Selasa, 15 Januari 2008

MURAQABATULLAH

MURÂQABATULLÂH

Keterjagaan dan keterasingan kita dari kehidupan dapat membuat pikiran kita kembali segar dan jernih. Inilah yang mesti kita cari, di ketika kita terasing dari keramaian dunia, kita kembali mengingat Allah. Dan, ketika hanya Allah yang tersisa dalam ingatan kita, kita kembali lagi ke tengah keramaian dengan membawa bekal dari Allah: “muraqâbah”. Ketika Allah bersama kita dan selalu setia menemani kita, mengawasi dan peduli. Dan kita pun menjadi selalu peduli untuk mengingat-Nya.

Praktik tasawuf yang sangat penting ialah “keterjagaan”. Kata Arabnya murâqabah. Ini dipraktikkan agar dapat menyaksikan dan menghaluskan keadaan diri sendiri. Dengan praktik murâqabah timbul kepekaan yang kian lama kian besar yang menghasilkan kemampuan untuk menyaksikan "pembukaan" (Ar.: “kasysyâf”) di dalam diri yang selama ini terhambat oleh “selubung” (Ar.: “hijâb”), karena hati manusia kotor dan terkadang menjadi sakit atau bahkan mati. Murâqabah yang terkonsentrasi dan maju terjadi dalam pengasingan diri (khalwat). Selama pengasingan, dan ketika "pembukaan" yang sesungguhnya terjadi, si pencari akan menerima kekosongan dan ketidakterbatasan waktu yang luas dalam dirinya. Ini merupakan “kulminasi” (puncak-pencapaian), boleh dikatakan, dari kesadaran diri dan keterjagaan diri, dan awal dari apa yang dipandang sebagai proses kebangunan gnostik (ma’rifah) atau pencerahan. Maksud dari semua ini ialah, bahwa orang itu sadar setiap waktu tentang keadaan di dalam batin yang tak terlukiskan, yang tak ada batasnya.
Mengawali Hidup dengan Pengasingan Diri (Khalwat)
Sering praktik khalwat dipadu dengan praktik spiritual lain yang ditetapkan selama empat puluh hari. Mengapa empat puluh hari? Dalam dunia alamiah, terdapat banyak hukum alam, sebagian di antaranya berjalan menurut siklus. Juga terdapat banyak hukum biologi, seperti hukum-hukum yang mengatur perkembangbiakan dan pemberian makanan, yang mengikuti suatu ritme tertentu dan siklus waktu. Dalam hal makanan ruhani atau rehabilitasi. ada pula tempo dan frekuensi optimum.
Dalam tradisi praktik khalwat sufi sering kita dapati waktu pengasingan diri ditetapkan oleh guru ruhani (Syaikh [Syekh], yang biasanya diwakili oleh para mursyid) bagi muridnya (sâlik), biasanya untuk jangka waktu empat puluh hari, atau sepuluh hari, atau tujuh atau tiga hari, dan sebagainya. Misalnya, untuk waktu khalwat selama bulan Ramadan, hendaknya seseorang menyendiri (berkhalwat) di mesjid sedikitnya selama tiga hari dan biasanya sepuluh hari.
Syekh sufi menyuruh seorang pencari untuk berkhalwat apabila tubuh, pikiran dan hatinya telah sepenuhnya siap untuk itu. Kata Arab untuk pengasingan diri ialah khalwah (khalwat) Begitu memasuki khalwat, tujuannya ialah-dengan cara dzikrullâh dan berjaga- untuk meninggalkan semua pikiran, dan melalui pemusatan pikiran ke satu titik mengalami kasadaran yang murni. Selama khalwatnya seorang murid, makannya harus diatur dengan cermat oleh syekh. Demikian pula, keadaan mental, emosi, dan ruhaninya diawasi. Pengasingan spiritual dan dzikrullâh tidak akan bermanfaat apabila si pencari tidak siap meninggalkan semua aspek kemakhlukkan. Salah satu bentuk pengasingan spiritual disebut ‘chilla’ yang artinya empat puluh, dan jangka waktunya empat puluh hari. Dikatakan bahwa bila seseorang telah siap untuk dikurung selama empat puluh hari, suatu terobosan atau pembukaan dapat tercapai lebih awal, sebelum genap empat puluh hari.
Jangka waktu khalwat yang disebutkan dalam al-Quran sehubungan dengan Nabi Musa a.s. adalah suatu janji karena Allah selama empat puluh hari (Q.S al-Baqarah [2]: 251),

“Mereka (tentara Thalut) mengalahkan tentara Jalut dengan izin Allah dan (dalam peperangan itu) Daud membunuh Jalut, kemudian Allah memberikan kepadanya (Daud) pemerintahan dan hikmah (sesudah meninggalnya Thalut) dan mengajarkan kepadanya apa yang dikehendaki-Nya. seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian umat manusia dengan sebagian yang lain, pasti rusaklah bumi ini. tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam.”
Dimulai tiga puluh hari lalu ditambah sepuluh hari (QS al-A’râf [7]: 142),

“Dan Telah kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), Maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. dan Berkata Musa kepada saudaranya yaitu Harun: "Gantikanlah Aku dalam (memimpin) kaumku, dan perbaikilah , dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan."

Nabi Zakaria a.s. diperintahkan untuk tidak berbicara selama tiga hari (QS Maryam [19]: 10),

“Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, berilah Aku suatu tanda". Tuhan berfirman: "Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat."
Nabi Muhammad s.a.w. ditanya, "Berapa hari seseorang harus bertaubat agar diampuni [yakni sadar akan hakikat]?" Beliau pun menjawab: "Setahun sebelum mati sudah cukup." Kemudian beliau segera berkata: "Setahun terlalu lama; sebulan sebelum mati cukuplah." Kemudian beliau berkata: "Sebulan terlalu lama." Kemudian beliau terus berkata, semakin mengurangi jangka waktunya, sampai beliau berkata: "Langsung bertaubat, juga cukup."

Tidak ada komentar: