Kamis, 03 Januari 2008

SEKILAS MENGENAL ISLAM LIBERAL

SEKILAS MENGENAL ISLAM LIBERAL

ABSTRAK

Jaringan Islam Liberal (JIL) – oleh sebagian kalangan – dipandang sebagai setan di tengah peradaban luhur kaum muslimin. Logika mereka – untuk sementara waktu -- disetarakan dengan logika iblis. JIL – dalam istilah peyoratif – dipandang sebagai bagian dari teror, bahaya dan ancaman terhadap Islam, aliran sesat, agen perusak akidah Islam, penyebar fitnah, kepanjangan tangan Orientalis dan sekularis Barat, anti dialog dan pengecut. Sejumlah pencitraan ini, tidak ada satu pun yang memberikan gambaran dengan implikasinya yang positif terhadap JIL. Posisi JIL pada hakikatnya merupakan representasi atau bentuk miniatur dari gambar besar salah satu dari dua kecenderungan pola interpretasi pemikiran dan keberagamaan di tengah masyarakat Muslim Indonesia yang sangat plural: liberalisme dan anti-liberalisme Islam. Penulis tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa pola interpretasi pemikiran dan keberagamaan Umat Islam Indonesia hanya memiliki dua pola tersebut, karena disadari bahwa pola keberagamaan Muslim di negara ini dalam kenyataannya memang sangat plural. JIL menggambarkan pola Islam Indonesia yang mencoba mempraktikkan pemikiran liberalisme untuk memaknai Islam di dalam konteks modernisasi kehidupan masyarakat Indonesia, sementara itu antitesis dari pemikiran JIL justru mengilustrasikan usaha yang melanjutkan pola pemikiran konservatisme atau anti-liberalisme Islam dalam kehidupan Umat Islam Indonesia dengan maksud agar pemikiran dan praktik Islam tidak mengalami pencemaran dari pemikiran atau ideologi lain, seperti sekularisme dan atau liberalisme yang di antaranya berkembang di Barat.

Prawacana

Membaca Buku memang mengasyikkan, apalagi sebuah buku yang cukup provokatif. Buku yang berjudul “Wajah Liberal Islam Di Indonesia”, yang disunting oleh Luthfi Assyaukanie, yang diterbitkan oleh Penerbit: Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal, cetakan tahun 2002, dengan tebal halaman: xx + 300 halaman memang agak berbeda, karena ditulis oleh oleh Orang Barat yang amat peduli terhadap perkembangan pemikiran Islam di Indonesia (Daniel S. Lev).

Orang yang tak suka dengan tantangan intelektual yang serius, atau malas memikirkan gagasan-gagasan yang tak biasa, atau sudah merasa nyaman dengan apa yang ada, sebaiknya menjauhkan diri dari buku ini. Isinya lain dari yang lain. Membaca kembali diskusi, perdebatan, analisis, argumentasi, tafsiran, dan pertukaran pendapat yang terkandung dalam buku ini bukan hanya tak membosankan, malah semakin menggairahkan pikiran (dan kadang-kadang mengejutkan), seperti pertama kali saya membacanya dalam bentuk artikel lepas di situs internet pagi hari setelah menghidupkan komputer.

Fenomena Historis “Islam Liberal”

Setahun lalu, ketika wacana Islam liberal pertama kali muncul dalam bentuk mailing list (islamliberal@yahoogroups.com), banyak orang yang menyangsikan masa depannya. Kini, terbukti mailing list itu telah menjadi sebuah wadah intelektual yang menarik, berbobot, dan berpengaruh, baik atas pengertian agama Islam maupun (mudah-mudahan) atas penciptaan kembali negara Indonesia.

Dari satu sisi, dapat diduga bahwa gerakan Islam liberal menjadi begitu cepat berkembang karena fenomena hipermodern komputerisasi dan e-mail, yang berimplikasi hanya pada kaum terdidik dan pengguna komputer (terutama dari generasi muda) yang tak takut dengan dunia “modern,” yang bisa ikut dalam wacana Islam liberal. Hal ini, sebagian mungkin betul. Tapi pandangan ini terlalu gampang dan kurang mendalam, karena kini Islam liberal sudah masuk koran dan radio, yang berindikasi pada kalangan peminat yang lebih luas dan kompleks. E-mail menolong perluasan pandangan Islam liberal, tapi tanpa landasan intelektual yang serius dan kuat serta audiensi besar yang haus terhadap pengertian baru, gerakan semacam ini tidak mungkin bertahan lama.

Dapat dimengerti jika di antara para pembaca buku ini akan ada yang merasa terkejut atau kagum atau bahkan marah dan jengkel. Kemarahan dan kejengkelan akan terlihat di dalam buku ini antara yang berdebat keras tentang satu atau lain isu. Ketegangan kelas tinggi sama sekali bukan hal baru dan tidak mengherankan dalam perdebatan tentang soal-soal agama mana pun juga. Malah dapat dikatakan bahwa dalam urusan agama (seperti juga dalam filsafat dan apalagi politik) yang sangat berbahaya adalah ketenangan yang keterlaluan.

Satu Islam dan Keragaman Tafsir Atas Islam

Persoalan pokok adalah bahwa yang menafsirkan prinsip-prinsip agama, pada akhirnya, adalah manusia, dan kalau manusia itu tidak lagi berdebat tentang isi kepercayaannya, atau menyerahkan tugas itu pada kalangan pimpinan agama yang terlalu terbatas, akibatnya pembekuan agama terjadi. Justru ketegangan itu mengisyaratkan bahwa satu agama (atau filsafat, atau politik) belum mati, masih hidup dan masih melayani keperluan komunitasnya.

Sejak lama, setiap agama besar, yang mencoba memonopoli satu ajaran, pada suatu waktu pasti akan ditentang. Dengan kata lain, pertentangan itu adalah evolusi, perubahan, adaptasi, yang pelan atau cepat, pada keperluan manusia dalam sejarah yang terus-menerus mengalami perubahan. Tentunya, proses itu tidak gampang dan tak jarang menyebabkan perang, pembunuhan, siksaan, dan lain-lain sebagainya— sering atas nama Tuhan—yang bertujuan mencegah transformasi. Agama yang berhasil mengelak ketegangan itu, seperti juga negara yang berhasil menindas perdebatan politik, makin lama makin statis dan berorientasi pada kalangan pemuka (dan kepentingan) yang sangat sempit. Mendobrak keadaan semacam itu tak mungkin tanpa perdebatan, ketegangan intelektual, ideologis, dan juga politik. Dan untuk itu kadang-kadang perlu mempertanyakan ide dan prinsip yang paling mendasar, termasuk hingga pada akar eksistensi agama. Tanpa itu, sulit mengharapkan rekonstruksi.

Hanya saja, untuk menantang pemahaman agama tertentu demi menuju pemahaman lain (menyangkut nilai dan norma agama), menuntut keberanian yang luar biasa, kepercayaan diri yang cukup mendalam, rasa bertanggung jawab yang besar, selain imajinasi baru dan pengetahuan agama yang tebal. Dan perlu juga semacam sensitivitas pada titik sejarah yang mungkin terbuka pada pandangan baru. Semua itu—keberanian intelektual, rasa tanggung jawab, imajinasi, pengetahuan—terlihat jelas dalam kumpulan diskusi dan perdebatan dalam buku ini. Buku ini bakal memaksa siapa saja yang suka membaca akan terus membacanya hingga lupa makan dan tidur.

Islam Liberal dan Dinamika Pemikiran Ke-Islaman

Orang mungkin akan bertanya: mengapa pandangan Islam Liberal begitu menonjol justru di Indonesia, dan justru sekarang? Tentu saja, seperti dapat tergambar buku ini, pandangan itu juga terdapat di Timur Tengah dan India-Pakistan sejak dulu, tapi jarang sebegitu terang dan terbuka seperti di Indonesia dalam setahun terakhir ini. Pertanyaan ini sulit dijawab. Tapi saya kira, perubahan mendalam memang lebih gampang di “pinggir” daripada di “pusat,” justru karena di “pusat” konstelasi agama (dan politik juga) lebih gampang diawasi supaya tetap terjaga “kemurniannya.” Dalam sejarah agama Katolik, misalnya, pergolakan dan pembaruan mulai dari luar Italia. Atau mungkin juga Indonesia agak lain dari yang lain karena ukurannya, karena sejak dulu agama Islam di Indonesia jauh lebih kompleks dan telah cukup lama terbiasa dengan konflik tentang isu-isu agama.

Pertanyaan kedua, kenapa sekarang? -- lebih sulit lagi. Mungkin ada beberapa sebab, termasuk kebetulan sejarah yang terbuka untuk perubahan besar, karena negara sedang lemah, suasana politik dan sosial serta intelektual sangat labil, dan masyarakat mengharapkan perubahan. Selain itu, selama hampir empat puluh tahun sedang dibentuk dan dipersiapkan generasi baru pemikir agama yang terdidik, yang tidak merasa diri terisolasi dari kalangan intelektual lain, yang bisa membaca tentang agama lain, yang juga tidak malu memikirkan kembali sejarah agamanya (dan negaranya), dan malah tidak terlalu banyak mempersoalkan asal-usulnya (misalnya apakah ia dari Muhammadiyyah atau Nahdlatul Ulama).

Momen istimewa ini cukup penting. Seperti diterangkan dalam buku ini, pandangan liberal bukan hal baru dalam sejarah Islam, apakah di Timur Tengah atau di Indonesia sendiri. Pada tahun 1950-an para pemimpin partai Islam pernah melontarkan isu-isu pokok agama, tetapi jarang sekali secara terbuka. Pertentangan politik pada zaman itu menjadi hambatan pembicaraan, seolah-olah perdebatan tentang dasar agama merupakan pengakuan kelemahan prinsip partai yang berlandasan Islam (hal sama juga dialami Partai Katolik dan Parkindo). Hanya orang yang terbebas dari tuntutan politik sehari-hari, seperti Pak Hazairin, yang rela mengajukan pandangan baru secara blak-blakan.

Pimpinan Orde Baru, yang meminggirkan kepartaian agama, agak membebaskan umat Islam untuk memikirkan agamanya, lepas dari implikasi atau konsekuensi politik. Pada permulaan tahun 1970-an orang yang sebelumnya menjauhkan diri dari simbol-simbol agama tampak mulai bersembahyang lagi, ikut ke masjid, dan turut aktif dalam grup diskusi Islam—Islam sebagai agama, bukan Islam sebagai landasan politik. Dalam suasana itu, Nurcholish Madjid mencetuskan pandangan barunya (sebetulnya tidak sama sekali baru) yang merupakan salah satu langkah pertama dalam perjuangan Islam liberal. Dalam ceramah dan karangannya, dia berani memisahkan Islam sebagai sumber pandangan etika dan moralitas di satu sisi dari agama sebagai landasan politik di sisi lain, dan menekan pada yang pertama sebagai tujuan terpenting dan menolak yang kedua. Hanya saja, pada waktu itu tampaknya belum ada cukup banyak pemikir yang rela menerima anjuran Nurcholish sebagai pembukaan suatu debat baru yang sangat perlu. Saat itu keadaan belum matang.

Pemikiran Islam Dalam Konteks Perubahan Zaman

Zaman sekarang lain, dan suasana juga lain. Islam liberal, yang berlandasan jiwa intelektual yang berani, terbuka, jujur, dan rela berisiko, memiliki akar yang kokoh dan karenanya hampir tak mungkin jika tak memiliki pengaruh. Dalam buku ini, yang menarik, isu-isu yang sangat peka dan “sensitif” dihadapi dengan santai. Setuju atau tidak setuju tidak jadi soal buat yang menyumbang pandangannya, dan semestinya tidak jadi soal juga buat pembaca. Sesudah diskusi pertama tentang Islam liberal di Timur Tengah, perdebatan makin hangat tentang agenda Islam liberal di masa depan, soal sekularisasi, rekonstruksi sejarah Alquran, dan teologi untuk negara modern. Dengan semua daya tariknya, buku ini bakal menarik perhatian orang (yang beragama Islam atau bukan), semoga semakin banyak yang mau membacanya, dan semoga buku-buku sejenis lainnya akan terbit sesudahnya (dan mudah-mudahan juga akan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain).

Persoalan agama jarang terbatas maknanya pada agama saja. Sejak munculnya negara modern pada abad ke-17, ketegangan antara negara dan agama hampir tak pernah lenyap, dan harus diakui agama merupakan salah satu penjaga negara yang sangat penting. Pembaruan agama mau tak mau akan mempengaruhi juga pembaharuan negara. Yang menarik dalam gerakan Islam liberal adalah kehadiran -- malah dapat dikatakan dominasi -- generasi muda, seperti juga terlihat pada gerakan reformasi lain sejak tahun 1998.

Memahami (Secara Adil) Islam Liberal
"Islam Liberal" adalah istilah Charles Kurzman dalam bukunya yang terkenal Liberal Islam: A Source Book. Penggunaan istilah ini sendiri, seperti diakui Kurzman, pernah dipopulerkan oleh Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), intelektual Muslim-India, sejak tahun 1950-an. Mungkin Fyzee orang pertama yang menggunakan istilah "Islam liberal." Saya kira, dia juga penulis Muslim pertama yang menggunakan istilah "Islam Protestan" untuk merujuk kecenderungan tertentu dalam Islam. Dengan istilah ini ("Islam Protestan" atau "Islam Liberal"), Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain: Islam yang non-ortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam.
"Liberal" yang menjadi kata sifat bagi "Islam" dalam istilah itu harus dibedakan pengertiannya dengan, misalnya, liberalisme Barat. Hal ini untuk menghindari kekeliruan ketika kita membicarakan tokoh-tokoh dalam wacana ini. Istilah tersebut harus dipahami sebagai nomenklatur untuk memudahkan kita merujuk kepada kecenderungan pemikiran Islam modern yang kritis, progresif, dan dinamis. Dalam pengertian ini, "Islam Liberal" sesungguhnya bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Fondasinya telah ada sejak awal abad ke-19, ketika gerakan kebangkitan dan pembaruan Islam dimulai.
Ketika kita berbicara tentang "Islam Liberal" sesungguhnya kita sedang membicarakan salah satu wajah Islam. Islam, menurut pemikir Suriah, Aziz Al-Azmeh, adalah agama yang satu, tetapi selalu tampil dalam wajah yang banyak. Kita tidak mungkin berbicara tentang satu Islam, tapi tentang Islam-Islam (Islams) dengan wajahnya yang beragam. "Islam Liberal," saya kira, adalah salah satu Islam yang dimaksudkan Al-Azmeh. Dan karenanya, diskusi kita tentang "Islam Liberal" menjadi sah (sama sahnya ketika kita berbicara tentang "Islam Fundamentalis," "Islam Wahabi," "Islam Syi’ah," "Islam Sunni," "Islam NU," dan lain-lain).
Timur Tengah adalah salah satu kawasan yang sangat subur dalam memproduksi Islam Liberal, sebagaimana ia juga merupakan kawasan yang makmur dalam melahirkan wajah-wajah Islam yang lain (Revivalis, Haraki, Salafi, Wahabi di masa sekarang; Syi’i, Sunni, Khariji, Murji’i di masa lalu). Patut disayangkan bahwa wajah Islam Liberal di kawasan tersebut hampir tidak terlihat. Literatur dan Media lebih senang menulis dan memberitakan wajah-wajah Islam yang kelam dan penuh kekerasan. Padahal, jika kita berbicara tentang gerakan pembaruan pemikiran modern di Timur Tengah, maka –tanpa membesar-besarkan fakta-- Islam Liberal adalah lokomotifnya.
Akar-Akar Liberalisme Islam
Akar-akar gerakan liberalisme Islam di Timur Tengah bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa yang disebut "gerakan kebangkitan" (harakah al-nahdhah) di kawasan itu secara hampir serentak dimulai. Secara inheren, gerakan kebangkitan itu sendiri sebetulnya adalah gerakan liberal, khususnya jika liberalisme diartikan sebagai gerakan pembebasan pemikiran. Tokoh nahdhah "konservatif" semacam Muhammad ibn Abd al-Wahab pun, sesungguhnya turut memberikan kontribusi bagi gerakan liberalisme Islam di kawasan Arab. Khususnya ketika dia mengkampanyekan pembebasan diri dari unsur-unsur takhyul, mitologis, dan khurafat, serta menawarkan Islam yang bersih dan "rasional."
Pada awalnya, kecenderungan liberalisme tokoh-tokoh pembaru Muslim di kawasan Arab dipicu oleh semangat pemberontakan terhadap kolonialisme Eropa pada satu sisi, dan terhadap keterbelakangan kaum Muslim pada sisi lain. Karenanya, misi para pembaru Muslim pada – meminjam istilah Albert Hourani -- masa-masa liberal (liberal age) itu adalah pembebasan dari cengkeraman penjajahan dan pembebasan dari kebodohan. Dua misi ini terus berjalan secara beriringan hingga masa pertengahan abad ke-20, ketika sebagian besar negara-negara Muslim mendapatkan kemerdekaannya. Sementara misi kedua, proyek pembebasan dari kebodohan, masih terus berlanjut sampai sekarang.
Salah satu agenda penting dari misi kedua itu adalah memahami dan menafsirkan kembali ajaran-ajaran agama (Islam). Apa yang dilakukan tokoh-tokoh awal kebangkitan, seperti Muhammad Ibn Abd al-Wahab (1703-1791) di Jazirah Arab, Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (1787-1860) di Aljazair dan Libia, Rifa’at Rafi’ al-Thahtawi (1801-1873) di Mesir, dan Khairuddin al-Tunisi (1822-1889) di Tunisia, tak lain dari upaya melakukan pembacaan ulang terhadap tradisi-tradisi Islam serta membangun kembali pemahaman keagamaan kaum Muslim secara benar dan bermakna. Sebagian gagasan rekonstruktif itu mendapatkan respon dari masyarakat Muslim, tapi sebagian lainnya, mengalami tantangan, khususnya dari ulama ortodoks yang dalam hal ini menjadi lawan serius dari gerakan pembaruan Islam.
Secara umum, para pembaru Arab di masa-masa awal kebangkitan meyakini bahwa Islam adalah agama yang cocok bagi setiap masa dan tempat (shâlih li kulli zamân wa makân). Islam juga mampu beradaptasi dengan dunia modern, termasuk dengan pencapaian ilmu pengetahuan dan --dalam beberapa hal-- nilai-nilai Barat. Jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan, menurut mereka, bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut. Di sinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal.
Sikap yang menjadi inti dari doktrin Islam Liberal itu juga yang kerap membuat para tokohnya harus berhadapan dengan masyarakat dan penguasa (yang didukung oleh ulama ortodoks). Sebab, penafsiran ulang adalah istilah yang tidak populer bagi mereka, khususnya karena dalam istilah itu terkandung makna perlawanan terhadap kemapanan. Tidak heran jika dalam banyak kasus, tokoh-tokoh Muslim liberal lebih sering menemui hambatan ketimbang sukses.
Muhammad Abduh: “Potret Muslim Liberal”
Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa gerakan awal-awal kebangkitan Islam mengalami signifikansinya pada figur Muhammad Abduh (1849-1905). Abduh adalah seorang modernis sejati. Kendati dididik secara tradisional dan berguru pada beberapa ulama al-Azhar yang sebagian besar bersikap konservatif, Abduh membuktikan dirinya sebagai seorang intelektual yang terbuka dan progresif. Agaknya, pengaruh Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), teman dan gurunya, sangat besar dalam membentuk sisi modernitas Abduh. Lewat al-Afghani lah Abduh mengenal dunia Barat secara langsung (kedua tokoh ini tinggal di Eropa selama kurang-lebih lima tahun), perkenalan yang sangat mempengaruhi sikapnya sebagai intelektual dan tokoh agama.
Kendati sebagai seorang modernis, Abduh masih diterima di kalangan al-Azhar. Terbukti, ia tetap dipercaya menjadi Mufti Agung Mesir, sebuah jabatan yang sulit diraih jika tidak disetujui oleh dewan ulama al-Azhar. Abduh sangat pandai bagaimana dia harus bersikap sebagai seorang ‘alim dan sekaligus sebagai seorang intelektual modernis. Selama menjadi Mufti, Abduh mengeluarkan banyak fatwa yang berkaitan dengan persoalan-persoaaln modern. Tiga fatwanya yang terkenal yang hingga kini masih menjadi isu kontroversial adalah tentang bunga bank; tentang pakaian tradisional (termasuk jilbab); dan tentang daging hasil sembelihan orang-orang non-Muslim.
Karena sikapnya yang dua wajah itu, Abduh diterima baik oleh kalangan tradisional maupun modernis, dengan sama kuatnya. Pada satu sisi, Abduh selalu dilihat sebagai seorang tokoh ‘alim, mujtahid, dan penganjur doktrin orisinalitas Islam (al-ashâlah al-islâmiyyah). Pada sisi lain, Abduh juga dianggap sebagai seorang reformis yang toleran, liberal, dan kaya akan gagasan-gagasan modern. Tidak heran kalau murid-murid Abduh kemudian terpecah menjadi dua kelompok besar yang oleh Hassan Hanafi, pemikir Mesir kontemporer, dianalogikan seperti murid-muridnya Hegel dalam tradisi filsafat Barat. Sama seperti Hegel yang melahirkan dikotomi "kanan" dan "kiri," menurut Hanafi, murid-murid Abduh juga dapat dikelompokkan berdasarkan katagori ini. Yakni, kelompok Kanan Abduh (Abduh al-Yamînî) yang cenderung mengembangkan pemikiran-pemikiran keagamaannya, dan kelompok Kiri Abduh (Abduh al-Yasârî) yang lebih cenderung mengembangkan gagasan-gagasan modernnya.
Di antara murid-murid Abduh yang memiliki kecenderungan "kanan" adalah Muhammad Rashid Ridha (w. 1935) dan Shakib Arslan (w. 1946). Sementara Qasim Amin (w. 1908) dan Ali Abd al-Raziq dianggap sebagai murid-murid Abduh beraliran "kiri." Kecenderungan "kanan" dan "kiri" dalam aliran (mazhab) Abduh ini dalam perkembangan selanjutnya mengalami radikalisasi yang cukup signifikan. Baik yang "kanan" maupun "kiri" sama-sama mengklaim sebagai penerus Abduh yang paling benar. Matarantai murid-murid Abduh bisa digambarkan sebagai berikut:
Dari ilustrasi di atas, kita bisa melihat bahwa murid-murid Abduh yang beraliran "kiri" semakin hari semakin ke "kiri" dan menjadi radikal, yang mencapai puncaknya pada diri Hassan Hanafi, penggagas "Kiri Islam." Dalam hal ini, tokoh-tokoh sekuler (‘ilmani) radikal semacam Fuad Zakariya, Zaki Najib Mahmud, dan Adonis (Ahmad Said) juga merupakan perluasan dari aliran "kiri." Kendati mereka tidak berguru langsung kepada Abduh, tapi penerus kelompok Kiri Abduh, seperti Thaha Hussein, Ahmad Luthfi Sayyid, dan Ismail Mazhar turut mempengaruhi pemikiran-pemikiran mereka. Begitu juga, kelompok kanan, semakin hari semakin ke "kanan" menjadi "Kanan Islam" atau "Fundamentalis." Hal ini bisa dilihat dari murid-murid langsung Rashid Ridha, seperti Hassan al-Banna dan Sayyid Qutb. Gerakan Ikhwan al-Muslimun dan kelompok-kelompok Islam garis keras lainnya (seperti Hizb al-Tahrir) adalah evolusi panjang dari kelompok kanan Abduh yang secara kental dipengaruhi penafsiran-penafsiran Ridha terhadap Abduh, khususnya gagasan politiknya.
Meletakkan Islam Liberal Secara Proporsional
Saya tidak ingin mengklaim bahwa semua intelektual Arab liberal adalah para penerus aliran Kiri Abduh, atau semua gerakan Islam radikal merupakan pelanjut kelompok Kanan Abduh. Tapi saya kira Abduh memainkan peranan yang sangat penting dalam wacana pemikiran Arab modern, sama pentingnya Hegel bagi dunia filsafat Barat modern. Apa yang didiskusikan oleh para pemikir Arab kontemporer sejak 1970-an, dengan wacana al-turâth wa al-hadâthah (tradisi dan modernitas)-nya yang terkenal itu, saya kira, adalah catatan pinggir (hâsyiah) dari pemikiran-pemikiran Abduh dan para murid-muridnya.
Gerakan feminisme yang dipelopori oleh Nawal Sa’dawi dan Fatima Mernisi misalnya, adalah kelanjutan dari proyek serupa yang pernah digarap oleh Qasim Amin, Malak Hifnî Nâshif (w. 1918), Huda Sha’rawi (w. 1947), dan Nabawiya Mousa (w. 1951), yang secara langsung maupun tidak langsung berada dalam sirkel "Kiri Abduh." Begitu juga, gerakan "pembacaan ulang" atas teks-teks agama yang dipelopori oleh intelektual kontemporer semacam Muhammad Ahmad Khalafallah, Mohammed Arkoun, Muhammad Abed Jabiri, Mahmoud Mohamed Taha, Ahmad Na’im, Hassan Hanafi, dan Nasr Abu Zaid, adalah kelanjutan dan perluasan dari ijtihad-ijtihad Abduh dalam bentuknya yang moderat dan radikal.
Kemunduran Sebagai Akibat dari Kejumudan
Di satu sisi, Islam Liberal di kawasan Arab mengalami perkembangan cukup pesat. Murid-murid dan simpatisan Abduh yang berkecenderungan "kiri" semakin menyebar, tak hanya terbatas di kawasan timur (masyrîq) Arab saja, tapi juga meluas hingga ke kawasan barat (maghrib) seperti Maroko, Tunisia, dan Aljazair. Tokoh-tokoh intelektual semacam Mohammed Arkoun, Mohammed Abed Jabiri, Hisham Djait, Burhan Ghaliun, Salim Yafut, dan Abdullah al-‘Urwa (Laroui) adalah pemikir-pemikir terpandang di kawasan ini yang ide-idenya berada dalam track pemikiran Abduh. Begitu juga, isu-isu yang didiskusikan tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan keagamaan, seperti pada masa-masa awal kebangkitan. Tapi juga meluas hingga persoalan-persoalan demokrasi, HAM, gender, sastra, musik, dan iptek.
Namun di sisi lain, ruang gerak Islam Liberal di dunia Arab sebetulnya semakin mengalami kontraksi. Ia tidak bisa banyak berinteraksi dengan masyarakat secara luas. Bahkan cenderung mengalami konflik yang serius. Kasus-kasus yang menimpa para pemikir Arab akhir-akhir ini adalah bukti betapa pemikiran liberal masih menemukan kendala klasik. Yakni, mudah berbenturan dengan otoritas agama dan masyarakat.
Kasus Nasr Abu Zayd baru-baru ini sungguh sangat memprihatinkan. Apalagi melihat substansi alasan yang membuat intelektual Mesir itu harus berhadapan dengan dewan "inkuisisi" al-Azhar – yang berakhir dengan pengasingannya ke Belanda -- sungguh sangat tidak masuk akal. Kasus-kasus serupa lainnya, seperti pembunuhan Faraj Fuda (1992) oleh ekstrimis Islam, hukuman mati Mahmud Mohammed Taha (1985) oleh pemerintah fundamentalis Sudan, [4] dan beberapa pelecehan terhadap intelektual-intelektual liberal semacam Ahmad Khalafallah, Najib Mahfouz, Fuad Zakariyya, Muhammad Syahrour, dan Hassan Hanafi, juga merupakan bukti "gagalnya" gerakan ini di kawasan itu.
Disukai atau tidak, institusi dan otoritas agama (yang didukung penguasa) telah menjadi musuh terbesar para pemikir liberal. Saya melihat bahwa institusi-institusi keagamaan di dunia Arab sekarang, al-Azhar misalnya, semakin ekstrim dalam menyikapi gerakan-gerakan Islam Liberal, bahkan jauh lebih ekstrim dibandingkan pada masa-masa Abduh dan murid-muridnya. Para pemikir liberal masa-masa Abduh dan setelahnya seperti Ali Abd al-Raziq, Qasim Amin, Farah Antoun, Salamah Mousa, Ahmad Luthfi Sayyid, dan Taha Hussein, memang sempat mengalami kecaman karena gagasan mereka (yang, menurut saya, jauh lebih "berani" ketimbang sekarang), tapi mereka masih bisa terus berkarya dan tidak pernah ada ancaman pembunuhan. Sementara para tokoh Muslim liberal sekarang hampir tidak memiliki ruang gerak untuk berekspresi sesuai dengan keyakinan mereka. Inilah alasan yang melatarbelakangi mereka hengkang ke luar negeri, khususnya di negara-negara Barat, seperti yang dijalani oleh Mohammed Arkoun (Perancis), Aziz Azmeh (Inggris), Nasr Abu Zayd (Belanda), Hisham Sharabi dan Halim Barakat (Amerika Serikat).
Tapi, mengapa gerakan Islam Liberal mengalami kemunduran yang sangat serius dan mengapa masyarakat Arab semakin kuat memperlihatkan resistensinya terhadap gerakan itu? Saya tidak tahu pasti jawabannya. Tapi, saya kira, gerakan Islam Liberal yang ada sekarang terlalu elitis dan tidak mengakar ke lapisan masyarakat bawah. Pada masa-masa awal kebangkitan, yang memegang isu-isu pembaruan adalah tokoh-tokoh agama yang memiliki otoritas dan berpengaruh di masyarakat (misalnya Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq, dan Qasim Amin). Tapi kini, isu itu dipegang oleh kalangan akademisi dan peneliti yang tidak memiliki akar kuat di masyarakat. Tidak aneh jika masyarakat umum kemudian merasa terasing dengan isu-isu pembaruan yang digulirkan para akademisi tersebut. Dan tidak aneh pula jika mereka menjadi begitu reaktif ketika berhadapan dengan isu-isu tersebut. Bukankah isu-isu itu digulirkan oleh tokoh-tokoh yang berada di luar lembaga keagamaan (sekuler)?
Agaknya, inilah tantangan terberat yang harus segera diantisipasi para intelektual liberal. Karena jika terus dibiarkan, isu-isu pembaruan yang mereka gulirkan akan tetap berputar di ruang yang sempit. Tentu kita tidak mengharapkan proyek Islam Liberal yang genuine itu berada di satu tempat, sedangkan masyarakat umum berada di tempat yang lain, atau seperti kata orang Arab: "Mereka berada di satu lembah, dan kita berada di lembah yang lain (hum fî wâdin wa nahnu fî wâdin âkhar)."
Islam Liberal: Prospek Dan Tantangannya
Ungkapan "Islam Liberal" mungkin terdengar kontradiksi dalam peristilahan (contradiction in terms). Selama berabad-abad, Barat mengidentifikasikan Islam dengan unsur-unsurnya yang eksotik. Kepercayaan Islam disamakan dengan fanatisme, sebagaimana diungkapkan Voltaire dalam tulisannya, "Mahomet, or Fanatism". Islam juga disamakan dengan kezaliman, seperti diungkapkan Mountesqieu sebagai "Kezaliman Timur", atau definisi yang diberikan Francis Bacon "Sebuah kerajaan yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai sopan-santun (keadaban), sebuah tirani absolut dan murni; sebagaimana terjadi di Turki."
Tema-tema di atas berlanjut hingga hari ini, sebagaimana persepsi Barat tentang Islam yang diidentifikasikan sebagai imaginasi-imaginasi terorisme, dan gambaran teokrasi yang menakutkan. Revolusi Iran pada tahun 1979 dan kebangkitan radikalisme Islam dari Afrika Barat hingga Asia Tenggara menambah kesan adanya perang dingin yang terlihat. Juga dalam dunia akademik, umat Islam dianggap mencurahkan perhatian kepada pemahaman keagamaan yang radikal. Hal itu terlihat pada karya-karya akademik dengan judul yang meresahkan, seperti; Islam Radikal (Radical Islam), Islam Militan (Militant Islam), dan Jihad (Sacred Rage).
Memang sebagian Muslim sepakat dengan para orientalis Barat bahwa Islam belum diberi kesempatan untuk berubah. Itulah yang menyebabkan umat Islam dihadapkan pada sebuah tantangan untuk memberikan tafsir kontekstual terhadap berbagai persoalan. Namun, wacana tafsir kontekstual itu masih menjadi perdebatan yang seru dikalangan umat Islam. Seorang Muslim Pakistan, misalnya, pernah menulis: "Orang yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam adalah salah jalan, dan usaha mereka yang berpikir tentang reformasi atau modernisasi Islam itu pasti akan gagal ... Mengapa Islam harus dimodernkan? Bukankah kemodernan Islam telah selesai, murni sempurna, universal, serta berlaku setiap waktu?"
Dalam kajian historis, di kalangan umat Islam memang terdapat pemahaman-pemahaman yang beraneka ragam. Di antara variasi pemahaman itu adalah adanya sebuah tradisi yang disuarakan dengan konsisten sehingga paralel dengan liberalisme di dunia Barat. Para penerjemah tradisi ini mengekspresikan kejengkelannya, karena posisi mereka pada umumnya "masih diacuhkan" oleh para sarjana dan media massa Barat yang lebih tertarik pada sensasionalisme wacana kaum ekstrimis-fundamentalis.
Fokus dari tradisi yang terabaikan ini, memang terkenal sangat kontroversial. Karena membahas mengenai gagasan-gagasan Islam yang paling liberal dalam pemikiran Dunia Islam dewasa ini. Apalagi sering dikonotasikan dengan Barat, sekular dan dipengaruhi cara pandang orientalisme. Sebenarnya tradisi--yang disebut sebagai Islam Liberal--ini sangat menggugah, karena mentradisikan pemikiran Islam yang terbuka, inklusif dan menerima usaha-usaha ijtihad kontekstual. Charles Kurzman, di dalam bukunya Liberal Islam, A Sourcebook, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "Liberal" yaitu: (1). melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2). mendukung gagasan demokrasi; (3). membela hak-hak perempuan; (4) membela hak-hak non-Muslim; (5) membela kebebasan berpikir; (6) membela gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.
Sebenarnya, latar belakang pemikiran liberal Islam mempunyai akar yang jauh sampai di masa keemasan Islam (the golden age of Islam). Teologi rasional Islam yang dikembangkan oleh Mu'tazilah dan para filsuf, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dan sebagainya, selalu dianggap telah mampu menjadi perintis perkembangan kebudayaan modern dewasa ini. Sebut saja sosok seperti Ibn Sina dan Ibn-Rusyd, yang dikenal bukan saja sebagai filsuf besar, tetapi juga dokter yang meninggalkan warisan khazanah keilmuan yang luar biasa, yakni al-Qanun fi al-Thibb (The Canon) dan al-Kulliyat, yang masih dipelajari di Eropa sebagai ensiklopedi sampai abad ke-17.
Pemikiran liberal Islam yang memberi bobot besar terhadap penafsiran baru ajaran Islam dewasa ini, sebenarnya memang mempunyai genealogi pemikiran jauh ke belakang, hingga Ibn Taymiyah (1963-1328) yang menghadapi problem adanya dua sistem pemerintahan, yaitu kekhalifahan yang ideal--yang pada masanya sudah tidak ada lagi--dan pemerintahan "sekular" yang diperintah oleh sultan Mamluk, di mana Ibn Taimiyah juga menjadi pegawainya. Dia juga berhadapan dengan adanya dua sistem hukum, yaitu syari'ah (hukum agama), dan hukum yang diterapkan pemerintahan Mamluk (political expediency, natural equity).
Menghadapi masalah tersebut, Ibn Taymiyah melakukan refleksi mendalam terhadap keseluruhan tradisi Islam dan situasi baru yang dihadapinya. Dalam ketegangan-ketegangan pilihan ini, Ibn Taymiyah menyarankan suatu "jalan tengah", yaitu suatu sikap moderat. Untuk itu, perlu dilakukan ijtihad (berani berpikir sendiri secara intelektual) pada situasi yang berubah. Suatu ijma' (konsensus) hanya ada dan terjadi pada masa sahabat--oleh karena kesetiaan mreka kepada apa yang dikatakannya dan diperbuatnya--, tapi tidak berlaku lagi bagi ahli hukum setelah itu. Dari sudut isi, pemikiran ijtihad Ibn Taymiyah ini sudah merintis suatu metodologi penafsiran teks dan ijtihad atas masalah-masalah sosial-politik, yang kelak menjadi inspirator, terutama kalangan liberalis, juga revivalis dan neo-fundamentalis.
Usaha Ibn Taymiyah pun dilanjutkan oleh Ibn Khaldun (1332-1406). Dialah yang merintis sosiologi Islam. Berdasarkan praktek-praktek politik studi historiografinya, Ibn Khaldun--sebagai seorang pengembara dan pengabdi dari banyak kerajaan Islam waktu itu yang terpecah-pecah--, percaya sepenuhnya kepada pemikiran politik Ibn Taymiyah, terutama tentang pentingnya kesejahteraan umum (common goods) dan hukum ilahiyah demi menjaga kestabilan dan kesejahteraan negara, yang kemudian diperluasnya dengan teori tentang "solidaritas alamiah" (ashabiyah) dan etika kekuasaan. Sejak Ibn Khaldun ini, pemikiran Islam mengenai sosiologi politik mendapatkan tempat dalam keseluruhan refleksi Islam dan perubahan sosial. Oleh karena itu, penafsiran kembali Islam (ijtihad) menjadi suatu keharusan mutlak dalam masa perubahan politik.
Sebenarnya, liberalisme Islam mendapatkan momentum secara politis lebih mendalam pada saat kesultanan Ottoman di Turki, yang oleh segelintir cendekiawan di Konstantinopel dirasakan sebagai ketinggalan zaman, terlalu kaku, dan terlalu religius. Diantara tokoh-tokoh cendekiawan itu adalah Sinasi, Ziya Pasha dan Namik Kemal. Di Mesir, juga ada tokoh-tokoh sekaliber di Turki yang liberal, seperti Rifa' Badawi Rafi' al-Tahtawi (1801-1873), Khayr al-Din Pasha (1810-18819), dan Butrus al-Bustam (1819-1883). Mereka dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan, yang ringkasnya adalah: Bagaimana masyarakat yang baik itu? Bagaimana bisa mengetahui bahwa (masyarakat) itu baik atau ideal? Norma-norma apa yang sebaiknya membimbing suatu pembaruan sosial? Dari mana norma-norma itu harus dicari? Bolehkah dari Islam ataukah justru dari Barat? Lantas, antara Islam dan Barat, apakah tidak ada pertentangan?
Menurut mereka, 'ulama harus dilibatkan dalam pemerintahan, tetapi untuk itu, 'ulama harus terlebih dulu diberikan pendidikan modern yang memadai, agar mereka dapat melihat situasi dan kebutuhan masyarakat modern sekarang ini. Dari para 'ulama itu, dituntut pengetahuan tentang apa itu dunia modern dan problematikanya, supaya tidak terkurung hanya dalam ajaran-ajaran tradisional. Sementara itu, syari'ah juga harus disesuaikan dengan situasi baru. Antara syari'ah (hukum Islam) dan hukum alam (ilmu pengetahuan) yang dikembangkan di Eropa dianggap tidak banyak perbedaannya secara prinsipil. Karena itu, pendidikan modern adalah suatu keharusan untuk umat Islam. Juga untuk "memperbaharui" syari'ah itu.
Demikianlah, sampai sebelum Jamal al-Din al-Afghani (1839-1897), Muhammad 'Abduh dan Muhammad Rasyd Ridla (1865-1935), kesadaran bahwa Islam itu--maksudnya tentu saja pemahaman kaum Muslim terhadap Islam--harus "dimodernkan" atau "dirasionalkan" sudah menjadi kesadaran umum para cendekiawan Muslim. Dan ini telah menimbulkan gerakan yang oleh Fazlur Rahman disebut sebagai "gerakan modernisme awal." Oleh karena itu pula, Tahtawi dan seluruh kawan-kawannya yang sezaman, telah melihat bahwa Eropa adalah sumber ide dan penemuan yang tak terelakkan. Maka, Islah harus belajar dari Barat!
Memang, mereka pun menyadari bahaya yang bisa muncul dari proses "pembaratan" ini. Tetapi, mereka juga yakin bahwa kekuatan gagasan yang progresif dari Barat itu, juga akan mampu mengatasi masalah yang akan muncul. Apalagi, bertepatan dengan munculnya gagasan-gagasan itu, secara politis Ottoman mengalami kemunduran.
Selanjutnya, masalah menjadi lain ketika Afghani, 'Abduh dan Rasyd Ridha hidup. Masalah yang dihadapi mereka adalah imperialisme Eropa. Kerajaan Ottoman dalam tahun 1875-1878, telah kemasukan kekuatan militer Eropa. Tahun 1881, Tunisia diduduki Perancis dan tahun 1882, Mesir pun jatuh ke tangan Inggris. Dan pada tahun-tahun ini pula, semua dunia Islam berada dalam genggaman kolonialisme Eropa, termasuk Indonesia. Sehingga, secara politis keadaan sudah berubah. Maka melihat fenomena Barat-Modern tanpa kritisisme pun menjadi naif. Melalui mereka, muncullah gagasan pan-Islamisme yang mau melawan kolonialisme Barat. Dalam diri mereka, sudah timbul suatu kesadaran bahwa Barat yang modern itu ternyata juga mempunyai sisi destruktif, yakni imperialisme yang menghancurkan kebudayaan Islam baik secara sosial-budaya maupun politis. Timbullah kesadaran bahwa yang modern bukan hanya Barat, tetapi bisa juga Islam. Karena itu pemikiran dan gerakan modernisme awal ini, nantinya mendorong munculnya gerakan-gerakan neo-revivalisme, yang terutama dipimpin oleh Hassan al-Banna, Sayyid Qutb, dan Abu 'Al al-Mawdudi, yang nanti akan "dicap" sebagai akar fundamentalisme Islam kontemporer.
Pada masa-masa ini, gagasan romantisme kejayaan Islam muncul sebagai motivasi melawan penjajahan. Inilah dorongan paling besar yang merefleksikan kembali arti peradaban Islam di dunia modern, di tengah-tengah hegemoni Barat waktu itu. Dorongan ini terus menjadi momentum pemikiran Islam paska kolonialisme. Dari sini, mulailah dilakukan refleksi atas munculnya peradaban Barat, dan hegemoninya atas dunia Islam. Nantinya, sebagai "puncak" pemikiran modernis ini, sangat relevan memberi perhatian atas kajian-kajian ekonomi-politik atas apa yang menjadi pendorong imperialisme Barat terhadap dunia Islam. Pemikir-pemikir Muslim kontemporer seperti Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Ali Syari'ati, Zia-ul Haq, dan kalangan-kalangan transformis lainnya yang menaruh perhatian pada gagasan pembebasan, layak juga diperhatikan.
Sampai di sini, menarik sekali untuk memperhatikan pokok-pokok gagasan kalangan modernis-liberalis ini, yang nantinya akan dikritik secara keras oleh kaum fundamentalis Islam, khususnya seperti ditulis oleh Nader Saiedi dalam pandangan-pandangan mereka perihal: Pertama, keyakinan akan perlunya sebuah filsafat dialektis; kedua, keyakinan akan adanya aspek historisisme dalam kehidupan sosial keagamaan; ketiga, pentingnya secara kontinu untuk membuka kembali pintu ijtihad yang dulu sempat tertutup atau justru ditutup oleh fatwa ulama; keempat, penggunaan argumen-argumen rasional untuk iman; kelima, perlunya pembaruan pendidikan; dan keenam, menaruh simpati dan hormat terhadap hak-hak perempuan, dan non-Muslim.
Penutup
Gagasan Islam Liberal – sebagaimana yang dapat dipahami dari tulisan di atas – memang bukan barang baru, tetapi barngkali bisa dianggap tetap baru, karena semangat kebaruannya.
Tetapi, dengan pikiran jernih, kita akan dapat menyikapi liberasi pemikiran keislama dengan ‘cerdas’, tanpa kemarahan, tetapi juga bukan harus selalu ‘tersenyum’.Karena, meskipun wajah Islam Liberal selalu bisa tampak ‘indah’, namun bukan selalu akan berdampak indah, termasuk juga antitesisnya: “islam Literal”.
Saatnya kita tidak boleh terpuruk dalam kejumudan, tetapi juga tidak akan ‘bebas’ dengan sebebas-bebasnya. Karena di manapun batas dan sekat akan tetap ada, termasuk di dalamnya untuk “Islam Liberal” yang diasumsikan sebagai Kritisisme Islam di sepanjang zaman.

Tidak ada komentar: