Minggu, 24 Agustus 2008


Pada dasarnya, hukum MLM ditentukan oleh bentuk muamalatnya. Jika muamalat yang terkandung di dalamnya adalah muamalat yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka absahlah MLM tersebut. Namun, jika muamalatnya bertentangan dengan syariat Islam, maka haramlah MLM tersebut.
Pada faktanya kebanyakan MLM melakukan dua muamalat yang diharamkan di dalam Islam; yakni, (1) mengambil prosentase yang bukan haknya (makelar di atas makelar), dan (2) dua aqad dalam satu aqad.

Mengambil Prosentase Yang Bukan Haknya (makelar di atas makelar)

Yang dimaksud makelar di atas makelar adalah jika seorang makelar menarik atau mengambil prosentase keuntungan dari makelar yang lain. Sebagai contoh, Ami adalah makelar dari Budi (pemilik rumah) untuk menjualkan sebuah rumah. Budi mengatakan, bahwa rumah tersebut dijual seharga 100 juta, dan Amir sebagai makelar akan memperoleh komisi sebesar 10% dari penjualan. Kemudian, Amir bertemu dengan Amar sebagai makelar yang lain. Amir berkata kepada Amar, “Jika kamu bisa menjualkan rumah Budi, maka kamu mendapatkan prosentase 10%, dan saya mendapatkan komisi 5% dari kamu.” Komisi yang diambil Amir dari Amar sesungguhnya bukan komisi yang dibenarkan dalam syariat. Sebab, Amir bukanlah pemilik rumah, dan juga bukan pembeli rumah. Oleh karena itu, ia tidak boleh menetapkan ketetapan apapun, atau membuat perjanjian apapun dengan makelar yang lain, yakni Amar.

Sesungguhnya, makelar hanya berhubungan dengan pemilik barang (shahib al-mâl), atau pembeli barang. Ia tidak boleh berhubungan dengan makelar yang lain dalam hal menarik keuntungan, dan komisi.

Akan tetapi, jika Amir mengajak Amar untuk bekerja sama dalam hal menjualkan rumah, kemudian komisi dari Budi sebesar 10% dibagi diantara keduanya, maka praktek semacam ini dibolehkan di dalam Islam.

Kasus makelar di atas makelar tersebut, juga terwajahkan pada MLM. Di dalam MLM, jika seorang berhasil mendapat downline, maka ia juga akan mendapatkan prosentase keuntungan dari penjualan ataupun pembelian yang dilakukan oleh downline tersebut hingga downline ke bawahnya, dan seterusnya. Padahal, orang tersebut tidak berhak mendapatkan prosentase dari downlinenya. Muamalat semacam ini terkategori mengambil prosentase yang bukan menjadi haknya (makelar di atas makelar). Praktek semacam ini hukumnya adalah haram.

Jika praktek semacam ini telah lazim dan menjadi sistem standar bagi MLM, maka kita bisa menyatakan bahwa semua MLM pasti haramnya. Sebab, di dalamnya terjadi aktivitas pengambilan sesuatu yang bukan menjadi haknya. Padahal, prinsip utama di dalam Islam adalah melarang pengambilan sesuatu yang bukan menjadi hak atau bagiannya.

Namun, jika seorang downline menghadiahkan (menghibahkan) sebagian keuntungan yang diperolehnya kepada orang lain (dihadiahkan kepada up-line-nya), maka hal ini tidaklah menyalahi hukum syariat. Hanya saja, suatu transaksi disebut hibah, jika transaksi tersebut bukan merupakan syarat atas transaksi lainnya; dilakukan secara sukarela tanpa paksaan, dan tidak diiringi dengan kompensasi lain, baik kompensasi yang berujud harta maupun jasa. Hadiah itu harus bebas dari adanya kompensasi, syarat, dan paksaan (aturan).

Dalam kasus MLM, tidak bisa dinyatakan; komisi yang diambil dari downline-downline dilakukan secara suka rela dan termasuk dalam hibah. Lalu, mereka menyatakan, dalam kondisi semacam ini, pengambilan komisi dari downline tersebut bukan termasuk perkara yang dilarang. Tidak bisa dinyatakan seperti itu, sebab, sistem MLM-lah yang menyebabkan diambilnya prosentase dari downline, bukan karena kerelaan dan inisiatif mandiri dari downline tersebut. Dengan kata lain, sistem MLM-lah yang menyebabkan seseorang boleh mengambil prosentase dari downlinenya melalui sebuah mekanisme yang telah ditetapkan oleh perusahaan, bukan karena hibah dari sang downline. Kenyataan ini diperkuat dengan adanya fakta, bahwa kebanyakan downline tidak mengetahui siapa yang menjadi upline-nya hingga ke atas. Jika seorang anggota MLM berhasil menjual barang maupun berhasil menggaet downline yang lain, maka secara otomatis upline-uplinenya berhak mendapatkan prosentase atas penjualannya dan keberhasilannya menggaet downline. Padahal, prosentase yang didapatkan upline dari downline termasuk bentuk penyerobotan atas hak. Jadi, permasalahannya terletak pada sistem MLM yang telah memaksa siapa saja yang terlibat di dalamnya untuk melakukan pengambilan sesuatu yang bukan haknya, bukan pada kerelaan atau keridloan downline-downlinenya atas prosentase yang diambil perusahaan yang kemudian diberikan kepada upline-nya.

Pada dasarnya, aqad samsarah (makelaran) adalah aqad yang melibatkan seorang makelar dengan pemilik barang (shahib al-mâl); atau pembeli barang. Jika pemilik barang meminta seseorang untuk menjualkan barangnya dengan komisi tertentu, maka ini adalah makelaran yang sah. Demikian pula jika seorang pembeli barang meminta seseorang untuk mencarikan barang tertentu dengan komisi tertentu, maka makelaran seperti ini juga absah menurut syara’.
Seseorang yang menjadi makelar pihak pembeli tidak boleh menerima komisi dari pihak penjual. Sebab, ia berkedudukan sebagai penghubung dari pihak pembeli saja. Jika seseoang menjadi makelar dari pihak penjual, maka ia dilarang mengambil keuntungan dari selisih harga yang diberikan oleh pembeli. Sebab, keuntungan tersebut adalah hak dari pihak penjual, bukan haknya, kecuali jika penjual mengijinkannya.

Seorang makelar dari pihak penjual tidak boleh menerima komisi —bukan selisih harga penjualan— dari pihak pembeli apapun bentuknya, meskipun pihak penjual merelakannya. Sebab, ia adalah penghubung dari pihak penjual, bukan dari pihak pembeli.
Pada kasus MLM, seorang up-line yang berposisi sebagai makelar, akan mendapatkan komisi atas pembelian yang dilakukan oleh downline-nya (yang juga makelar). Ini menunjukkan bahwa upline tersebut (dalam posisi sebagai makelar) mendapatkan komisi (prosentase) dari pembeli (yakni downline yang sekaligus menjadi makelar) pula. Praktek semacam ini tentunya adalah praktek yang bertentangan dengan syariat Islam.


Dua Aqad Dalam Satu Aqad

Dua aqad dalam satu aqad (‘aqdaain fi ‘aqd), atau “shafqatain bi shafqah” adalah dua aqad yang terkumpul menjadi satu dalam sebuah muamalah. Rasulullah saw telah melarang kaum muslim melakukan dua aqad dalam sebuah transaksi. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra, bahwasanya ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِي صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ
“Rasulullah Saw melarang dua aqad dalam sebuah aqad jual beli.” [HR. Imam Ahmad].
Di dalam riwayat lain dituturkan, bahwasanya Abu Hurairah berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
“Rasulullah Saw telah melarang dua aqad jual beli dalam satu aqad jual beli.” [HR. at-Turmidzi].
Imam Nasa’i juga mengetengahkan sebuah riwayat dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
“Rasulullah Saw telah melarang dua aqad jual beli dalam satu aqad jual beli.” [HR. Imam Nasa’i].
Dalam riwayat Abu Dawud dituturkan, bahwasanya Abu Hurairah berkata: Rasulullah Saw bersabda:

مَنْ بَاعَ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أَوْ الرِّبَا
“Barangsiapa berjual beli dengan dua aqad jual beli dalam satu aqad jual beli, maka ia berhak mendapatkan kerugian keduanya atau riba.” [HR. Abu Dawud].

Para fuqaha menafsirkan dua aqad dalam sebuah aqad jual beli, atau dua harga dalam sebuah aqad jual beli sebagai berikut:

Pertama, jika seseorang mengatakan orang lain, “Aku jual baju ini kepadamu seharga sepuluh dirham jika kontan, dan dua puluh dirham jika kredit.” Kemudian kedua orang tersebut berpisah dan belum ada menyepakati salah satu model jual beli tersebut. Para ‘ulama menyatakan bahwa jual beli semacam ini adalah fasid. Sebab, keduanya tidak mengetahui (belum jelas benar) harganya.

Imam asy-Syaukani menyatakan, “Adapun ‘illat diharamkannya dua aqad dalam satu aqad jual beli adalah tidak disepakatinya salah satu (aqad) harga dari dua (aqad) harga tersebut.” (Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, bab al-Bai’). Akan tetapi, jika kedua orang tersebut menyepakati salah satu aqad (harga) dari dua aqad (harga) jual beli tersebut; misalnya pembeli menerima harga baju tersebut 20 dirham secara kredit; sebelum keduanya berpisah, maka sahlah jual beli tersebut. Sebab, harga baju itu telah ditetapkan, dan kedua belah pihak mengetahui dengan jelas (tidak majhul) harga dari baju tersebut, serta bentuk transaksinya.

Kedua, Imam Syafi’i, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, menafsirkan dua aqad dalam sebuah aqad jual beli sebagai berikut; jika seseorang berkata kepada orang lain, “Saya jual rumahku kepadamu dengan harga sekian, akan tetapi engkau harus menjual anak laki-lakimu kepadaku. Jika kamu menjual anak laki-lakimu, maka aku serahkan rumah ini kepadamu.”

Muamalat semacam ini berbeda dengan jual beli dengan harga yang tidak diketahui. Namun demikian, muamalat semacam ini adalah bathil. Sebab, ia termasuk dalam jual beli bersyarat. Sedangkan jual beli bersyarat bisa menyebabkan majhulnya harga (tidak diketahuinya harga secara pasti). Adapun, ‘illat pengharaman transaksi seperti ini (jual beli bersyarat), menurut Imam asy-Syaukani, adalah dikaitkannya jual beli dengan syarat untuk masa depan.

Ketiga, penafsiran ketiga mengenai “shafqatain fi shafqah” adalah jika seseorang melakukan salaf (pemesanan barang [inden]) setakaran gandum dalam jangka waktu satu bulan, dengan harga 1 dinar. Ketika batas waktu telah tiba, dan pemesan meminta gandum yang dipesannya, orang yang dipesani barang berkata, “Juallah gandum yang seharusnya saya berikan kepada anda, dengan dua takar gandum, tapi jangkanya ditambah dua bulan.” Jual beli semacam ini adalah fasid, sebab aqad yang kedua telah masuk pada aqad yang pertama.(Imam Mubarakfuri, Tuhfat al-Ahwadziy, bab al-bai’ain fi al-bai’ah).

Inilah beberapa tafsir mengenai al-bai’ain fi al-bai’ah (dua aqad jual beli dalam satu aqad jual beli); atau yang dikenal dengan al-‘aqdain fi al-‘aqd, atau al-shafqatain fi al-shafqah.

Salah satu penafsiran mengenai shafqatain fi shafqah adalah dikaitkannya jual beli dengan syarat-syarat tertentu yang bisa membatalkan sebuah transaksi jual beli. Oleh karena itu, bila sebuah transaksi jual beli dikaitkan dengan syarat-syarat fasid, maka transaksi tersebut terkategori dalam “dua aqad dalam sebuah aqad”. Transaksi semacam ini terkategori transaksi yang diharamkan. Namun, jika suatu transaksi dikaitkan dengan syarat-syarat yang lazim, maka pensyaratan atas transaksi tersebut bukanlah perkara yang haram. Dengan kata lain, transaksi tersebut tidak terkategori shafqatain fi shafqah. Untuk itu, kita harus memahami terlebih dahulu syarat-syarat yang lazim dan syarat-syarat yang tidak lazim (syarat fasid), agar kita bisa membedakan, apakah persyaratan tersebut terkategori persyaratan yang bisa membatalkan jual beli atau tidak.

Para fuqaha mengklasifikasi syarat-syarat jual beli (transaksi) menjadi dua bagian. Pertama, syarat shahih lazim, dan kedua, syarat fasid.

Syarat Lazim

Shahih lazim adalah transaksi yang sesuai dengan tuntunan aqad. Syarat lazim terbagi menjadi tiga:

Syarat yang menjadi tuntutan jual beli. Syarat ini wajib dipenuhi, dan menjadi syarat sahnya sebuah transaksi. Misalnya, sahnya pertukaran adalah adanya pertukaran barang dengan barang; syarat sahnya jual beli adalah adanya pertukaran barang dan pelunasan pembayaran. Suci dari hadats dan najis merupakan syarat sahnya sholat, dan lain sebagainya.

Syarat yang berhubungan dengan kemashlahatan aqad. Misalnya, syarat penangguhan pembayaran atas transaksi tertentu. Jika seseorang mensyaratkan transaksi bisa berlangsung jika pembayaran dilakukan secara kredit, maka syarat semacam ini diperbolehkan. Contoh yang lain adalah, pensyaratan atas kriteria barang yang hendak ditransaksikan. Contohnya, seseorang mensyaratkan agar sapi yang hendak dibelinya adalah sapi jenis Benggala, dan berwarna putih. Syarat semacam ini diperbolehkan, karena termasuk syarat yang berhubungan dengan kepentingan aqad. Jika syarat-syarat tersebut dipenuhi, maka transkasi harus dilaksanakan. Namun, jika syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka pembeli berhak membatalkan aqad, dengan alasan tidak memenuhi syarat.

Syarat yang manfaatnya diketahui oleh penjual dan pembeli. Misalnya, jika transaksi jual beli rumah terjadi, maka penjual rumah boleh menempati rumah tersebut selama 1 atau 2 bulan sebelum diserahkan kepada pembeli. Syarat semacam ini tidaklah membatalkan transaksi jual beli tersebut, dan tidak terkategori dua aqad dalam satu aqad. Contoh yang lain, seorang mensyaratkan kepada penjual, agar barangnya dibawa atau ditempatkan di tempat tertentu, jika transaksi jual beli telah deal (disetujuiSyarat Fasid.
Syarat fasid ada beberapa kategori pula:
1. Syarat yang membatalkan aqad sejak dasarnya. Misalnya, seorang penjual berkata, “Aku jual kepadamu rumahku dengan syarat kamu harus menjual barangmu yang ini, atau kamu harus meminjami aku barang ini atau itu…” Syarat semacam ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, ““Tidak dihalalkan salaf (hutang) dengan penjualan, dan tidak pula ada dua syarat dalam satu jual beli.” [HR. at-Tirmidzi]. Contoh yang lain adalah, “Aku jual kepadamu barangku ini, dengan syarat engkau kawini anakku.”
2. Persyaratan yang meniadakan tuntutan aqad, tapi aqadnya tetap sah. Transaksi semacam ini batal, misalnya, jika disyaratkan pihak pembeli tidak boleh rugi pada saat menjual; atau penjual budak mensyaratkan agar loyalitas budak tersebut tetap berada di tangannya. Contoh lain adalah, penjual mensyaratkan kepada pembeli tidak boleh menjual barangnya, atau tidak boleh menghibahkannya; dan lain sebagainya.
3. Persyaratan yang tidak memvalidkan aqad. Syarat-syarat semacam ini biasanya dikaitkan dengan waktu yang akan datang. Misalnya, seorang penjual berkata, “Aku jual kepadamu barang ini, jika si fulan telah merelakannya, atau jika kamu menemuiku di tempat ini dan itu.”
4. Terdapatnya dua syarat dalam satu transaksi jual beli. Misalnya, pihak pembeli mensyaratkan agar yang memotong dan membawa kayu adalah penjualnya sendiri. Syarat semacam ini batal, berdasarkan sabda Rasulullah Saw, “Tidak dihalalkan salaf (utang) dan penjualan; serta dua syarat dalam satu transaksi jual beli.” [HR. at-Tirmidzi].
Inilah syarat-syarat yang tidak membatalkan aqad (syarat lazim) dan syarat yang bisa membatalkan aqad (syarat fasid).
Secara umum, jika seseorang masuk ke dalam jaringan MLM, maka ia diminta untuk mengisi sejumlah isian administratif, dan disyaratkan untuk melakukan pembelian dengan item dan harga tertentu. Selanjutnya, ia disyaratkan melakukan penjualan dengan cara mencari downline sebanyak-banyaknya. Jika ia berhasil menggaet downline maka ia akan mendapatkan komisi atas keberhasilannya mendapatkan downline, serta komisi atas pembelian (konsumsi) yang dilakukan oleh downline-nya atas barang yang diperjualbelikan dalam MLM tersebut. Demikian seterusnya, jika downline mendapatkan lagi downline berikutnya, maka ia akan mendapatkan komisi. Jika syarat-syarat ini dipenuhi, maka seseorang sah menjadi anggota MLM.
Kebanyakan MLM, memberikan komisi bagi upline dari pembelian yang dilakukan oleh downline-downlinenya hingga ke bawah; atau berasal dari penjualan yang dilakukan oleh upline. Jika downline-downline tersebut tidak aktif, alias tidak melakukan pembelian atas barang (konsumsi) atau penjualan barang, maka upline tidak mendapatkan komisi lagi. Begitu pula jika seorang berada pada posisi downline terakhir (berada pada posisi paling akhir dari rantai MLM), tentunya ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali jika ia sendiri melakukan konsumsi (membeli barang untuk dikonsumsi sendiri).
Dari fakta di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam MLM ada aktivitas mencari downline dengan komisi tertentu (makelaran), penjualan, dan konsumsi barang produk MLM.

Fakta Dua Aqad Dalam Satu Transaksi
Dalam transaksi penjualannya, kebanyakan MLM melakukan dua aktivitas berikut ini:
Penjualan oleh member perusahaan MLM kepada orang lain yang tidak mau terikat dengan syarat-syarat keanggotaan tertentu (orang yang tidak ingin menjadi member [anggota] MLM). Pada kasus ini, member hanya mendapatkan prosentase dari penjualan produk saja. Transaksi semacam ini bukanlah sesuatu yang terlarang di dalam Islam.
Penjualan oleh member kepada seseorang yang diikat dengan persyaratan tertentu. Pada kasus ini, seorang member MLM disyaratkan untuk membeli sekaligus menjadi makelar dalam mencari down line.
Fakta pengkaitan dan pensyaratan jual beli dengan makelaran (samsarah) semacam ini terlihat tatkala perusahaan tersebut menjual barang pada seseorang yang telah menjadi anggotanya, maka pembeli tersebut disyaratkan menjadi makelarnya dalam urusan mencari downline-downline. Pembeli yang sebenarnya juga makelar perusahaan MLM ini akan mendapatkan komisi dari transaksi jual beli dan makelaran yang dilakukannya. Dengan kata lain, MLM ini sesungguhnya sedang menjual barang kepada seseorang yang disyaratkan menjadi makelarnya.
Praktek semacam ini telah menggabungkan antara jual beli dengan makelaran; sehingga terkategori shafqatain fi shafqah yang diharamkan di dalam Islam. Rasulullah Saw bersabda, “Tidak dihalalkan salaf (hutang) dengan penjualan, dan tidak pula ada dua syarat dalam satu jual beli.” [HR. at-Tirmidzi].
Bathilnya transaksi yang ada di dalam perusahaan MLM tidak hanya berhubungan dengan makelar di atas makelar dan shafqatain bi al-shafqah, akan tetapi kadang-kadang juga berhubungan dengan harga penjualan yang terlalu tinggi (ghabn al-fâkhîs); kadang-kadang juga berhubungan dengan item barang yang dijual. Misalnya, ada sejumlah MLM yang menjual emas dengan sistem kredit. Padahal, penjualan emas dengan kredit dilarang di dalam Islam.

Ketidakjelasan Aqad
Pertanyaan penting yang harus diajukan terhadap pelaku bisnis MLM adalah, apakah status dirinya di dalam perusahaan MLM tersebut; pegawai, makelar, ataukah yang lain? Pasalnya, kejelasan status pelaku bisnis di dalam perusahaan MLM tersebut akan menentukan penetapan hukum terhadap muamalah dirinya di dalam perusahaan itu.
Jika seseorang berstatus sebagai pegawai di dalam perusahaan MLM tersebut, maka perusahaan MLM wajib menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai pihak pengontrak tenaga kerja; sedangkanpegawai tersebut wajib menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai pegawai. Diantara kewajiban perusahaan MLM terhadap pegawainya adalah memberikan sejumlah gaji kepada pegawainya sesuai dengan kesepakatan. Hanya saja kesepakatan tersebut tidak boleh melanggar ketentuan syariat. Misalnya dalam hal penetapan gaji, seorang pegawai tidak boleh dikontrak (dijadikan pegawai) dengan gaji (kompensasi) jika ia telah berhasil menjualkan sejumlah item barang dengan kuantitas sekian; atau setelah ia berhasil merekrut sekian orang. Kontrak kerja semacam ini bathil, sebab gaji yang diberikan kepada pegawai itu tidak jelas. Gaji harus disebutkan dengan sejelas-jelasnya.
Jika status seseorang di dalam perusahaan MLM adalah pegawai, maka waktu kerja, item pekerjaan, tempat bekerja, dan gajinya harus ditetapkan sejelas-jelasnya.
Namun, jika statusnya sebagai makelar; maka status hukum pekerjaan orang tersebut mengikuti hukum-hukum makelaran (samsarah), tidak mengikuti hukum-hukum ijarah (bekerja). Adapun hukum-hukum tentang makelaran sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya.
Sayangnya, kebanyakan orang yang terjun di dalam bisnis MLM, tidak memperjelas terlebih dahulu status dirinya dalam perusahaan tersebut, apakah pegawai, makelar, atau yang lainnya; lalu menimbangnya berdasarkan hukum syariat. Mereka berkecimpung di dalam perusahaan tersebut tanpa mengetahui terlebih dahulu ketentuan hukum Islam yang mengatur muamalat tersebut. Kebanyakan mereka melibatkan diri dalam MLM tanpa mengindahkan syariat Islam yang mengatur masalah itu. Padahal, berbuat sejalan dengan syariat Islam merupakan kewajiban asasi seorang Muslim.
Demikianlah, anda telah kami jelaskan hukum mengenai MLM secara rinci dan mendalam. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Tidak ada komentar: