Rabu, 18 Maret 2009

WARISAN YUNANI, ISKANDARIAH DAN TIMUR (ASIA)

WARISAN YUNANI, ISKANDARIAH DAN TIMUR (ASIA):

SUASANA TIMUR DEKAT PADA ABAD KETUJUH[1]

Oleh: Majid Fakhry

Penaklukan Arab atas Timur Dekat telah selesai menjelang tahun 541, ketika Iskandariah jatuh ke tangan Jenderal Arab, 'Amr ibn al-'Ash. Kebudayaan Yunani telah tumbuh subur di Mesir, Syria dan Irak sejah masa Iskandar Agung. Tetapi, jatuhnya kota Iskandariah telah menundukkan mereka di bawah kekuasaan Arab, dan mengakhiri abad-abad lama kekuasaan kekuasaan Persia dan Bizantium di wilayah tersebut.

Beberapa alasan telah dikemukakan berkenaan dengan cepatnya proses penaklukan itu. Tindakan perluasan Kaisar Romawi, Heraclius, pada tahun 610, menimbulkan suatu masa perseteruan sengit antara orang-orang Persia dan Bizantium yang telah terlibat dalam suatu pertempuran panjang untuk memperoleh pengaruh militer di Timur Dekat. Hal ini tentu saja sangat melemahkan kekuatan kedua belah pihak yang telah bertarung sedemikian lama, sehingga tentara Arab berhasil mencatat serangkaian kemenangan yang menentukan terhadap kedua pasukan yang jauh lebih unggul dan banyak jumlahnya, meskipun orang-orang Arab sebenarnya belum banyak berpengalaman dalam perang-perang berskala besar.

Selain itu, perbedaan dan perseteruan keagamaan, di mana terlibat orang-orang sekte Nestorian, Monofisite dan Meichite (aliran ortodoks) menimbulkan rasa tidak puas dan senang penduduk Mesir, Syria dan Irak. Dalam keadaan seperti itu, tidak heran kalau orang-orang Arab disambut sebagai pembebas oleh sebagian besar orang-orang yang berharap agar orang-orang Arab itu akan dapat melenyapkan penindasan opresif dari Konstaninopel yang dilakukan dengan dalih menjaga kemurnian (ortodoksi), terutama sejak masa pemerintahan Justinian (527-565).

Iskandariah merupakan pusat studi filsafat dan teologi Yunani yang sangat penting pada abad ketujuh, sekalipun tentu saja bukan satu-satunya. Di Syria dan Irak, (filsafat dan teologi) Yunani sudah dipelajari sejak abad keempat; tepatnya di kota Antioch, Haraan, Edessa dan Qinnesrin di (kawasan) Syria Utara, dan di kota Nisibis dan Ras'aina di dataran tinggi Irak. Pusat-pusat studi ini masih berkembang subur ketika pasukan Arab memasuki wilayah Syria dan Irak. Kajian mengenai Yunani telah diupayakan, terutama sebagai cara untuk memberi kunci masuk ke dalam naskah-naskah teologi yang mengalir, terutama dari Iskandariah kepada para sarjana Syria dari pelbagi lembaga yang patut dihormati ini. Pada saat itu berbagai risalah teologi diterjemahkan ke dalam bahasa Syria, khususnya karya Eusebius: "Sejarah Gereja-gereja", "Pengakuan" yang dianggap berasal dari St. Clement dari Iskandariah, "Theophany" karya Eusebius, "Discourses" karya Titus dari Bostra untuk melawan kaum Manichaean, dan karya-karya Theodor dari Mopseustia serta Diodorus dari Tarsus.[2]

Bersama dengan terjemah naskah-naskah teologis itu, seringkali diikutsertakan terjemah karya-karya yang berkaitan dengan logika. Hal ini didorong oleh kebutuhan untuk meneliti makna yang lebih dalam tentang konsep-konsep teologis dan proses dialektis yang dikenalkan dalam perdebatan kristologis pada masa itu. Tetapi perlu dicatat, bahwa para penerjemah itu tidak meneruskan terjemah mereka sampai pada Isagoge Porphyry, Categories, Hermeutica dan Analytica Priora.[3] Sebagaimana terbukti dalam tradisi yang dinisbatkan atas nama Al-Farabi dalam sumber-sumber yang berbahasa Arab, bahwa studi-studi logika tidak dikejar sampai ada Analytisa Priora, karena adanya bahaya-bahaya yang terkandung dalam mempelajari argumen-argumen demonstratif dan sofistis.[4]

Penaklukan oleh bangsa Arab pada umumnya tidak mengganggu penelitian akademik yang dilakukan para sarjana di Edessa, Nisibis dan pusat-pusat studi lainnya di Timur Dekat. Salah satu indikatornya adalah kenyataan bahwa Edessa (Arb.: Al-Ruha) terus berkembang dengan baik sampai dasa warsa terakhir abad ketujuh Karya teologis dan filosofis yang agung dari salah seorang pakarnya yang terkemuka, Jacob dari Edessa (w. 708) merupakan sebuah monumen yang menandai kebebasan berpikir yang ia nikmati bersama-sama dengan rekan-rekannya yang lain.[5]

Studi-studi teologis masih terus ditekuni tanpa mengalami hambatan pada abad ketujuh di biara Monofisit Qinnesin di Syria Utara. Biara yang didirikan John bar Aphtona (w. 538) pada abad keenam, telah menghasilkan sejumlah sarjana, seorang di antaranya yang paling menonjol ialah Severus Sebokht (w. 667). Ia menyusun beberapa komentar tentang Hermeneutica dan Rethorica Aristoteles dan menulis risalah tentang Syllogisme Analytica Priora.[6] Murid Severus yang paling terkenal ialah Jacob dari Edessa, yang karya-karyanya meliputi bidang yang amat luas, seperti: teologi, filsafat, geologi, tata-bahasa dan kajian ilmiah lainnya. Karya-karya filosofis Jacob yang ada pada kami adalah Risalah tentang Terma-terma Teknis, Enchiridion, dan terjemah Categories[7] (ke dalam bahasa Arab).

Biara Qinnesin menghasikan dua sarjana lainnya yang terkemuka: Athanasius dari Balad (w. 696) dan muridnya, George, seorang Uskup Arab (w. 724) yang kedua-duanya telah menerjemahkan dan mengomentari Categories, Hermeneutica dan buku pertama dari Analytica Priora karya Aristoteles, seperti halnya Isalog karya Porphyry.[8] Begitu tinggi Renan menilai karya George, sehingga ia menyatakan bahwa "di antara para penafsir Syria, tidak ada seorang pun yang dapat menandingi artipenting kecermatannya dalam memberikan penjelasan.[9]

Masih ada dua lembaga studi Yunani lain yang penting pada abad ketujuh di Harran dan Jundishapur. Harran, kota di sebelah utara Syria telah menjadi tempat bermukim aliran para pemuja bintang, yang selama masa pemerintahan Abbasiyah disebut sebagai kaum Sabaean (Arb: Al-Shaba'ah) yang disebut dalam al-Quran. Agama mereka, seperti juga pengaruh-pengaruh Helenistik, Gnostik dan Hermetik, mampu membuat kaum Harran bertindak secara istimewa sebagai mata rantai penyebaran ilmu Yunani kepada orang-orang Arab, dan dari permulaan abad kesembilan mampu melengkapi istana Abbasiyah dengan sekelompok Astrolog yang terpilih. Kita memiliki kesempatan untuk memperhitungkan sumbangan yang diberikan oleh beberapa sarjana Harran yang utama, seperti Tsabit bin Qurra yang termasyhur (w. 901), puteranya, Sinan, dan dua orang cucunya, Tsabit dan Ibrahim, dalam studi matematika dan astronomi serta peranan mereka dalam menyebarkan ilmu Yunani di kalangan orang-orang Arab.

Perguruan Jundishapur, yang didirikan oleh Chosrous I (Anushirwan) sekitar tahun 555 dianggap sebagai lembaga utama pengajian Helenik di Asia Barat, yang pengaruhnya telah menyebar ke dunia Islam pada masa pemerintahan 'Abbasiyah. Guru-gurunya yang beraliran Nestorian, oleh Chosrous yang bijaksana diperkenankan untuk menekuni studi-stdi ilmiah mereka dan merumuskan tradisi-tradisi keilmuan Syria-Yunani. Guru Yunani disambut oleh kalangan istana Persia, ketika sekolah Athena ditutup atas perintah Kaisar Justianus, dan guru-guru pagan diperiksa untuk menghindarkan diri dari persekusi tahun 529. Pada saat itu sekolah Jndishapur dengan fakultas kedoteran, akademi dan observatoriumnya mencapai puncak kemasyhurannya dan masih berkembang dengan pesat ketika kota Baghdad didirikan pada tahun 762 oleh Khalifah 'Abbasiyah di al-Manshur. Karena Jundishapur berdekatan dengan Baghdad, relasi politis orang-orang Persia dengan Khalifah 'Abbasiyah sangat erat. Akhirnya, dari sekolah inilah perkembangan ilmiah dan intelektual menyebar ke seluruh kerajaan Muslim. Sejak awal Jundishapur telah menyumbang kepada Khalifah di Baghdad sejumlah dokter-dokter istana, seperti halnya sejumlah keluarga Nestorian, Bakhtishu yang terkenal, yang mengabdi kepada Khalifah dengan setia lebih dari dua abad. Mereka juga banyak membantu pembangunan rumah-rumah sakit dan observatorium di Baghdad dengan mengikuti model Jundishapur, selama masa pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) dan penerusnya al-Ma'mun (813-833)[10]

Perhatian kepada filsafat dan ilmu-ilmu teoritis juga banyak muncul, berkat dorongan sekolah Jundishapur. Seorang Persia, yaitu Yahya al-Barmaki (w. 657), menteri dan penasihat Harun al-Rasyid, yang antusiasmenya luar biasa terhadap studi-studi Helenis, sangat membantu perkembangan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan seorang murid Jibril bin Bakhtishu-lah, yaitu Yuhanna bin Masawayh (w. 857), guru Hunain Agung, yang menjadi penerjemah Arab pertama yang paling menonjol dari karya-karya Yunani. Ia juga menjadi Kepala Sekolah Baghdad (Bait al-Hikmah) pertama, yang didirikan oleh al-Ma'mun pada tahun 830.


[1] Diterjemahkan oleh Muhsin Hariyanto, dari Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, New York & London: Columbia University Press: 1970

[2] Duval. Histoire d'Edesse, h. 162 dan Wright, History of Syriac Literature, h. 61 dst.

[3] Lihat Georr, Les Categories d'Aristote dans leurs versions syro-arabes, h. 14, Baumstark, Geschichte der Syrischen Literatur, h. 1001; dan Wright, History of Syrac Literaure, h. 74 ds.t.

[4] Lihat Ibnu Abi Ushaybi'ah, 'Uyun a-Anba', II, h. 134 dst. Bandingkan dengan yang di bawah h. 61 dst.

[5] Untuk kegiatan literal Jacob, lihat Duval, Histoire 'Edesse, hh. 244-51.

[6] Georr, Les categories, h. 25 dst. Duval, La literature Syriaque, h. 257. Wrigh History of Syriac Literature, h. 138.

[7] Georr, Les categories, h. 27, dan Baumstark, Geschichte, hh. 248-56. Wright menentang bahwa karya terakhir itu karangan Jacob(History of Syriac Literature, h. 91)

[8] Wright, History of Syriac Literature, hh. 155 dst., dan Duval, La Literature syriaque, hh. 258 dst.

[9] Renan, De philosophia peripatetica apud Syros, h. 33/

[10] Ibn al-Ibri, Mukhtashar Tarikh al-umam, h. 130; dan Hitti, History of the Arabs, h. 309, 365, 373.

Tidak ada komentar: