Kamis, 29 November 2007

MENGENAL HATI: "PERSPEKTIF TASAWUF"

MENGENAL HATI: “Perspektif Tasawuf”

Imam al-Gazali dalam bukunya yang berjudul: Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn membuat bab khusus yang membahas “Keajaiban Hati” (`Ajâib al -Qalb). Menurut Al-Ghazali kemuliaan martabat manusia disebabkan karena kesiapannya mencapai makrifat (ma’rifah) kepada Allah, dan hal itu dimungkinkan karena adanya hati. Dengan hati, manusia mengetahui Allah dan mendekati Nya, sementara anggota badan yang lain berfungsi sebagai pelayannya. Hubungan hati dengan anggota badan dimisalkan Al-Ghazali seperti raja dengan rakyatnya, atau seorang tukang dengan alat pertukangannya.

Hubungan hati dengan anggota badan dipandang sebagai ilmu lahir, sementara akses hati ke alam langit (`âlam al-malakût) masuk kategori ilmu batin dimana di dalamnya sarat dengan rahasia dan keajaiban. Sahal at-Tusturi menyerupakan hati sebagai `arasy sementara dada merupakan kursiy, satu perumpamaan yang menggambarkan bahwa di dalam diri manusia seakan terdapat satu kerajaan tersendiri dimana hati bertindak sebagai raja.

Al-Ghazali mengatakan bahwa hati mempunyai dua unit tentara (junûdun mujannadah), yaitu unit yang dapat dilihat dengan mata kepala dan yang satu hanya dapat dilihat dengan mata hati. Yang pertama adalah anggota badan, sedang yang kedua adalah daya-daya; daya penglihatan, daya pendengaran, daya hayal, daya ingat, daya fikir dan daya hafal, yang bekerja dengan sistem yang sangat sophisticated (canggih dan sempurna) dan hanya Allah yang mengetahui hakikatnya. Dari kombinasi tentara lahir dan batin itu dapat lahir kehendak (irâdah), marah (ghadhab), keinginan (syahwah), pengetahuan (‘ilm), dan persepsi (idrâk). Hati juga diibaratkan sebagai pesawat pemancar (dzauq) yang dapat menangkap signs sinyal-sinyal yang melintas. Kapasitas pesawat hati tiap orang berbeda-beda tergantung desain dan baterainya.

Hati yang telah lama dilatih melalui proses riyâdhah (latihan) memiliki desain dengan kapasitas besar yang mampu menangkap sinyal yang jauh termasuk sinyal isyarat tentang masa yang akan datang. Hati seorang sufi bisa menangkap sinyal tentang prospek sesuatu (seperti penglihatan Nabi Khidir a.s.) sehingga kata-katanya boleh jadi melawan arus atau tidak difahami oleh orang lain. dengan hatinya ia juga bisa berkomunikasi dengan orang lain yang berada di tempat lain atau di zaman yang lain, laiknya hand-phone (telpon genggam) saja. Ketajaman hati juga diibaratkan sebagai cermin (cermin hati). Orang yang bersih dari dosa, hatinya bagaikan cermin yang bening, yang begitu mudah untuk berkaca diri. Orang yang suka mengerjakan dosa-dosa kecil, hatinya buram bagaikan cermin yang terkena debu, jika digunakan kurang jelas hasilnya. Orang yang suka melakukan dosa besar, hatinya gelap bagaikan cermin yang tersiram cat hitam, dimana hanya sebagian kecil saja bagiannya yang dapat digunakan. Sedangkan orang yang suka mencampuradukkan perbuatan baik dengan perbuatan dosa, hatainya kacau bagaikan cermin yang retak-retak, yang jika digunakan akan menghasilkan gambaran yang tidak benar. Hati yang sudah tumpul karena baterainya lemah seyogyanya diisi dengan stroom baru, yakni dengan melalui mujâhadah dan riyâdhah (latihan spiritual dan olah-jiwa). Ilmu sebagai produk intelektual (‘aql) kebenarannya bersifat nisbi, antara `ilm al-yaqîn dan `ain al-yaqîn, sedangkan ilmu sebagai produk hati atau qalb sebagai dzauq merupakan kebenaran hakiki (haqq al-yaqîn).

Sebagai penutup mari kita mencoba bercermin kepada hati kita masing-masing, agar kita juga tahu seberapa besar kapasitasnya. Kata Al-Ghazali orang yang tidak mengenal hati sendiri, pasti ia lebih tidak tahu lagi tentang hal lain.

Wallâhu A`lam.

Rabu, 28 November 2007

MEMBACA AL-QURAN: "DARI WACANA MENUJU HIDAYAH"

MEMBACA AL-QURAN: “DARI WACANA MENUJU HIDAYAH”

Studi al-Quran telah membawa para peminat studinya menikmati wacana al-Quran dari berbagai sudut pandang (pendekatan), metode dan orientasi pembahasannya. Sudah sedemikian banyak simpulan-simpulan penting atas nama al-Quran yang dihasilkan oleh para peminat studinya. Tetapi, keasyikan para peminat studi al-Quran dalam melakkan kajian terhadapnya terkadang menjadikan mereka lupa untuk mencari pesan-pesan moral penting al-Quran yang sesungguhnya menjadi elan-vitalnya. Al-Quran terkesampingkan menjadi bahan kajian yang menghasilkan simpulan-simpulan ilmiah belaka yang semakin jauh dari fungsinya sebagi hidayah bagi umat manusia, utamanya umat Islam yang merindukan hidayah Allah darinya.

Al-Quran sebagai Hidayah
Al-Quran di samping sebagai sumber ilmu pengetahuan, merupakan sumber utama ajaran Islam, di dalamnya terkandung hidayah bagi setiap pembacanya, utamanya setiap muslim dan umat Islam, dalam menjalani kehidupan ini agar selamat dan memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ada beberapa macam bentuk hidayah Allah dari al-Quran kepada umat manusia:
Pertama, mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya Ilahi. Ajaran al-Quran membimbing manusia agar keluar dari kegelapan berupa kekafiran, kesesatan, dan kebodohan menuju cahaya Ilahi berupa keislaman, keimanan, dan ilmu pengetahuan. Allah berfirman,
      ••          
''Alif, lâm râ. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS Ibrahim [14]: 1).
Kedua, membimbing kehidupan manusia menuju jalan yang lurus, baik, dan adil. Ini dicapai dengan mengikuti ajaran Islam yang sahih (valid) dan jalan tauhid yang ditunjukkan al-Quran. Allah berfirman:
•            •   
“Sesungguhnya al-Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang yang beriman, yang mengerjakan amal saleh, bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS al-Isra’ [17]: 9).
Ketiga, memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman dan peringatan kepada orang-orang yang ingkar (al-Kuffâr, jama’ dari al-Kâfir). Al-Quran menjelaskan bahwa orang-orang beriman melalui amal saleh yang mereka lakukan, akan mendapat pahala berlipat ganda dan masuk ke dalam surga Allah di akhirat. Sebaliknya, orang-orang yang ingkar (al-Kuffâr, jama’ dari al-Kâfir) akan mendapat balasan buruk di akhirat. Allah berfirman:
•            •     •         
“Sesungguhnya al-Quran Ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar, (9) Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, kami sediakan bagi mereka azab yang pedih.”.(10) (QS al-Isra’ [17]: 9-10).
Keempat, al-Quran menyembuhkan hati manusia dan rahmat bagi orang-orang beriman. Ia menyembuhkan dua macam penyakit, penyakit hati dan akhlak tercela. Penyakit hati bersumber dari akidah yang salah tentang Allah, malaikat, rasul-rasul, hari akhirat, qadha, dan qadar. Kesalahan keyakinan ini membuat hati sakit, gelisah, dan bingung. Al-Quran juga menyembuhkan penyakit hati, berupa “akhlak tercela”, yaitu penyakit yang diakibatkan kerusakan hati manusia. Allah berfirman:
             
“Dan kami turunkan dari al-Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.” (QS al-Isra’ [17]: 82).
Kelima, berisikan nasihat dan ‘ibrah (pelajaran). Nasihat al-Quran berisikan ajakan kepada manusia untuk melakukan ketaatan dan kebaikan dan (ajakan) mengambil pelajaran (‘ibrah) dari kisah-kisah umat terdahulu yang dijelaskan al-Quran. Firman Allah SWT:
                       
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.” QS Yusuf [12] 111).
Hidayah di atas dapat diperoleh dengan mengimani, selalu membaca, memahami, merenungkan dan mengamalkan kandungan al-Quran dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sekadar “berwacana”.

Kamis, 22 November 2007

TEORI AKAD DALAM FIKIH MU'AMALAH

TEORI AKAD DALAM FIKIH MUAMALAH

Akad (al-‘Aqd), yang dalam pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, merupakan konsekuensi logis dari hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah ketika Ia menciptakan makhluk yang bernama manusia. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.

1. Pengertian Akad (Kontrak)

Akad (al-‘Aqd) dalam bahasa Arab berarti: pengikatan antara ujung-ujung sesuatu. Ikatan di sini tidak dibedakan apakah ia berbentuk fisik atau kiasan. Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan qabul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan . Pengertian ini bersifat lebih khusus karena terdapat pengertian akad secara istilah yang lebih luas dari pengertian ini. Namun ketika berbicara mengenai akad, pada umumnya pengertian inilah yang paling luas dipakai oleh fuqahâ’ (para pakar fikih).

Adapun pengertian akad yang bersifat lebih umum mencakup segala diinginkan orang untuk dilakukan baik itu yang muncul karena kehendak sendiri (irâdah munfaridah), seperti: wakaf, perceraian dan sumpah atau yang memerlukan dua kehendak (irâdatain) untuk mewujudkannya, seperti: buyû’ (jual-beli), sewa-menyewa, wakâlah (perwakilan) dan rahn (gadai).

Dari pengertian akad yang lebih umum ini muncul sedikit perbedaan dengan akad yang dimengerti oleh fuqahâ’ dan hukum-hukum perdata konvensional. Perbedaannya adalah bahwa dalam pengertian yang lebih luas mencakup kehendak tunggal dapat melazimkan suatu transaksi, sementara menurut undang-undang hukum perdata konvensional akad mesti melibatkan dua kehendak. Karena itu wilayah akad dalam pengertian umum jauh lebih luas dibandingkan dengan akad dalam pengertian khusus.

2. Rukun Akad

Dalam pengertian fuqahâ’ rukun adalah: asas, sendi atau tiang. Yaitu Sesuatu yang menentukan sah (apabila dilakukan) dan tidaknya (apabila ditinggalkan) suatu pekerjaan tertentu dan sesuatu itu termasuk di dalam pekerjaan itu.. Seperti ruku' dan sujud merupakan sesuatu yang menentukan sah atau tidaknya shalat; keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perbuatan “shalat”. Dalam mu’amalah, seperti: ijab dan qabul dan orang yang menyelenggarakan akad tersebut. Menurut Jumhur ulama rukun akad ada tiga; yaitu âqid (orang yang menyelenggarakan akad seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan (ma'qûd alaih) dan shighatul ‘aqd (bentuk [ucapan] akad) .

Ijab adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang memiliki barang. Qabul adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang tersebut kepadanya. Jika transaksi itu jual-beli, maka ucapan si penjual kepada pembeli : "Saya jual buku ini kepada anda" adalah ijab sekalipun hal itu diucapkan belakangan. Dalam transaksi jual-beli di sini, qabul adalah ucapan si pembeli kepada si penjual: "Saya beli buku ini" sekalipun ucapan itu dikeluarkan di depan. Jika ijab dan qabul ini sudah diikat satu sama lain sementara keduanya diucapkan oleh orang yang sehat akalnya maka akan terjadi perubahan status hukum ke atas barang yang diselenggarakan akad atasnya (dalam hal ini adalah buku yang dijual).

Perubahan status hukum di sini adalah perpindahan kepemilikan; yaitu sebelum akad, buku tersebut milik si penjual dan setelah akad status kepemilikannya berpindah kepada si pembeli setelah membayar sejumlah uang sebagai harga dari buku itu.

Ijab dan qabul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan mereka yang melakukan akad. Dalam fikih mu’amalah, ijab dan qabul ini adalah komponen dari shighatul ‘aqd yaitu ekspresi dari dua pihak yang menyelenggarakan akad atau âqidain (pemilik barang dan orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang mencerminkan kerelaan hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima kepemilikan.

Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam setiap akad, shighat akad harus selalu diekspresikan karena merupakan indikator kerelaan dari âqidain. Pertanyaan yang kemudian muncul, “bagaimanakah kedudukan hukum jual-beli saat ini yang tidak melibatkan shighat akad dari kedua belah pihak? Pihak pembeli hanya membayar harga dan penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal atau ungkapan apa-apa. Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual-beli atau akad semacam ini dan mereka menyebutnya ‘aqd bit ta'athi karena tradisi dan kebiasaan hidup manusia ('urf) menginginkan hal-hal yang praktis dan tidak bertele-tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah menjadi fenomena biasa ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktik demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka yang merasa keberatan. Bahkan sebagian fuqahâ’ (madzhab Hanafi) membolehkan tidak saja dalam jual-beli yang remeh seperti telur, roti dan lain-lain tetapi juga membolehkannya pada semua transaksi besar seperti rumah dan mobil. Sementara itu madzhab Maliki tidak mensyaratkan 'urf sebagai patokan indikator kerelaan pihak yang melakukan akad. Baginya akad adalah sah apabila terselenggara secara suka rela. Tentu pendapat ini lebih luas dan lebih mudah dari pendapat Hanafi.

Sekalipun pada umumnya para fuqahâ’ menyepakati akad bit ta'athi dalam semua lapangan muamalah tetapi mereka menyepakati bahwa untuk kawin (zawâj) dikecualikan. Hal ini disebabkan karena kawin merupakan hal yang agung dan sakral dan memiliki konsekuensi abadi pada pihak wanita. Karena itu diperlukan kehatia-hatian dan kesempurnaan dengan menjadikan ucapan sebagai bukti terkuat untuk mengekspresikan kehendak.

3. Orang yang menyelenggarakan akad (âqidain)

Pihak yang menyelenggarakan akad ini dapat sebagai pembeli atau penjual atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak. Keduanya mempunyai syarat yang sama yaitu, pertama, berakal atau mumayyiz . Berakal di sini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Mumayyiz artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan. Kedua, orang yang menyelenggarakan akad haruslah bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihan bebasnya.

Dalam keadaan tertentu banyak dijumpai hambatan-hambatan psikis atau fisik yang membuat orang tidak dapat melakukan transaksi atau mengurangi kapabilitasnya untuk menjalankan transaksi. Dalam fikih muamalah hambatan-hambatan demikian disebut ‘awâridh ahliyyah. Ada dua jenis ‘awâridh ahliyyah yaitu samawiyyah dan muktasibah.

Samawiyyah adalah jenis hambatan yang tidak disebabkan oleh kehendak orang yang terkena hambatan tersebut, tetapi terjadi di luar kehendak manusia dan bukan merupakan pilihannya seperti gila, pingsan dan tidur. Muktasibah adalah hambatan yang terjadi karena ulah orang itu sendiri seperti mabuk dan utang. Dalam mu,amalah hambatan samawiyah memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan hambatan muktasibah dan ini tentunya kembali kepada kenyataan bahwa dalam hal tersebut orang tidak memiliki pilihan karena itu transaksi yang dilakukan oleh orang yang terkena hambatan ini menjadi batal.

4. Barang dan Harganya (al-Ma'qûd ‘Alaih)

Barang dan harga dalam akad jual-beli disyaratkan sebagai berikut: Pertama, barang atau harga harus suci dan tidak najis atau terkena barang najis yang tidak dapat dipisahkan. Ini berlaku bagi barang yang dijual-belikan maupun harga yang dijadikan ukuran jual-beli. Kedua, barang dan harga tersebut harus benar-benar dapat dimanfaatkan secara syar'i. Ketiga, barang yang dijual harus menjadi milik dari penjual saat transaksi tersebut diselenggarakan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak dimiliki kecuali dalam akad salam. Barang yang dijual harus dipastikan dapat diserahkan kepada pembeli. Jual-beli yang tidak dapat mengantarkan barang kepada pembeli dianggap sebagai suatu transaksi yang tidak sah. Keempat, barang tersebut harus diketahui karakteristik dan seluk beluknya. Begitu juga harga harus diketahui secara pasti untuk menghapuskan kemungkinan persengketaan yang diakibatkan oleh ketidaktahuan harga. Kelima, dalam akad ini tidak diperbolehkan menambahkan persyaratan bahwa transaksi bersifat sementara. Misalnya si penjual mengatakan bahwa ia menjual mobilnya dengan harga sekian untuk jangka waktu sekian.

Persyaratan ini batal karena pemindahan kepemilikian yang dicapai lewat akad bersifat langgeng dan tidak mengenal batas waktu. Begitu perpindahan kepemilikan terjadi, maka hak penggunaan dan pemanfaatan atas barang itu juga berpindah sepenuhnya dari penjual kepada si pembeli dan penjual tidak lagi memiliki hak apapun atas barang yang telah dijualnya.

5. Jenis-jenis Akad

Ada banyak jenis akad yang umum dikenal dalam fikih muamalah dengan memandang kepada apakah akad itu diperbolehkan oleh syara' atau tidak; dengan memandang apakah akad itu bernama atau tidak; dengan memandang kepada tujuan diselenggarakannya akad dan lain-lain.

a. Akad Sah dan Tidak Sah

Dengan memandang apakah akad itu memenuhi syarat dan rukunnya atau tidak, dapat dibagi menjadi dua yaitu akad sah dan akad tidak sah. Akad sah adalah akad yang diselenggarakan dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya. Hukumnya adalah akad ini berdampak pada tercapainya realisasi yang dituju oleh akad tersebut yaitu perpindahan hak milik.

Sedangkan akad yang tidak sah adalah akad yang salah satu rukun atau syarat pokoknya tidak dipenuhi. Hukumnya adalah bahwa akad tersebut tidak memiliki dampak apapun, tidak terjadi pemindahan kepemilikan dan akad dianggap batal seperti jual-beli bangkai, darah atau daging babi. Dengan kata lain dihukumi tidak terjadi transaksi.

Ada perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan madzhab Hanafi mengenai sah dan batalnya suatu akad. Jumhur melihat bahwa batal dan rusak (fâsid) artinya sama. Kalau suatu akad itu rusak, maka ia juga batal. Sedangkan madzhab Hanafi membedakan antara rusak (fâsid) dengan batal sehingga mereka membagi akad berdasarkan sah atau tidaknya menjadi tiga macam yaitu akad sah, fâsid dan batal.

Dalam pandangan madzhab Hanafi, akad yang tidak sah secara syar'i terbagi menjadi dua yaitu batal dan fâsid (rusak) di mana dalam pandangan jumhur hanya menjadi dua yaitu sah atau tidak sah dan tidak sah berarti batal dan berarti fâsid. Yang batal adalah akad yang rukunnya tidak dipenuhi atau akad yang pada prinsipnya atau sifatnya tidak dibenarkan secara syar'i. Misalnya salah satu pihak kehilangan kapabilitas seperti gila; atau shighat akad tidak memenuhi syarat, atau barang yang ditransaksikan tidak diakui oleh syara' seperti jual-beli miras, daging babi dan lain sebagainya. Hukum akad yang batal ini sama dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan madzhab-madzhab yang ada yaitu dianggap tidak terjadi.

Adapun akad fâsid, pada prinsipnya dibenarkan secara syar'i tetapi sifatnya tidak dibenarkan. Misalnya akad tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki kapabilitas, barang yang ditransaksikan dibenarkan oleh syara' namun ada sifat yang dilarang oleh syara' seperti menjual suatu barang yang belum jelas kondisinya sehingga akan dapat menimbulkan persengketaan ketika akad tersebut dilakukan. Akad fâsid memiliki dampak syar'i dalam transaksi artinya terjadi perpindahan kepemilikan. Namun akad ini dapat dibatalkan (fasakh) oleh salah satu pihak yang melakukan transaksi atau dari hakim yang mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.

b. Dengan Melihat Penamaan

Dari segi penamaan maka akad dapat dibagi menjadi dua juga yaitu akad musamma dan ghairu musamma. Akad musamma adalah akad yang sudah diberi nama tertentu oleh syara' seperti jual-beli (buyû'), ijârah , syirkah , hibah, kafâlah , hawâlah , wakâlah , rahn (gadai) dan lain-lain. Sedangkan akad ghairu musamma akad yang belum diberi nama tertentu dalam syara' demikian pula hukum-hukum yang mengaturnya. Akad-akad ini terjadi karena perkembangan kemajuan peradaban manusia yang dinamik. Jumlahnya pun sangat banyak dan tidak terbatas seperti istishnâ' , baiul wafâ' dan bermacam-macam jenis syirkah (musyârakah) lain-lain.

c. Akad ‘Aini dan Ghairu ‘Aini

Dilihat dari diserahkannya barang kepada pihak yang diberikan hak sebagai kesempurnaan sahnya suatu akad, maka akad dapat digolongkan menjadi ‘aini dan ghairu ‘aini. Akad ‘Aini adalah akad yang pelaksanaannya secara tuntas hanya mungkin terjadi bila barang yang ditransaksikan benar-benar diserahkan kepada yang berhak untuk misalnya hibah , i’arah , wadiah , rahn dan qardh . Dalam akad-akad ini barang yang diakadkan harus diserahkan kepada pihak yang berhak untuk menuntaskan bahwa akad benar-benar terjadi. Kalau tidak diserahkan kepada yang berhak, maka akad tidak terjadi atau batal.

Sedangkan ghairu aini adalah akad yang terlaksana secara sah dengan mengucapkan shighat akad secara sempurna tanpa harus menyerahkan barang kepada yang berhak. Umumnya akad-akad selain yang lima di atas dapat digolongkan ke dalam akad ghairu ‘aini.

HERMENEUTIKA DAN FENOMENA TAKLID BARU

HERMENEUTIKA DAN FENOMENA TAKLID BARU

Hermeneutika kini telah menjadi begitu populer di Indonesia dan diajukan oleh berbagai pihak sebagai alternatif pengganti metode tafsir ‘klasik’ dalam memahami al-Quran. Sejumlah nama pemikir modernis, neo-modernis, atau post-modernis –- seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoen, al-Jabiri, Hassan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zaid, Farid Essac, dan lainnya -– kini menjadi idola baru dalam memahami al-Quran dan Sunnah Rasul. Mereka begitu populer dan dikagumi di berbagai institusi pendidikan dan ormas Islam, menggantikan tokoh-tokoh pemikir besar Islam, seperti Syafii, Maliki, Hanafi, Ahmad bin Hanbal, al-Ghazali, Ibn Taimiyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan Ath-Thabari, Ibnu Katsir dan para ulama lain. Kaum Muslimin Indonesia kini diberi sajian dengan ratusan –- mungkin ribuan -– buku, makalah, dan artikel tentang hermeneutika, dengan satu pesan yang sama: “Tinggalkan (paling tidak, “kritisi”) tafsir lama. Jangan percaya begitu saja pada penafsirnya, bahwa mereka adalah tulus dan tidak punya maksud apa-apa. Mereka juga manusia, mereka punya kepentingan, punya wawasan yang terpengaruh oleh faktor sosial budaya ketika itu”.
Prof.Dr. M. Amin Abdullah, misalnya, menyatakan dalam satu buku hermeneutika: “Metode penafsiran al-Quran selama ini senantiasa hanya memperhatikan hubungan penafsir dan teks al-Quran tanpa pernah mengeksplisitkan kepentingan audiens terhadap teks. Hal ini mungkin dapat dimaklumi, sebab para mufasir klasik lebih menganggap tafsir al-Quran sebagai hasil kerja-kerja kesalehan, yang dengan demikian harus bersih dari kepentingan mufasirnya. Atau barangkali juga karena trauma mereka pada penafsiran-penafsiran teologis yang pernah melahirkan pertarungan politik yang maha dahsyat pada masa-masa awal Islam. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir klasik al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.”
Dalam buku yang sama juga disebutkan bahwa, Hassan Hanafi menawarkan cara baru dalam membaca al-Quran. Metode Hassan Hanafi, seperti juga Arkoen, dikatakan telah menghindarkan diri dari penafsiran yang subjektif dan menjadikan teks sebagai sekadar justifikasi dan dalih bagi kepentingan penafsir. Kini sudah saatnya ada panduan metodologis yang dapat menjadi “pencerahan” bagi mufasir-mufasir muda Muslim dalam menjembatani antara al-Quran dan kemanusiaan.
Ditulis juga dalam buku ini: “Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya.” (Lihat, Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 2002, hal. xxv-xxvi, 10).
Umat Islam tentu tidak boleh apriori dengan satu informasi. (QS Al-Hujurat [49]: 6). Jika dikatakan kaum Muslim perlu menggunakan hermeneutika sebagai pengganti tafsir klasik, karena sebagian besar tafsir klasik dianggap melanggengkan status quo, menyebabkan kemunduran, dan sebagainya, maka perlu dipertanyakan, tafsir yang mana? dan “sebagian besar” itu berapa banyak? Sekarang ada ribuan tafsir Al-Qur`an. Yang mana yang sudah dibaca para pengritik tafsir lama itu?
Tafsir al-Azhar ditulis HAMKA dalam penjara. Begitu juga Tafsir Fii Zhilâl al-Qurân. Bahkan penulisnya, Sayyid Quthub, akhirnya meninggal digantung penguasa. Selama ratusan tahun, dunia Islam mengenyam kemajuan dan perkembangan di berbagai bidang ilmu pengetahuan, padahal tidak menggunakan metode hermeneutika yang gencar dipromosikan belakangan ini. Imam Ahmad, Ibn Taymiyah, dan lainnya adalah para penentang penguasa, dan telah menunjukkan diri sebagai ilmuwan besar dalam sejarah Islam. dan mereka tidak pernah bersentuhan dengan “hermeneutika”.
Fenomena Taklid Baru

Sebenarnya praktik “belah bambu” semacam ini merupakan gejala yang memprihatinkan dalam dunia ilmiah. Klaim bahwa Hassan Hanafi, Fazlur Rahman, Arkoen, Nasr Hamid, dan sebagainya “bebas dari kepentingan” dibandingkan dengan mufassir klasik, sangatlah tidak ilmiah. Tanpa bersikap apriori, pemikiran Hassan Hanafi dan lain-lain itu perlu dikaji dengan kritis. Namun, seyogyanya, tidak disertai dengan memberikan prasangka kepada pemikir-pemikir Muslim besar lain sebelumnya, sebelum membaca karya mereka sendiri. Malah, yang lebih memprihatinkan, analisis-analisis Jabiri, Nasr Hamid terhadap pemikiran al-Syafii, al-Ghazali, dan sebagainya, terkadang diimani begitu saja, bahkan dijadikan rujukan tanpa mengecek dan membaca kitab-kitab para “imam” itu secara langsung. Padahal, kitab-kitab para imam besar itu berjumlah ratusan. Tetapi kemudian dirumuskan dan disimpulkan dalam satu atau dua kalimat oleh analis. Sikap seperti ini adalah sebuah bentuk taklid buta.

Jadi, ketika mereka menolak taklid kepada para imam besar, di saat yang sama mereka justeru melakukan taklid kepada pemikir modernis atau post-modernis, Muslim atau non-Muslim.

Dalam hal hermeneutika juga demikian. Berbagai buku tentang hermeneutika dan aplikasinya dalam pemikiran Islam, menunjukkan adanya fenomena rujukan (taklid) pada pemikiran Schleiermacher dan Dilthey, untuk hermeneutika teoritis; taklid kepada orang seperti Gadamer untuk hermeneutika filosofis; atau taklid kepada Jurgen Habermas untuk metode hermeneutika kritis. Metode-metode tafsir mereka itulah yang dianggap lebih tepat untuk menafsirkan al-Quran, ketimbang metode para ulama tafsir.

Sebenarnya para ulama Islam sejak dulu telah mengembangkan sikap kritis, tidak apriori terhadap pemikiran-pemikiran asing. Namun, mereka tidak menempatkan dan memahami Islam dalam kerangka dan sistem epistemologis yang berbeda dengan Islam. Sebab, Islam bukan hanya al-Quran dan Sunnah, tetapi juga cara memahami (epistemologi) kedua sumber utama Islam itu.

“Cara memahami” adalah hal yang sangat vital. Di sinilah perlunya masalah hermeneutika didudukkan dengan serius. Sebab, istilah dan metodologi ini bukan berasal dari tradisi Islam. Sebagai contoh, hermeneutika teoritis menekankan faktor “kecurigaan” terhadap penafsir awal, sedangkan hermeneutika kritis justeru menekankan kecurigaan terhadap teks itu sendiri.

Tafsir ‘Nyeleneh’ Ala Hermeneutika

Sebagian perumus teori hermeneutika, mengajukan gagasan “pemisahan teks dari pengarangnya” sebagai upaya untuk memahami teks dengan lebih baik. Bahkan, orang seperti Schleiermacher mengajukan gagasan tentang kemungkinan penafsir dapat memahami lebih baik dari pengarangnya. Jika gagasan ini diterapkan untuk al-Quran, siapakah yang mampu memahami al-Quran lebih baik dari Allah SWT atau Rasul-Nya?

Inilah yang disesalkan banyak cendekiawan Muslim terhadap gagasan Nasr Hamid Abu Zaid yang menyatakan bahwa al-Quran adalah “produk budaya” (muntâj tsaqafi).

Dengan menganggap al-Quran semata-mata adalah produk budaya, karya sastra biasa, atau sekadar teks linguistik seperti teks-teks lainnya, maka itu berarti telah memisahkan al-Quran dari “Pengarangnya”, yaitu Allah SWT.

Padahal, sebagai kalam Allah, al-Quran adalah tanzîl. Redaksinya pun berasal dari Allah SWT. Dia memang bahasa Arab, tetapi bukan bahasa Arab biasa. Dia adalah wahyu. Karena wahyu, maka manusia yang paling memahami maknanya adalah Rasul-Nya dan orang-orang yang sezaman dengannya (para sahabat).

Jika teks al-Quran dicerabut dari penjelasan Rasulullah SAW dan diletakkan dalam konteks paradigma “Marxis”, maka maknanya tentu bisa berubah secara mendasar. Jika Allah mengharamkan babi, lalu dianalisis secara sosial-budaya ketika itu, maka akan bisa disimpulkan secara hermeneutis, bahwa babi haram karena – misalnya -- dagingnya enak dan tidak ada di Arab.

Sekadar interupsi, HAMKA pernah bercerita, bahwa pada tahun 1963 seorang pelajar SMP di Semarang mengirim surat kepadanya. Si pelajar bercerita bahwa gurunya, seorang pemeluk setia agama Katolik, menerangkan dalam kelas tentang sebab diharamkannya daging babi. Kata guru itu, Nabi Muhammad sangat suka makan daging babi, sebab terlalu enak. Pada suatu hari pelayan beliau mencuri persediaan daging babi yang akan beliau makan. Ketika datang waktu makan, beliau minta persediaan daging yang sangat enak itu. Si pelayan mengaku salah, telah mencuri dan memakan daging babi itu. Mendengar itu, Nabi Muhammad sangatlah marah karena dagingnya dicuri. Saking marahnya, mulai hari itu dijatuhkanlah hukuman: “Haram atas umatku makan daging babi”. (Lihat, HAMKA, Studi Islam, 1985: 245-246).

Selain itu, hukum potong tangan akan dikatakan sebagai hukum yang hanya cocok untuk masyarakat Baduy Gurun di Arab; alasan muslimah haram kawin dengan laki-laki non-muslim karena masyarakatnya didominasi laki-laki; jilbab hanya wajib untuk daerah Arab karena iklimnya panas dan berdebu; khamr haram hanya di daerah panas; homoseksual haram karena ketika itu belum ada HAM; dan sebagainya.

Berbagai pemahaman nyeleneh seperti di atas, akan terus bermunculan apabila hermeneutika – dengan tanpa sikap kritis -- digunakan dalam menginterpretasikan al-Quran. Dan akibatnya : kita akan menjadi muqallid baru, yang seolah-olah kritis terhadap pemikiran para mufasir, padahal – di sisi lain –- mengikuti tanpa sikap kritis terhadap tawaran para sarjana Barat yang mengenalkan metode penafsiran baru terhadap al-Quran, yang barangkali akan bisa menjauhkan kita dari hidayah Allah.

Na’udzubillâhi min dzâlik.

MEMAHAMI HERMENEUTIKA

MEMAHAMI HERMENEUTIKA :
“Sebuah Pengantar”

Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermenuein, hermenus yang berarti penafsiran, ungkapan, pemberitahuan atau terjemah. Ia diambil dari kata hermes, utusan para dewa dalam mitologi Yunani. Meskipun ia sendiri adalah dewa yang mempunyai peran sebagaimana dewa Mesir kuno Theth (dewa kata), kalau dicermati lebih dalam, sebetulnya kedua dewa ini mempunyai peran yang berbeda. Dewa Theth kata-katanya bersifat naratif sedangkan Hermes bersifat formatif-ilustratif. Agaknya perpaduan ini merupakan keharusan, karena makna suatu mitos terbentuk dari narasi dan forma.

Theth disebut juga juru tulis para dewa, “dewa tulisan”, pencipta pena dan tinta, penutur agung, penguasa tulisan dari Mesir. Ia juga kata pemula yang menyebabkan alam ini ada. Di samping itu ia berperan sebagai jaksa di pengadilan akhir hayat. Secara singkat bisa dikatakan bahwa Theth adalah symbol (pertanda) dari kata, kata pencipta, pengatur, pemusnah alam ini, sekaligus juga yang berperan mengadili. Dan karakteristik kata ini adalah samar, tidak akan pernah jelas. Sebab dengan kesamaran itu kehidupan bisa dinamis dan abadi.

Adapun Hermes adalah dewa kata yang fasih. Ia putra Zeus dan Maya. Ia adalah kata-kata yang menjadi penghubung (komunikasi) antarmanusia dan manusia dengan suatu tempat. Perkataan gaya Hermes adalah perkataan yang berputar-putar antara kebenaran dan kebohongan. Hermes memang bersumpah untuk tidak berdusta meskipun ada catatan ia pun tidak berjanji bisa mengungkapkan kebenaran secara sempurna.

Dengan demikian, hermeneutika ala mitologi Yunani adalah upaya mendapatkan kebenaran hakiki melalui ucapan-ucapan Hermes yang sifatnya sangat terbatas (tidak mutlak kebenarannya).

Berikut ini penulis akan memaparkan secara singkat perjalanan hermeneutika.

Abad Pertengahan

Pada masa ini terjadi perpindahan lapangan penafsiran teks dari humeira (injil Yunani) ke penafsiran injil-injil Romawi. Para penafsir juga mulai meletakkan pedoman-pedoman, kaedah-kaedah unuk memahami kitab suci, yaitu berpegang pada tekstualitas, tujuan moral dan kandungan arti spiritual. Augustin membagi arti-arti yang dicari oleh para penafsir dari kitab suci menjadi 4 (empat) yaitu ari tekstual, tujuan moral, arti simbolik dan penafsiran yang tersembunyi. Dan ketika Martin Luther menampilkan corak penafsiran barunya dalam gerakan reformasi agama, bermuncullah karya-karya seputar kaedah-kaedah penfsiran. Pada tahun 1654 mulai muncul karya yang menyebut kata hermeneutika yaitu Hermeneutika Sacra Sive Methodus Exponent Darum Sacarum Literum (Penafsiran Kitab Suci atau Metode Penjelasan Teks-teks Kitab Suci) karya Dannhauuer. Dan pada abad XVIII corak penafsiran kitab suci bertumpu pada filologi.

Schleiermacher (w. 1843 )

Oleh Schleiermacher, hermeneutika dibawa dari objek wilayah ketuhanan (kitab suci) ke wilayah ilmu-ilmu pengetahuan (teks secara umum). Hal ini karena pada masanya terjadi reaksi keras terhadap faham Hegel yang menfsirkan teks sebagai penjelmaan yang Maha Kuasa di satu sisi dan faham Feurbagh yang berpandangan bahwa teks keagamaan tidak lain adalah bentuk alianasi manusia di sisi lain. Bagi Schleiermacher, yang penting bukan Hegel atau Feurbagh, tetapi bagaimana memahami teks keagamaan tersebut sebagaimana teks-teks yang lain. Dalam menafsirkan teks ia tidak mencukupkan pada pendekatan filologi saja, tetapi dilengkapi dengan pendekatan psikologi dan sejarah. Secara garis besar ada 2 (dua) dasar yang ditawarkan Schleiermacher dalam menafsirkan teks:

1. Langkah-langkah penafsiran (hermeneutika) terhadap teks. Dan langkah ini ada dua cara. Pertama “intuitif-struktural” yang mendasarkan pada arti keseluruhan teks. Kedua adalah gramatikal- historis-analitis-komparatif yang digunakan untuk mengkaji lebih dalam komponen-komponen teks
2. Landasan pemahaman bahwa teks adalah sarana komunikasi antara penulis (pembuat teks) dan pembaca (penafsir teks) di satu sisi, dan di sisi lain adalah karakteristik dari pembuat teks itu sendiri. Dengan demikian, penafsiran hermeneutik adalah upaya untuk berpadu, menyatu rasa dengan pembuat teks dan memperkirakan maksud dan tujuannya di satu sisi. Dan di sisi lain adalah analisa mendalam terhadap teks itu dari segi gramática dan sejarah, yang dengan demikian pembaca (penafsir) mempunyai otoritas luas untuk menafsirkan teks tersebut.

Dilthey (1833 – 1911)

Kalau Schleiermacher tantangannya adalah Hegelisme dan Feurbaghisme, maka Dilthey adalah ilmu Fisika di satu sisi dan Filsafat Idealisme di sisi lain. Masa Dilthey disebut sebagai masa filsafat positivisme, yang mendasarkan kebenaran pada eksperimen dan rumus-rumus fisika. Para pengusung positivisme mencela ilmu-ilmu humaniora, karena tidak adanya kepastian rumus-rumus dan kaedah-kaedah. Dan Dilthey menjawab bahwa ilmu fisika dan humaniora mempunyai perbedaan objek, tujuan dan penggarapan. Objek ilmu fisika adalah alam, sesuatu yang ada di luar manusia. Sementara humaniora objeknya adalah manusia itu sendiri. Dan oleh karena itu, manusia adalah pengkaji dan objek sekaligus. Sedangkan tujuan dari ilmu fisika adalah menguasai alam sementara humaniora adalah upaya memahami manusia. Dengan demikian, hermeneutika lebih dekat dengan humaniora. Dan hermeneutika ala Dilthey adalah penafsiran yang mendalam terhadap teks dan bukan sekadar eksperimen atau pencarian sebab-sebab kemunculan teks.

Heidegger (1889 – 1976)

Bersama Heidegger, hermeneutika mengalami lompatan besar sebab ia mengaitkannya dengan filsafat yang dalam hal ini adalah fenomenologi. Keterkaitan ini tidak berarti objek kajian hermeneutika adalah hal-hal yang lahiriah atau kulit kalimat. Tetapi konsentrasinya justeru pada perspektif kesadaran individu terhadap fenomena itu. Dan ketika objek kajian hermeneutika adalah bahasa, sedangkan fenomenologi adalah alam maka dengan cerdas Heidegger menjelaskan bahwa bahasa adalah ekspresi dari alam. Dan oleh karena itu, penafsiran teks adalah penafsiran terhadap alam. Fungsi penafsiran teks adalah (ber)fungsinya kesadaran- kesadaran terhadap alam. Dan penafsiran teks adalah membaca bahasa alam, mendengar suaranya seakan-akan ia menjelma di hadapan penafsir.

Heidegger menegaskan bahwa penafsiran dengan cara ini (dengan hermeneutika) memang memunculkan beragamnya penafsiran, sebab:

1. Penafsiran hermeneutik adalah pengalaman ontologis (upaya pencarian wujud dan hakikat sesuatu). Padahal keberadaan hakikat tersebut adalah antara ada dan tiada, kesamaran dan kejelasan. Dan oleh karena itu, penafsiran hermeneutik -- dengan tujuan seperti ini --harus dilakukan terus-menerus. Artinya tidak bisa diklaim bahwa suatu bentuk atau tahapan penafsiran telah menemukan hakikatnya.
2. Penafsiran hermeneutik adalah penafsiran historis. Artinya, pertama ia muncul pada satu titik dari rangkaian kesejarahan dan terpengaruh oleh kejadian sejarah itu. Kedua pemahaman-pemahaman yang kita daptkan dari sejarah (kejadian) senantiasa mempengaruhi pemahaman kita terhadap teks.
3. Hakikat sesuatu jauh melampaui kesadaran kita, lebih panjang dari pada usia dunia, lebih kompleks dari pada potongan sejarah di mana kita hidup. Dan oleh karena itu kesadaran akan sejarah (realitas) harus dilakukan terus menerus.

Gadamer (1900 - ?)

Teori Gadamer (Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, New York: The Seabury Press, 1975) tentang hermeneutika melalui pendekatan seni. Ia mengatakan: "Ketika kita menemukan karya seni dengan ciri khas keindahannya bukan wujud lahirnya . Kita akan merasa bertambah asing. Sebab karya seni berkaitan dengan kenyataan (wujud karya seni tersebut) dan persepsi banyak orang sementara itu kita sendiri secara pribadi sulit untuk menerimanya". Menanggapi kepelikan semacam ini, Gadamer menawarkan teori dekomparasi keindahan yang artinya kelangsungan nilai seni. Suatu pemahaman bahwa karya seni (yang dibuat di masa lalu) mempunyai sifat berkembang, aktual sampai pada masa kini. Dan dengan hermeneutika hal tersebut bisa diatasi melalui pemahaman, penafsiran dan dialog. Penafsir dengan cara ini melakukan pengembaraan untuk menemukan keserasian antara si penafsir tersebut dengan objek (teks). Keserasian ini tidak berarti penafsir tergantung pada teks, tetapi maksud si penafsir membuka diri untuk berdialog dengan yang lain. Meskipun Gadamer menekankan pada hakikat dan kandungan nilai karya seni, ia tidak menafikan bentuk lahir. Sebab bentuk lahir merupakan media yang memungkinkan penafsir (dalam hal ini pengamat seni) -- melalui eksperimen-eksperimennnya yang terus menerus -- bisa mendapatkan suatu makna yang pasti. Demikian juga dengan adanya bentuk lahir, generasi mendatang bisa turut memberikan apresiasi terhadap karya seni tersebut. Dengan kata lain, keberadaan wujud luar mempunyai kekuatan yang dinamis, dalam arti karya seni tidak hanya dilihat dari sisi keindahan belaka, tetapi juga makna terdalam yang terkandung. Juga beragamnya apresiasi, pemahaman menjadi lestari dan tidak akan berhenti pada satu tahapan atau orang penafsir tertentu.

Secara garis besar bisa dikatakan bahwa Gadamer -- dalam hermeneutika -- menawarkan tiga poros yaitu penulis (pencipta teks/sejarah/seni), penafsir dan teks dalam pengertian umum. Si penafsir bergerak merambah dari pemahaman yang ada menjelang kemunculan teks, beragamnya arti sepanjang sejarah sampai pada arti di mana penafsir hidup, dan dari penafsir mencoba menyatu rasa dengan penulis (pembuat teks). Dengan demikian, penafsiran hermeneutik adalah penafsiran yang terus menerus dan berputar-putar antara penafsir, teks dan pembuat teks.

Jauss

Jauss sebagaimana Gadamer juga menawarkan “teori dialog”. Ia menawarkan 3 (tiga) macam bentuk dialog, pertama dialog dengan para pembaca (penafsir) teks. Kedua dialog antarteks, yaitu teks yang sedang dikaji penafsir dengan teks-teks yang lain. Ketiga dialog antara teks puitis dan teks biasa (prosa). Bagi Jauss kemunculan bahasa bukan dari interaksi individu dengan objek, tetapi interaksi antara individu dengan individu yang lain. Dan pengertian "faham" bukan monologis (bagaimana kita memahami suatu objek), tetapi dialogis (sharing [berbagi] pengertian antara individu dengan individu lain terhadap suatu objek). Dan dengan demikian, di hadapan teks kita tidak dalam posisi tersandera, tetapi justeru sebagai tuan yang mempunyai otoritas untuk menguasai teks.

Paul Ricoeur

Sebagaimana Michel Foucault dan Jack Derrida, pengaruh Ricoeur tidak hanya pada bidang sastra dan filsafat saja. Tetapi merambah ke sejarah, agama, politik, mitologi, ideologi dan lain-lain. Demikian juga ia juga berdialog, berinteraksi dengan disiplin-disiplin ilmu lain seperti faham-faham filsafat, psikologi, sosial. Bagi Ricoeur, hermeneutika bukanlah metode yang bertentangan dengan disiplin ilmu lain, tetapi justeru sebagai penyerap, pengkritik dan bisa membuat ilmu-ilmu lain menjadi jaya. Bersama analisa psikologik – misalnya -- kita dalam menafsirkan suatu teks berangkat dari pemahaman awal, keadaan alam bawah sadar kita yang tersembunyi di balik fenomena. Suatu keadaan di mana kita belum terpengaruh oleh fenomena di luar kita. Dan dengan analisa fenomenologik, penafsir (hermeneutik) – yang selanjutnya disebut sebagai hermeneut -- menunjukkan bagaimana super ego kita memahami fenomena (teks) di hadapan kita. Hermenutika, dalam menafsiri fenomena melalui 2 (dua) media, yaitu simbol dan kesadaran. Kesadaran dalam hermeneutika bukan hal yang mutlak, tetapi penting. Sebab hermeneutika memandang kesadaran pada mulanya adalah palsu. Dan oleh karena itu harus dilanjutkan dengan memikirkan, memahami simbol-simbol dan dilakukan terus-menerus supaya teruji dan kepalsuan itu relatif berkurang. Puncak kesadaran yang dicapai hermeneutik bukan pengetahuan (kebenaran) yang mutlak, tetapi upaya yang terus menerus dan terus menyisakan pemahaman yang baru lagi.

Berbeda dengan “fenomenologi” Husserl dan “Cogito” Descartes, Riceour memandang bahwa hakikat sesuatu tidak diperoleh dengan bagaimana fenomena itu menampakkan pada kita, atau hanya dengan sekadar memikirkannya, tetapi bagaimana kita membaca, memahami simbol-simbol dari sesuatu tersebut. Dengan demikian, dalam hermenutika (penafsiran teks) Ricouer tidak mengesampingkan simbol dan struktur teks tersebut. Meskipun demikian, struktur -- menurutnya -- hanya satu tahapan dari tahapan hermeneutika. Struktur hanyalah pembuka dari upaya penafsiran hermeneutik. Teks tidak bisa dipahami secara sempurna dengan teori strukturalisme sebagus apapun teori itu. Dengan demikian, struktur bukan puncak dari penafsiran hermeneutik tapi hanya tahapan awal.

Berkait dengan semiotika, Ricouer menganggap bahwa penafsiran teks harus bergerak dari kesadaran penuh akan tahapan semiotik (simbol) suatu teks menuju tahapan bahwa teks tersebut mempunyai arti dan kandungan makna. Kalau semiotika bercirikan teks yang formal dan sederhana, maka hermeneutika lebih jauh dan lebih dalam dari pada itu, yaitu kedalaman makna.

Dan kalau dekonstruksi Michel Foucault memporakporandakan makna suatu teks, maka hermenutika justeru mencari nilai terdalam yang terkandung dalam teks. Relativitas teks bukan pada faktor yang menyebabkan berbedanya arti dalam suatu teks, tetapi pada upaya unifikasi makna dengan mengingat perbedaan pengalaman dan faktor-faktor lain.

Karakteristik Metode Hermeneutika

Dari uraian singkat di atas penulis mencoba meringkas beberapa karakteristik dari metode penafsiran yang sekarang sedang marak:

1. Metode hermeneutika adalah metode penafsiran teks atau penafsiran kalimat sebagai simbol. Materi pembahasannya meliputi dua sektor yaitu pertama perenungan filsofis tentang dasar-dasar dan syarat-syarat konstruksi pemahaman. Kedua pemahaman dan penafsiran teks itu sendiri melalui media bahasa.
2. Metode hermeneutika adalah metode yang mendasarkan pada pengompromian filsafat dan kritik sastra. Memahami teks sastra, seni, agama atau sejarah adalah upaya memahami realitas melalui bahasa atau bentuk keindahan. Keberadaan bentuk ini menjadikan proses pemahaman menjadi mungkin, fleksibel dan lestari.
3. Kalau boleh dikatakan bahwa kritik sastra bersifat normatif dan deskriptif, maka metode hermeneutik adalah metode pamungkas. Sebab yang dicapai oleh hermeneutik adalah makna terdalam atau nilai dari suatu teks. Dan nilai ini tidak berada di belakang teks, tetapi melanglang ke depan teks. Dengan demikian arti suatu teks menurut metode ini adalah berkelanjutan dan senantiasa baru.
4. Metode hermeneutika adalah metode penafsiran individual, tetapi melebur dengan yang lain. Sebab metode ini mengompromikan antara yang historis dan ahistoris, antara individu satu dengan individu yang lain, antara makna lahir dan makna yang tersembunyi.
5. Metode hermeneutika mempunyai 2 (dua) ciri utama, yaitu optimis dan liberal. Maksudnya penafsir teks -- dalam hermeneutika -- tidak menganggap teks sebagai guru yang memenjarakan penafsir, tetapi penafsir mempunyai otoritas untuk memperlakukan teks. Sementara itu, keoptimisan penafsir adalah karena ia percaya ada nilai tersembunyi dalam kandungan teks.
6. Metode hermeneutika bisa pula dikompromikan dengan ilmu fisika, sebab hermenutika mendasarkan pada :
a. Eksperimen terus menerus yang menjauhkan dari generalisasi sebagaimana pada teori standarisasi yang menerapkan pedoman-pedoman yang menyebabkan suatu teks bisa atau tidak bisa diterima; atau pada strukturalisme yang mengembalikan semua teks pada bingkai kaedah yang baku, atau pada dekonstruksisme yang mengatakan bahwa semua teks tidak mempunyai makna atau nilai yang bisa diterima.
b. Intuisi pada hermeneutika bukan emosional dan bukan pula generalis. Tetapi intuisi di sini adalah pertanyaan kritis terus menerus tentang kebenaran suatu teks. Atau dengan kata lain bahwa intuisi pada hermeneutika berawal dari dugaan-dugaan kasar menuju suatu keyakinan.
c. Kalau metode ilmiah mengungkap sesuatu dari ketidak-tahuan, dan memperoleh kebenaran dari eksperimen. Maka metode hermeneutika tidak berangkat dari satu standar yang paten dan memperoleh kebenaran dari eksperimen. Makna yang ingin dicapai oleh hermeneutik dari suatu teks bukan makna final. Setiap analisa Hermeneutik pada akhirnya selalu menyisakan pertanyaan-pertanyaan baru. Garapan hermenutika jauh lebih luas dari pada si penafsir itu, tetapi justeru inilah yang memacu penafsir untuk berlomba-lomba, bersungguh-sungguh untuk menemukan makna terdalam dari teks.

Hermeneutika Untuk al-Quran, Mungkinkah?
Penafsiran terhadap al-Quran menghadapi babak baru. Tepatnya, setelah ilmu penafsiran teks -- atau lazim disebut hermeneutika -- diadopsi oleh sebagian kalangan umat Islam. Dari sisi keilmuan, mungkin sah-sah saja. Tetapi bagi sebagian kalangan, 'sah-sah saja' itu menjadi “tidak sah”. Pasalnya, hermeneutika bukan orosinil ciptaan umat.
Penafsiran gaya hermeneutika merupakan tradisi Yunani yang kemudian diadopsi oleh orang-orang Kristen. Mereka menggunakannya untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks Bible. Menurut Hamid Fahmi Zarkasy (2004), Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilazation (Insist), sebagai sebuah ilmu, hermeneutika berkembang menurut latar belakang budaya maupun pandangan hidup di mana ia lahir. Dengan demikian, hermeneutika lahir dengan latar pandangan Yunani, Kristen, dan Barat. ''Jadi ia tidak bebas nilai,'' ujarnya.
Mereduksi Wahyu
Pada mulanya hermeneutika masuk dalam teologi Kristen tanpa resistensi. Karena dalam tradisi intelektual Kristen tidak terdapat ilmu interpretasi yang lahir dari konsep teologi mereka. Jika kemudian hermeneutika diadopsi dalam penafsiran al-Quran ini akan melahirkan masalah. ''Melalui hermeneutika, status al-Quran akan tereduksi,'' tambah Hamid. Seperti yang pernah dilakukan di Yunani maupun dalam tradisi Bible, maka dengan hermeneutika, ia (al-Quran, sebagaimana Bible dan teks-teks lain) hanya dipandang sebagai sebuah teks belaka.
Belajar pada apa yang terjadi pada Bibel, kitab ini pun telah direduksi dari firman Tuhan menjadi sebuah teks yang ditulis oleh pengarang Bible. Dengan kondisi tersebut maka diperlukan hermeneutika untuk menafsirkan apa yang dimaui pengarang Bible tersebut. ''Dengan kata lain bila hermeneutika digunakan untuk menafsirkan al-Quran maka mereka harus mereduksi al-Quran dari wahyu yang suci menjadi teks biasa,'' ujarnya. Pendekatan pun tidak dilakukan seperti pada wahyu yang menggunakan konsep menyeluruh, baik tentang Tuhan, alam, dan sebagainya. Sedangkan hermeneutika mendasarkan dirinya pada ilmu-ilmu humaniora. Misalnya, psikologi maupun sosiologi. Dan dilakukan secara parsial. Katakanlah, seperti ketika Schleiermacher menggunakan hermeneutika dengan pendekatan psikologis untuk menafsirkan maksud pengarang.
''Ia (Schleiermacher) menyatakan bahwa pandangan pengarang harus direkonstruksi secara psikologis. Dengan demikian, ia hanya menggunakan psikologi untuk menafsirkan teks tersebut dan mengabaikan ilmu lainnya,'' tambahnya. Pada saat hermeneutika ini diterapkan dengan berdasarkan sebuah ilmu ia akan menafikan ilmu lainnya. Kalau mendekati hermeneutik secara historis maka dikatakan pendekatan tersebut tidak manusiawi. Sebab tidak melibatkan psikologi di dalamnya. Demikian pula sebaliknya. Jika menerapkan hermeneutika melalui pendekatan psikologi, akan dikatakan pendekatan tersebut ahistoris, karena tidak melibatkan sejarah dalam melakukan pendekatannya. Hamid Fahmi Zarkasyi menyatakan bahwa pakar hermeneutika seperti Dilthey, Schleiermacher, Gadamer, maupun Heidegger saling berbeda pendapat karena hal itu.
''Bagaimana kita akan menerapkan hermeneutika ke dalam hal yang bersifat tauhidi seperti al-Quran. Inilah masalahnya, kita ingin menafsirkan al-Quran secara komprehensif namun kita memakai pendekatan ilmu Barat yang parsial,'' jelasnya. Pendekatan yang dilakukan oleh Dilthey lain lagi. Dalam menggunakan hermeneutika ia menggunakan pendekatan yang disebut dengan interest atau kepentingan. ''Bahwa pada saat menafsirkan sebuah teks, maka harus dilihat kepentingan apa yang ada di balik pengarang,'' kata Hamid. Kemudian kepentingan tersebut, dihubungkan dengan pula dengan konteks sosial.''Jika orang yang menafsirkan teks tersebut adalah seorang “Marxis“, maka ia akan melakukan penafsiran yang sesuai dengan kepentingan diri dan masyarakat yang menganut marxisme,'' katanya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bagaimana memahami kepentingan pengarang, ini akan menjadi masalah jika kemudian hermeneutika diterapkan terhadap wahyu (al-Quran). Ia menegaskan bahwa penggunaan hermeneutika ini akan membahayakan status al-Quran. Dengan memosisikan al-Quran hanya sebagai teks biasa, maka al-Quran nantinya juga akan dianggap sebagai produk (sebuah) budaya, yaitu budaya Arab. Ia menjelaskan bahwa al-Quran telah diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab. Dengan pendekatan hermeneutika maka akan muncul pula sebuah anggapan bahwa al-Quran itu adalah kata-kata Muhammad. Jadi al-Quran tidak lagi “sakral“, karena ia dianggap bukan sebagai perkataan (firman) Allah SWT. Maka tidak heran jika kalangan yang menggunakan hermeneutika tidak mau menyatakan 'Allah berfirman'. Namun mereka akan menyatakan 'bahwa di dalam al-Quran disebutkan'.
Ada Kemandekan
Meski demikian, Hamid menyatakan bahwa hermeneutika yang kian merebak ini memang sebuah kenyataan. Dan umat Islam memang harus berintrospeksi diri. Bahwa di kalangan ulama kajian kreatif tentang khazanah tafsir memang dapat dibilang mengalami kemandekan. Dan hal ini membuat kalangan liberal menyatakan kondisi ini menyebabkan status quo. Sayangnya, untuk mengatasi kemandekan tersebut sebagian kalangan tidak mengambil ilmu penafsiran yang ada di dalam Islam sendiri. Namun kemudian mengambilnya dari luar tradisi Islam, yang tentunya memiliki nilai yang berbeda dengan nilai Islam. Hal senada disampaikan Wakil Direktur Insist, Adnin Armas. Menurutnya kesakralan teks akan runtuh jika hermeneutika digunakan dalam menafsirkan al-Quran. Tidak heran jika pernah ada gagasan menerbitkan “Al-Quran Edisi Iritis”. Hal ini terjadi karena mereka menganggap teks al-Quran bermasalah.
''Karena teks al-Quran dianggap tidak sakral lagi, apa lagi hadis yang kedudukannya di bawah al-Quran,'' ujarnya dengan nada tanya. Maka, tidak akan ada hadis sahih lagi, karena hadis pun akan dianggap sebagai buatan manusia. Ia menyatakan bahwa latar belakang adanya hermeneutika ini memang akibat adanya gelombang liberalisme. Barat menggunakan paham ini untuk melepaskan diri dari hal yang sakral. Dan memisahkan antara kehidupan dunia dan agama. Karena pengalaman yang mereka alami begitu pahit dalam berhubungan dengan agama. Di sisi lain, hadirnya liberalisme dalam Islam karena memang adanya kemuduran yang dialami umat Islam. Dari sini, maka mari kita bercermin lagi.

FUTUR MUBALLIGH

FUTÛR AL-MUBALLIGH:
Menimbang Risiko Internal Dan Eksternal

Oleh: Muhsin Hariyanto

Lemahnya kompetensi para mubaligh bisa menjadi bumerang bukan saja bagi sang mubaligh, tetapi juga bagi setiap gerakan dakwah dan umat. Karena, betapa pun baiknya sebuah gerakan dakwah ditata oleh sebuah institusi dakwah dan kuatnya ghirah keislaman umat, tetap akan berisiko ketika aktivitas dakwah dipandu oleh pelaku-pelaku dakwah (mubaligh) yang kurang atau bahkan tidak kompeten. Oleh karenanya, penguatan kompetensi para mubaligh -- dengan cara apa pun -- menjadi sebuah keniscayaan, kapan pun, di mana pun dan bagi siapa pun, demi kepentingan sang mubaligh, setiap gerakan dakwah dan umat.

Prolog

Citra Mubaligh sebagi pelaku dakwah kadang memudar karena faktor internal mubaligh sendiri. Ada dinamika internal yang ‘mandek’, sehingga melemahkan potensi dan keberhasilan dakwahnya.

Sebenarnya para mubaligh pada umumnya paham bahwa memelihara semangat, mengembangkan potensi dakwah bukan merupakan sesuatu yang mudah. Mungkin karena sesuatu yang terkait langsung dengan kompetensi metodologis maupun substantif para mubaligh sendiri, maupun kematangan pribadinya yang terkait dengan motivasinya sebagai seorang “mubaligh” yang semestinya sudah terbangun sejak awal ketika yang bersangkutan berhimmah untuk memilih “dakwah” sebagai jalan hidupnya.

Dakwah, sebagai sebuah pilihan hidup, bukanlah sesuatu yang serba menjanjikan. Bahkan dalam banyak hal merupakan jalan terjal-berliku yang penuh tantangan. Dan di ketika sang mubaligh tidak cukup kokoh dalam mempersiapkan dirinya, maka bukan tidak mungkin pada saatnya dia akan mengalami kerugian, baik dalam menjaga citra pribadinya maupun dalam meraih capaian-capaian yang diinginnya dalam berdakwah. Di samping itu, dampak negatif eksternalnya pun tidak mungkin dihindari. Karena, betapa pun keberhasilan setiap gerakan dakwah akan ditentukan oleh kompetensi para mubalighnya.

Memahami Peran Mubaligh

Dakwah bukan sekadar melaksanakan kegiatan pengislaman dalam arti formal. Lebih jauh dari itu, Dakwah diartikan sebagai upaya menyeluruh untuk menumbuhkembangkan kondisi ideal dalam takaran “Islam”. Sehingga rumusan tujuannya selalu mengarah pada “pengislaman” dalam arti yang sebenar-benarnya (Islam dalam pengertian esensialnya).

Kegiatan dakwah yang sebegitu kompleks harus dikemas dengan kemasan proses yang ideal, yang tentu saja tidak mungkin dilaksanakan oleh para pelaku dakwah yang tidak atau kurang kompeten, baik dalam pengertian intektual mapun moral.

Di saat sebuah gerakan dakwah diinginkan untuk menjadi sebuah mesin-penggerak yang efektif, maka penyiapan para mubaligh yang handal sudah menjadi sebuah keniscayaan. Karena, betapa pun baiknya sebuah institusi dakwah, ia tidak akan pernah menjadi sesuatu yang bermakna ketika tidak diisi oleh pelaku-pelaku dakwah yang kompeten.

Kompentensi mubaligh terkait dengan dua hal penting, di samping kesemaptaan fisik dan keterampilan manajerial yang yang tidak boleh tidak harus dimilikinya. Pertama, kompetensi intelektual, yang bermakna penguasaan materi dan metode dakwah. Kedua, kompetensi moral, yang bermakna kesemaptaan kepribadian dalam arti spiritual.

Seringkali mubaligh kita tampil dalam sebuah kemasan dakwah dengan tampilan-tampilan kosmetikal. Bahkan, karena tuntutan publik seseorang mubaligh ditampilkan dan menampilkan diri dengan topeng-topeng kesalehan dan kemampuan retorika yang dilatihkan secara instan. Para mubaligh instan ini bisa jadi muncul di mana-mana dan sebegitu dikagumi oleh umat dengan kekaguman yang berlebihan karena tampilan kosmetikalnya. Bahkan akhir-akhir ini ada gejala idolatry yang kurang sehat dalam dunia dakwah, sehingga sebuah kemasan dakwah yang direduksi menjadi sebuah pertunjukan ‘hiburan’ dianggap menjadi lebih penting daripada sebuah gerakan dakwah yang sistemik dan sistematik.

Dalam konteks dakwah dalam pengertian ‘awam’, peran para mubaligh instan ini sangat dirasakan penting oleh umat. Bahkan dalam realitas dakwah, yang sudah direduksi menjadi kemasan tablîgh bil lisân, pengaruh merekalah (para mubaligh instan) yang banyak mendominasi pemahaman keislaman umat Islam. Terkadang sikap kritis umat – yang sudah sebegitu mengidolakan para mubalighnya -- tidak tumbuh subur. Bahkan ironisnya, sikap taqlid terasa lebih menjamur daripada sikap kritis umat Islam dalam memahami pesan-pesan dakwah para mubaligh instan ini. Pelajaran-pelajaran mereka tidak jarang dijadikan sebagai catatan kaki oleh penggemar fanatik mereka, dan bahkan tidak jarang dijadikan sebagai alas berpikir, bersikap dan bertindak.

Menyikapi fenomena ini, tentu saja kita tidak boleh diam. Sudah seharusnya fenomena ini menjadi keprihatinan bersama. Karena, betapa pun umat Islam harus diselamatkan dari idolatry semacam ini dengan solusi yang tepat.

Ketika kita melihat dengan kasat mata betapa para mubaligh tersebut benar-benar telah menjadi orang-orang yang telah berhasil mempengaruhi, bukan saja cara berpikir umat Islam, bahkan sampai pada gaya hidup mereka (umat Islam), sudah saatnya kita cerdaskan umat Islam dengan menampilkan para mubaligh yang berkualitas memadai untuk menjadi panutan umat. Tugas kita tentu saja tidak ringan, karena gejala idolatry ini sudah menjadi bagian yang tak tepisahkan dari umat kita. Idolatry yang bukan saja kepada para mubaligh handal (yang tidak dapat dibenarkan), lebih parah lagi kepada para mubaligh instan yang dalam hal ini kurang memiliki kehandalan baik dalam pengertian intelektual maupun moral.

Pendidikan dan Pelatihan Mubaligh: Sebuah Solusi Alternatif

Bagi Muhammadiyah kegiatan pengkaderan Mubaligh bukan merupakan kegiatan baru. Tetapi, pertanyaannya, sudahkah Muhammadiyah melakukan kegiatan pengkaderan mubaligh ini secara sistemik dan sistematik dalam sebuah kegiatan pendidikan dan pelatihan terpadu dalam sebuah proses yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan?

Kini Muhammadiyah sebagaimana sejak dirinya menapakkan dirinya sebagai gerakan dakwah “amar ma’ruf nahi munkar” tidak pernah tidak memiliki majelis tabligh. Dan dalam konteks pengembangan pendidikan tingginya memiliki semumlah fakultas, jurusan dan program studi yang berlabel atau bermakna “dakwah”. Ada Fakultas Dakwah, Ada Fakultas Agama, Jurusan Dakwah dan ada pula Program Studi Dakwah dengan label beragam.

Dari majelis tabligh, dengan pelbagi perubahan nama dan bentuknya, dan sejumlah perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dakwah, sudah adakah kegiatan monitoring dan evaluasi terpadu yang dilakukan oleh Muhammadiyah yang padairnya melahirkan hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan validitas dan reliabilitasnya secara ilmiah? Benarkah mereka telah melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan dakwah yang relevan dengan kebutuhan dakwah Muhammadiyah, saat ini dan masa mendatang?

Dalam hal ini penulis memiliki asumsi yang agak pesimistik. Dengan melihat problematika dakwah Muhammadiyah sendiri, penulis tidak begitu yakin bahwa Muhammadiyah, melalui majelis tablighnya dan lembaga-lembaga pendidikan formalnya belum melakukan proses pendidikan dan pelatihan dakwahnya dengan ‘tepat dan benar’. Barangkali, masih banyak celah yang perlu diperbaiki dalam hal penyelenggaraan kegiatan pendidikan dan pelatihan dakwah Muhammadiyah, sehingga benar-benar akan melahirkan mubaligh yang handal, yang selamanya akan terus diperlukan, baik oleh kalangan Muhammadiyah dan umat.

Satu hal yang mungkin ditawarkan adalah: “perlunya sinergi yang tertata antara Persyarikatan Muhammadiyah dan amal usaha Muhammadiyah dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pelatikan mubaligh secara berkesinambungan” untuk menjawab tantangan dakwah saat ini dan masa mendatang dan mencukupi kebutuhan para mubaligh yang memadai bagi umat yang haus tuntunan Islam yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Epilog

Bahaya Futûr, baik bagi para mubaligh atau pun umat Islam yang selalu menantikan tuntunan para mubaligh, dengan melihat realitas kehidupan sosial-keagamaan kita sudah bukan sekadar menjadi sebuah kekhawatiran belaka. Keterpurukan umat dalam ketidaksalehan vertikal dan horisontal telah bisa kita lihat dengan kasat mata.

Lahirnya para mubaligh instan dan idolatry yang menjadi gejala masif, sudah semestinya kita sikapi dengan tindakan kongkret. Dengan salah satunya: “menyiapkan para mubaligh handal, yang kita proses dengan sebuah kegiatan pendidikan dan pelatihan terpadu”, untuk menggantikan peran mereka (para mubaligh instan) yang kadang-kadang dengan hanya berbekal semangat keagamaan dan tampilan-tampilan kosmetikal “maju” ke tengah medan dakwah dengan semangat heroik. Yang akibatnya bisa kita lihat sendiri: “banyak di antara mereka yang terpaksa harus menanggung dosa kolektif umat yang terseok dalam pemahaman yang kurang dapat dipertanggungjawabkan dalam berislam, baik dalam pengertian intelektual maupun moral.

Dan ironisnya, dalam kesalehan minimal mereka, yang sudah sepantasnya segera kita gantikan dengan kehadiran wajah baru Islam yang dapat dipertanggungjawabkan, kita pun kadang-kadang kurang peduli.

Selasa, 13 November 2007

Pembaruan Ushul Al-Fiqh

Pembaruan Ushul Al Fiqh

Teori hukum Islam atau disebut juga ushul al fiqh adalah salah satu disiplin ilmu keislaman tradisional yang memiliki posisi sangat penting dalam pengembangan hukum Islam. Dalam disiplin ilmu inilah pembahasan mengenai dasar-dasar pemikiran atau paradigma keilmuan dan kaidah-kaidah yang sangat diperlukan sebagai pijakan dasar dalam membangun sebuah formulasi hukum Islam yang diinginkan dibahas secara tuntas (Ramadan, 2002). Dengan perkataan lain, ushul al fiqh adalah disiplin ilmu yang paling bertanggung jawab sebagai perangkat metodologis yang paling berkompeten guna menyusun, membentuk, dan memberi corak hukum Islam yang diharapkan.
Crisis of relevance Menurut Munawir Sjadzali dalam bukunya Ijtihad Kemanusiaan, formulasi hukum Islam yang terdeskripsikan dalam kitab-kitab fikih klasik pada beberapa aspeknya sudah mengalami crisis of relevance dengan kondisi saat ini, terutama jika dikaitkan dengan standar hak asasi manusia internasional (Sjadzali, 1997). Pandangan hampir sama dikemukakan oleh Fazlur Rahman (1984), Abdullahi A An Na’im (1990), Muhammad Sa’id Al Asymawi (1993), Khaled M Abou El Fadl (2003), dan lain-lain.
Berangkat dari fenomena tersebut, maka upaya pembaruan hukum Islam melalui wahana ijtihad adalah sebuah keniscayaan. Namun seiring dengan itu, muncul permasalahan baru. Alih-alih ingin melakukan pembaruan tetapi apa yang terjadi? Ternyata para ahli hukum Islam belum berhasil memberikan jawaban yang memuaskan terhadap upaya pembaruan hukum Islam kontemporer itu, sehingga hasilnya kemudian sama saja. Muncul rasa ketidakpuasan dari kalangan Muslim sendiri yang pada titik ekstrem, menurut An Na'im, dapat mengarah pada keraguan mereka terhadap adaptabilitas Alquran dan Alhadis sebagai sumber utama hukum Islam. Kehadiran sekularisme di Turki adalah salah satu fenomena yang mewakili kondisi tersebut.
Lalu, mengapa para ahli hukum Islam kontemporer gagal dalam merumuskan formulasi hukum Islam yang sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat ini? Di mana letak permasalahannya? Dan, apa yang semestinya dilakukan? Menurut para teoretisi hukum Islam, satu permasalahan krusial yang menghambat upaya pembaruan atau reformulasi hukum Islam yang diharapkan itu adalah miskinnya metodologi. Para ahli hukum Islam masih mengandalkan metodologi istinbath hukum lama yang sebenarnya dalam beberapa aspek sudah tidak lagi memadai.
Berdasar analisis tersebut, langkah terpenting yang harus dilakukan apabila hendak melakukan pembaruan formulasi hukum Islam yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi yang ada pada saat ini adalah harus menengok pula keberadaan metodologi istinbath hukumnya (ushul al fiqh). Karena jangan-jangan, ushul al fiqh-lah yang menjadi letak permasalahannya, yakni perangkat keilmuan di dalamnya sudah tidak mampu menjelaskan dan menyelesaikan kompleksitas permasalahan hukum yang muncul (Yusdani, 2001; Syarifuddin, 2002).
Jelasnya, ilmu ushul al fiqh klasik yang selama ini ditempatkan pada posisi sentral dalam studi keislaman serta pada masa lalu terbukti cukup canggih dalam membangun hukum Islam, kini menghadapi tantangan yang sangat berat. Ada beberapa bagian dari disiplin ilmu itu ditengarai tidak cukup memadai lagi untuk menjalankan fungsinya secara baik. Belum lagi, struktur penulisan kitab-kitab ushul al fiqh yang cukup rumit membuat orang harus berkerut kening untuk mempelajarinya. Ini membuat para pemula yang baru mempelajari ilmu-ilmu keislaman tradisional cenderung menjauhinya. Belum lagi ada semacam stigma yang ditempelkan oleh para ulama terhadap ilmu ushul al fiqh bahwa disiplin ilmu ini benar-benar sulit dan hanya orang-orang tertentu yang mampu mempelajarinya.
Desakralisasi ushul al fiqh
Stigma yang bisa membuat pesimistis para peminat ilmu-ilmu keislaman tradisional itu, sudah barang tentu harus dikikis karena akan membahayakan upaya pengembangan disiplin ilmu tersebut. Oleh karena itu, tepat apa yang dikatakan Muhammad Abu Al Fath Al Bayanuni dan Amar Al Thalabi bahwa apabila umat di masa lalu telah sungguh-sungguh merasakan betapa perlunya menyederhanakan ilmu seperti nahwu, sharf, balaghah, dan lain-lain, demikian pula seharusnya mereka bersikap terhadap ilmu ushul al fiqh (`Uways, 1998). Bagaimanapun, kendati perangkat kaidah-kaidah yang kini menjadi bagian dari ilmu ushul al fiqh diinspirasi Alquran dan Sunnah, tidak serta-merta kemudian sifat sakral dari kedua sumber utama ajaran Islam itu terus menempel.
Setiap ilmu itu bersifat nisbi dan relatif tingkat kebenarannya. Ilmu tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang sudah pasti, berhenti, dan tidak bisa dipermasalahkan lagi tingkat aktualitasnya. Setiap ilmu harus dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pengembangan daya nalar dan kreativitas kaum Muslim pada masa tertentu. Oleh karena itu, mengutip Hasan A Al Turabi dalam Tajdid Al Fikr Al Islami, suatu ilmu bisa saja akan tampak canggih dan berwibawa dalam memberikan solusi-solusi berbagai permasalahan hukum Islam pada masa lalu, tetapi bisa jadi tampak tak berdaya bila diterapkan pada masa sekarang ini. Ini amat wajar terjadi, karena ia disusun dalam kondisi historis dan dipengaruhi oleh watak problematika hukum Islam yang menjadi pembahasan hukum Islam waktu itu (abad pertengahan) (Turabi, 2003).
Padahal, saat ini banyak sektor kehidupan yang telah berkembang dan melahirkan masalah-masalah baru yang belum disinggung oleh hukum Islam produk abad pertengahan. Selain itu, interaksi-interaksi sosial telah berganti. Sejak 1.000 tahun silam, belum ada sistem hukum agama yang dapat mengekspresikan tujuan agama dalam realitas tersebut. Ini disebabkan fasilitas dan sarana kehidupan telah berubah dan berkembang, sehingga hasil keputusan hukum tertentu dalam format lamanya sudah tidak relevan lagi.
Bersamaan dengan itu, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan pesat, sementara hukum Islam lama berpijak pada pengetahuan terbatas ihwal metode perumusan sistem hukum yang mempunyai relevansi dengan realitas alam dan norma-norma sosial. Di lain pihak, ilmu tekstual yang dimiliki kaum Muslim di masa itu sangat minim, dan sarana untuk menelaah, meneliti, serta menyebarkan ilmu juga masih sulit. Singkat kata menurut Al Turabi, saat ini, memikirkan kembali formulasi metodologi pengambilan hukum dalam kerangka pembaruan ilmu ushul al fiqh menjadi kebutuhan yang amat mendesak.
Akar dan lingkup
Di Indonesia sendiri, perhatian terhadap pentingnya pembaruan ushul al fiqh telah digagas oleh banyak kalangan baik secara perorangan ataupun kelompok. Dalam hal ini mereka berpendapat bahwa, pembaruan juga perlu menyentuh aspek substansial yang meliputi sisi ontologi dan epistemologi. Artinya, paradigma yang menjadi fondasi bangunan ushul al fiqh klasik selama ini tidak luput dari kritik dan dekonstruksi (suatu upaya ambisius yang dapat menuai kritik balasan yang cukup pedas).
Namun, sedikit mengabaikan kemungkinan terakhir itu, terlihat ada hal yang sangat menarik dari elaborasi di atas, yaitu tampaknya para pemikir Muslim kontemporer tidak berhenti pada tataran kritik, tetapi telah memikirkan secara serius aspek-aspek mana saja dari ushul al fiqh yang patut diperbarui dan bagaimana memperbaruinya. Bahkan, berkenaan dengan tujuan itu, mereka telah berupaya menulis artikel atau buku yang mengulas secara khusus permasalahan di atas.
Fenomena itu sangat menarik, karena akan memudahkan bagi para peminat ushul al fiqh untuk mengikuti, mengetahui, mempelajari, mengritik, dan bila mungkin memberikan kontribusi pemikiran pada proyek besar tersebut. Persoalannya sekarang adalah tinggal bagaimana umat Islam dapat menyikapi secara positif fenomena tersebut dengan tidak menyalahpahami dan mereduksinya sebagai upaya mendekonstruksi kemapanan Islam. Namun sebaliknya, kita perlu menganggap semua itu sebagai bagian dari dinamika Islam yang patut disyukuri dalam rangka mencari cara untuk memecahkan persoalan umat sebaik-baiknya.
Ikhtisar
- Pemikiran mengenai hukum Islam yang berkembang di masa lampau belum tentu relevan dengan perkembangan zaman yang terjadi saat ini.
- Kenyataan tersebut disebabkan oleh konteks sejarah dan perangkat pemikiran yang ada di masa lalu itu berbeda dengan masa sekarang.
- Karena itu, penting untuk dilakukan pembaruan pemikiran yang dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman dalam lingkup hukum-hukum Islam.

NII, Riwayatmu Kini

NII, RIWAYATMU KINI

Reporter: tim Adil
Adil - Jakarta, Waktu menunjukkan pukul 23.00 WIB. Suasana sunyi menyelimuti daerah Kelapa Dua, Depok. Tiga lelaki tampak menghampiri sebuah rumah bercat putih di kawasan tersebut. Seseorang mengetuk pintu, dua lainnya menunggu di depan rumah.
Tak lama berselang, seorang lelaki keluar dari dalam rumah. Sang tuan rumah terlihat bercakap dengan tamunya. Sejurus kemudian, keduanya bergegas beranjak meninggalkan rumah. Dua rekan lainnya, turut membuntuti dari belakang.
Tak banyak yang tahu ke mana mereka pergi. Pun kedua orang tua Abdullah, begitu remaja tadi dipanggil. Pastinya, mereka berempat berangkat menuju suatu tempat diadakannya pengajian ekslusif. Mereka menyebut dirinya sebagai gerakan Negara Islam Indonesia (NII). "Sejak setahun lalu saya menjadi anggota NII, " ujar Abdullah kepada ADIL.
NII bangkit kembali? Boleh jadi benar. Salah satu pentolan gerakan Darul Islam --merupakan penggagas konsep NII-- Al Chaidar menandaskan gerakan NII tidak pernah mati. Selama obsesi mewujudkan Negara Islam Indonesia belum terwujud, kelompok-kelompok NII akan selalu ada. "Tujuan kita mendirikan negara Islam," tandas Al Chaidar kepada ADIL.
Memang, tak banyak yang mengetahui keberadaan kelompok-kelompok NII saat ini. Pasalnya, keberadaan kelompok tersebut sukar dideteksi. Tempat berkumpul kelompok ini pun selalu berpindah-pindah. Gerak-geriknya pun cukup ekslusif. Tidak sembarang orang bisa masuk. Bahkan, seseorang harus dibaiat terlebih dahulu sebelum menjadi anggota. Ia juga dilarang bercerita kepada siapa pun, kecuali sesama anggota kelompok "N sebelas" begitu sebutan lain untuk NII.
Tak hanya itu. Kelompok ini pun telah mempunyai struktur organisasi yang solid. Ibarat sebuah negara, kelompok ini telah memiliki struktur pemerintahan dari atas sampai bawah. Mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati hingga RT dan RW. Begitu pula dengan angkatan perangnya. Mereka cukup kuat dan dibekali dengan persenjataan modern.
Hanya saja, dalam hubungannya seorang anggota tidak bisa mengenal presidennya secara langsung. Sistem komando diterapkan dalam kelompok ini. Seorang anggota biasa paling banter hanya bisa berhubungan dengan seorang yang menjabat sebagai Ketua RT. Ketua RT hanya bisa berhubungan dengan Ketua RW, yang merupakan satu tingkat di atasnya. Begitu seterusnya. "Saya saja tidak bisa bertemu langsung dengan Ketua RW," ungkap Abdullah yang keanggotaannya hanya merupakan "rakyat biasa".
Sejumlah iming-iming dijanjikan kepada pengikut kelompok NII. Dengan syarat menegakkan syariat Islam dengan benar, para anggota NII dijanjikan akan diterima masuk surga. Selain itu, secara duniawi segala kebutuhan mereka akan dipenuhi. Sekalipun untuk itu para anggota NII diwajibkan menyedekahkan hartanya. Besarnya antaranggota berbeda-beda. Tergantung posisi dan jabatan. Semakin tinggi posisi dan jabatan, semakin banyak pula uang yang harus dikeluarkan.
NII merupakan isu serius yang tak pernah pupus. Keberadaan NII pertama kali diproklamirkan oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949. Daerah Tasikmalaya, Jawa Barat menjadi basis pertama NII. Gerakan serupa kemudian meluas di Sulawesi Selatan dengan di pimpin Kahar Muzakar pada 20 Januari 1952. Kemudian disusul pembentukan NII di Aceh oleh Abu Daud Beureuh pada 21 September 1953. Namun, pembentukan negara dalam negara ini semuanya berhasil dipatahkan.
Meski begitu, upaya mendirikan Negara Islam Indonesia terus dilakukan. Menurut Al Chaidar, hingga kini terdapat 14 faksi yang setia memperjuangkan berdirinya kembali NII. Semisal Faksi Abdullah Sungkar, Faksi Abdul Fatah Wiranagapati, Faksi Mahfud Sidik, Faksi Aceh, Faksi Sulawesi Selatan, Faksi Madura, Faksi Kahwi 7, Faksi Kahwi 9, serta beberapa faksi lainnya.
Basis NII sendiri berada di tiga tempat. Untuk wilayah Jawa, basis NII berada di Garut. Wilayah Sumatera berbasis di Aceh, dan untuk bagian Indonesia Timur berbasis di Sulawesi. Jumlah penganut ajaran NII ini telah mencapai sekitar 18 juta orang. Berbagai kalangan terlibat dalam kelompok ini. Mulai dari rakyat bisa, petani, mahasiswa, militer, hingga pejabat. Kesemuanya tersebar di seluruh Indonesia dan Asia Tenggara.
Di antara faksi atau kelompok yang ada tidak terdapat perbedaan yang mencolok. Hanya saja, Al Chaidar menuding ada satu kelompok yang menyimpang jauh dari misi dan falsafah awal gerakan NII. Kelompok ini adalah kelompok Kahwi 9 pimpinan Abu Toto. "Kelompok ini memperbolehkan anggota tidak salat, serta melakukan hal yang dilarang agama," katanya.
Tudingan Al Chaidar tentu bukan tanpa alasan. Beberapa bulan lalu, kelompok NII Kahwi 9 ini sempat membikin geger kota Bandung dan sekitarnya. Sejumlah kampus di Bandung, seperti ITB berhasil di susupi kelompok ini. Mahasiswa menjadi ladang garapan yang mudah, karena di sinilah proses pencarian jati diri berlangsung.
Sayangnya, terjadi penyimpangan dalam ajaran yang diberikan. Mereka diperbolehkan melawan orang tua, mencuri, atau pun meninggalkan salat. Tak hanya itu, para anggotanya pun diwajibkan membayar iuran bulanan dalam jumlah ratusan ribu hingga jutaan rupiah. Akibatnya, tak jarang para anggota yang kebanyakan mahasiswa, harus berhutang ke sana ke mari atau bahkan mencuri. "Ini jelas menyimpang dari NII asli," timpal K.H. Miftah Faridl, Ketua MUI Kotamadya Bandung kepada ADIL.
Memang, tampaknya berkembangnya ajaran NII sukar untuk dibendung. Terlebih lagi begitu banyak kelompok sempalan yang timbul. Akankah gerakan ini menjadi ancaman bagi pemerintahan Gus Dur? Sukar memberikan jawaban pasti. Namun, Al Chaidar mengaku kelompoknya tidak akan menggulingkan pemerintahan yang sah. Sekalipun pemerintahan saat ini dinilainya masih merupakan pemerintahan yang zalim. (jar)
Pantang Bertindak Radikal
Sosoknya tidak menunjukkan kalau dia merupakan salah satu pelanjut dari perjuangan DI/TII yang didirikan oleh Kartosuwiryo. Bapaknya adalah anak buah sekaligus kawan dekat dengan Kartosuwiryo. Ia sendiri merupakan generasi kedua sebagai penerus perjuangan DI/TII. Di rumahnya yang terletak di kawasan Bandung Barat, Budiman, sebut saja nama begitu, dikenal sebagai ustad di lingkungannya.
Sejak tahun 1962, Budiman harus turun gunung. Perintah yang didapatnya sebagai anggota DI/TII adalah kembali ke pos masing-masing. Artinya, setiap anggota harus kembali berintegrasi ke dalam masyarakat.
Bapak dari sembilan anak dan dua cucu ini mengaku sukar menyembunyikan identitasnya sebagai anggota NII. Meski begitu, kehidupan sehari-harinya berjalan dengan normal. Tidak terjadi pengucilan-pengucilan. Dan, memang Budiman pantang melakukan tindakan radikal. Semisal, mengajak anak muda untuk melakukan segala cara yang tidak terpuji untuk menghimpun dana, mengkafirkan orang, atau pun memusuhi orang yang berbeda pemikirannya dengan mereka dalam membela Islam. "Karena memang begitu doktrin atau perintah dari ajaran DI/TII," tegasnya pada ADIL.
Karenanya, Budiman mempertanyakan keabsahan kelompok-kelompok yang mengaku NII tetapi menggunakan cara-cara radikal. "Jadi, kalau sekarang ini ada beberapa komponen yang mengaku NII dan radikal, terus terang saja, itu perlu ditanyakan. Karena setahu saya, kami memiliki kebijakan dengan jalan berintegrasi pada masyarakat," tambahnya.
Dengan garis kebijakan seperti itu, selama ini aktivitas yang mereka lakukan dengan cara pembinaan pada masyarakat. Bentuk pembinaannya terbagi dalam dua garis besar. Pembinaan ke diri pribadi Muslim itu sendiri dan pembinaan rumah tangga agar menghasilkan keluarga yang sakinah. Namun di beberapa faksi yang lain, Budiman tak menampik bila ada yang masih memakai format perjuangan atau format tempur.
Sekalipun tugas sebenarnya pengikut DI/TII adalah berintegrasi dengan masyarakat, namun Budiman mengaku ada beberapa anggota atau kader yang melakukan gerakan-gerakan. Semisal membentuk organisasi, atau pun menyelenggarakan kongres. Di usianya yang menjelang senja, Budiman tetap akan meneruskan perintah dari ajaran DI/TII. "Mewujudkan masyarakat yang menjalankan syariat Islam dengan benar adalah suatu kewajiban," ujarnya.
Hal senada pun diungkapkan seorang kader NII di Bandung Timur. Kepada ADIL, Hariyanto --sebut saja namanya begitu-- mengaku kelompoknya mengharamkan cara-cara radikal. Dalam menyebarkan ajarannya, kelompoknya menggunakan format pendekatan kekeluargaan.
Karyawan BUMN di Bandung ini, mengaku tertarik mengikuti ajaran NII ketika ia mengikuti sebuah pesantren kilat. Kala itu, ia masih duduk dibangku SMU. Ajaran NII yang menyiratkan penegakan syariat Islam bisa dilakukan tanpa cara radikal, menggugah keingintahuannya. Sejak itulah, ia bergabung dengan kelompok NII. Kini, Haryanto memiliki tugas tersendiri. Ia bertugas melakukan pembinaan penyadaran pada generasi muda mengenai hakikat dan filosofi perlunya seorang Muslim menerima hukum Islam.
Haryanto menyadari belakangan ini banyak pihak yang ingin memancing agar kelompoknya berubah menjadi radikal. Namun, ia mengaku kelompoknya sama sekali tidak terpengaruh. Mereka tetap pada komitmen semula untuk berintegrasi pada masyarakat, berdakwah dengan cara kekeluargaan, serta menyampaikan hakikat demi tegaknya syariat Islam. "Sampai kapan pun, tujuan kami tetap namun mungkin strategi kami yang berbeda," ungkapnya mengakhiri.
Mengobok-obok Islam dengan Jubah NII
Reporter: anzep/widhie
Senin, 28/02/2000
Adil - Jakarta, Seorang pria dan dua wanita muda duduk bersila di pelataran Masjid Islamic Centre, Jl. Diponegoro, Bandung. Mereka terlihat sedang berdialog. Yang pria sambil memegang sebuah kitab tampak bersemangat berbicara, meski dengan nada setengah berbisik.
Pembicaraan terhenti jika ada orang lain menghampiri. Kitab yang dipegang segera ditutupnya. Gerak-gerik seperti itu sering terlihat setiap Jumat dan Minggu sore, kantor pusat dakwah terbesar di Jawa Barat itu. Mereka terkesan tertutup dan kurang bersahabat terhadap orang lain.
Adakalanya mereka muncul hanya sepasang muda-mudi. Tapi, sekalipun cuma ngobrol, keberadaan mereka di lingkungan masjid yang menjadi Pusat Dakwah Islam (Pusda'i) Jabar itu dinilai tak sedap. Pengurus Islamic Centre sering menegur pasangan muda-mudi yang berduaan itu.
Keanehan lain, ketika datang waktu salat, mereka diam saja. Jika diingatkan kadang alasannya lucu, semuanya mengaku sedang 'berhalangan'. praktek mereka sudah berlangsung lama. Pusda'i belakangan sadar, bahwa muda-mudi aneh itu adalah anggota gerakan Negara Islam Indonesia (NII).
Kehadiran kembali NII itu tak hanya mengagetkan pengurus Pusda'i. Sejak beberapa bulan terakhir ini masyarakat Bandung memang geger soal NII. Banyak orang tua resah karena anaknya terlibat. "Banyak mahasiswa, seperti di ITB dan Unpad, yang terjerat," kata K.H. Miftah Faridl, Direktur Pusat Dakwah Islam (Pusda'i) Jabar, yang juga Ketua Umum MUI Kodya Bandung, dan dosen ITB.
Galamedia, salah satu koran di Bandung, dalam tiga minggu terakhir, gencar mengungkap 'kebangkitan' NII ini. Harian milik grup Pikiran Rakyat itu, mengungkapkan adanya 200 mahasiswa ITB yang terancam drop out (DO). Mereka mengalami kemerosotan prestasi akademis, dan malah diam-diam meninggalkan bangku kuliah, sambil menunggak SPP.
Sebagian dari mereka, disinyalir terlibat kegiatan NII. Hasil penelusuran ADIL, menunjukkan NII memang lagi in di kampus-kampus. Rizal misalnya, sudah dua tahun tidak terlihat batang hidungnya sebagai mahasiswa Politeknik ITB. Anak seorang guru SMU swasta terkemuka di Kota Bandung itu, bukan saja lenyap dari kampus, tapi juga dari tengah-tengah keluarganya. Sesekali ia memberi kabar dirinya berada di Jakarta, ikut jemaah NII.
Bisa jadi kabar dari Rizal itu benar. "Di Jakarta ini, gerakan yang mengatasnamakan NII itu, memang sudah lama beroperasi dan menyusup ke kampus-kampus perguruan tinggi negeri dan swasta," ungkap Iwan Ridwan, alumnus IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Menurut Andi Arifin, di sekitar kampus IAIN, di kawasan Ciputat bertebaran 'posko' NII gaya baru itu.
YANG HARAM DIHALALKAN Kebangkitan NII ini menghebohkan masyarakat sekitar Bandung. Bukan hanya soal nama 'NII' yang membuat warga kota kembang itu resah. Tapi, juga keganjilan perilaku pengikut neo NII itu.
"Mereka menghalalkan nyontek. Alasannya, ini kan ilmu dunia. Akhirnya banyak dosen menyamakan tabiat aktivis Islam lainnya dengan tabiat pengikut NII," kata Anif, aktivis Islam dari ITB.
Yang juga aneh, perilaku pengikut NII gadungan itu jauh dari ajaran asli gerakan NII yang bersumber pada Al-Quran dan Hadis. Dakwah mereka boleh dibilang bertolak belakang dengan ajaran Al-Quran dan Hadis. Contohnya, mereka membolehkan para pengikutnya untuk melawan orang tua, meninggalkan keluarga, mencuri, mabuk, dan berzina. Soal dosa, bisa diurus tobatnya oleh sang imam.
Menurut Asep Rodi (39), mantan pengikut neo NII, ajaran itu didasarkan pada sirah (sejarah) Nabi Muhammad SAW. Dulu, ketika periode Mekkah, Nabi memang belum mewajibkan salat, zakat dan berbagai ibadah lainnya. Ini karena saat itu belum turun wahyu salat. Wahyu tentang ibadah itu baru turun semasa Nabi di Madinah (periode Madinah).
"Ini yang dipahami secara sempit oleh pengikut neo NII sekarang," jelas Asep. "Makanya amalan NII pun jadi rancu. Mencuri dianggap ibadah fa'i (mengambil rampasan perang), dan salat tidak perlu dilakukan karena menyamakan diri dengan periode Mekkah, di mana belum ada wahyu kewajiban salat," papar mantan pengikut NII (1987-1997) itu.
Dan seperti halnya kelompok Islam puritan lainnya, kelompok NII merasa sebagai penganut Islam yang paling benar. Maka tidak segan-segan mengkafirkan orang yang bukan kelompoknya. Ajaran menghalalkan segala cara, itu untuk --yang mereka bilang-- mewujudkan sebuah cita-cita besar: mendirikan negara Islam!
Menurut Asep, NII yang sekarang banyak berkembang di kampus-kampus itu sebenarnya merupakan salah satu pecahan dari faksi NII yang dulu pernah ada semasa dipimpin Kartosuwiryo. Kelompok NII ini menyebut dirinya sebagai NII Komandemen Wilayah 9 (KW 9).
NII KW 9 ini merekrut pengikut dari kalangan Islam abangan atau yang sedang berupaya mendalami ajaran Islam. Setelah dicuci otak dengan sebuah doktrin yang membangkitkan semangat radikal, mereka di bawa ke sebuah tempat rahasia dengan sebuah kendaraan sambil matanya ditutup kain. Penutup mata baru dibuka di sebuah ruangan, tempat baiat dilangsungkan.
Sumpah setia itu dilakukan oleh tiga atau empat orang pria berdasi. Lagak mereka seperti eksekutif. Proses baiat ini tidak gratis. Mereka dipungut 'infak' dalam jumlah tak terbatas. Pasarannya Rp 350.000 per orang. Jika ada yang cuma mampu Rp 50.000, pasti diledek. "Masak untuk perjuangan Islam setorannya kecil?" kata si 'imam' berpenampilan necis itu.
Sehabis mengikuti baiat selama sekitar tiga jam, mata mereka kembali ditutup kain, dan dikembalikan ke tempat asal. Setelah itu, kewajiban mereka membayar iuran bulanan, malah ada yang harian, dalam jumlah ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Alasannya untuk dana perjuangan. Ada juga yang sampai menyumbang mobil.
MIRIP praktek MLM Untuk membesarkan jumlah pengikutnya, NII ini juga mewajibkan setiap anggotanya melebarkan sayap. Dalam sebulan ada yang ditugasi merekrut anggota baru sampai 10 orang. Keberhasilan rekrutmen itu akan menjadi tiket untuk naik pangkat. Misalnya, dari kelas RT menjadi RW, lurah, camat, dan penguasa daerah (setingkat bupati/walikota).
Kehadiran anggota baru jelas akan menambah income organisasi. Bagi anggota yang punya andil besar menggemukkan anggota sehingga dapat meraih jabatan camat, diberi gaji sekitar Rp 300.000 per bulan. Cara kerjanya ini mirip jaringan multi level marketing (MLM). Ada downline (anak buah) ada upline (atasan).
Cuma, berbeda dengan MLM semakin tinggi posisi di dalam jaringan bukannya semakin untung. Bahkan malah bisa lebih 'sial'. "Seorang camat, misalnya kendati mendapat gaji lebih, kewajiban iuran seorang camat jauh lebih besar lagi. Akibatnya, besar pasak daripada tiang," ungkap Asep.
REKAYASA LAMA Kehadiran neo NII itu dinilai banyak kalangan amat mencurigakan. Soalnya NII baru ini benar-benar menyimpang dari 'pakem' NII yang pernah ada yakni NII Kartosuwiryo.
Penyimpangan itu selain terlihat pada ajaran para pengikutnya juga tampak dari soal nama NII KW 9. Menurut seorang pengikut NII asli, NII tak pernah mengenal KW 9. Ketika Kartosuwiryo diberangus, terakhir KW yang tarbentuk adalah KW 6. Karena itulah mantan pengikut NII asli mengutuk ajaran sesat berkedok NII itu.
"Masya Allah, itu provokasi dan dusta. Itu NII palsu, hasil rekayasa," ujar Abdul Fatah Wirananggapati (76), (bekas) Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII (KUKT/NII) pimpinan almarhum S.M. Kartosuwiryo. Siapa yang merekayasa? "Wallau a'lam," jawab Abu, nama panggilannya.
"NII murni tidak seperti itu," tambah Andi Arifin (46), anak buah Abu yang terlibat di NII sejak 1974. Ia beranggapan, terutama sejak Orde Baru, telah terjadi manipulasi gerakan NII oleh tangan-tangan kotor penguasa. Kantung-kantung transmigrasi, konon, ikut menjadi sasaran 'proyek' intelijen itu.
Di tangan mereka, masih tutur Andi, NII jadi gerakan menyeramkan dan melakukan permainan kotor. Padahal, 'NII murni' gerakannya tidak menyimpang dari ajaran Islam. Tapi NII ini memang divonis 'berdosa' pada negara dengan tuduhan memberontak pemerintah RI. Padahal yang dilakukannya 'cuma' melawan kaum penjajah.
"Orde Baru telah menyebarkan sekitar 6.000 anggota ABRI ke banyak daerah untuk menyamar sebagai imam NII. Lalu mereka melakukan pengkaderan, tapi mereka sendiri yang mengumpankan pengikutnya kepada aparat," kata Andi Arifin, bekas Penghubung Luar Negeri Angkatan Perang NII. Ia juga curiga, Warsidi --pimpinan kelompok Islam sempalan yang diberangus di Lampung-- perlu diteliti siapa dia sebenarnya. "Jangan-jangan dia juga anggota ABRI," jelasnya.
Kejadian kasus Lampung, menurut Andi, juga terjadi di daerah Gununghalu, pinggiran kota Bandung, Jawa Barat. Di daerah itu disinyalir terdapat praktek rekayasa pengkaderan NII. Sesekali mereka digerebek, tapi kelestariannya dijaga, untuk 'diproyekkan' pada waktu-waktu tertentu. "Analoginya, ada kambing mengembik di depan harimau lapar, lantas diterkamnya. Ada juga kambing mengembik, tapi dibiarkan oleh sang harimau," kata Andi Arifin pula.
Pengalaman Asep menguatkan sinyalemen Andi. Selama 10 tahun menjadi pengikut 'NII sesat', sering terdengar ada penangkapan terhadap jemaah dan imam NII. Tapi tidak lama kemudian mereka, terutama imamnya, dikeluarkan lagi, konon dengan bantuan orang dalam ABRI. "Mereka mengesankan seperti punya link khusus ke sana," katanya. Karena ada rekayasa semacam ini, wajah NII murni menjadi buruk di mata umat.
KONTROVERSI BERITA Gencarnya pemberitaan NII di Bandung beberapa pekan terakhir sebenarnya sempat melahirkan kontroversi. Masalahnya, kabar itu terus menerus dilansir oleh koran Galamedia, salah satu perusahaan yang bernaung di bawah grup Pikiran Rakyat (PR).
Pada mulanya, Galamedia rajin memberitakan fenomena NII ini. Walaupun tak ada koran lain yang mengikuti isu itu, saban hari mereka menulisnya di halaman depan. 'Rajinnya' Galamedia itu mendatangkan curiga, mengapa kok hanya Galamedia yang memberitakan kasus itu?
Koran-koran lain di Bandung justru menulis indikasi adanya 'udang' di balik penulisan NII besar-besaran itu.
Serta-merta Galamedia pun diisukan telah diperalat pihak Kodam III/Siliwangi. Maksudnya, Kodam sengaja memasok bahan-bahan tentang NII untuk mengalihkan perhatian masyarakat pada isu tertentu yang sedang bergolak di negeri ini. Tujuan mereka ingin menciptakan ketakutan pada Islam.
Masih menurut kabar angin itu, niat busuk ini, konon tak seperti yang diharapkan. Pemberitaan itu justru menimbulkan kecurigaan adanya rekayasa dalam kebangkitan neo NII.
Tapi, betulkah Kodam telah 'bermain api' seperti itu? Pimpinan militer tertinggi di Jawa Barat menolak tudingan itu. "Anda jangan menuduh Kodam seperti itu!" ucap Mayjen TNI Slamet Supriadi, Pangdam III/Siliwangi, lantang dan penuh emosi kepada ADIL.
Dadan Hendaya, Koordinator Liputan Galamedia, juga menepis 'cibiran' PR dan tudingan telah diperalat Kodam. "Kami tidak membuat berita bohong, dan tidak bermain mata dengan Kodam. Sampai saat ini tidak ada yang komplain, malah banyak telepon dari para korban dan orang tuanya, mendukung pemberitaan itu," ujarnya.
Yang jelas, neo NII ini tidak bisa dianggap nihil. "Faktanya ada. Mereka menjual 'gerakan khayalan', yang motifnya bisa ekonomi atau politis. Mereka tidak memiliki komitmen keislaman, malah ingin merusak citra Islam," kata K.H. Hilman Rosyad Syihab, Lc., pimpinan Majelis Ta'lim Ummul Quro (Bandung), yang sering berhubungan dengan mantan pengikut NII gadungan. Banyak cara, memang, untuk mengobok-obok Islam.

Faham Agama Menurut Muhammadiyah

FAHAM AGAMA (ISLAM)
MENURUT MUHAMMADIYAH

Oleh: Muhsin Hariyanto



Agama – yakni agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. – ialah apa yang diturunkan oleh Allah di dalam al-Quran dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat (Himpunan Putusan Tarjih, 1987: 276)


Prawacana

Islam – secara normatif – harus dipahami secara tepat, dan pada tahap implementasinya . memerlukan kecerdasan umatnya untuk menerjemahkan dalam konteks yang berbeda-beda. Itulah – kurang lebih -- yang meresahkan KHA. Dahlan, setelah melalui pengembaraan intelektualnya dalam realitas kehidupan umat Islam yang ternyata – menurut pengamatannya – masih memahami dan mengamalkan Islam secara sinkretik. Ketika pengertian tentang (agama) Islam sudah dipahaminya, lalu muncul pemikiran pada dirinya bahwa untuk melaksanakan (agama) Islam -- sebagaimana yang dipahaminya itu -- umat Islam di Indonesia, bahkan di seluruh dunia, harus diberi pengertian yang tepat tentang (agama) Islam, lalu diarahkan untuk dapat melaksanakannya secara proporsional. Itulah gagasan KHA. Dahlan – yang kemudian dikenal luas sebagai seorang Kyai yang sangat cemerlang pada masanya, di ketika hampir semua orang di sekelilingnya merasa puas dengan apa yang (sudah) ada, menikmati kejumudan dan menjadi muqallid a’mâ (loyalis a priori).

KHA. Dahlan memahami bahwa al-Quran adalah sumber utama yang menjadi rujukan baku untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam ber-(agama)-Islam. Konsep normatif Islam sudah tersedia secara utuh di dalamnya (al-Quran) dan sebegitu rinci dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. di dalam sunnahnya, baik yang bersifat qaulî, fi’lî dan taqrîrî. Hanya saja apa yang dikerjakan oleh Rasulullah s.a.w. perlu diterjemahkan ke dalam konteks yang berbeda-beda, dan oleh karenanya “memerlukan ijtihad”.

Ijtihad dalam ber-(agama)-Islam bagi KHA. Dahlan adalah “harga mati”. Yang perlu dicatat bahwa Dia menganjurkan umat Islam untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah secara kritis. Ia menyayangkan sikap taqlid umat Islam terhadap apa dan siapa pun yang pada akhirnya menghilangkan sikap kritis. Ia sangat menganjurkan umat Islam agar memiliki keberanian untuk berijtihad dengan segenap kemampuan dan kesungguhannya, dan dengan semangat untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah ia pun ingin merombak sikap taqlid menjadi – minimal – menjadi sikap ittiba’. Sehingga muncullah kolaborasi antara para Mujtahid dan Muttabi’ yang secara sinergis membangun Islam Masa Depan, bukan Islam Masa Sekarang yang stagnant (jumud, berhenti pada kepuasaan terhadap apa yang sudah diperoleh), apalagi Islam Masa Lalu yang sudah lapuk dimakan zaman. Semangatnya mirip dengan Muhammad Abduh: “al-Muhâfadhah ‘Alâ al-Qadîm ash-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah” .

Prinsip-prinsip Utama Pemahaman Agama Islam

Muhammadiyah memperkenalkan dua prinsip utama pemahaman (agama) Islam:

1. Ajaran agama Islam yang otentik (sesungguhnya) adalah apa yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah dan bersifat absolut. Oleh karena itu, semua orang Islam harus memahaminya.
2. Hasil pemahaman terhadap al-Quran dan as-Sunnah yang kemudian disusun dan dirumuskan menjadi kitab ajaran-ajaran agama (Islam) bersifat relatif.


Dari kedua prinsip utama tersebut, pendapat-pendapat Muhammadiyah tentang apa yang disebut doktrin agama yang dirujuk dari al-Quran dan as-Sunnah selalu (dapat) berubah-ubah selaras dengan kebutuhan dan tuntutan perubahan zaman. Hal ini bukan berarti Muhammadiyah tidak bersikap istiqamah dalam beragama, tetapi justeru memahami arti pentingnya ijtihad dalam menyusun dan merumuskan kembali pemahaman agama (Islam) sebagaimana yang diisyaratkan oleh al-Quran dan as-Sunnah. Dipahami oleh Muhammadiyah bahwa al-Quran dan as-Sunnah bersifat tetap, sedang interpretasinya bisa berubah-ubah. Itulah konsekuensi keberagamaan umat Islam yang memahami arti universalitas kebenaran ajaran agama yang tidak akan pernah usang dimakan zaman dan selalu selaras untuk diterapkan di mana pun, kapan pun dan oleh siapa pun.

Mengamalkan al-Quran

Untuk memahami al-Quran – menurut Muhammadiyah – diperlukan seperangkat instrumen yang menandai kesiapan orang untuk menafsirkannya dan mengamalkannya dalam kehidupan nyata. Semangatnya sama dengan ketika seseorang berkeinginan untuk memahami Islam, yaitu: “ijtihad”.

Kandungan al-Quran hanya akan dapat dipahami oleh orang yang memiliki kemauan dan kemampuan yang memadai untuk melakukan eksplorasi dan penyimpulan yang tepat terhadap al-Quran. Keikhlasan dan kerja keras seorang mufassir menjadi syarat utama bagi setiap orang yang ingin secara tepat memahami al-Quran. Meskipun semua orang harus sadar, bahwa sehebat apa pun seseorang, ia tidak akan dapat menemukan kebenaran sejati, kecuali sekadar menemukan ‘kemungkinan-kemungkinan’ kebenaran absolut al-Quran yang pada akhirnya bernilai “relatif”. Akhirnya, kita pun dapat memahami dengan jelas sebenar apa pun hasil pemahaman orang terhadap al-Quran, tafsir atasnya (al-Quran) tidak akan menyamai “kebenaran” al-Quran itu sendiri. Karena al-Quran adalah “kebenaran ilahiah”, sedang “tafsir atas al-Quran” adalah “kebenaran insaniah”. Akankah kita menyatakan bahwa Manusia akan “sebenar” Tuhan? Jawaban tepatnya: “mustahil”. Oleh karena itu, yang dituntut oleh Allah kepada setiap muslim hanyalah berusaha sekuat kemampuannya untuk menemukan kebenaran absolut al-Quran, bukan “harus menghasilkan kebenaran absolut”, karena kenisbian akal manusia tidak akan pernah menggapai kemutlakan kebenaran sejati dari Allah:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ...
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala [dari kebajikan] yang diusahakannya dan ia mendapat siksa [dari kejahatan] yang dikerjakannya... (QS al-Baqarah, 2: 286)

Akhirnya, kita pun harus sadar bahwa tidak akan ada pendapat (hasil pemahaman al-Quran) yang pasti benar. Tetapi sekadar “mungkin benar”.

Mengamalkan Ajaran Islam Berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah

Ketika kita berkesimpulan bahwa hasil pemahaman siapa pun, kapan pun dan di mana pun terhadap al-Quran adalah relatif, maka alangkah bijaksananya bila kita rujuk as-Sunnah sebagai panduan dalam beragama. Karena, bagaimanapun relatifnya hasil pemahaman al-Quran, hasil interpretasi Rasulullah s.a.w. baik dalam bentuk perkataan, tindakan dan taqrîr merupakan interpretasi atas al-Quran yang “terjamin” kebenarannya. Asumsi ini didasarkan pada paradigma “’ishmah ar-rasûl”. Ada jaminan dari Allah bahwa Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu benar dalam berijtihad, karena setiap langkahnya akan selalu diawasi oleh-Nya. Teguran atas kesalahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad s.a.w. akan selalu dilakukan oleh Allah, dan hal itu tidak dijamin akan terjadi pada selain Rasulullah s.a.w.

Persoalannya sekarang, seberapa mungkin kita kita (umat Islam) berkemampuan untuk menerjemahkan as-Sunnah dalam realitas kehidupan kita? Dan pola apakah yang paling tepat untuk kita pilih? Ternyata kita pun sering terjebak pada ketidaktepatan dalam menerjemahkannya (as-Sunnah), karena keterbatasan-keterbatasan yang kita miliki. Kita pun sering melakukan kesalahan dalam memilih pola yang tepat untuk memahami as-Sunnah. Mungkin terjebak pada kutub ekstrem “tekstual”, atau “rasional” yang mengarah pada kontekstualisasi yang eksesif (berlebihan).

Untuk itu, menurut pendapat penulis, yang kita perlukan sekarang adalah: “membangun kearifan” menuju pada “pemahaman yang sinergis dan seimbang”. Seperti – misalnya – apa yang dilakukan dalam proyek besar pemasaran gagasan “Islam Kontekstual” yang dilakukan – misalnya -- oleh Dr. Yusuf al-Qaradhawi, dengan berbagai modifikasi yang diperlukan.

Berislam Secara Dewasa

Muhammadiyah selama ini memperkenalkan Islam yang “arif”, yang dirujuk dari apa yang dikandung dalam al-Quran dan as-Sunnah dengan memperkenalkan pola “istinbath” yang proporsional.

Muhammadiyah menyatakan diri tidak bermazhab, dalam arti tidak mengikatkan diri secara tegas dengan mazhab-mazhab tertentu baik secara qaulî maupun manhajî. Tetapi Muhammadiyah bukan berarti antimazhab. Karena, ternyata dalam memahami Islam Muhammadiyah banyak merujuk pada pendapat orang dan utamanya juga Imam-imam mazhab dan para pengikutnya yang dianggap “râjih” dan meninggalkan yang “marjûh”.

Pola pikir yang diperkenalkan Muhammadiyah dalam memahami ajaran Islam adalah berijtihad secara: bayânî, qiyâsî dan ishtishlâhî. Yang ketiganya dipakai oleh Muhammadiyah secara simultan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang kontekstual dan bersifat (lebih) operasional.

Ijtihâd bayânî dipahami sebagai bentuk pemikiran kritis terhadap nash (teks) al-Quran maupun as-Sunnah; ijtihâd qiyâsî dipahami sebagai penyeberangan hukum yang telah ada nashnya kepada masalah baru yang belum ada hukumnya berdasarkan nash, karena adanya kesamaan ‘illât; dan ijtihâd ishtishlâhî dipahami sebagai bentuk penemuan hukum dari realitas-empirik berdasarkan pada prinsip mashlahah, karena tidak adanya nash yang dapat dirujuk dan tidak adanya kemungkinan untuk melakukan qiyâs.

Hasil pemahaman dari upaya optimal dalam berijtihad inilah yang kemudian ditransformasikan ke dalam pengembangan pemikiran yang -- mungkin saja – linear atau berseberangan, berkaitan dengan tuntutan zaman. Demikian juga dalam wilayah praksis, tindakan keberagamaan yang ditunjukkan dalam sikap dan perilaku keagamaan umat Islam harus juga mengacu pada kemauan dan kesediaan untuk melakukan kontekstualisasi pemahaman keagamaan (Islam) yang bertanggung jawab. Tidak harus terjebak pada pada pengulangan dan juga pembaruan, yang secara ekstrem berpijak pada adagium “purifikasi” dan “reinterpretasi” baik yang bersifat dekonstruktif maupun rekonstruktif.

Sekali lagi, yang perlu dibangun adalah: “kearifan” dalam berpikir, bersikap dan bertindak. Di mana pun, kapan pun dan oleh dan kepada siapa pun. Sebab, keislaman kita adalah “keislaman: yang harus kita pertaruhkan secara horisontal dan sekaligus vertikal”.