Jumat, 10 Oktober 2008

AKTIVITAS EKONOMI

AKTIVITAS EKONOMI

Aktivitas antar manusia -- termasuk aktivitas ekonomi – terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu'amalah (interaksi). Pesan utama Al-Quran dalam mu'amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil... (QS Al-Baqarah [2]: 188). Kata "batil" diartikan sebagai "segala sesuatu yangbertentangan dengan ketentuan dan nilai agama". Bukan di sini tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi Al-Quran --sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat ibadah murni-- pada dasarnya tidak memberikan perincian. Ini untuk memberikan peluang kepada manusia atau masyarakat yang sifatnya selalu berubah, agar menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat sepanjang sejalan dengannilai-nilai Islam. NILAI-NILAI ISLAM Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam terangkumdalam empat prinsip pokok: tauhid, keseimbangan, kehendakbebas, dan tanggung jawab. Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allahmengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatubersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah Swt. DialahPemilik mutlak dan tunggal yang dalam genggaman-Nya segalakerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorangMuslim untuk menyatakan: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi karena Allah, Tuhan seru sekalian alam. Prinsip ini menghasilkan "kesatuan-kesatuan" yang beredardalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planettatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antaralain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan duniadan akhirat, dan 1ain-lain. Keseimbangan mengantar manusia Muslim meyakini bahwa segalasesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi, Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah mengamati! Apakah engkau melihat sedikit ketimpangan? (QS Al-Mulk [67]: 3) Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi,dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnyauntuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya,bahkan alam seluruhnya. Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslimmeyakini bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak namun Diajuga menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilihdua jalan yang terbentang di hadapannya --baik dan buruk.Manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampumenggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dankeseimbangan di atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawabbaik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islammemperkenalkan konsep fardhu 'ain dan jardhu kifayah. Yangpertama adalah kewajiban individual yang tidak dapatdibebankan kepada orang lain sedang yang kedua adalahkewajiban yang bila dikerjakan oleh orang lain sehinggaterpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaskanlah semuaanggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bilatidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan olehsebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, makaberdosalah setiap anggota masyarakat. Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitassetiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya. Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomiuntuk menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggamantangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkanoleh Pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yangmembutuhkan: Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]: 33). Dalam pandangan agama Islam, harta kekayaan bahkan segalasesuatu adalah milik Allah. Memang jika diamati dengansaksama, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uangatau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusiadari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Tuhan Yang MahaEsa. Di sisi lain, keberhasilan para pengusaha bukan hanyadisebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat jugapartisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang--misalnya-- membutuhkan para pembeli agar hasil produksi ataubarang dagangannya terjual? Bukankah petani membutuhkanirigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah para pengusahamembutuhkan stabilitas keamanan guna lancarnya roda keuangandan perdagangan? Dan masih banyak lagi yang lain. Kalaudemikian, wajar jika Allah memerintahkan manusia untukmenyisihkan sebagian dari apa yang berada dalam genggamantangannya ("miliknya") demi kepentingan masyarakat umum. Darisini agama menetapkan keharusan adanya fungsi sosial bagiharta kekayaan. Tauhid, yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia danakhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejarkeuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekaldan abadi. Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuanumat manusia mengantar seorang pengusaha Muslim untukmenghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia.Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarangpraktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walauterselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan barangpada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain. Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentukmonopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atausatu kelompok. Atas dasar ini pula Al-Quran menolak denganamat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisarpada orang-orang atau kelompok tertentu. Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja di antara kamu... (QS Al-Hasyr [59]: 7). Dari sini juga datang larangan penimbunan dan pemborosan. Halini tercermin pada ayat 34 surat At-Taubah yang memberikanancaman sedemikian keras kepada para penimbun, serta sabdaNabi Muhammad Saw. berikut: Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya. Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakardijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untukmencabut hak milik perusahaan spekulatif yang melakukanpenimbunan, penyelundupan, dan yang mengambil keuntungansecara berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikanharga yang tidak semestinya. Di sisi lain pemborosan pun dilarang juga: Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31). Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menimbulkan kelangkaanbarang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibatkenaikan harga-harga. Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskanPemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukanlangkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar-palingtidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudaholeh seluruh anggota masyarakat. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa: Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api (HR Abu Daud). Tiga komoditi ini merupakan kebutuhan masyarakat pada masaNabi Saw., dan tentunya setiap masyarakat dapat memilikikebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan demikian masing-masingdapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya. Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkanoleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara individumaupun kolektif. Demikian sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan nilai Islamdalam bidang ekonomi. Dalam perkembangan perekonomian sesudah turunnya A1-Qurantelah lahir institusi-institusi serta kondisi yangdiperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti halnyadengan perbankan konvensional. Sementara ulama mempersamakanpraktek perbankan itu dengan riba, sementara ulama lainnyamentoleransinya dengan syarat-syarat tertentu, antara lainbahwa bank yang menyalurkan kredit haruslah bank pemerintah,karena keuntungan yang diperolehnya pada akhirnya akan kembalijuga ke masyarakat. Berikut akan disoroti hal tersebut dansegi penafsiran ayat riba. RIBA Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan menjadikanpara sahabat Nabi, seperti ucap Umar ibn Khaththab,"Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal." Inidisebabkan karena mereka tidak memperoleh informasi yang utuhtentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Saw. Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Kalau kitahanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yangdikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapatdibenarkan. Ketika itu mereka berkata --seperti yangdiungkapkan Al-Quran-- bahwa "jual beli sama saja dengan riba"(QS Al-Baqarah [2]: 275), Allah menjawab mereka dengan tegasbahwa "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secaraeksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atauhikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan. Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalamempat surat, tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dansatu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah,walaupun menggunakan kata riba (QS Al-Rum [30]: 39), ulamasepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haramkarena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotifmemperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain. Upaya memahami apa yang dimaksud dengan riba adalah denganmempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khususlagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh'afanmudha'afah (berlipat ganda), ma baqiya minarriba (apa yangtersisa dari riba) dan falakum ru'usu amwalikum, la tazlimunwa la tuzlamun. Sementara ulama, semacam Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,memahami bahwa riba yang diharamkan Al-Quran hanya riba yangberlipat ganda. Lipat ganda yang dimaksud di sini adalah"pelipatgandaan yang berkali-kali". Memang pada zaman jahiliah dan awal Islam, apabila seorangdebitur yang tidak mampu membayar hutangnya pada saat yangditentukan, ia meminta untuk ditangguhkan dengan janjimembayar berlebihan, demikian berulang-ulang. Sikap semacam ini amat dikecam oleh Al-Quran, sebagaimanafirman Allah: Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan menyedekahkan (semua atau sebagian dan piutang) (lebih baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS Al-Baqarah [2]: 280). Pendapat yang memahami riba yang diharamkan hanya yangberlipat ganda, tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan sajakarena masih ada ayat lain yang turun sesudahnya, yangmemerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil,tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang riba,memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Dan bila merekamengabaikan hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang terhadapmereka sedang Bila kamu bertobat, maka bagi kamu modalmu, (dengan demikian) Kami tidak menganinya dan tidak pula dianiaya (QS Al-Baqarah [2]: 279). Hemat penulis, inilah kata kunci yang terpenting dalampersoalan riba, dan atas dasar inilah kita dapat menilaitransaksi hutang piutang dewasa ini, termasuk praktek-praktekperbankan. Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari ayat-ayat Al-Quranyang berbicara tentang riba, demikian pula hadis Nabi danriwayat-riwayat lainnya adalah, bahwa riba yang dipraktekkanpada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungutbersama jumlah hutang, pungutan yang mengandung penganiayaandan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan danjumlah hutang. Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktek Nabi Saw.yang membayar hutangnya dengan berlebihan. Dalam kontekspembayaran berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda: Sebaõk-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar hutang.(Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi A'bi Rafi',yakni antara lain "melebihkan". Hanya tentu harusdigarisbawahi bahwa kelebihan pembayaran itu tidak bersyaratpada awal transaksi) Nah, bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini? Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinantidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasidiri orang-orang yang bertakwa.

Tidak ada komentar: