku sehingga aku bahagia,
ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih.
Demi ke-Mahakuasaan-Mu
inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku.
Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu,
aku tidak akan bergerak,
karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."

Pernah pula ia berkata:

"Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi.
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadiratMu,
Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau."

Begitu penuh hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia menjawab:

"Cintaku kepada Tuhan
tidak meninggalkan ruang kosong
di dalam hatiku untuk benci setan."

Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiyah kepada Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:

Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku
Membuat aku lupa yang lain
dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau
karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,
Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.

Rabi'ah al-'Adawiyah, telah sampai ke stasiun sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasiun yang menjadi idaman kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiyah telah benar-benar menjadi sufi.

Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Dzunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Dzunnun ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab:

"Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan
dan sekiranya tidak karena Tuhan
aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."

Yang dimaksud Dzunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.

Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya:

Pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb (itu sendiri).

Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh.

Ketiga, daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.

Sirr adalah daya terpeka dari qalb (kalbu) dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."

Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tetapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.

Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut:

Pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.

Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.

Ketiga, yang dilihat orang 'ârif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah.

Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.

Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa tidak puas dengan stasiun ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad. Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid al-Busthami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasiun ittihad.

Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah “hancur”, sedangkan baqa' berarti “tinggal”. Sesuatu di dalam diri sufi akan fana’ atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa’ atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana’ dari kebodohan akan baqa’ (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana’ dari maksiat akan baqa’, (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.

Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafzhi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa’ bi 'l-Lah, dengan arti (bila) kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.

Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan:

"Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku hancur,
kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya
dan akupun hidup.

Sedangkan mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi:

"Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku mati.
Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya,
dan akupun hidup."

Lalu, diapun berkata lagi:

"Gila pada diriku adalah fana'
dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."

Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis,

"Fana’ (nya) seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad."

Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syathahât (jama’) – mufrad: syathhah -- (ucapan teopatis). Syathahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai berikut,

"Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak.
Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah."

Abu Yazid tobat dengan lafazh syathahât demikian, karena lafazh itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.

Dia juga mengucapkan,

"Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu,
karena aku hanyalah hamba yang hina.
Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku,
karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa."

Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi:

"Aku tidak meminta dari Tuhan
kecuali Tuhan."

Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya:

"Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?"
Tuhan menjawab,
"Tinggalkan dirimu dan datanglah."

Akhirnya Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana’, baqa' dan ittihad.

Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia berkata:

Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau.
Aku menjawab, kekasih-Ku,
aku tak ingin melihat mereka.
Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-Mu.
Hiasilah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-Mu melihat aku,
mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau.
Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau,
karena ketika itu aku tak ada di sana."

Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya:

"Hiasilah aku dengan keesaan-Mu."

Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."

Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku:

"Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku."
Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu."
Aku menjawab, "Akulah Yang Satu."
Ia berkata lagi, "Engkau adalah Engkau."
Aku menjawab: "Aku adalah Aku."

Yang penting diperhatikan dalam ungkapan di atas adalah kata-kata Abu Yazid:

"Aku menjawab melalui diriNya" (fa qultu bihi).

Kata-kata bihi -- melalui diri-Nya -- menggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, ruhnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.

Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai shalat subuh, mengeluarkan kata-kata:

"Maha Suci Aku,
Maha Suci Aku,
Maha Besar Aku,
Aku adalah Allah.
Tiada Allah selain Aku,
maka sembahlah Aku."

Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar tersebut di atas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata di atas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan,

"Pergilah,
tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa.
Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah."

Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid.

Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan:

"Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang Maha Benar).

Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dihancurkan.

Di sini terdapat juga konsep fana’, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari hadis yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.

Hadis ini mengandung arti bahwa di dalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:

Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum

Dengan membersihkan diri melalui ibadat yang banyak dilakukan, nâsût manusia lenyap dan muncullah lâhût-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi dan terjadilah hûlûl.

Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:

Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.

Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:

Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,

Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.

Ketika mengalami hulul yang digambarkan di atas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan, "Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang Maha Benar).

Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan:

"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."

Syathahat atau ucapan teopatis sufi seperti itu membuat kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak menangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakikat dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.

Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakikat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah, sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa’, dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.

Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa al-Busthami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.

Lahut dan Nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.

Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadis yang telah dikutip pada permulaan, pada awalnya adalah "harta" tersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang di dalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.

Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada hakikatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada hakikatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak adalah bayangannya.

Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan “panteisme” dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri atau tajalli dari Tuhan.

Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap tanazul (turun), Ahadiyah, Huwiyah dan Aniyah.

Pada tahap Ahadiyah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap huwiyah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniyah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.

Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil, seorang sufi mesti mengadakan taraqqi (pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassuth dan khitam.

Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassuth, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat, dan sifa-sifat lainnya. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari “dzat Tuhan” yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya, Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad.

Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai melalui ittihad serta hulul yang mengandung pengalaman persatuan ruh manusia dengan ruh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil.

Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriyah yang muncul pada abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), dan Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.

Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan, sehingga tarekat menyimpang dari tujuan sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasar sufi dan syari'at Islam, sehingga timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat.

Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnya kehidupan ruhani dan mengabaikan kehidupan duniawi, dan disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi, sehingga mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.

Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam perlawanan mereka terhadap pembaharuan yang diadakan sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki.

Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di kalangan umat Islam yang bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk memandang tarekat sebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduran umat Islam.

Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali “spiritualisme”. Disini tasawuf dengan ajaran keruhanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapi untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para pengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan akhlak mulia di samping keruhanian dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan.

Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat yang bosan hidup kematerian lalu mencari hidup keruhanian di Timur. Ada yang pergi ke keruhanian dalam agama Buddha, ada ke keruhanian dalam agama Hindu dan tak sedikit pula yang mengikuti keruhanian dalam agama Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta.

Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberry dalam bukunya Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah meninggalkan pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai keruhanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan seperti sekarang.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963.

Badawi, A.R., Syathahât al-Shûfiyyah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949.

Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique (The History of Islamic Philosophy), Paris, Gallimard, 1964.