Selasa, 31 Maret 2009

MEMELIHARA SIKAP IKHLAS

MEMELIHARA SIKAP IKHLAS

Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu shalat berjamaah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga shalat di shaf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jamaah yang lain yang melihatnya shalat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senang-hatinya, tenang-hatinya tatkala shalat di shaf yang pertama adalah karena “pandangan manusia”. Dan ia pun beristighfar. Dia yakin: “tidaklah akan berkumpul keikhlasan dalam hati bersama rasa senang untuk dipuji dan disanjung dan keinginan untuk memperoleh apa yang ada pada manusia kecuali sebagaimana terkumpulnya air dan api…”

Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorang pun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini.

Keikhlasan sering terganggu karena orang menginginkan popularitas. Ketenaran (popularitas) memang mahal harganya. Betapa banyak orang yang rela mengorbankan banyak harta benda hanya karena untuk memperoleh ketenaran. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupun para bintang film. Mereka selalu berusaha tampil beda agar bisa menarik perhatian umat dunia. Bahkan ada yang rela untuk melakukan hal-hal yang aneh dan yang diharamkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popularitas (sebagaimana penulis membaca pengakuan seorang wanita yang rela untuk berfoto setengah telanjang -bukan setengah lagi, tapi 90%, karena hanya tersisa beberapa utas benang atau secarik kain yang menutupi tubuhnya, “awas ... jangan dibayangkan!!”-, padalah dia hanya dibayar sangat rendah. Dia mengaku bahwasanya semua itu agar dia menjadi tenar (na'udzu billahi min dzalik), yang toh setelah perjuangan dan pengorbanannya tersebut dia belum tentu tersohor. Kalaupun terkenal, toh belum tentu bertahan lama. Namun bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impian yang didambakan oleh banyak manusia (kafir maupun muslim).

Sebagaimana yang kita saksikan sekarang ini. Hampir seluruh keanehan-keanehan yang dilakukan oleh manusia sesungguhnya dikarenakan cinta popularitas. Kita lihat ada orang yang mengecet rambutnya bewarna warni, ada yang kepalanya setengah gundul dan setengahnya rambutnya panjang hingga bahunya dan dicat hijau (sebagaimana yang pernah kita saksikan di televisi), ada yang rambutnya cuma ditengah saja panjang adapun sisanya gundul (sebagaimana penulis pernah lihat seorang dari tanah air yang model cukurannya seperti itu padahal dia lagi umrah), ada yang dipotong seperti warna macan tutul (botak gundul, botak gundul), ada yang tengahnya gundul dan kanan kiri kepalanya ada rambutnya, ada yang seluruh kepalanya gundul namun tersisia satu pelintiran yang panjang sekali, dan model-model yang lainnya yang banyak sekali dan aneh-aneh. Ini, padahal baru masalah rambut, belum masalah telinga, hiasan leher, apalagi model pakaian. Yang semua ini hanyalah dilakukan demi ketenaran. Demi Allah, seandainya salah seorang di antra mereka itu tinggal di hutan yang tidak ada manusianya sama sekali kecuali dia sendiri, dan dia hanya berteman binatang dan pepohonan, demi Allah dia tidak akan melakukan hal-hal aneh yang telah dia lakukan, karena tidak ada manusia yang memperhatikannya. Kalau dia tetap aneh juga maka dia akan terkenal di antara para hewan. Popularitas merupakan kenikmatan dunia yang mahal harganya.

Penyakit cinta ketenaran ternyata tidak hanya menimpa orang awam saja yang tidak mengetahui perkara-perkara agama, namun juga menjangkiti para ahli ibadah dan para penuntut ilmu syar’i. Walaupun memang bentuknya berbeda, namun hakikatnya sama adalah cinta popularitas. Ahli ibadah juga pingin kesungguhannya dalam beribadah diketahui oleh para ahli ibadah yang lain, ahli ilmu pun ingin orang lain tahu bahwasanya dia adalah seorang yang pandai, sehingga akhirnya martabatnya tinggi di hadapan manusia. Penyakit inilah yang dalam kamus agama disebut penyakit riya’ (pingin dilihat orang) dan sum’ah (pingin didengar orang).

Manusia begitu bersemangat untuk menutupi kejelekan-kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, kejelekan sekecil apa pun, dibungkus rapat jangan sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan mereka menginginkan mendapatkan kehormatan di mata manusia. Dengan terungkapnya kejelekan yang ada pada mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata manusia, "jaga imej", istilah populernya. Seandainya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, sekecil apapun kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, siapa pun orangnya (saudaranya, sahabat karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan isterinya) tidak ada yang mengetahui kebaikannya, tentunya mereka akan mencapai martabat mukhlishin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar yang hanya mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah.

Oleh karena itu banyak orang yang ’benar-benar’ saleh (yang) membenci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga keikhlasan mereka, dan karena mereka khawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.

Bagaimana dengan kita?

1 komentar:

Novita Ristianingrum mengatakan...

luar biasa sekali ya,,,, jd pgen sharing ne..