Kamis, 19 Maret 2009

ISTIQAMAH

ISTIQÂMAH

Oleh: Muhsin Hariyanto

Suatu ketika, Nabi s.a.w. dimintai nasihat oleh seorang laki-laki: “Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam suatu perkataan yang aku tidak akan menanyakannya lagi kepada seseorang selain hanya kepada engkau.” Atas permintaan itu pun Nabi s.a.w. bersabda: ”Katakanlah! Aku beriman kepada Allah kemudian (bersikap) istiqâmah.” Belum puas dengan nasihat itu, laki-laki itu pun meminta nasihat lagi kepada Nabi s.a.w.: “Ya Rasulullah apa yang harus aku jaga, setelah itu?” Atas permintannya itu pun Nabi s.a.w. mengisyaratkan kepada lidahnya sendiri dan berkata: “ini” (Hadis Shahih riwayat Muslim dari Sofyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi).

Banyak hal yang bisa menjadikan diri kita 'gamang' mengahadapi persoalan hidup, karena kita hidup tidak selalu dalam lingkaran sistem dan budaya 'sehat. Bahkan dalam banyak hal kita ditantang oleh sebuah kenyataan hidup yang serba menggoda, hingga iman kita serasa semakin menipis dan suatu saat mungkin akan sirna karena kelemahan kita sendiri ketika menghadapi realitas kehidupan yang serba menekan.

Hadis di atas mengisyaratkan, bahwa panduan hidup itu cukup sederhana; "jadilah orang yang beriman, bersikap istiqâmah dan – kemudian – "jaga lidah kita". Tiga rangkaian modal kita untuk berproses menuju visi keislaman kita: "menjadi muslim sejati, muslim kâffah, muslim yang – dalam seluruh bagian kehidupan kita -- terhiasi oleh al-Akhlâq al-Karîmah. Fondasi iman dan sikap istiqâmah sering dinyatakan sebagai pasangan, bagaikan dua-sisi dari sekeping mata-uang, dan sekaligus menjadi modal dasar yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi setiap manusia dalan mengarungi kehidupannya. Karena iman tidak mungkin akan mewujud menjadi tindakan serba-positif tanpa sikap istiqâmah, dengan prasyarat pengiring: hifzh al-lisân (menjaga lidah), yang – dalam banyak hal – seringkali menjadikan seseorang tergelincir ke dalam lembah kenistaan.

Kata "istiqâmah" menurut pengertian kebahasaan bahasa bermaka: "lurus, lempang dan tidak berbelok-belok". Dalam kaitannya dengan hal ini, Umar bin Khathab r.a. pernah menjelaskan bahwa, seseorang yang telah bersikap istiqâmah akan selalu mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya, serta tidak akan pernah sedikit pun akan melakukan penyimpangan atas aturan-aturan-Nya. Sementara itu Abu Bakar ash-Shiddiq menambahkan bahwa yang dimaksud dengan perkataan “istiqâmah “ sesudah beriman ialah: "tidak bersikap syirik dalam bentuk apa pun". Bahkan Allah pun menegaskan: “Dan tetaplah (bersikap istiqâmah) sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS asy-Syûrâ, 42: 15). Sikap istiqâmah dalam koridor "iman" mempersyaratkan komitmen kuat untuk hanya bertuhan kepada Allah semata-mata, dalam bentuk mono loyalitas dan membangun semangat (untuk) selalu beramal saleh dalam setiap kesempatan, di mana pun dan kapan pun dalam bentuk apa pun.

Dengan penjelasaan di atas, maka istiqâmah harus bisa membentuk karakter dan kepribadian setiap orang beriman, yang lidahnya tak pernah 'kelu' untuk mengucapkan kalimah thayyibah (ucapan yang baik), dan memiliki integritas sebagai seseorang "muslim yang memiliki kesalehan ganda, vertikal-horisontal. Menjadi selalu menjadi pribadi yang "saleh" dalam konteks hablun minallâh dan hablun minannâs sekaligus. Jadikan hidup kita dengan motto dan garis hidup: "hidup adalah pengabdian, perjuangan dan pengorbanan untuk menggapai ridha Allah".

Ketika kita bertanya, kenapa Nabi s.a.w. menyebut "iman" sebelum istiqâmah? Jawab sederhananya adalah: "tanpa fondasi iman, tentu saja sikap istiqâmah akan menjadi sesuatu yang buram, atau paling tidak akan berocak abu-abu. Sementara itu pertanyaaan lanjutnya: "kenapa iman harus ditindaklanjuti dengan sikap istiqâmah? Jawab tegsanya adalah: "tidak mungkin seseorang dapat mempertahankan eksistensi dirinya sebagai orang beriman tanpa sikap istiqâmah". Kemungkinan besar jika seseorang telah beriman tanpa sikap istiqâmah, ia akan menjadi seseorang mudah tergoda oleh sejumlah kepentingan duniawi. Sementara itu seseorang yang berupaya bersikap istiqâmah dengan prinsip hidupnya yang tidak jelas – tanpa iman-- ia akan terombang-ambing oleh tawaran banyak orang, yang menjajakan berbagai panduan hidup berdasarkan orientasi dan ideologi mereka yang – sangat mungkin – akan mengarahkan dirinya pada visi yang salah. Mungkin saja seseorang akan berhasil dalam "karir" kehidupan duniawinya, tetapi goyah pendiriannya dan luntur kepribadiannya, dan mungkin saja "tergadaikan" pada kepentingan-kepentingan duniawinya.

Kita bisa belajar dari sejarah. Ternyata hanya orang-orang beriman dan bersikap istiqâmahlah yang dapat memikul tanggung jawab yang besar. Para Nabi -- kekasih Allah -- dipilih untuk melaksanakan berbagai tugas besar, dan mereka mampu melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Para shahabat Nabi s.a.w. yang sukses memerankan dirinya sebagai apa pun dalam proses aktualisasi dirinya, ternyata mereka adalah sejumlah orang saleh yang "kokoh" imannya dan memiliki sikap istiqâmah, berpendirian teguh sesudah iman merasuk ke dalam hati-sanubarinya. Sikap istiqâmah mereka melahirkan serangkaian sikap dan tindakan serba-positif: percaya diri dan optimistik, enerjik, kreatif, inovatif ketika melangkah menuju tujuan dan cita-cita hidupnya, Mereka telah dapat membuktikan dirinya menjadi manusia-manusia visioner, dan kisah-kisah hidupnya tertulis dalam "tinta-emas", selalu dikenang dan – tentu saja – layak diteladani.

Ketika kita kuak dalam nash (teks) al-Quran dan sirah (sejarah perjalanan hidup) mereka, kita temukan sejumlah pelajaran dari mereka, teks sejarah mereka telah mengabadikan 'ibrah (contoh pelajaran). Mereka – ternyata -- hadir hanya dengan dua panduan hidup: "iman dan sikap istiqâmah", seperti yang diisyaratkan oleh Nabi s.a.w. kepada seorang laki-laki yang pernah memohon nasihat kepadanya. Nasihat universal dari Nabi s.a.w. untuk siapa pun, dalam konteks apa pun.

Tidak hanya Nabi kita, Nabi Muhammad s.a.w. yang mengisyaratkan artipentingnya "iman dan sikap istiqâmah. Konon, -- dulu -- ketika Nabi Musa a.s. harus berhadapan dengan raja yang mengklaim sebagai maharaja yang paling-berkuasa, seorang diktator yang dikenal sangat zalim; Firaun, yang sejarah kezalimannya diabadikan dalam rangkaian ayat-ayat al-Quran, berhadapan dengan tukang-tukang sihir dan kejaran bala tentara Firaun yang sangat kuat sehingga terdesak sampai di Laut Merah, Ia – Musa a.s. – hanya memerlukan dua senjata: iman dan sikap istiqâmah, yang mampu melahirkan "optimisme". Dan dengan sikap "tawakal", sebagai implikasi dari iman dan sikap istiqâmahnya, akhirnya ia pun memenangkan perseturuan abadinya dengan "Sang Diktator", dengan "husnul khâtimah", happy-ending, menang-telak tanpa balas.

Apalagi ketika kita mau belajar pada sîrah (sejarah perjalanan hidup) Nabi Muhammad s.a.w.. Tidak diragukan lagi bahwa modal dasar "iman dan sikap istiqâmahnya telah menghadirkan kesuksesan yang luar biasa. Peristiwa demi peristiwa, tantangan dan ancaman dilaluinya dengan para shahabatnya. Beberapa kali usaha pembunuhan terhadap dirinya, dan berapa kali usaha penyerbuan mereka untuk menghancurleburkan kaum muslimin, tidak pernah membuat gentar hati beliau dan para shahabatnya. Bahkan – konon – justeru menambah kekuatan iman dan sikap istiqâmah mereka. Karena terbukti, mereka masih bisa berucap: “hasbunallâh wa ni’mal wakîl”, cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Dialah sebaik-baik pelindung" (QS Âli 'Imrân, 3: 173).

Sedemikian besar perhatian Allah terhadap orang-orang yang memiliki iman dan – sekaligus -- sifat istiqâmah. Dari merekalah diharapkan lahir segala macam bentuk kebajikan dan keutamaan, dan – tentu saja -- sekaligus merupakan harapan agar kita – umat Islam – mampu memberi konstribusi yang terbaik terhadap semuanya dalam kehidupan ini, selaras dengan misi Islam sebagai "rahmatan lil ‘âlamin".

Semoga!

Penulis adalah: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'AisyiyahYogyakarta.

Tidak ada komentar: