Minggu, 28 Oktober 2007

ZAKAT DAN ETIKA BERUSAHA

Zakat dan Etika Berusaha

Salah satu hikmah penting dari kewajiban berzakat dan anjuran berinfak adalah timbulnya kesadaran untuk selalu berusaha mencari rezeki yang halal yang sesuai dengan etika dan moral serta tuntunan syariah. Zakat dan infak bukanlah membersihkan harta yang kotor yang didapatkan dengan cara-cara yang tidak benar, akan tetapi mengeluarkan bagian hak orang lain dari harta kita yang telah kita usahakan melalui proses dan jalan yang tepat dan benar.
Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, ''Allah SWT tidak akan menerima sedekah (zakat) dari harta yang didapat secara tidak sah.'' Dalam hadis lain riwayat Imam Bukhari dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ''Barangsiapa yang bersedekah seberat biji kurma dari hasil usaha yang halal (dan Allah tidak akan menerima kecuali dari yang halal dan bersih), maka Allah akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu membalasnya bagi pemilik harta tersebut dengan balasan yang berlipat ganda.''
Kehalalan rezeki ini merupakan masalah yang sangat fundamental dan menentukan bagi kebahagiaan dan keselamatan seseorang, bahkan juga bagi diterima atau ditolaknya amal-amal ibadahnya termasuk doa yang dipanjatkannya. Dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW mengisahkan seseorang yang perjalanannya sangat jauh dan melelahkan sehingga keadaannya terlihat kusut dan kotor, kemudian dia menengadahkan kedua tangannya sambil berkata, 'Tuhanku, Tuhanku! (ia menyampaikan doa dan permohonannya)', akan tetapi makanan, minuman, dan pakaiannya semuanya didapatkan dengan cara-cara yang diharamkan, juga orang itu selalu dikenyangkan oleh barang yang haram, maka bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan.
Di samping itu, cara-cara yang tidak benar dan tidak fair dalam berusaha akan menyebabkan kacaunya tatanan kehidupan. Korupsi, sebagai contoh, yang begitu menggurita terjadi dalam masyarakat kita ternyata telah menyebabkan kehancuran dan keterpurukan pada sektor-sektor kehidupan lainnya. Karena itu, korupsi dalam perspektif ajaran Islam termasuk kategori al fasad (perbuatan yang sangat merusak). Sehingga, hukuman bagi pelakunya sangat berat bila telah dibuktikan dalam peradilan, yaitu dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kaki dengan bertumbal balik, atau dibuang ke tempat yang jauh dari keramaian.
Firman Allah SWT, ''Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.'' (Al-Maaidah: 33). Menurut para ahli tafsir, koruptor termasuk sebagai golongan yang membuat kerusakan di muka bumi.
Karena itu, semangat berzakat dan berinfak yang didorong untuk dilakukan pada setiap Ramadhan hendaknya tidak hanya dipandang sebagai perbuatan karitatif (kedermawanan) semata. Namun, juga harus dipandang sebagai upaya untuk menumbuhkembangkan etika berbisnis dan akhlak berusaha, sehingga rezeki yang dikeluarkan zakat dan infaknya benar-benar adalah rezeki yang halal dan bersih. Wallahu a'lam bis-shawab.

SUATU SAAT KETIKA SUAMI ANDA BERPOLIGAMI

SUATU SAAT KETIKA SUAMI ANDA BERPOLIGAMI:
(Pertanyaan Kritis Bagi Para Isteri)

Suatu saat, tanpa diduga suami Anda menyatakan bahwa dia akan menikahi perempuan lain. Atau bisa juga suami Anda telah menikah secara diam-diam dengan perempuan lain. Artinya, ada istri lain selain Anda dalam kehidupan suami Anda. Banyak perempuan tidak siap menghadapi hal ini. "Siapa sih yang mau dimadu?", demikian pameo yang seringkali terdengar menanggapi poligami ini. Beberapa istri memang kemudian lebih memilih bercerai ketimbang dimadu. Tetapi bagaimana dengan istri yang ‘tidak mampu’ bercerai (misalnya karena ketergantungan ekonomi pada suaminya). Bagaimana cara yang tepat bila Anda mengalami hal itu

1. PEMBENARAN POLIGAMI
Beberapa agama membenarkan dilakukannya poligami. Hal itu dikuatkan pula dengan ketentuan yang kemudian dijadikan dasar pembenaran (legitimasi) bagi laki-laki untuk melakukan poligami dan bahkan dijadikan penguatan bagi perempuan untuk menerima suaminya berpoligami. Ketentuan tersebut adalah UU No. 7 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat 2 yang menyatakan: Pengadilan dapat memberi ijin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Artinya seorang suami boleh memiliki istri lebih dari seorang.
Tetapi bila kita lihat ayat sebelumnya (pasal 3 ayat 1), —yang pada pokoknya menyatakan bahwa seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri, demikian pula seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami—, maka terlihat ada ketidakkonsistenan antara keduanya. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam sebuah institusi perkawinan, posisi tawar perempuan lebih rendah dibanding laki-laki.

2. POLIGAMI SEBAGAI BENTUK PENGUNGGULAN LAKI-LAKI TERHADAP PEREMPUAN
Poligami pada hakekatnya merupakan bentuk pengunggulan kaum laki-laki dan penegasan bahwa fungsi istri dalam perkawinan adalah hanya untuk melayani suami. Ini bisa terlihat dari alasan yang dapat dipakai oleh Pengadilan Agama untuk memberi izin suami melakukan poligami (karena istri cacat badan, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri dan tidak dapat melahirkan keturunan).

3. DAMPAK POLIGAMI TERHADAP PEREMPUAN
Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami:
a. Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, istri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
b. Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
c. Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis.
d. Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekwensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
e. Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.

4. SYARAT POLIGAMI (Pasal 5 UU Perkawinan)
Pada pokoknya pasal 5 UU Perkawinan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suami yang akan melakukan poligami, yaitu:
a. adanya persetujuan dari istri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka (material);
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka (immaterial).
Idealnya, jika syarat-syarat diatas dipenuhi, maka suami dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Namun dalam prakteknya, syarat-syarat yang diajukan tersebut tidak sepenuhnya ditaati oleh suami. Sementara tidak ada bentuk kontrol dari pengadilan untuk menjamin syarat itu dijalankan. Bahkan dalam beberapa kasus, meski belum atau tidak ada persetujuan dari istri sebelumnya, poligami bisa dilaksanakan

5. YANG BISA ANDA LAKUKAN
Mungkin sangat sulit mengharapkan keadilan, apalagi yang sifatnya immaterial dari suami yang menikah lagi dengan perempuan lain. Ada beberapa hal yang harus Anda perhatikan:
* Persiapkan diri Anda
Menghadapi suami yang berniat poligami adalah sangat berat. Mental Anda harus siap menghadapi kemungkinan suami tidak lagi memberikan perhatian dan kasih sayang yang penuh terhadap Anda. Belum lagi menghadapi berondongan pertanyaan dari berbagai pihak, baik itu dari keluarga, masyarakat sekitar, teman dan pihak lainnya.
* Kewajiban Suami
Sebagai konsekwensi dari pembakuan peran dalam UU Perkawinan (suami adalah kepala keluarga dan istri pengurus rumahtangga) maka menjadi kewajiban suami untuk memenuhi nafkah bagi istri dan anaknya, juga memberikan biaya perawatan dan pendidikan anak. Begitupun ketika suami memutuskan menikah dengan perempuan lain, kewajiban itu tetap masih ada.
» Pasal 5 ayat 1 (point b) UU no.1/1974 menyebutkan: salah satu syarat yang harus dipenuhi suami agar permohonan poligaminya disetujui Pengadilan adalah adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.
» Pasal 41 (poin c dan d) Peraturan Pemerintah RI No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974 juga menyebutkan bahwa Pengadilan dapat memeriksa ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
a. surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda- tangani oleh bendahara tempat suami anda bekerja ; atau
b. surat keterangan pajak penghasilan, atau;
c. surat keterangan lain yang dapat diterima Pengadilan.
Ingat, Anda harus hadir dalam proses pemeriksaan atas penghasilan suami ini (pasal 42 ayat 1 PP No.9/1975).
» Pasal 34 (ayat 1) UU No.1/1974 yang mengatur masalah hak dan kewajiban suami istri menyebutkan: Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuannya.

* Surat Perjanjian
Kepastian dari suami untuk menjamin kebutuhan hidup Anda dan anak-anak Anda seringkali tidak dilaksanakan. Atau bisa juga, dana untuk kebutuhan itu harus didapatkan dengan susah payah, bahkan terkadang seperti ‘mengemis-ngemis’. Bila keadaan itu menimpa Anda, maka menurut PP No. 9/1974 pasal 41 poin d yang pada intinya menyatakan bahwa Anda dapat meminta agar Pengadilan juga memeriksa ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil memenuhi kewajibannya dengan memerintahkan suami membuat surat pernyataan atau janji secara tertulis.
Jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dapat ditunjukkan dengan membuat surat pernyataan atau janji dari suami (pasal 41 poin d, PP No. 9/1975).

6. Bantuan Hukum
Seringkali terjadi, para istri yang menerima suaminya berpoligami, akhirnya enggan untuk mengurus segala sesuatu, misalnya tentang nafkah. Hal ini diakibatkan karena istri sudah merasa kehilangan harapan. Atau bisa juga karena istri tidak mengetahui hak-haknya secara jelas.
Bila ini terjadi pada Anda, Anda bisa meminta bantuan kepada beberapa lembaga terdekat yang peduli pada persoalan seperti itu.
Diantaranya:
» Lembaga Bantuan Hukum (terutama untuk perempuan)
» Lembaga lain yang konsern pada persoalan perempuan
» Lembaga-lembaga Konsultasi Perkawinan
» Pengadilan yang memberikan ijin suami Anda berpoligami

RITUALISME ISLAM DAN ETIKA SOSIAL

RITUALISME ISLAM DAN ETIKA SOSIAL

Di saat-saat pelaksanaan ibadah haji di Makkah memasuki bagian
akhir, selepas upacara tahullul, seorang anggota jamaah dari
Jakarta, orang Betawi, berkata kepada kenalannya: "Ji, ane
lihat ibadah haji ente di sini rada-rada aneh. Ente pegi haji
kerjanya malah nulung orang melulu. Bukannya memperbanyak
ibadah. Paling pas-pasan ibadah ente. Bagaimana pegi haji
malah nulungin orang. Yang kesasar, yang pake ambulan. Ibadah
dong, selagi di sini. Masak nulung orang. Kalau mau nulung
orang di Jakarta juga banyak."

Barangkali tidak begitu sering dijumpai percakapan spontan
yang bisa dengan begitu pas menggambarkan persepsi seseorang
mengenai agamanya, atau pengertiannya mengenai 'ibadah' dalam
Islam. Contoh ini benar-benar terjadi dan aktual. Dan, lebih
penting, ini bukan kasus perseorangan. "Berani bertaruh," sang
haji Betawi ini mewakili gelombang besar muslimin kita, tanpa
harus berasal dari Jakarta.

Ini tentu saja masalah lama: apa yang dimaksud dengan ibadah.
Sejak A.A. Navis menulis cerita pendek Robohnya Surau Kami
yang terkenal, yang menceritakan seorang penjaga langgar yang
kerjanya hanya sembahyang dan zikir dan puasa sambil
melepaskan tanggung jawab duniawi, sampai surau itu sendiri
roboh sedang si kakek malah "dimarahi Tuhan" di alam akhirat,
atau sejak Achdiat Kartamihardja menulis roman Atheis yang
menampilkan dunia sempit seorang pengikut tarekat yang
akhirnya harus tumbang oleh terpaan "faham-faham global"
seperti humanisme dan atheisme yang melanda kalangan tertentu
di Tanah Air di sekitar masa Revolusi Kemerdekaan, orang sudah
berbicara mengenai luasan agama atau, khususnya, pengertian
ibadah dalam agama. Bahkan di tahun 1941 Anwar Rasjid sudah
menulis sajak Akhirat dalam Dunia, yang isinya tak lain
penyebaran faham tajdidi seperti yang dilontarkan
Muhammadiyah, yang waktu itu tentunya belum dikenal semua
lapisan seperti sekarang, khususnya tentang pengertian ibadah
yang mencakup dari sembahyang sampai "memperdebatkan ihwal
beras sebutir" atau "membela kehormatan Tanah Air", seperti
dikatakan sejak itu. Tidak adakah kemajuan sejak masa itu?

Tentu saja ada. Dan tentu saja, seperti yang kita lihat
popularitas hadits-hadits atau ayat-ayat yang bisa
berkonotasikan keluasan pengertian ibadah ("semua perbuatan
tergantung~ada niat", misalnya, yang menjadi begitu populer)
sudah sampai ke tingkat dijadikannya ayat atau hadits itu
sebagai pemanis dalam pidato, seperti misalnya bila seorang
pejabat ingin mengumumkan bahwa dirinya menganggap tugas yang
baru diembannya sebagai "ibadah".

Hanya saja, disamping tentu popularisasi itu tidak atau belum
di semua kalangan, intensitas atau kadar keibadahan itu
sendiri, seperti yang terdapat pada kesadaran para muslim,
tidaklah sama antara yang terdapat pada laku ritual (seperti
pada ibadah mahdhah, bagi banyak orang), terasa lebih nges dan
sreg dibanding "ibadah umum" yang mungkin disangka dimasukkan
ke dalam kesadaran sebagai hasil idealisasi, atau "rekayasa",
atau penyesuaian dengan yang "modern". Haji Betawi dalam
contoh pertama tadi belum tentu orang yang belum pernah
mendengar dakwah "ibadah sosial", bisa saja ia hanya orang
yang tidak mantap pada yang sebuah itu. Dan sebab-sebabnya
bisa lebih jauh dibicarakan di bawah.

Yang menjadi soal juga, berbeda dengan di masa ketika si kakek
penjaga surau (dalam Robohnya Surau Kami) harus disadarkan
akan tanggung jawab duniawinya, agar tidak melulu "mengurus
akhirat", orang sekarang bahkan kadang-kadang harus diingatkan
agar dalam pelaksanaan "tanggung jawab duniawi" itu mereka
tidak lupa akhirat. Sebab yang barangkali umum terjadi
sekarang ini ialah justru penunaian tugas-tugas keduniaan dan
keakhiratan yang "seimbang, tetapi tidak berhubungan". Dalil
yang populer sehubungan dengan ini ialah "Bekerjalah untuk
duniamu seakan-akan engkau hidup abadi, dan bekerjalah untuk
akhiratmu seakan-akan engkau mati esok pagi". Dalam gambaran
yang agak diekstrimkan, seakan-akan inilah yang diajarkan
kepada kaum muslimin: bekerja luar biasa keras untuk menumpuk
harta dunia, tanpa mengingat kiri-kanan atau halal-haram, dan
beribadah (ritual) kepada Tuhan untuk menumpuk harta akhirat,
tanpa mengingat kesenangan dunia. Ucapan Abdullah ibn Umar
yang umumnya disangka hadis Nabi itu, yang sama populer tapi
rasanya banyak dianggap lebih applicable dibanding hadits
"Segala perbuatan tergantung niat", memang tidak hanya
memotong hidup ini menjadi dua bagian, tapi juga menjadikan
dua bagian itu tidak saling berhubungan.

Dan lahirlah sekularis-sekularis sejati, yang dalam kehidupan
keagamaan adalah ritualis-ritualis sejati. Ini adalah sesuatu
yang sejalan dengan (meskipun bukan satu-satunya penyebab
dari) kenyataan tentang seorang kiai, yang tentu saja tidak
pernah tinggal salat dan puasa, yang tiba-tiba diketahui
terlibat korupsi, sementara kita tidak bisa percaya (sebab
memang bukti-bukti menunjukkan sebaliknya) bahwa kehidupan
keagamaannya bersifat pura-pura atau munafik. Atau tentang
orang-orang yang hidup dalam kultur santri yang sangat salih,
tetapi yang dalam dunia politik, misalnya, bisa memakai
cara-cara yang tidak mengenal fatsoen.

Pada tingkat itu sekularitas mereka sudah menyentuh tindakan
yang dalam agama dikenai penilaian 'dzalim', seberapapun para
pelaku itu menaruh takaran pada pengertian kezaliman itu. Dan
ini bisa berskala pribadi dan bisa berluasan sosial. Dalam
lingkup terakhir itu, pada gilirannya orang melihat betapa
agama, yang mungkin dinilai mencapai tingkat perkembangan yang
mengesankan dari segi dakwah, ternyata tidak mengubah apa-apa
sehubungan dengan akhlak sosial yang dewasa ini banyak dinilai
bukan semakin baik, malahan sebaliknya. Betapa berduyunnya
orang ke masjid-masjid, bukannya tempat-tempat salat di
kantor-kantor, ramainya pengajian-pengajian, justru tampak
berjalan bergandengan tangan dengan kenyataan semakin kukuhnya
budaya sogok dan suap serta banyaknya pengaduan (dari mereka
yang mampu mengaku) dari orang-orang yang mengaku terampas
haknya lewat berbagai cara. Tidak adakah, mestinya, pengaruh
ajaran agama pada etika sosial? Atau adakah sesuatu yang
hilang?

Jawaban yang lazim biasanya akan menyebutkan adanya
faktor-faktor luar dan faktor-faktor dalam sebagai penyebab.
Dengan kata lain, agama atau pengajaran agama tidak bisa
disalahkan secara sendirian. Tetapi percobaan dengar
menempatkan lebih dahulu apa yang kita rumuskan sebagai
ritualisme dalam posisi tertuduh akan bisa diteruskan untuk
berusaha melihat komponen-komponen pemahaman agama yang mana,
kalau ada, yang mungkin melahirkan sikap keagamaan dengan
tingkat dikotomi antara aspek-aspek keduniaan dan keakhiratan
yang melumpuhkan kekuatan moral agama itu sendiri.

"Teori keseimbangan" yang tersebut tadi, antara amal keduniaan
dan amal ukhrawi, seperti yang diajarkan "hadits" Ibn Umar,
sebenarnya baru menampakkan dampaknya yang merusak, katakanlah
demikian, setelah ia beroperasi bersama "teori keseimbangan"
yang lain, yakni keseimbangan antara dosa dan pahala, lalu
menumbuhkan identifikasi aspek amal keduniaan itu sebagai
ajang potensial bagi dosa (yang mungkin "ditolerir") dan aspek
amal ukhrawi sebagai ajang pahala. Dan memang terdapat
hadits-hadits, bahkan ayat, tentang keseimbangan jenis kedua
itu.

Seorang anak Islam, paling tidak menurut jenis konvensional,
sering diajar untuk membiasakan menghitung amal perbuatannya
sehari-hari: berapa ia berbuat kebaikan, dan berapa ia
terlanjur berbuat buruk --tentu saja dengan harapan esok hari
yang buruk itu akan makin sedikit. Hasibu qabla an tuhasabu,
kata 'Umar Ibn al-Khath-thab. "Hitung-hitunglah sendiri
sebelum kamu dihitung-hitung". Dalam nafas pendidikan juga
kiranya hadits Nabi ini disabdakan: "Bertakwalah kepada Allah
di manapun engkau berada, ikutilah perbuatan buruk dengan
perbuatan yang baik, maka ia (yang baik) akan menghapuskannya
(yang buruk), dan pergaulilah manusia dengan budi yang bagus".
Juga dalam penggambaran kebesaran salat yang diperintahkan
untuk dilakukan, antara lain, bila ayat QS. 11:114 ini
dikumandangkan: "Dirikanlah sembahyang pada dua belahan siang
dan awal malam; sungguh perbuatan baik itu mengusir perbuatan
buruk. Ini pemberian ingat untuk mereka yang suka mengingat".

Ada terasa kesejukkan. Ada suatu kebesaran. Dan memang ada
sesuatu hiburan, suatu optimisme, akan rahmat dan kemurahan
Tuhan bahkan bagi yang terlanjur berbuat buruk. Barangsiapa
terlanjur berbuat buruk, ada kesempatan baginya untuk
--disamping bertaubat-- mengimbanginya dengan kebaikan, agar
timbangan baik-buruknya tetap menunjukkan surplus bagi amal
baik. Berlebih-lebihan untuk menganggap ayat dan hadits
seperti di atas itu potensial bagi perilaku muslim yang
mungkin mentolerir perbuatan dosa dengan imbangan, seperti
yang sudah tersebut?

Tidak --bila kita tidak mengingat bahwa sebenarnya ada ajaran
tentang ruh perbuatan. Bahwa perbuatan baik, menurut ajaran
Nabi, diberi nilai (pahala) 10 sampai 70 sampai 700 kali,
sementara perbuatan dosa hanya bernilai satu, sebenarnya tidak
hanya menunjukkan kemurahan Allah, tetapi juga, atau
lebih-lebih perbedaan watak antara perbuatan baik dan yang
buruk. Sementara untuk masalah kemurahan Allah kita cukup bisa
memandang faktor taubat, yang memang bisa menunjukkan keluasan
yang tidak terbatas, untuk masalah perbuatan baik kita bisa
mengingat faktor qabul, penerimaan dari Allah, yang tidak
terdapat pada faktor ikhlas. Mungkinlah seseorang berbuat baik
dengan begitu hebat, tapi bila tak ada ruh perbuatan itu, tak
ada ikhlas untuk memungkinkan qabul, perbuatan itu tertolak.
Atau hanya diterima 10%-nya, atau mungkin malah hanya 1%-nya.
Jadi, yang 10% atau 1% itulah yang bisa (tidak selalu!)
dilipatkan 10 X atau lebih. Sementara itu perbuatan buruk
(kecuali yang dilakukan di bawah paksaan, atau mutlak di luar
kesadaran), yang tak dikenai syarat qabul, tak harus dilakukan
dengan ikhlas, tetap mendapat nilai 100. Logikanya, kemudian:
bagaimana mungkin perbuatan baik akan begitu saja dipercaya,
secara "eksak", menutup perbuatan buruk sebelumnya, sementara
yang buruk itu sudah pasti diterima sedang yang baik belum
tentu? Bagaimana pula perbuatan baik itu akan diterima bila ia
datang dari seseorang yang memang sengaja berbuat jahat dan
kemudian berbuat baik untuk mengimbanginya, sementara
perbuatan baik yang diterima, yang dilakukan sesudah perbuatan
buruk, adalah justru yang diperbuat sebagai pernyataan taubat
yang tulus? (lihat QS. 4:17-18).

Tapi masalahnya memang lebih gampang membedakan amal ukhrawi
dari amal duniawi, lalu meletakkan pada yang pertama hampir
seluruh hidup keagamaan. Di situ, berbeda dengan dalam amal
duniawi, orang merasa tak boleh salah. Di situlah terletak
pahala demi pahala --dalam shalat, puasa, dzikir, wirid,
khataman al-Qur'an-- yang mereka yakini sebagai jauh lebih
tinggi dari pahala amal-amal duniawi.

Dan "segudang" hadits, secara tidak menguntungkan, mendukung
keyakinan itu. Ini adalah hadits-hadits mengenai pahala
berbagai laku ritual, pahala yang umumnya luar biasa besar
untuk laku yang bahkan sangat mudah. Ihya Ghazali, yang tentu
laku yang tentu representatif sebagai pemberi pola amalan
gelombang besar muslimin (lihat misalnya kitabul Adzkar
wad-Da'wat dan Kitab Tartibil Aurad), hanyalah salah satu
tempat bisa didapatkannya hadits-hadits yang sebagian besarnya
hadits-hadits "kelas dua" ini. Bahkan hadits-hadits yang jelas
dhaif --yang oleh sebagian muslimin memang tetap saja dipakai
sepanjang hanya berhubungan dengan fadhailul a'mal, amal-amal
tambahan. Tetapi bahwa Bukhari dan Muslim pun mempunyai
hadits-hadits pahala ritual yang luar biasa besar (dengan
menyingkirkan lebih dahulu beberapa keberatan terhadap
metodologi kedua peneliti hadits terbesar itu) bisa
menjelaskan kuatnya posisi ibadah ritual itu dalam bangunan
kehidupan keagamaan kaum muslimin kebanyakan. Misalnya hadits
Bukhari-Muslim yang ini: "Barangsiapa, mengacapkan: La ilaha
illa 'l-Lah-u wahdahu la syarika lahu lahu al-mulk-u wa lah-u
'l-hamd-u wa hua 'ala kull-i syai-in qadir setiap hari 100 x,
baginya padanan (pahala membebaskan) 100 budak, dan dituliskan
untuknya (pahala) 100 kebajikan, dan dihapuskan daripadanya
(dosa) 100 kejahatan. Kalimat itu pun merupakan penjagaan
baginya terhadap syaitan pada harinya itu hingga sore, dan
tidak seorang pun bisa mendapat lebih dari yang dia peroleh
kecuali orang yang mengamalkan kalimat itu lebih banyak dari
dia".
Keutamaan yang seperti itu hampir tidak pernah dinyatakan
terdapat dalam ibadah-ibadah nonritual, dalam amal-amal
duniawi. Memang ditegaskan bahwa jihad, dan khususnya mati
dalam jihad, merupakan puncak kebaktian kepada Allah. Tetapi
bukankah jIhad dinyatakan mensyaratkan niat yang benar?
Bukankah orang yang mati dalam perang membela agama, tapi
perang itu disertainya karena dorongan kemegahan duniawi
misalnya, kesyahidannya tidak diterima? Memang benar infaq fi
sabil-i 'l-Lah, derma untuk kepentingan umum maupun menolong
orang lain, ditekankan dengan kuat sekali dalam al-Qur'an.
Tapi bukankah untuk itu dituntut keikhlasan, sementara untuk
berdzikir, yang diberi janji pahala yang begitu besar dalam
kitab-kitab yang banyak beredar, kita paling-paling hanya
memerlukan kekhusyukan, praktis tanpa hubungan dengan
keikhlasan? Benar, ada pula hadits (tidak populer) seperti
yang diriwayatkan Nasai: "Orang yang memikirkan para janda dan
anak-anak yatim sama dengan orang yang berjihad di jalan Allah
atau yang (selalu) sembahyang malam hari dan puasa di siang
hari". Bahkan Ghazali sendiri memuatkan hadits (daif) ini:
"sebagian dari umatku tidak masuk surga karena (banyak)
melakukan salat atau puasa, tetapi masuk surga karena
kedermawanan jiwa". Tapi, "berani bertaruh", dua-duanya jauh
kalah populer dibanding hadits lain yang juga dimuatkan
Ghazali dalam Ihya menggiatkan kedermawanan itu dengan
iming-iming yang tidak urung kembali menjadikan tindakan
kemurahhatian itu sebuah ritus. "Datangnya rizki", demikian
seolah-olah disabdakan Nabi, "kepada orang yang memberi makan,
lebih cepat dibanding sampainya pisau ke leher onta (yang
disembelih untuk keperluan makan-makan itu)." Ini sebuah
iming-iming duniawi, hanya salah satu dari sekian banyak
hadits yang boleh menumbuhkan kebiasaan sedekah dalam arti
selamatan yang ritual itu.

Demikian pula, sanksi resmi untuk dosa sosial --kecuali untuk
tindakan membunuh, merampok atau mencuri (mencuri
konvensional)-- tidaklah terasa se-"seram" puasa ataupun
melakukan tindak sosial yang dewasa ini dianggap banyak orang
lebih ber-scope pribadi, misalnya melacur. Memang ada hadits
Bukhari-Muslim seperti "Kedzaliman adalah kegelapan demi
kegelapan di hari kiamat", atau "Takutlah kamu kepada dua
orang yang didzalimi, sebab antara doa itu dan Allah tidak ada
dinding." Tapi "berapa orang"-kah yang mengenal hadits-hadits
ini? Bukankah ada hadits yang jauh lebih populer, dan jauh
lebih "menyenangkan", seperti "Ibadah haji yang mabrur, tak
ada balasannya yang lain kecuali surga", yang boleh menjadikan
ibadah ritual yang agung ini idaman semoa orang untuk, kalau
bisa, dilakukan berulang kali?

Sama sekali tidak berarti Ghazali tidak bicara tentang dunia.
Ihya 'Ulum al-Din menjadi istimewa karena ia adalah kitab
tasawuf (terpandang) yang pertama yang berjalan di atas
landasan syari'at dan berusaha mencari "rahasia" (asrar) di
balik semua isi syariat itu, termasuk bab mu'amalah, meskipun
dalam kadar lebih sedikit. Disamping bagian-bagian yang khas
tasawuf seperti Kitab Syarah Keajaiban Hati, Kitab Latihan
Jiwa, Kitab Celaan Kepada Dunia, Kitab Cinta dan Rindu (kepada
Tuhan) atau Kitab Tafakkur, terdapat juga --dalam porsi lebih
kecil-- Kitab Etika Profesi dan Penghidupan serta Kitab Halal
dan Haram yang berisi mu'amalah atau hubungan-hubungan
duniawi. Bahkan ada satu bab yang menuntun seorang yang
bertaubat cara-cara keluar dari kedzaliman-kezalimannya dalam
soal harta benda. Semuanya dengan hadits-hadits yang
menunjukkan pahala maupun dosa yang lebih "wajar" dibanding
pada kelompok ritual (yang lebih banyak hadits daifnya) itu.
Misalnya hadits (sahih) "Tidak diterima shalat orang yang
memakai pakaian yang dibelinya dengan harga 10 dirham, dan di
antaranya terdapat satu dirham yang haram", ataupun hadits
(daif) "Barangsiapa menimbun bahan makanan sampai 40 hari,
kemudian menyedekahkannya, nilai sedekah itu tidak cakup untuk
menebus dosa penimbunannya itu."

Hampir bisa dipastikan bahwa seorang pengikut Ghazali yang
baik akan berusaha hidup suci, baik dari menyerempet dosa
individual maupun dari kecampuran satu butir nasi yang haram.
Tetapi, sebenarnya hanya bagian kecil saja orang yang sempat
mendengar Ihya secara utuh. Apa yang lebih masyhur dari
kehidupan kesufian khususnya dewasa ini, ketika orang sudah
mengartikan zubud bukan lagi sebagai "menolak dunia" dalam
arti harfiah, melainkan sekadar "tidak bergantung pada
(walaupun mengumpulkan banyak) harta dunia" --adalah dzikir
dan ritus-ritus individual. Bahkan oleh jasa kitab-kitab kecil
semacam Usfuriyah, kitab-kitab ratib, risalah-risalah selawat,
atau beberapa majemuk maulud, yang semuanya hanya berada di
bawah wibawa Ghazali, dzikir dan seterusnya itu sudah tidak
selalu punya hubungan dengan dunia kesufian, melainkan
semata-mata amalan penambah pahala ataupun, paling-paling,
ikhtiar ketentraman batin. Haji Betawi dalam contoh di muka
itupun belum tentu seorang mutasawwif. Tapi, ia seorang yang
sadar benar akan "tugas hidup"-nya untuk mengumpulkan pahala
sebanyak-banyakuya; ibadah haji baginya bukanlah seremoni yang
mencapai tingkat keagungannya karena faktor-faktor yang
menggetarkan hati seperti rasa kebersamaan dan persamaan
sesama insan atau sesama muslim sedunia, melainkan karena
ibadah yang satu ini penuh pahala (yang bahkan bisa ditunjuk
dan bisa dihitung menurut hadits-hadits yang daif maupun yang
"kelas dua") pada tiap bagian dan tiap langkah.

Tetapi itulah hal yang, tidak urung, tidak memustahilkan
seorang pengikut Ghazali yang relatif taat, bahkan mungkin
berpengetahuan, akhirnya terjerumus juga untuk menjadi hanya
ghazalian dalam hal dzikir dan latihan-latihan ritual (dengan
pengenduran kontrolnya terhadap ibadah maupun dosa sosial).

Hal ini lebih-lebih menjadi mungkin oleh dua sebab.

Pertama, oleh semangat fiqh -yang, seperti digambarkan
kitab-kitab kuning yang begitu komprehensif dan canggih;
tergolong intelektualistis; dan memang, seperti dalam contoh
orang pintar yang berusaha menghindari zakat dengan
(pura-pura) mengalihkan pemilikan pada masa haul, tanpa
imbangan tasawuf yang benar bisa menjadikan seorang muslim
sekadar seorang formalis yang begitu pintar, verbal, penuh
lelah dan tanpa jiwa. Hukum-hukum yang mana pun, terutama yang
menyangkut urusan dunia, oleh kecanggihan fiqh yang seperti
ini akan bisa "diputar."

Kedua, pengenduran dalam kontrol amal sosial itu lebih khasnya
lagi terjadi oleh tidak dikenalinya lagi medan yang aktual
--karena perubahan yang berlangsung, bila dibandingkan dengan
contoh-contoh yang ditulis dalam kitab-kitab yang kuno itu.
Korupsi, misalnya, dengan jenis dan liku-likunya, seperti
halnya bentuk-bentuk kelembagaan modern sendiri, kbususnya
dalam dunia bisnis, sebagiannya tentu merupakan hal yang
kadang-kadang susah dicari padanannya dalam kitab, terkadang
pula berwajah ganda dan dalam keadaan itu, dalam banyak hal
bisa "diputar" yakni bila yang ghazalian, dengan semangat
fiqhuya, tiba-tiba memilih untuk "memegangi lafal". Kyai yang
"korupsi," dalam contoh di atas, maupun yang tidak mengenal
fatsoen politik, bisa bertindak demikian karena campuran dari
kedua sebab di atas.

Perubahan itu pulalah yang dalam bidang fiqh menyebabkan
bagian mu'amalah, lengkap dengan pengajarannya akan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban sosial yang suci, menjadi lebih sulit
diajarkan --karena kasus-kasusnya yang kuno, dan karena
sedikitnya elastisitas umat dalam merespon bentuk-bentuk baru
dengan lebih berpegang pada roh. Dan kekurangan (ketiadaan)
elastisitas itu pula yang menyebabkan bagian sosial yang masih
tinggal dari pengajaran fiqh, yakni zakat dan selingkar
wilayahnya, tidak urung lebih dipahami sebagai ajaran ritual
pula: bahkan sejak awal para imam madzhab, kecuali Abu
Hanifah, seperti dalam contoh indentifikasi jenis-jenis harta
yang dizakati, praktis tidak menggunakan rasio.

Dan itu tidak urung akan berpulang akhirnya pada masalah besar
yang menyangkut metodologi pengambilan hukum sendiri, Ilmu
Ushul Fiqh, yang sejak abad-abad 2-3 Hijri telah tumbuh dengan
makin lama kemenangan golongan naqli (skriptual) atas golongan
ra'y-i (rasional), dengan memegangi secara tanpa jarak
ayat-ayat dan hadits-hadits, walaupun hadits-hadits yang
berasio ditapis dalam kenyataan menunjukkan kepincangan yang
kentara antara bagian yang ritual dan yang sosial, yang segera
akan kita rasakan bila saja kita membandingkan dengan ruh
al-Qur'an.

Dan, dalam keadaan seperti itu, masuklah tema baru dalam
kegiatan dakwah. Inilah tema solidaritas keumatan, bersama
dengan semangat yang besar untuk selalu sadar diri (ber-inward
looking), yang bisa melahirkan kesukaan pengagung-agungan, isu
kebangkitan, semboyan kesempurnaan Islam, praktis tanpa
sentuhan dengan realitas dan, dalam konteks pembicaraan kita
ini, tanpa implikasi yang jelas dalam hal kemajuan maupun
kemunduran akhlak sosial.

Dan semua itu berada dalam "iklim" yang aktual kini. Yakni,
"iklim" yang, tidak boleh tidak, memang dilihat orang sebagai
sebab pertama dari berkembangnya akhlak sosial yang makin
tidak bisa dibanggakan itu. "Iklim" itu melihat siapa saja
--termasuk para ustadz atau para ulama yang, sambil beralasan
dengan berbagai "keterpaksaan" yang mereka hadapi sendiri
dalam masalah halal-haram dalam mencari rizki-- menggeserkan
isi dakwahnya ke hal-hal yang "lebih menentramkan." Ini
seiring dengan usaha kalangan umat untuk "menempatkan diri
secara baik" dalam tatanan bersama dan dalam proyek
pembangunan bersama yang telah terbukti membawa kemajuan yang
mengesankan dalam pertumbuhan, di dalam suatu suasana semacam
bulan madu, yang menyebabkan orang mungkin lebih bisa
mentolerir kemungkaran-kemungkaran dan kedzaliman-kedzaliman
"yang kontroversial"(?) di masyarakat daripada harus mengalami
keraguan politis dengan keuntungan yang pesaing. Dalam "iklim"
ini pula, harus kita sebutkan, lahir gelombang besar orang
yang menjadi santri karena secara formal pemerintah sendiri
"kesantri-santrian", dengan segala aturan bertakwa untuk
pegawai sipil dan ABRI dan seterusnya. Mereka ini, yang bagian
signifikannya adalah aparat pemerintah, kelihatan sebagai tak
punya hubungan apa-apa dengan Ghazali, atau tasawuf, atau
fiqh, atau halal-haram. Aneh, kadang-kadang mereka tampak
sebagai ciri zaman ini.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al Imam Al Ghazali, Ihya 'Ulum al-Din, maktabah Daru Ihya
al-Kutub al-'Arabiyah, Indonesia.

Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilatul Ahaditsidh Dha'ifah
wa-Atsaruhas Saiy'fil Ummah, Lajnah Ihaya-is Sunnah, Assiyut.

As Saiyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Darul Fikr, 1980.

Abu Ishaq Ibrahim ibn "Ali ibn Yusuf Al Fairuzabadi Asy
Syirazi, al-Muhadzdza fi Fiqh-i 'l-Imami al-Syafi'i, Darul
Fikr.

Muhammad ibn Rusyd Al Qurthubi, Bidayatul Mujtahid
wa-Nihayat-u 'l-Muqtashid, Darul Ma'rifah, Beirut, 1985.

Ali Ahmad Al Jurjawi, Ni'mat-u 'l-Tasyri ma Falsafatuh-u, Al
Haramain, Jeddah.

AJ. Wensinck, al-Mu'jam al-Mufahras li 'l-fazh-i 'l-ahadits-in
Nabawi, Concordance et Indices de la Tradition Musulmane EJ.
Brill, Leiden, 1936.
TANGGUNG JAWAB DA'WAH

Secara harfiyah, da'wah berasal dari kata da'a - yad'u, da'watan yang artinya panggilan, seruan atau ajakan. Maksudnya adalah mengajak dan menyeru manusia agar mengakui Allah Swt sebagai Tuhan yang benar lalu menjalani kehidupan sesuai dengan ketentuan-ketentuan-Nya yang tertuang dalam Al-Qur'an dan sunnah. Dengan demikian, target da'wah adalah mewujudkan sumber daya manusia yang bertaqwa kepada Allah Swt dalam arti yang seluas-luasnya.

Dalam kehidupan masyarakat, khususnya kehidupan umat Islam, da'wah memiliki kedudukan yang sangat penting. Dengan da'wah, bisa disampaikan dan dijelaskan ajaran Islam kepada masyarakat sehingga mereka menjadi tahu mana yang haq dan mana yang bathil, bahkan da'wah yang baik bukan hanya membuat masyarakat memahami yang haq dan bathil itu, tapi juga memiliki keberpihakan kepada segala bentuk yang haq dengan segala konsekuensinya dan membenci yang bathil sehingga selalu berusaha menghancurkan kebathilan. Manakala hal ini sudah terwujud, maka kehidupan yang hasanah (baik) di dunia dan akhirat akan dapat dicapai.

KEWAJIBAN DA'WAH

Karena da'wah memiliki kedudukan yang sangat penting, maka secara hukum da'wah menjadi kewajiban yang harus diemban oleh setiap muslim, Ada banyak dalil yang bisa kita jadikan sebagai rujukan untuk mendukung pernyataan wajibnya melaksanakan tugas da'wah, baik dari Al-Qur'an maupun hadits Nabi. Diantaranya adalah dalil berikut ini:

Serulah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik (QS 16:125).

Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS 3:104).

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah (QS 3:110).
Sampaikanlah dariku walaupun hanya satu ayat (HR. Ahmad, Bukhari dan Tirmidzi).

KEUTAMAAN DA'WAH

Manakala da'wah kita tunaikan dengan sebaik-baiknya, banyak keutamaan yang akan kita peroleh, antara lain:

Pertama, memperoleh derajat yang tinggi di sisi Allah dengan dikelompokkan ke dalam umat yang terbaik (khairu ummah) sebagaimana yang disebutkan pada QS 3:110 di atas.

Kedua, memperoleh pahala yang amat besar, hal ini karena dalam satu hadits Rasulullah Saw menyatakan:

Barangsiapa yang menunjukkan pada suatu kebaikan, maka baginya seperti pahala orang yang mengerjakannya (QS Ahmad, Muslim, Abu Daud dan Tirmudzi).

Ketiga, da'wah yang baik juga berarti telah dapat membuktikan keimanan pribadi seorang da'i yang benar, karena da'wah yang baik adalah da'wah yang disampaikan setelah diamalkannya, bukan kontradiksi antara pesan da'wah dengan prilaku sang da'i, Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan (QS 61:2-3).

Keempat, memperoleh keberuntungan, baik dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat sebagaimana sudah disebutkan pada QS 3:104.

Kelima, terhindar dari laknat Allah, hal ini dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya: Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa Putera Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu (QS 5:78-79).

Keenam, memperoleh rahmat Allah, hal ini difirmankan Allah yang artinya: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mncegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana (QS 9:71).

TAHAPAN DA'WAH

Dalam menunaikan tugas da'wah, ada tahapan-tahapan yang harus diperhatikan dan ditempuh. Syeikh Mustafa Masyhur dalam bukunya Tariq Ad Da'wah menyebutkan tiga tahapan (marhalah) da'wah yang harus dilalui. Pertama, ta'rif (penerangan/propaganda), tahap ini adalah memperkenalkan, menggambarkan ide dan menyampaikannya kepada khalayak rapai pada setiap lapisan masyarakat. Kedua, takwin (pembinaan/pembentukan), yaitu tahap pembentukan, pemilihan pendukung da'wah, menyiapkan mujahid da'wah serta mendidiknya. Ketiga, tanfidz (pelaksanaan), yaitu tahap beramal, berusaha dan bergerak guna mencapai tujuan.
Dengan demikian, da'wah merupakan perjalanan yang panjang dan berliku. Karena itu, para aktifis da'wah harus menyiapkan diri semaksimal mungkin agar bisa menunaikan tugas ini dengan baik dan siap menghadapi segala tantangannya.

PENYULUH KEBANGKITAN

Dalam kondisi masyarakat muslim yang sedang "tidur", lesu, lemah dan mengalami keterbelakangan, da'wah amat diperlukan sebagai penyuluh guna membangkitkan umat dan meraih kembali kejayaannya yang telah hilang. Oleh karena itu, manakala da'wah bisa kita tunaikan sebaik-baiknya dengan dukungan sumber daya manusia yang andal, dana yang cukup, sarana yang memadai, metode yang tepat dan kemasan yang menarik, maka masyarakat muslim yang baru dapat kita wujudkan, insya Allah sebagai umat yang terbaik. Dengan kata lain, da'wah merupakan upaya merekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur kejahiliyahan menjadi masyarakat yang islami, ini berarti da'wah merupakan upaya melakukan islamisasi dalam seluruh sektor kehidupan manusia.
Untuk itu keterlibatan setiap muslim di dalam da'wah menjadi suatu keharusan, sesuai dengan potensi yang dimilikinya masing-masing. Terbentuknya pribadi yang islami, keluarga yang islami dan masyarakat yang islami merupakan target yang ingin dicapai dalam da'wah. Target ini memerlukan dukungan setiap muslim, apalagi da'wah itu bukanlah hanya berbentuk ceramah dan khutbah. Tegasnya, apapun potensi dan kemampuan yang kita miliki, semua itu dapat kita gunakan untuk kepentingan da'wah.

BAHAYA ALIRAN SESAT DAN MENYESATKAN

Bahaya Aliran Sesat dan Menyesatkan

Oleh : Prof Dr KH Didin Hafidhuddin

Sering kali umat Islam di Indonesia dikejutkan dengan munculnya aliran-aliran yang sesat, menyesatkan, dan membuat keresahan serta kegelisahan. Hampir tiap tahun (seolah-olah terprogram dan terencana) aliran-aliran tersebut bermunculan dengan nama yang berbeda-beda, meskipun secara substansi sama. Yakni, aliran yang pemimpinnya mengaku mendapatkan wahyu dari Allah sehingga mengaku menjadi nabi, mengaku menjadi Isa al-Masih, mengaku mampu berkomunikasi dengan malaikat Jibril, dan hal-hal lain yang bagi umat Islam sudah final dan tetap, tidak boleh diperdebatkan dan diikhtilafkan, karena semuanya sudah dijelaskan secara gamblang, baik dalam Alquran maupun sunah Nabi serta kesepakatan mayoritas atau jumhur ulama (ijma ulama).

Bahkan dalam praktik ibadah, aliran-aliran tersebut berani menciptakan aturan dan tata cara tersendiri, yang secara jelas menyimpang dari aturan Islam yang sebenarnya. Misalnya, tidak wajibnya shalat, shalat boleh menghadap ke arah mana saja, ibadah haji tidak perlu ke Makkah. Masalah-masalah tersebut sesungguhnya sudah masuk pada masalah qath'i dan pasti, yang apabila orang berpendapat lain, dapat dianggap murtad dan kufur, seperti halnya mengaku menjadi nabi dan rasul. Padahal Alquran secara tegas menyatakan bahwa Muhammad SAW adalah nabi dan rasul yang terakhir, sebagaimana yang diungkapkan dalam QS Al-Ahzab: 40.

Yang sering juga membuat masyarakat resah adalah selalu terlambatnya respons pemerintah dalam menyikapi aliran yang membahayakan dan merusak tersebut. Bahkan pemimpinnya kadangkala diberikan kebebasan berbicara di depan media massa, seolah-olah umat Islam harus bersikap toleran terhadap aliran tersebut. Padahal akibat negatif dari sikap tersebut adalah tersinggungnya akidah dan emosi umat, serta perasaan dilecehkan agamanya.

Dalam hal ini, menurut hemat penulis, toleransi terhadap aliran-aliran yang jelas-jelas merusak tersebut tidak tepat untuk dikembangkan. Akibat merasa tidak terlindungi, umat sering mengambil tindakan menghancurkan langsung secara spontan pusat-pusat dari kegiatan aliran tersebut. Pertanyaannya, apabila sudah terjadi, adilkah jika umat selalu disalahkan dan dikambinghitamkan?

Sesungguhnya, munculnya berbagai aliran sesat tersebut mungkin salah satu makna dari pernyataan Rasulullah SAW, kelak umatku akan terpecah belah menjadi 73 golongan. Semuanya akan masuk ke dalam neraka, kecuali satu kelompok, yaitu mereka yang mengikuti sunahku dan sunah-sunah sahabatku. Kelompok yang akan selamat itu adalah mereka yang antara lain meyakini keenam rukun iman dan kelima rukun Islam yang bersifat pasti dan tetap, yang syahadatnya terdiri dari dua kalimah syahadat, yaitu asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan rasuulullah (aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah).

Konsekuensi dari penentangan dan pelecehan terhadap hal-hal yang bersifat pasti tersebut adalah dosa besar, yang berhak mendapatkan siksaan dunia dan akhirat, serta kutukan dari Allah SWT, para malaikat-Nya, dan seluruh orang-orang yang beriman. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Baqarah: 156-163. Sungguh celaka kelompok orang-orang yang suka `nyeleneh' itu.

Langkah-langkah membendungnya

Kita berharap ada upaya bersama dari semua kalangan dan komponen umat untuk membendung dan menghentikan aliran-aliran tersebut, jangan sampai tumbuh dan berkembang, baik sekarang maupun di masa-masa yang akan datang.
Pertama, para ulama, para ustadz, para khatib, dan para guru harus memiliki keberanian untuk menjelaskan kepada umat bahwa setiap aliran yang muncul dan memiliki pemikiran yang jelas-jelas berbeda dengan masalah yang bersifat qath'i tersebut, adalah sesat menyesatkan, berbahaya, merusak, dan menyebabkan pelakunya kekal dalam neraka.

Jangan sampai umat terpukau oleh retorika kosong, penuh dengan penipuan yang bersumber dari bisikan-bisikan Iblis la'natullah `alaihi, yang dalam bahasa Alquran disebut dengan zukhrufal qauli ghuruura (perkataan yang seolah-olah indah tapi penuh dengan penipuan), sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-An'aam: 112-113. Menurut ayat ini, kelompok ini disebut sebagai musuh para Nabi, yang tentu saja menjadi musuh orang-orang yang beriman.

Kedua, ormas-ormas Islam dengan para ulama dan tokohnya harus bersikap aktif dan responsif dalam menjawab dan menetapkan keputusan terhadap sesatnya aliran tersebut, demi menjaga akidah, syariah, dan akhlak umat. Umat pun harus didorong jika mendengar dan membaca aliran-aliran yang aneh, untuk segera bertanya kepada para alim ulama dan para ahli yang dianggap memiliki pengetahuan keislaman yang luas dan komprehensif, yang disebut dengan ahlul `ilmi dan ahlu adz-dzikr (QS An-Nahl: 43).

Umat harus didorong untuk bersikap kritis, tidak mudah terkecoh dan percaya kepada pemimpin aliran tersebut, bahkan jangan sampai mereka dianggap sebagai "orang-orang pintar". Justru mereka adalah orang yang jahil murakkab (jelas-jelas bodoh tapi tidak merasa bahwa dia bodoh). Ketiga, pemerintah hendaknya bersikap tegas dan segera mengambil tindakan-tindakan hukum terhadap aliran-aliran tersebut. Tidak boleh terkesan sedikit pun pemerintah berada dalam keraguan untuk menghentikannya. Insya Allah umat akan selalu mendukungnya.

Wallahu'alam.

Jumat, 26 Oktober 2007

MATAN KEYAKINAN DAN CITA-CITA HIDUP MUHAMMADIYAH

Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah

1. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.

2. Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.

3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan:

a. Al-Qur'an: Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW;

b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.



3. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:

a. 'Aqidah

Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.

b. Akhlak

Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia

c. Ibadah

Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia.

d. Muamalah Duniawiyah

Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT.


5. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi Allah SWT:
"BALDATUN THAYYIBATUB WA ROBBUN GHOFUR"


(Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo)

Catatan:
Rumusan Matan tersebut telah mendapat perubahan dan perbaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah:

1. Atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta;

2. Disesuaikan dengan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta.

PEMIKIRAN MUHAMMADIYA JELANG SATU ABAD

Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn

Bismillahirrahmanirrahim


Bahwa keberhasilan perjuangan Muhammadiyah yang berjalan hampir satu abad pada hakikatnya merupakan rahmat dan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala yang patut disyukuri oleh seluruh warga Persyarikatan. Dengan modal keikhlasan dan kerja keras segenap anggota disertai dukungan masyarakat luas Muhammadiyah tidak kenal lelah melaksanakan misi da’wah dan tajdid dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Gerakan kemajuan tersebut ditunjukkan dalam melakukan pembaruan pemahaman Islam, pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, serta berperan dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan bangsa di negeri ini.Namun disadari pula masih terdapat sejumlah masalah atau tantangan yang harus dihadapi dan memerlukan langkah-langkah strategis dalam usianya yang cukup tua itu. Perjuangan Muhammadiyah yang diwarnai dinamika pasang-surut itu tidak lain untuk mencapai tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya serta dalam rangka menyebarkan misi kerisalahan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di bumi Allah yang terhampar luas ini.


Karena itu dengan senantiasa mengharapkan ridha dan pertolongan Allah SWT Muhammadiyah dalam usia dan kiprahnya jelang satu abad ini menyampaikan pernyataan pikiran (zhawãhir al-afkãr/statement of mind) sebagai berikut:


A. Komitmen Gerakan


Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah sesuai jatidirinya senantiasa istiqamah untuk menunjukkan komitmen yang tinggi dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sebagai wujud ikhtiar menyebarluaskan Islam yang bercorak rahmatan lil-‘alamin. Misi kerisalahan dan kerahmatan yang diemban Muhammadiyah tersebut secara nyata diwujudkan melalui berbagai kiprahnya dalam pengembangan amal usaha, program, dan kegiatan yang sebesar-besarnya membawa pada kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini.
Muhammadiyah dalam usianya jelang satu abad telah banyak mendirikan taman kana-kanak, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, balai pengobatan, rumah yatim piatu, usaha ekonomi, penerbitan, dan amal usaha lainnya. Muhammadiyah juga membangun masjid, mushalla, melakukan langkah-langkah da’wah dalam berbagai bentuk kegiatan pembinaan umat yang meluas di seluruh pelosok Tanah Air. Muhammadiyah bahkan tak pernah berhenti melakukan peran-peran kebangsaan dan peran-peran kemanusiaannya dalam dinamika nasional dan global. Kiprah Muhammadiyah tersebut menunjukkan bukti nyata kepada masyarakat bahwa misi gerakan Islam yang diembannya bersifat amaliah untuk kemajuan dan pencerahan yang membawa pada kemaslahatan masyarakat yang seluas-luasnya. Peran kesejarahan yang dilakukan Muhammadiyah tersebut berlangsung dalam dinamika yang beragam. Pada masa penjajahan sejak berdirinya tahun 1330 H/1912 M., Muhammadiyah mengalami cengkeraman politik kolonial sebagaimana halnya dialami oleh seluruh masyarakat Indonesia saat itu, tetapi Muhammadiyah tetap berbuat tak kenal lelah untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Setelah Indonesia merdeka pada masa awal dan era Orde Lama Muhammadiyah mengalami berbagai situasi sulit akibat konflik politik nasional yang kompleks, namun Muhammadiyah tetap berkiprah dalam da’wah dan kegiatan kemasyarakatan. Pada era Orde Baru di bawah rezim kekuasaan yang melakukan depolitisasi (pengebirian politik), deideologisasi (pengebirian ideologi), dan kebijakan politik yang otoriter, Muhammadiyah juga terus berjuang mengembangkan amal usaha dan aktivitas da’wah Islam. Sedangkan pada masa reformasi, Muhammadiyah memanfaatkan peluang kondisi nasional yang terbuka itu dengan melakukan revitalisasi dan peningkatan kualitas amal usaha serta aktivitas da’wahnya. Melalui kiprahnya dalam sejarah yang panjang itu Muhammadiyah telah diterima oleh masyarakat luas baik di tingkat lokal, nasional, dan internasional sebagai salah satu pilar kekuatan Islam yang memberi sumbangan berharga bagi kemajuan peradaban umat manusia.
Kiprah dan langkah Muhammadiyah yang penuh dinamika itu masih dirasakan belum mencapai puncak keberhasilan dalam mencapai tujuan dan cita-citanya, sehingga Muhammadiyah semakin dituntut untuk meneguhkan dan merevitalisasi gerakannya ke seluruh lapangan kehidupan. Karena itu Muhammadiyah akan melaksanakan tajdid (pembaruan) dalam gerakannya sehingga di era kehidupan modern abad ke-21 yang kompleks ini sesuai dengan Keyakinan dan Kepribadiannya dapat tampil sebagai pilar kekuatan gerakan pencerahan peradaban di berbagai lingkungan kehidupan.
B. Pandangan Keagamaan


Muhammadiyah dalam melakukan kiprahnya di berbagai bidang kehidupan untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan dilandasi oleh keyakinan dan pemahaman keagamaan bahwa Islam sebagai ajaran yang membawa misi kebenaran Ilahiah harus didakwahkan sehingga menjadi rahmatan lil-‘alamin di muka bumi ini. Bahwa Islam sebagai Wahyu Allah yang dibawa para Rasul hingga Rasul akhir zaman Muhammad Saw., adalah ajaran yang mengandung hidayah, penyerahan diri, rahmat, kemaslahatan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Keyakinan dan paham Islam yang fundamental itu diaktualisasikan oleh Muhammadiyah dalam bentuk gerakan Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk kemaslahatan hidup seluruh umat manusia.
Misi da’wah Muhammadiyah yang mendasar itu merupakan perwujudan dari semangat awal Persyarikatan ini sejak didirikannya yang dijiwai oleh pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran 104, yang artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Kewajiban dan panggilan da’wah yang luhur itu menjadi komitmen utama Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk menjadi kekuatan Khaira Ummah sekaligus dalam membangun masyarakat Islam yang ideal seperti itu sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat 110, yang artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”. Dengan merujuk pada Firman Allah dalam Al-Quran Surat Ali Imran 104 dan 110, Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif dan multiaspek itu melalui da’wah untuk mengajak pada kebaikan (Islam), al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar), sehingga umat manusia memperoleh keberuntungan lahir dan batin dalam kehidupan ini. Da’wah yang demikian mengandung makna bahwa Islam sebagai ajaran selalu bersifat tranformasional; yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membeda-bedakan ras, suku, golongan, agama, dan lain-lain.
Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor gerakan tajdid (pembaruan). Tajdid yang dilakukan pendiri Muhammadiyah itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliah mu’amalat dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang menyebarkan kemajuan. Semangat tajdid Muhammadiyah tersebut didorong antara lain oleh Sabda Nabi Muhammad s.a.w., yang artinya: ”Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang yang memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah). Karena itu melalui Muhammadiyah telah diletakkan suatu pandangan keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan yang berlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah sekaligus mengemban tajdid yang mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan menuju kehidupan yang berkemajuan dan berkeadaban.
Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki corak masyarakat tengahan (ummatan wasatha) yang berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial-budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang dibangunnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi, sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan keunggulan dalam segala lapangan kehidupan. Dalam menghadapi dinamika kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasar-bebas di segala lapangan kehidupan dalam semangat ”berjuang menghadapi tantangan” (al-jihad li al-muwajjahat) lebih dari sekadar ”berjuang melawan musuh” (al-jihad li al-mu’aradhah). Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani, yaitu masyarakat kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah). Masyarakat Islam yang semacam itu berperan sebagai syuhada ‘ala al-nas di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia. Karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak ”madaniyah” tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Keunggulan kualitas tersebut ditunjukkan oleh kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian), nilai-nilai normatif berperilaku (hukum), dan nilai-nilai kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi terhadap kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam relasi-relasi yang menjunjungtinggi kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan hidup. Masyarakat Islam yang demikian juga senantiasa menjauhkan diri dari perilaku yang membawa pada kerusakan (fasad fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat menghancurkan kehidupan.

C. Pandangan tentang Kehidupan


Muhammadiyah memandang bahwa era kehidupan umat manusia saat ini berada dalam suasana penuh paradoks. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat luar biasa dibarengi dengan berbagai dampak buruk seperti lingkungan hidup yang tercemar (polusi) dan mengalami eksploitasi besar-besaran yang tak terkendali, berkembangnya nalar-instrumental yang memperlemah naluri-naluri alami manusia, lebih jauh lagi melahirkan sekularisasi kehidupan yang menyebabkan manusia kehilangan keseimbangan-keseimbangan hidup yang bersifat religius. Kemajuan kehidupan modern yang melahirkan antitesis post-modern juga diwarnai oleh kecenderungan yang bersifat serba-bebas (supra-liberal), serba-boleh (anarkhis), dan serba-menapikan nilai (nihilisme), sehingga memberi peluang semakin terbuka bagi kemungkinan anti-agama (agnotisme) dan anti-Tuhan (atheisme) secara sistematis. Demokrasi, kesadaran akan hak asasi manusia, dan emansipasi perempuan juga telah melahirkan corak kehidupan yang lebih egaliter dan berkeadilan secara meluas, tetapi juga membawa implikasi pada kebebasan yang melampau batas dan egoisme yang serba liberal, yang jika tanpa bingkai moral dan spiritual yang kokoh dapat merusak hubungan-hubungan manusia yang harmoni.
Dalam memasuki babak baru globalisasi, selain melahirkan pola hubungan positif antarbangsa dan antarnegara yang serba melintasi, pada saat yang sama melahirkan hal-hal negatif dalam kehidupan umat manusia sedunia. Di era global ini masyarakat memiliki kecenderungan penghambaan terhadap egoisme (ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawãd), penghambaan terhadap nafsu seksual (ta’bid al-syahawãt), dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al-siyasiyyah) yang menggeser nilai-nilai fitri (otentik) manusia dalam bertauhid (keimanan terhadap Allah SWT) dan hidup dalam kebaikan di dunia dan akhirat. Globalisasi juga telah mendorong ekstrimisme baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik, dan kedaerahan yang bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan. Perkembangan global pasca perang-dingin (keruntuhan Komunisme) juga ditandai dengan pesatnya pengaruh Neo-liberalisme yang semakin mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhu’afã) dan tertindas (mustadh’afin), sehingga melahirkan ketidak-adilan global yang baru. Namun globalisasi dan alam kehidupan modern yang serba maju saat ini juga dapat dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam seperti Muhammadiyah untuk memperluas solidaritas umat manusia sejagad baik sesama umat Islam (ukhuwah islamiyyah) maupun dengan kelompok lain (‘alãqah insãniyyah), yang lebih manusiawi dan berkeadaban tinggi.
Karena itu Muhammadiyah mengajak seluruh kekuatan masyarakat, bangsa, dan dunia untuk semakin berperan aktif dalam melakukan ikhtiar-ikhtiar pencerahan di berbagai lapangan dan lini kehidupan sehingga kebudayaan umat manusia di alaf baru ini menuju pada peradaban yang berkemajuan sekaligus bermoral tinggi.

D. Tanggungjawab Kebangsaan dan Kemanusiaan


Muhammadiyah memandang bahwa bangsa Indonesia saat ini tengah berada dalam suasana transisi yang penuh pertaruhan. Bahwa keberhasilan atau kegagalan dalam menyelesaikan krisis multiwajah akan menentukan nasib perjalanan bangsa ke depan. Masalah korupsi, kerusakan moral dan spiritual, pragmatisme perilaku politik, kemiskinan, pengangguran, konflik sosial, separatisme, kerusakan lingkungan, dan masalah-masalah nasional lainnya jika tidak mampu diselesaikan secara sungguh-sungguh, sistematik, dan fundamental akan semakin memperparah krisis nasional. Wabah masalah tersebut menjadi beban nasional yang semakin berat dengan timbulnya berbagai musibah dan bencana nasional seperti terjadi di Aceh, Nias, dan daerah-daerah lain yang memperlemah dayatahan bangsa. Krisis dan masalah tersebut bahkan akan semakin membebani tubuh bangsa ini jika dipertautkan dengan kondisi sumberdaya manusia, ekonomi, pendidikan, dan infrastruktur nasional maupun lokal yang jauh tertinggal dari kemajuan yang dicapai bangsa lain.
Bangsa Indonesia juga tengah berada dalam pertaruhan ketika berhadapan dengan perkembangan dunia yang berada dalam cengkeraman globalisasi, politik global, dan berbagai tarik-menarik kepentingan internasional yang diwarnai hegemoni dan ketidakadilan di berbagai bidang kehidupan. Indonesia bahkan menjadi lahan paling subur dan tempat pembuangan limbah sangat mudah dari globalisasi dan pasar bebas yang berwatak neo-liberal. Jika tidak memiliki daya adaptasi, filter, dan integritas kepribadian yang kookoh maka bangsa ini juga akan terombang-ambing dalam hegemoni dan liberalisasi politik global yang penuh konflik dan kepentingan. Pada saat yang sama bangsa ini juga tengah berhadapan dengan relasi-relasi baru yang dibawa oleh multikulturalisme yang memerlukan orientasi kebudayaan dan tatanan sosial baru yang kokoh.
Dalam menghadapi masalah dan tantangan internal maupun eksternal itu bangsa Indonesia memerlukan mobilisasi seluruh potensi dan kemampuan baik berupa sumberdaya manusia, sumberdaya alam, modal sosial-kultural, dan berbagai dayadukung nasional yang kuat dan dikelola dengan sebaik-baiknya. Dalam kondisi yang sangat penuh pertaruhan dan sarat tantangan tersebut maka sangat diperlukan kepemimpinan yang handal dan visioner baik yang didukung kemampuan masyarakat yang mandiri baik di ingkat nasional maupun lokal agar berbagai masalah, tantangn, dan potensi bangsa ini mampu dihadapi serta dikelola dengan sebaik-baiknya.
Bangsa Indonesia yang mayoritas muslim juga tidak lepas dari perkembangan yang dihadapi saudara-saudaranya di dunia Islam. Mayoritas dunia Islam selain dililit oleh masalah-masalah nasional masing-masing, pada saat yang sama berada dalam dominasi dan hegemoni politik Barat yang banyak merugikan kepentingan-kepentingan dunia Islam. Sementara antar dunia Islam sendiri selain tidak terdapat persatuan yang kokoh, juga masih diwarnai oleh persaingan dan konflik yang sulit dipertemukan, sehingga semakin memperlemah posisi umat Islam dalam percaturan internasional. Kendati begitu, masih terdapat secercah harapan ketika Islam mulai berkembang di neger-negeri Barat dan terjadi perkembangan alam pikiran baru yang membawa misi perdamaian, kemajuan, dan menjadikan Islam sebagai rahmat bagi alam semesta.

E. Agenda dan Langkah Ke Depan


Dalam menghadapi masalah bangsa, umat Islam, dan umat manusia sedunia yang bersifat kompleks dan krusial sebagaimana digambarkan itu Muhammadiyah sebagai salah satu kekuatan nasional akan terus memainkan peranan sosial-keagamaannya sebagaimana selama ini dilakukan dalam perjalanan sejarahnya. Usia jelang satu abad telah menempa kematangan Muhammadiyah untuk tidak kenal lelah dalam berkiprah menjalankan misi da’wah dan tajdid untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan. Jika selama ini Muhammadiyah telah menorehkan kepeloporan dalam pemurnian dan pembaruan pemikrian Islam, pengembangan pendidikan Islam, pelayanan kesehatan dan kesejahteraan, serta dalam pembinaan kecerdasan dan kemajuan masyarakat; maka pada usianya jelang satu abad ini Muhammadiyah selain melakukan revitalisasi gerakannya juga berikhtiar untuk menjalankan peran-peran baru yang dipandang lebih baik dan lebih bermasalahat bagi kemajuan peradaban.
Peran-peran baru sebagai wujud aktualisasi gerakan da’wah dan tajdid yang dapat dikembangkan Muhammadiyah antara lain dalam menjalankan peran politik kebangsaan guna mewujudkan reformasi nasional dan mengawal perjalanan bangsa tanpa terjebak pada politik-praktik (politik kepartaian) yang bersifat jangka pendek dan sarat konflik kepentingan. Dengan bingkai Khittah Ujung Pandang tahun 1971 dan Khittah Denpasar tahun 2002, Muhammadiyah secara proaktif menjalankan peran dalam pemberanrasan korupsi, penegakan supremasi hukum, memasyarakatkan etika berpolitik, pengembangan sumberdaya manusia, penyelamatan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, memperkokoh integrasi nasional, membangun karakter dan moral bangsa, serta peran-peran kebangsaan lainnya yang bersifat pencerahan. Muhammadiyah juga akan terus menjalankan peran dan langkah-langkah sistematik dalam mengembangkan kehidupan masyarakat madani (civil society) melalui aksi-aksi da’wah kultural yang mengrah pada pembentukan masyarakat Indonesia yang demokratis, otonom, berkeadilan, dan berakhlak mulia.
Dalam pergaulan internasional dan dunia Islam, Muhammadiyah juga terpanggil untuk menjalankan peran global dalam membangun tatanan dunia yang lebih damai, adil, maju, dan berkeadaban. Muhammadiyah menyadari pengaruh kuat globalisasi dan ekspansi neo-liberal yang sangat mencengkeram perkembangan masyarakat dunia saat ini. Dalam perkembangan dunia yang sarat permasalahan dan tantangan yang kompleks di abad ke-21 itu Muhammadiyah dituntut untuk terus aktif memainkan peran kerisalahannya agar umat manusia sedunia tidak terseret pada kehancuran oleh keganasan globalisasi dan neo-liberal, pada saat yang sama dapat diarahkan menuju pada keselamatan hidup yang lebih hakiki serta memiliki peradaban yang lebih maju dan berperadaban mulia.
Khusus bagi umat Islam baik di tingkat lokal, naional, maupun global Muhammadiyah dituntut untuk terus maminkan peran da’wah dan tajdid secara lebih baik sehingga kaum muslimin menjadi kekuatan penting dan menentukan dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban di era modern yang penuh tantangan ini. Era kebangkitan Islam harus terus digerakkan ke arah kemajuan secara signifikan dalam berbagai bidang kehidupan umat Islam. Umat Islam harus tumbuh menjadi khaira ummah yang memiliki martabat tinggi di hadapan komunitas masyarakat lain di tingkat lokal, nasional, dan global. Di tengah dinamika umat Islam yang semacam itu Muhammadiyah harus tetap istiqamah dan terus melakukan pembaruan dalam menjalankan dan mewujudkan misi Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di bumi Allah yang tercinta ini.
Demikian Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad sebagai ungkapan keyakinan, komitmen, pemikiran, sikap, dan ikhtiar mengenai kehadiran dirinya sebagai Gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid dalam memasuki usianya hampir seratus tahun. Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang Satu Abad tersebut menjadi bingkai dan arah bagi segenap anggota dan pimpinan Persyarikatan baik dalam menghadapi perkembangan kehidupan maupun dalam melaksanakan usaha-usaha menuju tercapainya tujuan Muhammadiyah yaitu menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Akhirnya, dengan senantiasa memohon ridha dan karunia Allah SWT., semoga kiprah Muhammadiyah di pentas sejarah ini membawa kemasalahatn bagi hidup umat manusia dan menjadi rahmat bagi alam semesta. Nashr min Allah wa fath qarib.

KEPRIBADIAN MUHAMMADIYAH

Kepribadian Muhammadiyah

Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Maksud gerakanya ialah Dakwah Islam dan Amar Ma'ruf nahi Munkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat . Dakwah dan Amar Ma'ruf nahi Munkar pada bidang pertama terbagi kepada dua golongan: Kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam.

Adapun da'wah Islam dan Amar Ma'ruf nahi Munkar bidang kedua, ialah kepada masyarakat, bersifat kebaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah semata-mata.

Dengan melaksanakan dakwah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah "Terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya".

DASAR DAN AMAL USAHA MUHAMMADIYAH

Dalam perjuangan melaksanakan usahanya menuju tujuan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, dimana kesejahteraan, kebaikan dan kebahagiaan luas-merata, Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu:

1. Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah.

2. Hidup manusia bermasyarakat.

3. Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat.

4. Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada kemanusiaan.

5. Ittiba' kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.

6. Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi.


PEDOMAN AMAL USAHA DAN PERJUANGAN MUHAMMADIYAH

Menilik dasar prinsip tersebut di atas, maka apapun yang diusahakan dan bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan tunggalnya, harus berpedoman: "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasul-Nya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridlai Allah".

SIFAT MUHAMMADIYAH

Menilik: (a) Apakah Muhammadiyah itu, (b) Dasar amal usaha Muhammadiyah dan (c) Pedoman amal usaha dan perjuangan Muhammadiyah, maka Muhammadiyah memiliki dan wajib memelihara sifat-sifatnya, terutama yang terjalin di bawah ini:

1. Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan.

2. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.

3. Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam.

4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.

5. Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah.

6. Amar ma'ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik.

7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan, sesuai dengan ajaran Islam.

8. Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.

9. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.

10. Bersifat adil serta kolektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.


(Keputusan Muktamar ke 35)

PEMURTADAN DI BALIK AL-QIYADAH AL-ISLAMIYAH

PERMURTADAN DI BALIK AL-QIYADAH AL-ISLAMIYAH

Oleh : Abu Salma Mohammad Fachrurozi

Al-hamdulillah pada Ahad, 29 Juli 2007 saya dapat menghadiri tabligh akbar di Masjid Kampus UGM Yogyakarta, dengan tema Pemurtadan Di Balik Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Acara yang diselenggarakan oleh Yayasan Asy-Syariah ini menghadirkan pemateri Al Ustadz Abu Abdillah Luqman bin Muhammad Baabduh di samping itu dihadirkan pula saksi-saksi yang menjelaskan keberadaan kelompok/aliran sesat menyesatkan yang menganggap pemimpinnya adalah Rasul Baru yang bernama Al-Masih Al-Maw’ud.
Sekilas Al-Qiyadah Al-Islamiyah.
Kelompok ini aliran baru yang muncul di Jakarta dan mulai perengahan 2006 tercium menyebarkan keyakinannya di kota gudeg Yogyakarta dengan obyek dakwah utama adalah para mahasiswa yang secara umum mereka adalah intelektual dalam dunia ilmu pengetahuan, biasa menggunakan akalnya dalam mengambil simpulan-simpulan.
Dari penjelasan para saksi dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Al-Qiyadah Al-Islamiyah memiliki ajaran-ajaran yang jauh menyimpang dari pokok-pokok Ajaran Islam, antara lain :
1. Mereka menghilangkan Rukun Islam yang telah dipegangi oleh seluruh Kaum Muslimin dan jelas-jelas bersumber dari hadits-hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh para ulama ahli hadits yang diterima oleh seluruh kaum muslimin dari kalangan ahlussunnah (Suni)
2. Mereka menganggap bahwa pimpinannya adalah Rasulullah yaitu bernama Al-Masih Al Maw’ud (Al Masih yang dijanjikan /dilahirkan)
3. Menghilangkan syariat shalat lima waktu dalam sehari semalam, dengan diganti shalat lail, mereka mengatakan bahwa dalam dunia yang kotor (belum menggunakan syariat Islam: penulis) seperti ini tidak layak kaum muslimin melakukan shalat lima waktu.
4. Menganggap orang yang tidak masuk kepada kelompoknya dan mengakui bahwa pemimpin mereka adalah Rasul adalah orang musyrik. Hal ini sesuai yang di ungkapkan oleh seorang saksi yang anak kandungnya sampai saat ini setia dan mengikuti kajian-kajian kelompok ini. Anak kesayangannya tersebut tidak mau pulang ke rumah bersama kedua orang tua karena menganggap kedua orangtuanya musyrikin.
5. Dalam dakwah, mereka menerapkan istilah sittati ayyam (enam hari) yang mereka terjemahkan menjadi enam tahapan, yaitu :
1. Sirran (Diam-diam / Sembunyi-sembunyi / Bergerilya – penulis)
2. Jahran (Terang-terangan)
3. Hijrah
4. Qital
5. Futuh (Meniru Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam, membuka Mekah – Penulis)
6. Khilafah
Tampak dari enam tahapan ini mereka mencoba mengaplikasikan tahapan dakwah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi Wasallam dalam berdakwah di jazirah Arab dahulu.
Bantahan terhadap kelompok ini.
Salah satu kelebihan Ahlussunnah dan para pengusungnya adalah kepedulian mereka terhadap penyimpangan-penyimpangan ajaran Islam yang lurus, mereka selalu tapil di garda depan menjelaskan kekeliruan-kekeliruan faham yang tersebar di kalangan kaum muslimin. Al hamdulillah dalam kesibukan yang menyita Al Ustadz Abu Abdillah Luqman bin Muhammad Baabduh menyempatkan diri hadir ke Yogyakarta untuk menjelaskan syubhat-syubhat murahan yang berusaha ditebarkan oleh Al-Qiyadah Al-Islamiyah.
Dengan mengutip Ayat-ayat ayat al-Quran dan penjelasan para Ahli Tafsir dengan sabar Al-Ustadz membantah satu persatu keyakinan mereka, tidak lupa Beliau membacakan hadits-hadits Nabi yang menjelaskan dan membantah keyakinan mereka. (Maaf karena sempitnya waktu kami tidak uraiakan penjelasan-penjelasan Ustadz Luqman pada kesempatan ini, semoga lain kali ada kesempatan bagi kami atau ikhwah lain yang lebih mumpuni dari saya ambil bagian ini)
Sungguh bagi kita atau siapa saja yang telah merasakan nikmatnya belajar Islam dengan pemahaman Salafush shalih sedikitpun syubhat mereka dengan Ijin Allah tidak akan membingungkan dan mengubah keyakinan akidah kita.
Tidak seperti mereka syubhat murahan seperti itu mampu menggoyahkan Iman dan Islam mereka sehingga dengan tegas dan gagah berani meninggalkan orangtuanya dengan menganggap orangtuanya adalah kafir/musyrik.
Pada kesempatan akhir pembicaraan al0Ustadz Luqman mengimbau kepada seluruh kaum muslimin dan seluruh lembaga-lembaga terkait untuk mengantisipasi dakwah mereka, karena dakwah mereka akan menjurus kepada ancaman pembunuhan/memerangi terhadap seluruh kaum muslimin yang tidak mengakui ajaran mereka. Hal semacam ini tentunya akan mengancam ketenteraman Kaum Muslimin dan mengancam Stabilitas Nasional.
Dijelaskan pula bahwa aliran ini berusaha menyatukan ajaran trinitas yang ada pada agama Nasrani, jadi ditengarahi bahwa aliran ini adalah pemurtadan atas nama Islam. Hal ini ditunjukkan oleh nama-nama mereka setelah masuk kelompok ini berubah semisal Emmanuel Fadhil atau semisalnya.
Mereka juga mengajarkan bahwa Tuhan Bapak adalah Rab, Yesus adalah Al-Malik, Ruhul Quddus adalah Ilah. Sungguh ini bukan ajaran Islam.
Semoga Allah mudahkan acara seperti ini di kota-kota lain sebagaimana yang diucapkan oleh al Ustadz Luqman.
Pelajaran Yang dapat diambil.
Bagi saya sendiri dengan petunjuk dari Allah melalui pengalaman perjalanan keagamaan saya, alhamdulillah saya sedikit dapat mencium model gerakan ini. Model gerakan ini Insya Allah bersumber dari pemikiran wajibnya tegaknya Khilafah/Syariat Islam. Mereka menganggap bahwa tujuan hidup ini adalah menjadikan syariat Islam/Hukum-hukum Islam harus tegak dimuka bumi, harus menggantikan hukum-hukum kafir yang sekarang sedang mendominasi di tubuh kaum muslimin. Dalam perkara ini Al-Qiyadah sebenarnya tidak berbeda dengan gerakan Islam yang lain seperti LDII, Jamaah Muslimin (Hizbullah), NII, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir dll. Hanya saja kelompok-kelompok yang saya sebutkan dengan hidayah Allah mereka masih menggunakan Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sehingga mereka masih melakukan peribadatan selayaknya kaum muslimin. Namun dalam tujuan pokok gerakan mereka adalah sama yaitu menegakkan khilafah dan syariat Islam dan mengajak seluruh kaum muslimin masuk kepada kelompoknya. Siapa yang masuk adalah Ikhwannya adapun kaum muslimin yang belum/tidak mau bukan bagian dari kelompoknya. Inilah Hizbiyyah, semoga Allah selamatkan kita dari hal semacam ini.
Yang paling mirip dengan mereka adalah aliran Isa Bugis, kesamaan pada kedua aliran ini adalah sama-sama menafsirkan al-Quran dengan akalnya pemimpinnya belaka dan meninggalkan Hadits-hadits rasulullah, sehingga mereka meninggalkan syariat-syariat Islam yang mulia sebagaimana rukun Islam.
Akhirnya saya mengatakan, bahwa bertujuan memwujudkan khilafah, menjalankan syariat Islam adalah tujuan mulia, namun tujuan mulia, niat ikhlas tidaklah cukup. Harus terus ditanamkan pada masing-masing diri kita bahwa kita ini bodoh, butuh bimbingan dari Rasulullah dalam memahami al-Quran, butuh penjelasan para ulama ahlussunnah dalam memahami hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam.
Maka marilah terus kita belajar Islam, belajar Al-Quran dan Sunnah dengan pemahaman Salafush sholih agar kita tidak terjebak memahami al-Quran dengan nafsu dan ra’yu kita yang bodoh. Wallahu ta’ala a’lam.
Ibnu Katsir – rahimahullah -- pun mengemukakan pula, bahwa menafsirkan Al-Quran tanpa didasari sebagaimana yang berasal dari Rasulullah -- shallallahu’alaihi wasallam -- atau para Salafush Shaleh (para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) adalah haram. Telah disebutkan riwayat dari Ibnu Abbas -- radliyallahu ‘anhuma -- dari Nabi -- shallallahu’alaihi wasallam --:

من قال في القرأن برأيه او بما لايعلم فليتبوأ مقعده من النار

“Barangsiapa yang berbicara (menafsirkan) tentang Al-Quran dengan pemikirannya tentang apa yang dia tidak memiliki pengetahuan, maka bersiaplah menyediakan tempat duduknya di Neraka.” (Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi, An Nasa’i dan Abu Daud, At Tirmidzi mengatakan : hadis hasan).
Al-Qiyadah Al-Islamiyyah sebagai sebuah gerakan dengan pemahaman keagamaan yang sesat, telah menerbitkan sebuah tulisan dengan judul “Tafsir wa Ta’wil”. Tulisan setebal 97 hal + vi disertai dengan satu halaman berisi ikrar yang menjadi pegangan jama’ah Al-Qiyadah Al-Islamiyyah.
Sebagai gerakan keagamaan yang menganut keyakinan datangnya seorang Rasul Allah yang bernama Al-Masih Al-Maw’ud pada masa sekarang ini, mereka melakukan berbagai bentuk penafsiran terhadap Al-Quran dengan tanpa kaedah-kaedah penafsiran yang dibenarkan berdasarkan syari’at, ayat-ayat Al-Quran dipelintir sedemikian rupa agar bisa digunakan sebagai dalil bagi pemahaman-pemahamannya yang sesat. Sebagai contoh, bagaimana mereka menafsirkan ayat:
فَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِ أَنِ اصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا

“Lalu Kami wahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera di bawah penilikan dan petunjuk Kami.” (QS al-Mu’minûn, [23]:27)
Maka, mereka katakan bahwa kapal adalah amtsal (permisalan, ed) dari qiyadah, yaitu sarana organisasi dakwah yang dikendalikan oleh Nuh sebagai nakoda. Ahli Nuh adalah orang-orang mukmin yang beserta beliau, sedangkan binatang ternak yang dimasukkan berpasang-pasangan adalah perumpamaan dari umat yang mengikuti beliau. Lautan yang dimaksud adalah bangsa Nuh yang musyrik itu….. (lihat tafsir wa ta’wil hal. 43).
Demikianlah upaya mereka mempermainkan Al-Quran guna kepentingan gerakan sesatnya. Sungguh, seandainya Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah -- shallallahu ‘alihi wasallam -- boleh ditafsirkan secara bebas oleh setiap orang, tanpa mengindahkan kaedah-kaedah penafsiran sebagaiman dipahami salaful ummah, maka akan jadi apa Islam yang mulia itu ditengah pemeluknya? Al-Qiyadah Al-Islamiyyah hanya sebuah sample dari sekian banyak aliran/paham yang melecehkan Al-Quran dengan cara melakukan interpretasi atau tafsir yang tidak menggunakan ketentuan yang selaras dengan pemahaman yang benar.
Buku Tafsir wa Ta’wil ini berusaha menyeret pembaca kepada pola pikir sesat melalui penafsiran ayat-ayat mutasyabihat menurut versi Al-Qiyadah Al-Islamiyyah sebagaimana diungkapkan pada hal. iii poin 4 : “Kegagalan orang-orang memahami Al-Quran adalah mengabaikan gaya bahasa Al-Quran yang menggunakan gaya bahasa alegoris. Bahasa simbol untuk menjelaskan suatu fenomena yang abstrak.”
Mutasyabihat dianggap sebagai majazi sebagaimana pada hal. 39 alenia terakhir.
Penyimpangan-penyimpangan yang ditemukan dalam buku ini adalah sebagai berikut:
A. Secara garis besar ayat-ayat mutasyabihat (menurut versi mereka) ialah yang berbicara tentang Hari Kiamat dan Neraka dianggap simbol dari hancurnya struktur tentang penentang Nabi dan Rasul, dan pada masa Rasulullah hancurnya kekuasaan jahiliyyah Quraisy yang dihancurkan oleh Rasul dan para shahabatnya.
Lihat:
1. Tafsir Al-Haqqah:16;21
2. Tafsir ayat 6 dari surat Al-Ma’arij hal 30.
3. Tafsir ayat 17 dari surat Al-Muzammil hal. 62.
B. Pengelompokan manusia menjadi tiga golongan:
1. Ashabul A’raf adalah Assabiqunal awwalun.
2. Ashabul Yamin adalah golongan anshar.
3. Ashabul Syimal golongan oposisi yang menentang Rasul, lihat hal. 24.
C. Penafsiran Malaikat yang memikul ‘Arsy pada surat Al-Haqqah ayat 17 diartikan para ro’in atau mas’ul yang telah tersusun dalam tujuh tingkatan struktur serta kekuasaan massa yang ada d ibumi. Lihat hal. 24.
D. Penafsiran (man fis samâ’/siapakah yang ada di langit) dalam surat Al-Mulk ayat 16 diartikan benda-benda angkasa dan pada ayat 17 diartikan yang menguasai langit, menunjukkan bahwa mereka tidak tahu sifat ‘uluw/ketinggian Allah atau bahkan mereka mengingkarinya.
E. Penafsiran (As-Sâq/betis) pada surat Al-Qalam ayat 42, dengan dampak dari perasaan takut ketika menghadapi hukuman atau adzab, lihat hal 18, ini menunjukkan bahwa mereka tidak tahu bahwa Allah memiliki betis atau mengingkarinya.
F. Kapal Nuh adalah bahasa mutasyabihat dari Qiyadah yaitu sarana organisasi dakwah yang dikendalikan oleh Nuh sebagai nakoda ….lihat hal. 42 dan 43.
G. Mengingkari hakikat jin dan diartikan sebagai manusia jin yaitu jenis manusia yang hidupnya tertutup dari pergaulan manusia biasa, yaitu manusia yang mamiliki kemampuan berpikir dan berteknologi yang selalu menjadi pemimpin dalam masyarakat manusia. Golongan jin yang dimaksud pada surat Al-Jin adalah orang-orang Nasrani yang shaleh yang berasal dari utara Arab, lihat tafsir surat Al-Jin hal.16… dst. Dan raja Habsyi yang bernama Negus termasuk golongan manusia jin yang dimaksud dalam Al-Quran dalam surat Al-Jin, lihat hal. 52.
H. Mengingkari pengambilan persaksian dari anak-anak Adam di alam ruh atas rububiyah Allah yang merupakan penafsiran surat Al-A’raf ayat 173, lihat tafsir surat Al-Insan hal. 85.
I. Menyatakan bahwa penciptaan Adam dan Isa bin Maryam adalah unsur-unsur mineral menjadi kromosom yang kemudian diproses menjadi sperma, lihat hal. 85.
Dan masih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan yang lainnya.
Selanjutnya melalui buletin ini kami mengimbau kepada seluruh kaum muslimin di mana saja berada untuk senantiasa waspada dan mewaspadai gerakan sesat ini yang menamakan dirinya dengan Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, diantara ciri-ciri mereka ialah tidak menegakkan shalat lima waktu, berbicara agama dengan dengan menggunakan logika, mencampuradukan antara Islam dengan Kristen,… dll.

Selasa, 23 Oktober 2007

UKHUWAH

UKHUWAH

Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai "persaudaraan". terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti "memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara.
Boleh jadi perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara. sehingga makna tersebut kemudian berkembang. dan pada akhimya ukhuwah diartikan sebagai "setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain. baik persamaan keturunan. dari segi ibu, bapak. atau keduanya. maupun dari segi persusuan" Secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur seperti suku. agama. profesi. dan perasaan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwah digunakan juga dengan arti teman akrab atau sahabat.
Masyarakat Muslim mengenal istilah ukhuwwah Islamiyyah istilah ini perlu didudukkan maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu ter- lebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiah dalam istilah di atas. Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna "per saudaraan yang dijalin oleh sesama Muslim", atau dengan kata lain, "persaudaraan antarsesama Muslim", sehingga dengan demikian, kata "Islamiah" dijadikan pelaku ukhuwah itu.
Pemahaman ini kurang tepat. Kata Islamiah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa. sehingga ukhuwah Islamiah berarti "persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam." Paling tidak. ada dua alasan untuk mendukung pendapat ini.
Pertama. Al-Quran dan hadis memperkenalkan bermacam- macam persaudaraan. seperti yang akan diuraikan selanjutnya.
Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa Arab. kata sifat selalu harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika yang disifati berbentuk indeftnitif maupun feminin. kata sifatnya pun harus demikian. Ini terlihat secara jelas pada saat kita berkata ukhuwwah Islamiyyah dan Al-Ukhuwwah Al-Islamiyyah.

TEKSTUALISASI DAN KONTEKSTUALISASI PEMAHAMAN ATAS TEKS

TEKSTUALISASI DAN KONTEKSTUALISASI
PEMAHAMAN ATAS TEKS

A. Pendahuluan

Kekuatan persyarikatan Muhammadiyah antara lain terletak pada kemampuan melakukan harmonisasi antara gerakan tajdid dengan mengandalkan paradigma kontekstualitas dan pemurnian pemahaman terhadap Islam dengan bertumpu pada paradigma tekstualitas. Upaya harmonisasi tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi, memelihara, dan mentaati batas-batas kedua kawasan gerak tersebut dengan cermat. Tentu saja upaya demikian merupakan keniscayaan yang harus dilakukan secara berkelanjutan, karena pada tingkat detilnya belum tergarap dengan baik, termasuk tekstualisasi dan kontekstualisasi teks-teks al-Quran maupun hadis dalam bidang aqidah, ibadah, mu’amalah dan akhlaq.

B. Pengertian Kontekstualitas dan Tekstualitas

Dalam bahasa Inggris kata context antara lain berarti circumtances in which an event occurs – lingkungan di mana suatu peristiwa berlangsung-, sedang kata contextual diartikan sebagai according to the context – menurut atau sesuai dengan konteks (Hornby, 1979 : 130). Memahami teks-teks Islam secara kontekstual, artinya memahaminya menurut atau sesuai dengan lingkungan sosiohistoris. Bagaimana kemudian ketika lingkungan sosiohistoris tersebut berubah? Dalam hal ini tentu saja harus diadakan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan dan zaman barunya. Upaya demikian disebut dengan kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam. Berbeda dengan ini, memahami teks-teks Islam tanpa mengaitkannya dengan lingkungan keberadaannya, semata-mata dengan melihat teks disebut memahaminya secara tekstual. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

Pertama, Memahami teks-teks Islam untuk menemukan dan mengidentifikasikan antara legas spesifiknya dan moral idealnya dengan cara melihat kaitannya dengan melihat kaitannya dengan konteks lingkungan awalnya yaitu Makkah, Madinah dan sekitarnya pada saat teks-teks tersebut turun.

Kedua, Memahami lingkungan baru yang padanya teks-teks Islam akan diaplikasikan, sekaligus membandingkannya dengan lingkungan awalnya untuk menemukan perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaannya.

Ketiga, Jika ternyata perbedaan-perbedaannya bersifat lebih esensial daripada persamaan-persamaannya, dilakukan penyesuaian pada legal- spesifik teks-teks tersebut dengan konteks lingkungan barunya sambil tetap berpegang pada moral idealnya. Namun jika ternyata sebaliknya, diaplikasikan nash-nash tersebut tanpa diperlukan penyesuaian-penyesuaian dengan lingkungan barunya (bandingkan dengan Rahman, 1982 : 5 – 7 )

Masalahnya ialah apakah kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam tersebut absah ? Jika absah, sampai di mana batas-batasnya serta apa signifikan bagi eksistensi pemahaman tersebut?

C. Dasar-dasar Kontekstualisasi Teks-teks Islam

Ada beberapa alasan mengapa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam tersebut menjadi niscaya, sekaligus absah. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Saw bukan lingkungan yang sama sekali kosong dari pranata-pranata kultural yang tidak dinafikan semuanya oleh kehadiran-kehadiran nash-nash (teks-teks) yang menyebabkan sebagianya bersifat tipikal, pranata dhihar, misalnya dengan ungkapan sebagai berikut: أنت علي كظهر أمي – bagiku engkau bak punggung ibuku – adalah sangat tipikal Arab.
2. Nabi Saw sendiri dalam beberapa kasus telah memberikan hukum secara berlawanan satu sama lain atas dasar adanya konteks yang berbeda-beda, misalnya ziarah kubur, yang semula dilarang kemudian diperintahkan (riwayat Muslim).
3. Di masa Umar bin Khatab talak tiga sekali ucap yang semula jatuh satu, diputuskan jatuh tiga adalah cerminan adanya kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam.
4. Implementasi pemahaman terhadap teks-teks Islam secara tekstual seringkali tidak sejalan dengan kemaslahatan yang justru menjadi reason d’tre kehadiran Islam itu sendiri.
5. Pemahaman secara membabibuta terhadap nash secara tekstual berarti mengingkari adanya hukum perubahan dan keanekaragaman yang justru diintrodusir oleh nash sendiri.
6. Pemahaman secara kontekstual yang merupakan jalan menemukan moral ideal nash berguna untu mengatasi keterbatasan teks berhadapan dengan kontinuitas perubahan ketika dilakukan perumusan legal spesifik yang baru.
7. Penghargaan terhadap aktualisasi intelektual manusia lebih dimungkinkanpada upaya pemahan teks-teks Islam secara kontekstual dibanding secara tekstual yang justru menjadi trade mark dari Islam itu sendiri yang dalam ungkapan Ridla (1935 : 211) berbunyi: الاٍسلام دين العقل و الفكر – Islam itu agama rasional dan intelektual.
8. Kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam mengandung makna bahwa masyarakat di mana saja dan kapan saja berada, selalu dipandang positif optimis oleh Islam yang dibuktikan dengan sikap khasnya yaitu akomodatif terhadap pranata sosial yang ada (yang mengandung kemaslahatan) yang dirumuskan dengan kaidah: العادة محكمة - Tradisi itu dipandang sebagai sesuatu yang legal (Suyuti, Tanpa tahun, : 89).
9. Keyakinan bahwa teks-teks Islam adalah petunjuk terakhir dari langit yang berlaku spanjang masa, mengandung makna bahwa di dalam teksnya yang terbatas itu memiliki dinamika internal yang sangat kaya, yang harus terus menerus dilakukan eksternalisasi melalui unterpretasi yang tepat. Jika interpretasi dilakukan secara tekstual, maka dinamika internalnya tidak dapat teraktualisasikan secara optimal. Aktualisasi secara optimal hanya dimungkinkan melalui interpretasi kontekstual terus menerus.

Dengan alasan demikian, tampak bahwa kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam itu memang merupakan keniscayaan dan absah.

Keberatan terhadap kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam sering diajukan dengan menyatakan jika pemahaman tersebut bersifat kontektual tentu tidak universal, dan pada gilirannya nanti cetak biru (blue print) Islam itu tidak akan ada lagi bekasnya. Keberatan semacam itu tidak seluruhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Benar, jika kontekstualisasi itu diberlakukan terhadap keseluruhan pemahaman teks-teks Islam, maka Islam akan kehilangan cetak birunya. Salah, karena kontekstualisasi itu tidak diberlakukan pada semua aspek pemahaman teks-teks Islam, ada batas-batas yang harus dijaga. Batas-batas ini adalah sebagai berikut :

Pertama, Untuk bidang ibdah murni (Ibadah Mahdlah) dan aqidah tidak ada kontekstualisasi, dalam arti penambahan ataupun pengurangan untuk kepoentingan penyesuaian dalam konteks lingkungan tertentu, karena yang demikian berarti membuat bid’ah, khurafat dan tahayyul yang jelas-jelas dilarang dalam Islam.

Kedua, Untuk bidang di luar ibadah murni dan aqidah, kontekstualisasi dilakukan dengan tetap berpegang pada moral ideal nash, untuk selanjutnya dirumuskan legal spesifik yang baru yang menggantikan legal-spesifik lamanya.

Dengan batas-batas seperti itu, tampak bahwa teks-teks Islam tidak akan kehilangan cetak birunya yang terletak pada norma-norma bidang ibadah murni dan aqidahnya serta terletak pada moral ideal bidang di luar keduanya. Demikian pula pemahaman teks-teks Islam tidak akan kehilangan sifat universalnya, karena tetap terpeliharanya cetak biru tersebut yang memang bersifat universal.

Signifikansi kontekstualisasi pemahaman teks-teks Islam adalah jelas yaitu agar interpretasi tersebut tetap eksis, tetap sesuai dengan perkembangan dan perubahan sosial, sehingga tetap memiliki elan vital dalam menjawab persoalan-persoalan aktual yang muncul dalam era globalisasi dewasa ini.

D. Kontekstualisasi Hadis-hadis Bidang Ibadah

Para ahli hadis membuka pintu yang amat lebar bagi penolakan terhadap hadis itu sendiri, ketika mereka menyatakan bahwa menolak suatu hadis masyhur tidak menyebabkan kekufuran (al- Khathib, TTh : 302), apalagi ahad padahal sebagian besar hadis berstatus masyhur dan ahad. Kekufuran baru terjadi jika penolakan itu ditujukan pada hadis mutawattir, yang jumlahnya amat sedikit itu. Pintu itu juga dibuka sendiri oleh Nabi Saw ketika beliau mengajukan pembelaan diri terhadap anjuran untuk tidak perlu mengawinkan bunga kurma yang kemudian keliru dengan pernyataannya Kalian lebih tahu urusan duniawi kalian. Dengan demikian seluruh hadis yang berkaitan dengan keduniawian, dapat dilakukan penolakan, jika didapat pengetahuan yang berlawanan yang lebih akurat tentangnya. Berdasarkan hal demikian, persoalan kontekstualisasi terhadap hadis merupakan persoalan yang lebih ringan daripada penolakan terhadap hadis itu sendiri, dalam arti ditolak saja boleh apalagi sekadar dikontekstualisasikan dengan realitas obyektif kekinian dan kedisinian.

Terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan bidang ibadah, kontekstualisasi hanya boleh dilakukan berkaitan dengan :

1. Aspek teknik, sepanjang teknik dimaksud bukan bagian dari ibadah itu sendiri. Sekedar contoh adalah kontekstualisasi syahadatul hilal dengan menggunakan ilmu falak; sebagai alternatif lain dari teknik ru’yatul hilal. Demikain pula penggunaan sound system untuk keperluan teknik pelaksanaan khutbah, adalah termasuk kontekstualisasi teks-teks hadis tentang khutbah Rasulullah Saw. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan sikat gigi sebagai alternatif dari siwak, penentuan waktu sholat dengan jam, bukan dengan melihat matahari.
2. Kepentingan substitusi, seperti zakat fitri dengan beras di Indonesia, menggantikan kurma atau gandum seperti ketentuan hadis.
3. Kepentingan pengembangan karena tuntutan kondisi obyektif, misalnya membagikan daging kurban dalam bentuk telah diolah atau telah matang, walaupun hal ini berbeda dengan tuntunan hadis yang ada.
4. Penghindaran terhadap ketimpangan pelaksanaan suatu ibadah terkait dengan konteks tertentu, seperti ketentuan nisab komoditas pertanian (75 kg) di Indonesia dengan kewajiban zakat 5 sampai 10 persen, terasa adanya ketidakadilan dibanding dengan nisab dan persentase zakat yang lain.
5. Pemahaman terhadap ibadah sesuai dengan konteks perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan filsafat.

Berdasarkan hal di atas berikut dirumuskan kaidah-kaidah kontekstualisasi hadis bidang ibadah :

1. Jika suatu teknik bukan merupakan bagian dari ibadah, maka kontekstualisasi dapat dilakukan untuk kepentingan efektifitas.
2. Jika tekstualisasi diterapkan, ternyata tidak dapat mencapai tujuan, maka kontekstualisasi dapat dilakukan demi tercapainya tujuan tersebut.
3. Jika kontekstualisasi lebih menghasilkan tujuan suatu ibadah daripada tekstualisasi, maka kontekstualisasi dapat dilakukan.
4. Jika dapat dipahami hal-hal yang berkaitan dengan ibadah merupakan urusan keduniawian, maka kontekstualisasi dapat dilakukan.
5. Untuk kepentingan kedalaman pemahaman suatu ibadah, kontekstualisasi legitimatis dengan ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat dapat dilakukan.

E. Kontekstualisasi Hadis-hadis Bidang Aqidah

Kontekstualisasi hadis-hadis aqidah dapat dilakukan semata-mata dalam hal :

1. Pemberian argumen ilmiah dan atau filosofis untuk mendapatkan kepuasan intelektual, disamping intuitif imani.
2. Proporsionalisasi pemahaman, misalnya keyakinan bahwa Nabi Muhammad Saw adalah nabi terakhir, adalah dalam konteks bumi kita ini, bukan dibumi yang lain.
3. Kepentingan penafsiran untuk perluasan pemahaman, misalnya hadis-hadis tentang isra’ mi’raj, ditafsirkan dengan mengkontekstualisasikan pada ilmu pengetahuan, teknologi dan filsafat.

F. Penutup

Berdasarkan paparan diatas disimpulkan bahwa oleh karena cetak biru Islam itu terletak pada ibadah murni dan aqidahnya, maka tekstualisasi dilakukan untuk memelihara dari segala bid’ah, khurafat, dan tahayyul. Sekalipun demikian, secara terbatas terdapat aspek-aspek yang berkaitan dengan keduanya yang memerlukan kontekstualisasi.


BAHAN BACAAN:

Bukhari, Muhammad bin Isma’il al. Tanpa Tahun. Shahih al-Bukhariy. Tanpa Tempat: al-Sya’b.

Buthi, Muhammad Sa’id Ramadhan. 1977. Dlawabith al-Mashlahah fi al-Syari’ah al-Islam-iyyah. Bairut: Muassasah al-Risalah.

Coulson, Noel J. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago and London: The University of Chicago Press.

------------. 1964. A History of Islamic Law. Edinburgh: The University Press.

Departemen Agama RI. 1977. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir Al-Qur’an.

Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. Tanpa Tahun. al-Mushtasyfa. Jilid I. Tanpa Tempat: al-Amiriyah.

Hassan, Husain Hamid. 1971. Nadhariyyah al-Mashlahah fi al-Fiqh al-Islamiy. Bairut: Dar al-Nahdlah al-‘Arabiyah.

Jauziyah, Ibn Qayyim al. 1973. A’lam al-Muwaqqi’in. Jilid III. Bairut: Dar al-Jail.

Khatib, Muhammad ‘Ajjaj al-. 1975. Ushul al-Hadis, ‘Ulumuh wa Musthalahuh. Bairut: Dar al- Fikr.

Khayyath, ‘Abd al ‘Aziz. 1977. Nadhariyyah al-‘Urf. Omman: Maktabah al-Aqsha.

Muslim. Tanpa Tahun. al-Jami’ al-Shahih. Jilid IV. Mesir: al-Babi al-Halabi.

Rahman, Fazlur. 1982. Islam and Modernity: Transformation of and Intellectual Tradition. Chicago and London: The University of Chicago Press.

-----------. 1986. “Interpreting the Qur’an” dalam Inquiry. Mei 1986.

Ridla, Muhammad Rasyid. 1935. al- Wahy al-Muhammadiy. Mesir: Mathba’ah al-Manar.

Suyuthi, Jalal al-Din al. Tanpa tahun. al-Asybah wa al-Nadha-ir. Mesir: al-Babi al-Halabi.

Voll, John Obert. 1982. Islam: Continuity and Change in the Modern World. Colorado: Westview Press.

Yamani, Ahmad Zaki. 1970. al-Syariah al-Khalidah wa Musykilah al-‘Ashr. Saudi: al-Dar al-Sa’udiyyah li al-Nasy wa al-Tauzi’.

Zahrah, Muhammad Abu. 1974. 1974. al-‘Uqubah. Tanpa Tempat: Dar al-Fikr al-‘Arabiy.

-------------. Tanpa Tahun. Ushul al-Fiqh. Tanpa Tempat: Dar al-Fikr.