Selasa, 15 Januari 2008

RIYADHAH

RIYÂDHAH

Riyâdhah adalah latihan penyempurnaan diri secara terus menerus yang datangnya dari Alloh SWT ditujukan pada hambaNya. Semua kondisi puncak, puncak kebahagiaan, puncak penderitaan, puncak kegembiraan, puncak kesedihan merupakan wujud riyâdhah. Datangnya bisa tiba-tiba, tidak pasti dan tidak disangka. Manusia hanya mempersiapkan diri dengan berbagai latihan-latihan jiwa, semua datang dan pergi tanpa sempat bertanya kenapa ini terjadi.

Merasa Lebih: "Sikap Diri Yang Membelenggu”

Saya teringat sebuah tulisan mengenai "selembar resep atau obat". Tulisannya menyoroti perilaku orang-orang yang ingin memperoleh "kesembuhan" jiwa, tetapi tak kunjung juga mencapai kesembuhan. Meskipun mereka "giat" melakukan riyâdhah, tetapi tetap saja tutur dan perbuatan mereka memperlihatkan gejala hati yang sakit. Dengan kalimat yang berbeda, aktivitas fisik, lisan dan akal dalam praktek riyâdhah, belum juga ditorehkan ke dalam hati dan menjadi darah dan daging. Menurut teman saya itu, penyebabnya adalah, mereka memperlakukan riyâdhah tak ubahnya seperti mengumpulkan resep semata tanpa meminum obatnya sesuai dengan dosis yang diberikan bagi kesembuhannya. Atau, yang mereka lakukan adalah "mengunyah" lembaran resep yang diberikan dokter dan bukan minum obat yang dirujuk dalam resep tersebut. (Kalau soal mengunyah lembaran koran, penulis punya pengalaman yang menarik.) Akibatnya atau hasilnya dapat diperkirakan.
Dalam kaitannya dengan riyâdhah di atas, saya hanya ingin menyoroti salah satu penyakit hati, yang secara sadar maupun tidak, kita biarkan hidup subur dalam hati kita. Padahal penyakit yang satu ini merupakan hijab paling tebal yang menghalangi kita untuk sampai kepada Allah. Penyakit yang saya maksud adalah ‘ujub, atau bangga akan diri, atau boleh juga kita sebut sombong. Saya cenderung mengartikannya dengan "merasa lebih" dari yang lain. Sebagai contoh, kalau kita merasa diri kita lebih bersih; lebih mengerti; lebih banyak amalnya; dan karena itu, kita meremehkan; memandang dengan sebelah mata; tidak perlu mendengar nasihat atau pendapat orang lain, maka itu adalah tanda-tanda positif kita terjangkiti penyakit ujub. Penyakit ini tak ubahnya seperti ular piton yang membelit tubuh kita, membunuh kita dengan perlahan-lahan dengan cara semakin mengeraskan belitannya, membuat kita sulit bernafas, kemudian meremukkan tulang-tulang kita, menelan tubuh kita bulat-bulat, baru kemudian menghancurkannya dengan asam dalam lambung. Sebuah proses kematian yang perlahan tapi pasti.
Berbeda dengan ular berbisa, jika kita terkena bisa ular karena gigitannya, kita masih bisa diobati dengan menyuntikkan penawarnya. Tetapi tidak ada obat penawar untuk melepaskan belitan ular, kecuali dengan membunuh ular tersebut. Kita harus memotong bagian demi bagian tubuh dimulai dari leher ular tersebut. Kemudian kita harus memisahkan bagian demi bagian tubuh ular tersebut agar jangan sampai tersambung kembali. Baru kita dapat terbebas dari kematian yang melelahkan. Dengan demikian kita juga harus membunuh rasa ujub yang ada di hati kita sedemikian rupa dan jangan membiarkannya tersambung kembali, dan membelit hati kita.
Pelajaran paling berharga bagi kita adalah, pengajaran yang diberikan Allah melalui kitab-Nya, dimana Dia menunjukkan kepada kita gambaran keadaan dan akibat ujubnya iblis. Sebelumnya Iblis adalah mahluk ciptaan yang begitu tekunnya berdzikir dan memuji Allah, sebagaimana malaikat. Bahkan sebagaimana malaikat, iblis pun termasuk mahluk yang mencapai maqam makrifat kepada Allah. Tetapi begitu ia menolak untuk "sujud" kepada manusia, karena menganggap dirinya lebih baik dari manusia dan dibalik itu menyangsikan ilmu Allah yang menyatakan "kelebihan" manusia dari pada dirinya bahkan dari malaikat sekalipun, jatuhlah ia ke dalam kehinaan. Jadi dengan demikian, meskipun kita telah memenuhi waktu kita dengan ketaatan dan pelaksanaan ibadah sunah untuk mendekatkan diri kepada Allah, malam yang tinggal sedikit kita habiskan dengan munajat dan dzikir kepada-Nya, hingga kening kita hitam mengarang, semua itu tidak akan dapat mengantarkan kita untuk sampai kepada Allah selama ‘ujub masih melekat di hati kita.
Nabi s.a.w.. bersabda,
صَحِيْحُ مُسْلِمٍ مَشْكُوْلٌ - (ج ١ / ص ٢٤٧)
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
"Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya ada perasaan sombong, meskipun hanya sekecil biji sawi".
Teman saya yang pernah menulis dengan sebuah tulisan yang saya sebut di atas, sesungguhnya bagaikan sebuah cermin yang bukan sekedar merefleksikan segala sesuatu yang ada dalam dirinya dan juga yang ada di sekitarnya secara visual, tetapi dia juga memancarkan sinyal-sinyal peringatan berfrekuensi tinggi kepada segala sesuatu tersebut yang menurut nuraninya mengalami bias bahkan ketertipuan. Selanjutnya bergantung bagaimana kita "membaca" sinyal tersebut. Kalau dari awal kita salah membaca, keliru menangkap motif yang berada di balik semua itu, maka selanjutnya semua penafsiran kita yang ditarik dari hasil membaca sinyal tersebut, ya keliru juga. Ada orang bijak yang mengatakan, "Tidak sulit untuk mengenal Tuhan, yang sulit adalah mengenal diri sendiri".

Tidak ada komentar: