Selasa, 31 Maret 2009

MEMELIHARA SIKAP IKHLAS

MEMELIHARA SIKAP IKHLAS

Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu shalat berjamaah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga shalat di shaf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jamaah yang lain yang melihatnya shalat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senang-hatinya, tenang-hatinya tatkala shalat di shaf yang pertama adalah karena “pandangan manusia”. Dan ia pun beristighfar. Dia yakin: “tidaklah akan berkumpul keikhlasan dalam hati bersama rasa senang untuk dipuji dan disanjung dan keinginan untuk memperoleh apa yang ada pada manusia kecuali sebagaimana terkumpulnya air dan api…”

Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya. Dikatakan bahwa “madu itu murni” jika sama sekali tidak tercampur dengan campuran dari luar, dan dikatakan “harta ini adalah murni untukmu” maksudnya adalah tidak ada seorang pun yang bersyarikat bersamamu dalam memiliki harta ini.

Keikhlasan sering terganggu karena orang menginginkan popularitas. Ketenaran (popularitas) memang mahal harganya. Betapa banyak orang yang rela mengorbankan banyak harta benda hanya karena untuk memperoleh ketenaran. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh para penyanyi, ataupun para bintang film. Mereka selalu berusaha tampil beda agar bisa menarik perhatian umat dunia. Bahkan ada yang rela untuk melakukan hal-hal yang aneh dan yang diharamkan oleh Allah hanya untuk memperoleh popularitas (sebagaimana penulis membaca pengakuan seorang wanita yang rela untuk berfoto setengah telanjang -bukan setengah lagi, tapi 90%, karena hanya tersisa beberapa utas benang atau secarik kain yang menutupi tubuhnya, “awas ... jangan dibayangkan!!”-, padalah dia hanya dibayar sangat rendah. Dia mengaku bahwasanya semua itu agar dia menjadi tenar (na'udzu billahi min dzalik), yang toh setelah perjuangan dan pengorbanannya tersebut dia belum tentu tersohor. Kalaupun terkenal, toh belum tentu bertahan lama. Namun bagaimanapun popularitas merupakan sesuatu impian yang didambakan oleh banyak manusia (kafir maupun muslim).

Sebagaimana yang kita saksikan sekarang ini. Hampir seluruh keanehan-keanehan yang dilakukan oleh manusia sesungguhnya dikarenakan cinta popularitas. Kita lihat ada orang yang mengecet rambutnya bewarna warni, ada yang kepalanya setengah gundul dan setengahnya rambutnya panjang hingga bahunya dan dicat hijau (sebagaimana yang pernah kita saksikan di televisi), ada yang rambutnya cuma ditengah saja panjang adapun sisanya gundul (sebagaimana penulis pernah lihat seorang dari tanah air yang model cukurannya seperti itu padahal dia lagi umrah), ada yang dipotong seperti warna macan tutul (botak gundul, botak gundul), ada yang tengahnya gundul dan kanan kiri kepalanya ada rambutnya, ada yang seluruh kepalanya gundul namun tersisia satu pelintiran yang panjang sekali, dan model-model yang lainnya yang banyak sekali dan aneh-aneh. Ini, padahal baru masalah rambut, belum masalah telinga, hiasan leher, apalagi model pakaian. Yang semua ini hanyalah dilakukan demi ketenaran. Demi Allah, seandainya salah seorang di antra mereka itu tinggal di hutan yang tidak ada manusianya sama sekali kecuali dia sendiri, dan dia hanya berteman binatang dan pepohonan, demi Allah dia tidak akan melakukan hal-hal aneh yang telah dia lakukan, karena tidak ada manusia yang memperhatikannya. Kalau dia tetap aneh juga maka dia akan terkenal di antara para hewan. Popularitas merupakan kenikmatan dunia yang mahal harganya.

Penyakit cinta ketenaran ternyata tidak hanya menimpa orang awam saja yang tidak mengetahui perkara-perkara agama, namun juga menjangkiti para ahli ibadah dan para penuntut ilmu syar’i. Walaupun memang bentuknya berbeda, namun hakikatnya sama adalah cinta popularitas. Ahli ibadah juga pingin kesungguhannya dalam beribadah diketahui oleh para ahli ibadah yang lain, ahli ilmu pun ingin orang lain tahu bahwasanya dia adalah seorang yang pandai, sehingga akhirnya martabatnya tinggi di hadapan manusia. Penyakit inilah yang dalam kamus agama disebut penyakit riya’ (pingin dilihat orang) dan sum’ah (pingin didengar orang).

Manusia begitu bersemangat untuk menutupi kejelekan-kejelekan mereka, mereka tutup sebisa mungkin, kejelekan sekecil apa pun, dibungkus rapat jangan sampai ketahuan. Hal ini dikarenakan mereka menginginkan mendapatkan kehormatan di mata manusia. Dengan terungkapnya kejelekan yang ada pada mereka maka akan turun kedudukan mereka di mata manusia, "jaga imej", istilah populernya. Seandainya mereka juga menutupi kebaikan-kebaikan mereka, sekecil apapun kebaikan itu, jangan sampai ada yang tahu, siapa pun orangnya (saudaranya, sahabat karibnya, guru-gurunya, anak-anaknya, bahkan isterinya) tidak ada yang mengetahui kebaikannya, tentunya mereka akan mencapai martabat mukhlishin (orang-orang yang ikhlas). Mereka berusaha sekuat mungkin agar yang hanya mengetahui kebaikan-kebaikan yang telah mereka lakukan hanyalah Allah. Karena mereka hanya mengharapkan kedudukan di sisi Allah.

Oleh karena itu banyak orang yang ’benar-benar’ saleh (yang) membenci ketenaran. Mereka senang kalau nama mereka tidak disebut-sebut oleh manusia. Mereka senang kalau tidak ada yang mengenal mereka. Hal ini demi untuk menjaga keikhlasan mereka, dan karena mereka khawatir hati mereka terfitnah tatkala mendengar pujian manusia.

Bagaimana dengan kita?

Kamis, 19 Maret 2009

ISTIQAMAH

ISTIQÂMAH

Oleh: Muhsin Hariyanto

Suatu ketika, Nabi s.a.w. dimintai nasihat oleh seorang laki-laki: “Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku tentang Islam suatu perkataan yang aku tidak akan menanyakannya lagi kepada seseorang selain hanya kepada engkau.” Atas permintaan itu pun Nabi s.a.w. bersabda: ”Katakanlah! Aku beriman kepada Allah kemudian (bersikap) istiqâmah.” Belum puas dengan nasihat itu, laki-laki itu pun meminta nasihat lagi kepada Nabi s.a.w.: “Ya Rasulullah apa yang harus aku jaga, setelah itu?” Atas permintannya itu pun Nabi s.a.w. mengisyaratkan kepada lidahnya sendiri dan berkata: “ini” (Hadis Shahih riwayat Muslim dari Sofyan bin Abdullah Ats-Tsaqafi).

Banyak hal yang bisa menjadikan diri kita 'gamang' mengahadapi persoalan hidup, karena kita hidup tidak selalu dalam lingkaran sistem dan budaya 'sehat. Bahkan dalam banyak hal kita ditantang oleh sebuah kenyataan hidup yang serba menggoda, hingga iman kita serasa semakin menipis dan suatu saat mungkin akan sirna karena kelemahan kita sendiri ketika menghadapi realitas kehidupan yang serba menekan.

Hadis di atas mengisyaratkan, bahwa panduan hidup itu cukup sederhana; "jadilah orang yang beriman, bersikap istiqâmah dan – kemudian – "jaga lidah kita". Tiga rangkaian modal kita untuk berproses menuju visi keislaman kita: "menjadi muslim sejati, muslim kâffah, muslim yang – dalam seluruh bagian kehidupan kita -- terhiasi oleh al-Akhlâq al-Karîmah. Fondasi iman dan sikap istiqâmah sering dinyatakan sebagai pasangan, bagaikan dua-sisi dari sekeping mata-uang, dan sekaligus menjadi modal dasar yang tidak bisa ditawar-tawar lagi bagi setiap manusia dalan mengarungi kehidupannya. Karena iman tidak mungkin akan mewujud menjadi tindakan serba-positif tanpa sikap istiqâmah, dengan prasyarat pengiring: hifzh al-lisân (menjaga lidah), yang – dalam banyak hal – seringkali menjadikan seseorang tergelincir ke dalam lembah kenistaan.

Kata "istiqâmah" menurut pengertian kebahasaan bahasa bermaka: "lurus, lempang dan tidak berbelok-belok". Dalam kaitannya dengan hal ini, Umar bin Khathab r.a. pernah menjelaskan bahwa, seseorang yang telah bersikap istiqâmah akan selalu mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah dan Rasul-Nya, serta tidak akan pernah sedikit pun akan melakukan penyimpangan atas aturan-aturan-Nya. Sementara itu Abu Bakar ash-Shiddiq menambahkan bahwa yang dimaksud dengan perkataan “istiqâmah “ sesudah beriman ialah: "tidak bersikap syirik dalam bentuk apa pun". Bahkan Allah pun menegaskan: “Dan tetaplah (bersikap istiqâmah) sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka.” (QS asy-Syûrâ, 42: 15). Sikap istiqâmah dalam koridor "iman" mempersyaratkan komitmen kuat untuk hanya bertuhan kepada Allah semata-mata, dalam bentuk mono loyalitas dan membangun semangat (untuk) selalu beramal saleh dalam setiap kesempatan, di mana pun dan kapan pun dalam bentuk apa pun.

Dengan penjelasaan di atas, maka istiqâmah harus bisa membentuk karakter dan kepribadian setiap orang beriman, yang lidahnya tak pernah 'kelu' untuk mengucapkan kalimah thayyibah (ucapan yang baik), dan memiliki integritas sebagai seseorang "muslim yang memiliki kesalehan ganda, vertikal-horisontal. Menjadi selalu menjadi pribadi yang "saleh" dalam konteks hablun minallâh dan hablun minannâs sekaligus. Jadikan hidup kita dengan motto dan garis hidup: "hidup adalah pengabdian, perjuangan dan pengorbanan untuk menggapai ridha Allah".

Ketika kita bertanya, kenapa Nabi s.a.w. menyebut "iman" sebelum istiqâmah? Jawab sederhananya adalah: "tanpa fondasi iman, tentu saja sikap istiqâmah akan menjadi sesuatu yang buram, atau paling tidak akan berocak abu-abu. Sementara itu pertanyaaan lanjutnya: "kenapa iman harus ditindaklanjuti dengan sikap istiqâmah? Jawab tegsanya adalah: "tidak mungkin seseorang dapat mempertahankan eksistensi dirinya sebagai orang beriman tanpa sikap istiqâmah". Kemungkinan besar jika seseorang telah beriman tanpa sikap istiqâmah, ia akan menjadi seseorang mudah tergoda oleh sejumlah kepentingan duniawi. Sementara itu seseorang yang berupaya bersikap istiqâmah dengan prinsip hidupnya yang tidak jelas – tanpa iman-- ia akan terombang-ambing oleh tawaran banyak orang, yang menjajakan berbagai panduan hidup berdasarkan orientasi dan ideologi mereka yang – sangat mungkin – akan mengarahkan dirinya pada visi yang salah. Mungkin saja seseorang akan berhasil dalam "karir" kehidupan duniawinya, tetapi goyah pendiriannya dan luntur kepribadiannya, dan mungkin saja "tergadaikan" pada kepentingan-kepentingan duniawinya.

Kita bisa belajar dari sejarah. Ternyata hanya orang-orang beriman dan bersikap istiqâmahlah yang dapat memikul tanggung jawab yang besar. Para Nabi -- kekasih Allah -- dipilih untuk melaksanakan berbagai tugas besar, dan mereka mampu melaksanakan dengan sebaik-baiknya. Para shahabat Nabi s.a.w. yang sukses memerankan dirinya sebagai apa pun dalam proses aktualisasi dirinya, ternyata mereka adalah sejumlah orang saleh yang "kokoh" imannya dan memiliki sikap istiqâmah, berpendirian teguh sesudah iman merasuk ke dalam hati-sanubarinya. Sikap istiqâmah mereka melahirkan serangkaian sikap dan tindakan serba-positif: percaya diri dan optimistik, enerjik, kreatif, inovatif ketika melangkah menuju tujuan dan cita-cita hidupnya, Mereka telah dapat membuktikan dirinya menjadi manusia-manusia visioner, dan kisah-kisah hidupnya tertulis dalam "tinta-emas", selalu dikenang dan – tentu saja – layak diteladani.

Ketika kita kuak dalam nash (teks) al-Quran dan sirah (sejarah perjalanan hidup) mereka, kita temukan sejumlah pelajaran dari mereka, teks sejarah mereka telah mengabadikan 'ibrah (contoh pelajaran). Mereka – ternyata -- hadir hanya dengan dua panduan hidup: "iman dan sikap istiqâmah", seperti yang diisyaratkan oleh Nabi s.a.w. kepada seorang laki-laki yang pernah memohon nasihat kepadanya. Nasihat universal dari Nabi s.a.w. untuk siapa pun, dalam konteks apa pun.

Tidak hanya Nabi kita, Nabi Muhammad s.a.w. yang mengisyaratkan artipentingnya "iman dan sikap istiqâmah. Konon, -- dulu -- ketika Nabi Musa a.s. harus berhadapan dengan raja yang mengklaim sebagai maharaja yang paling-berkuasa, seorang diktator yang dikenal sangat zalim; Firaun, yang sejarah kezalimannya diabadikan dalam rangkaian ayat-ayat al-Quran, berhadapan dengan tukang-tukang sihir dan kejaran bala tentara Firaun yang sangat kuat sehingga terdesak sampai di Laut Merah, Ia – Musa a.s. – hanya memerlukan dua senjata: iman dan sikap istiqâmah, yang mampu melahirkan "optimisme". Dan dengan sikap "tawakal", sebagai implikasi dari iman dan sikap istiqâmahnya, akhirnya ia pun memenangkan perseturuan abadinya dengan "Sang Diktator", dengan "husnul khâtimah", happy-ending, menang-telak tanpa balas.

Apalagi ketika kita mau belajar pada sîrah (sejarah perjalanan hidup) Nabi Muhammad s.a.w.. Tidak diragukan lagi bahwa modal dasar "iman dan sikap istiqâmahnya telah menghadirkan kesuksesan yang luar biasa. Peristiwa demi peristiwa, tantangan dan ancaman dilaluinya dengan para shahabatnya. Beberapa kali usaha pembunuhan terhadap dirinya, dan berapa kali usaha penyerbuan mereka untuk menghancurleburkan kaum muslimin, tidak pernah membuat gentar hati beliau dan para shahabatnya. Bahkan – konon – justeru menambah kekuatan iman dan sikap istiqâmah mereka. Karena terbukti, mereka masih bisa berucap: “hasbunallâh wa ni’mal wakîl”, cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Dialah sebaik-baik pelindung" (QS Âli 'Imrân, 3: 173).

Sedemikian besar perhatian Allah terhadap orang-orang yang memiliki iman dan – sekaligus -- sifat istiqâmah. Dari merekalah diharapkan lahir segala macam bentuk kebajikan dan keutamaan, dan – tentu saja -- sekaligus merupakan harapan agar kita – umat Islam – mampu memberi konstribusi yang terbaik terhadap semuanya dalam kehidupan ini, selaras dengan misi Islam sebagai "rahmatan lil ‘âlamin".

Semoga!

Penulis adalah: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'AisyiyahYogyakarta.

Rabu, 18 Maret 2009

WARISAN YUNANI, ISKANDARIAH DAN TIMUR (ASIA)

WARISAN YUNANI, ISKANDARIAH DAN TIMUR (ASIA):

SUASANA TIMUR DEKAT PADA ABAD KETUJUH[1]

Oleh: Majid Fakhry

Penaklukan Arab atas Timur Dekat telah selesai menjelang tahun 541, ketika Iskandariah jatuh ke tangan Jenderal Arab, 'Amr ibn al-'Ash. Kebudayaan Yunani telah tumbuh subur di Mesir, Syria dan Irak sejah masa Iskandar Agung. Tetapi, jatuhnya kota Iskandariah telah menundukkan mereka di bawah kekuasaan Arab, dan mengakhiri abad-abad lama kekuasaan kekuasaan Persia dan Bizantium di wilayah tersebut.

Beberapa alasan telah dikemukakan berkenaan dengan cepatnya proses penaklukan itu. Tindakan perluasan Kaisar Romawi, Heraclius, pada tahun 610, menimbulkan suatu masa perseteruan sengit antara orang-orang Persia dan Bizantium yang telah terlibat dalam suatu pertempuran panjang untuk memperoleh pengaruh militer di Timur Dekat. Hal ini tentu saja sangat melemahkan kekuatan kedua belah pihak yang telah bertarung sedemikian lama, sehingga tentara Arab berhasil mencatat serangkaian kemenangan yang menentukan terhadap kedua pasukan yang jauh lebih unggul dan banyak jumlahnya, meskipun orang-orang Arab sebenarnya belum banyak berpengalaman dalam perang-perang berskala besar.

Selain itu, perbedaan dan perseteruan keagamaan, di mana terlibat orang-orang sekte Nestorian, Monofisite dan Meichite (aliran ortodoks) menimbulkan rasa tidak puas dan senang penduduk Mesir, Syria dan Irak. Dalam keadaan seperti itu, tidak heran kalau orang-orang Arab disambut sebagai pembebas oleh sebagian besar orang-orang yang berharap agar orang-orang Arab itu akan dapat melenyapkan penindasan opresif dari Konstaninopel yang dilakukan dengan dalih menjaga kemurnian (ortodoksi), terutama sejak masa pemerintahan Justinian (527-565).

Iskandariah merupakan pusat studi filsafat dan teologi Yunani yang sangat penting pada abad ketujuh, sekalipun tentu saja bukan satu-satunya. Di Syria dan Irak, (filsafat dan teologi) Yunani sudah dipelajari sejak abad keempat; tepatnya di kota Antioch, Haraan, Edessa dan Qinnesrin di (kawasan) Syria Utara, dan di kota Nisibis dan Ras'aina di dataran tinggi Irak. Pusat-pusat studi ini masih berkembang subur ketika pasukan Arab memasuki wilayah Syria dan Irak. Kajian mengenai Yunani telah diupayakan, terutama sebagai cara untuk memberi kunci masuk ke dalam naskah-naskah teologi yang mengalir, terutama dari Iskandariah kepada para sarjana Syria dari pelbagi lembaga yang patut dihormati ini. Pada saat itu berbagai risalah teologi diterjemahkan ke dalam bahasa Syria, khususnya karya Eusebius: "Sejarah Gereja-gereja", "Pengakuan" yang dianggap berasal dari St. Clement dari Iskandariah, "Theophany" karya Eusebius, "Discourses" karya Titus dari Bostra untuk melawan kaum Manichaean, dan karya-karya Theodor dari Mopseustia serta Diodorus dari Tarsus.[2]

Bersama dengan terjemah naskah-naskah teologis itu, seringkali diikutsertakan terjemah karya-karya yang berkaitan dengan logika. Hal ini didorong oleh kebutuhan untuk meneliti makna yang lebih dalam tentang konsep-konsep teologis dan proses dialektis yang dikenalkan dalam perdebatan kristologis pada masa itu. Tetapi perlu dicatat, bahwa para penerjemah itu tidak meneruskan terjemah mereka sampai pada Isagoge Porphyry, Categories, Hermeutica dan Analytica Priora.[3] Sebagaimana terbukti dalam tradisi yang dinisbatkan atas nama Al-Farabi dalam sumber-sumber yang berbahasa Arab, bahwa studi-studi logika tidak dikejar sampai ada Analytisa Priora, karena adanya bahaya-bahaya yang terkandung dalam mempelajari argumen-argumen demonstratif dan sofistis.[4]

Penaklukan oleh bangsa Arab pada umumnya tidak mengganggu penelitian akademik yang dilakukan para sarjana di Edessa, Nisibis dan pusat-pusat studi lainnya di Timur Dekat. Salah satu indikatornya adalah kenyataan bahwa Edessa (Arb.: Al-Ruha) terus berkembang dengan baik sampai dasa warsa terakhir abad ketujuh Karya teologis dan filosofis yang agung dari salah seorang pakarnya yang terkemuka, Jacob dari Edessa (w. 708) merupakan sebuah monumen yang menandai kebebasan berpikir yang ia nikmati bersama-sama dengan rekan-rekannya yang lain.[5]

Studi-studi teologis masih terus ditekuni tanpa mengalami hambatan pada abad ketujuh di biara Monofisit Qinnesin di Syria Utara. Biara yang didirikan John bar Aphtona (w. 538) pada abad keenam, telah menghasilkan sejumlah sarjana, seorang di antaranya yang paling menonjol ialah Severus Sebokht (w. 667). Ia menyusun beberapa komentar tentang Hermeneutica dan Rethorica Aristoteles dan menulis risalah tentang Syllogisme Analytica Priora.[6] Murid Severus yang paling terkenal ialah Jacob dari Edessa, yang karya-karyanya meliputi bidang yang amat luas, seperti: teologi, filsafat, geologi, tata-bahasa dan kajian ilmiah lainnya. Karya-karya filosofis Jacob yang ada pada kami adalah Risalah tentang Terma-terma Teknis, Enchiridion, dan terjemah Categories[7] (ke dalam bahasa Arab).

Biara Qinnesin menghasikan dua sarjana lainnya yang terkemuka: Athanasius dari Balad (w. 696) dan muridnya, George, seorang Uskup Arab (w. 724) yang kedua-duanya telah menerjemahkan dan mengomentari Categories, Hermeneutica dan buku pertama dari Analytica Priora karya Aristoteles, seperti halnya Isalog karya Porphyry.[8] Begitu tinggi Renan menilai karya George, sehingga ia menyatakan bahwa "di antara para penafsir Syria, tidak ada seorang pun yang dapat menandingi artipenting kecermatannya dalam memberikan penjelasan.[9]

Masih ada dua lembaga studi Yunani lain yang penting pada abad ketujuh di Harran dan Jundishapur. Harran, kota di sebelah utara Syria telah menjadi tempat bermukim aliran para pemuja bintang, yang selama masa pemerintahan Abbasiyah disebut sebagai kaum Sabaean (Arb: Al-Shaba'ah) yang disebut dalam al-Quran. Agama mereka, seperti juga pengaruh-pengaruh Helenistik, Gnostik dan Hermetik, mampu membuat kaum Harran bertindak secara istimewa sebagai mata rantai penyebaran ilmu Yunani kepada orang-orang Arab, dan dari permulaan abad kesembilan mampu melengkapi istana Abbasiyah dengan sekelompok Astrolog yang terpilih. Kita memiliki kesempatan untuk memperhitungkan sumbangan yang diberikan oleh beberapa sarjana Harran yang utama, seperti Tsabit bin Qurra yang termasyhur (w. 901), puteranya, Sinan, dan dua orang cucunya, Tsabit dan Ibrahim, dalam studi matematika dan astronomi serta peranan mereka dalam menyebarkan ilmu Yunani di kalangan orang-orang Arab.

Perguruan Jundishapur, yang didirikan oleh Chosrous I (Anushirwan) sekitar tahun 555 dianggap sebagai lembaga utama pengajian Helenik di Asia Barat, yang pengaruhnya telah menyebar ke dunia Islam pada masa pemerintahan 'Abbasiyah. Guru-gurunya yang beraliran Nestorian, oleh Chosrous yang bijaksana diperkenankan untuk menekuni studi-stdi ilmiah mereka dan merumuskan tradisi-tradisi keilmuan Syria-Yunani. Guru Yunani disambut oleh kalangan istana Persia, ketika sekolah Athena ditutup atas perintah Kaisar Justianus, dan guru-guru pagan diperiksa untuk menghindarkan diri dari persekusi tahun 529. Pada saat itu sekolah Jndishapur dengan fakultas kedoteran, akademi dan observatoriumnya mencapai puncak kemasyhurannya dan masih berkembang dengan pesat ketika kota Baghdad didirikan pada tahun 762 oleh Khalifah 'Abbasiyah di al-Manshur. Karena Jundishapur berdekatan dengan Baghdad, relasi politis orang-orang Persia dengan Khalifah 'Abbasiyah sangat erat. Akhirnya, dari sekolah inilah perkembangan ilmiah dan intelektual menyebar ke seluruh kerajaan Muslim. Sejak awal Jundishapur telah menyumbang kepada Khalifah di Baghdad sejumlah dokter-dokter istana, seperti halnya sejumlah keluarga Nestorian, Bakhtishu yang terkenal, yang mengabdi kepada Khalifah dengan setia lebih dari dua abad. Mereka juga banyak membantu pembangunan rumah-rumah sakit dan observatorium di Baghdad dengan mengikuti model Jundishapur, selama masa pemerintahan Harun al-Rasyid (786-809) dan penerusnya al-Ma'mun (813-833)[10]

Perhatian kepada filsafat dan ilmu-ilmu teoritis juga banyak muncul, berkat dorongan sekolah Jundishapur. Seorang Persia, yaitu Yahya al-Barmaki (w. 657), menteri dan penasihat Harun al-Rasyid, yang antusiasmenya luar biasa terhadap studi-studi Helenis, sangat membantu perkembangan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Dan seorang murid Jibril bin Bakhtishu-lah, yaitu Yuhanna bin Masawayh (w. 857), guru Hunain Agung, yang menjadi penerjemah Arab pertama yang paling menonjol dari karya-karya Yunani. Ia juga menjadi Kepala Sekolah Baghdad (Bait al-Hikmah) pertama, yang didirikan oleh al-Ma'mun pada tahun 830.


[1] Diterjemahkan oleh Muhsin Hariyanto, dari Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, New York & London: Columbia University Press: 1970

[2] Duval. Histoire d'Edesse, h. 162 dan Wright, History of Syriac Literature, h. 61 dst.

[3] Lihat Georr, Les Categories d'Aristote dans leurs versions syro-arabes, h. 14, Baumstark, Geschichte der Syrischen Literatur, h. 1001; dan Wright, History of Syrac Literaure, h. 74 ds.t.

[4] Lihat Ibnu Abi Ushaybi'ah, 'Uyun a-Anba', II, h. 134 dst. Bandingkan dengan yang di bawah h. 61 dst.

[5] Untuk kegiatan literal Jacob, lihat Duval, Histoire 'Edesse, hh. 244-51.

[6] Georr, Les categories, h. 25 dst. Duval, La literature Syriaque, h. 257. Wrigh History of Syriac Literature, h. 138.

[7] Georr, Les categories, h. 27, dan Baumstark, Geschichte, hh. 248-56. Wright menentang bahwa karya terakhir itu karangan Jacob(History of Syriac Literature, h. 91)

[8] Wright, History of Syriac Literature, hh. 155 dst., dan Duval, La Literature syriaque, hh. 258 dst.

[9] Renan, De philosophia peripatetica apud Syros, h. 33/

[10] Ibn al-Ibri, Mukhtashar Tarikh al-umam, h. 130; dan Hitti, History of the Arabs, h. 309, 365, 373.

Selasa, 10 Maret 2009

MENCARI PEMIMPIN IDEAL

MENCARI PEMIMPIN IDEAL

Oleh: Muhsin Hariyanto

Kita butuh pemimpin ideal, yang berkemampuan untuk memberi suri teladan seperti Nabi kita, Muhammad s.a.w., Seorang yang memiliki karakter utuh: Shiddiq, Fathanah, Amanah, dan Tabligh. Karena kepemimpinannya, masyarakat jahiliyah yang dipimpinya menjadi komunitas yang tercerahkan dan mencerahkan.

Awal tahun 2009 ini, di negeri kita tercinta – Indonesia -- wacana pemimpin dan kepemimpinan semakin hangat dibicarakan. Bahkan pelbagai diskusi dan dialog dibula lebar-lebar, baik dari kalangan politisi, pengamat, kampus sampai di kursi-kursi warung kopi. Berbagai macam asumsi pun diajukan, hingga berupa tawaran gagasan kepemimpinan yang dianggap sesuai dan menjadi model bagi negeri kita ini.

Kita tahu, bahwa pemimpin – dalam konteks kepemimpinan -- adalah suatu peran dalam sistem tertentu, karenanya seseorang dalam peran formal belum tentu memiliki keterampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Adapun istilah kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan keterampilan, kecakapan, dan tingkat pengaruh yang dimiliki seseorang. Oleh sebab itu kepemimpinan boleh jadi dimiliki oleh orang yang bukan “pemimpin”.

Seorang pemimpin adalah orang yang mau belajar terus-menerus, membaca, berlatih, dan mendengarkan masukan. Dia adalah pelayan yang melihat hidup sebagai suatu "misi" dan bukan sekadar "karir", apalagi peluang untuk memperoleh kue-kekuasaan. Dia pancarkan energi positif, sikap optimis, berpikir positif dan inovatif. Dia adalah orang yang bisa mempercayai orang lain, tidak bereaksi berlebihan pada setiap perilaku negatif, kritik dan kelemahan. Dia hidup dalam keseimbangan, memperhatian keseimbangan jasmani dan ruhani, antara yang tradisional dan modern, dan tentu saja tekstual dan kontekstual. Seorang pemimpin akan melihat hidup sebagai perjalanan hidup. Dia hargai hidup di luar kenyamanan. Dia adalah orang yang sinergistik, memilih untuk memfokuskan diri pada kepentingan komunitas yang dipimpinnya, dan mampu membina energi-energi yang dimiliki kelompoknya.

Dalam hal ini, Islam mengajarkan bahwa seorang pemimpin dituntut (untuk) mampu menampilkan kepribadian yang ber-akhlaqul karimah (memiliki moralitas yang baik), qana’ah (sederhana), dan istiqamah (konsisten/tidak ambivalen). Sedangkan berdasarkan suri tauladan kepemimpinan Nabi Muhammad s.a.w. adalah: Shiddiq artinya jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan. Fathanah artinya cerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan profesional. Amanah artinya dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel. Tabligh artinya senantiasa menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif.

Memang ironis! Di ketika kita memiliki sangat banyak bacaan, sangat banyak referensi, banyak pula perbandingan yang boleh dipetik dari kesalahan-kesalahan, tetapi kita terpuruk dalam wilayah krisis kepemimpinan. Bahkan dalam setiap ajang pemilihan yang paling demokratis pun untuk memilih pemimpin baik di ranah nasional maupun lokal, kita gagal menghadirkan sosok pemimpin yang terbaik.

Persolaan pokonya ternyata bukan hanya pada kesalahan rakyat pemilihnya, tetapi faktor terbesar -- yang menghadirkan kesalahan yang terus berulang itu -- adalah terletak pada gagalnya instrumen demokrasi kita untuk menempa, menyeleksi dan menghadirkan sosok-sosok pemimpin yang mumpuni. Karena mulai dari input dan proses yang tidak ‘bergaransi’ terbaik dan terpercaya, maka output yang disodorkan sebagai ‘multiple choice’ bagi rakyat adalah pilihan-pilihan sosok-sosok pemimpin yang bermasalah dan kurang baik. jika tidak boleh dikatakan ‘jelek’.

Hal ini dapat terlihat, bagaimana mungkin menjadi pemimpin yang bakal memimpin bangsa besar tetapi karakteristik calon para pemimpin kita adalah orang-orang yang terjebak atau terperangkap dalam kepentingan partai atau kelompok, dan mereka terperangkap dalam kepentingan-kepentingan sempit. Apalagi memang jika dilihat dari sisi keteladanan, jauh dari kata ‘memadai'.

Selain itu, saat ini terbukti, kita semakin susah mencari seorang pemimpin yang memiliki kemampuan mendamaikan, yang bisa diterima dan dipercaya menjadi ‘penengah’ yang tidak berpikir untuk kepentingan sesuatu kelompok atau pribadinya. Sebab pemimpin yang seperti itu harus memiliki kapabilitas, kredibilitas dan integritasnya yang tinggi, sehingga bisa diterima oleh berbagai pihak.

Jika kita melakukan kilas balik ke belakang, sesungguhnya dahulu kala, ketika pada era kepemimpinan tokoh-tokoh non-formal dalam masyarakat, kita pernah melihat masa kepemimpinan dimana ketika setiap ucapan mereka menjadi fatwa, ketika itu mereka amat disegani. Tapi kini entah siapa yang salah, nilai-nilai itu nampaknya telah bergeser. Bukan sekadar salah rakyat yang tidak lagi menghormati para pemimpinnya, karena tidak sedikit pemimpin yang tidak lagi menunjukkan sikap keteladanan , serta tak lagi bersikap "amanah".

Merujuk pada konsep kepemimpinan, minimal ada tiga aspek penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertama, kapabilitas (capability) - kemampuan; kedua, kredibilitas (credibility) - dapat dipercaya dan ketiga, integritas (integrity) - kejujuran. Bila ketiga faktor ini telah dimiliki oleh seorang pemimpin, maka orang ini sudah termasuk pemimpin yang berkepribadian mulia. Dia akan mampu membawa masyarakatnya kepada kebahagiaan dan kesejahteraan.

Orang bijak selalu mengatakan, bahwa kekuasaan dan kepemimpinan sesungguhnya merupakan amanah dari rakyat. Bila sang pemimpin memperoleh kekuasaan maka kekuasaan itu haruslah dipergunakan sebaik-baiknya untuk peningkatan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat.
Dalam alam-demokrasi, pada pemilu 2009 yang akan dating, memang tidak ada larangan bagi semua warga untu berpartisipasi, ikut bersaing untuk meraih jabatan publik. Hanya saja semua memerlukan 'fatsoen' (etika) politik. Jangan sampai gara-gara ingin jadi pemimpin, lalu bertindak gaya "koboi". Yang penting tujuan tercapai dengan cara apa pun. Ini yang semestinya dihindari. Cuma, siapa yang bisa menjamin bahwa semua tindakan tidak-etis itu akan tidak pernah muncul dalam kampanye politik?
Yang aneh, bahkan imbauan-imbauan dari banyak pihak, tak satu pun yang menyentuh sisi ini. Alih-alih ada imbauan "moral" yang lantang, malah yang datang – tiba-tiba -- justru fatwa sekelompok orang yang cukup otoritatif mengenai "golput". Tentu saja hal ini cukup membingungkan banyak pihak. Utamanya sempat membuat kaget sejumlah komponen anak-bangsa yang kini sudah mulai memiliki budaya politik "partisipan", dan bahkan para calon pemilih yang sedang berproses untuk berbudaya politik subjek. Kata orang, sekarang ini budaya politik masyarakat kita sudah bukan 'budaya politik parokial ' lagi. Sehingga banyak orang – di seputar kita -- bertanya: "kemana arah fatwa ini?.
Munculnya kepemimpinan nasional 'Orde Pembaruan' pasca pemilu 2009 sekarang memang sangat diharapkan oleh seluruh lapisan masyarakat yang sadar akan makna kepemimpinan. Tapi, kenyataan menunjukkan masih adanya calon-calon pemimpin yang sengaja menawarkan diri untuk dipilih menjadi pemimpin dengan motif yang -- diduga kuat -- sangat berorientasi pada "ghanimah" (kepemilikan 'kekayaan').
Pada pemilu 2009 ini, orang berharap 'ada' kejujuran dan keterbukaan dari masing-masing calon pemimpin kita (termasuk tim suksesnya), agar rakyat bisa memilih yang terbaik dan tidak khawatir untuk menjadi -- yang potensial -- tertipu lagi.
Akhirnya, penulis pun berharap: andai saat ini tersedia calon-calon pemimpin yang bisa memberi suri teladan seperti Nabi kita, Muhammad s.a.w., yang memiliki karakteristik: shiddiq (jujur, benar, berintegritas tinggi dan terjaga dari kesalahan); fathanah (cerdas, memiliki intelektualitas tinggi dan profesiona)l; amanah (dapat dipercaya, memiliki legitimasi dan akuntabel); dan tabligh (senantiasa menyampaikan risalah kebenaran, tidak pernah menyembunyikan apa yang wajib disampaikan, dan komunikatif), bisa kita harapkan pada pemilu 2009 nanti tak perlu ada calon pemilih yang bersikap 'golput'. Dan, untuk selanjutnya para ulama tak perlu repot-repot lagi menerbitkan fatwa yang semacam itu.
Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta.