Senin, 06 Oktober 2008

MEMBANGUN KOMUNITAS MUSLIM IDEAL DENGAN UKHUWWAH

Membangun Komunitas Muslim Ideal Dengan Ukhuwwah*)

Oleh: Muhsin Hariyanto

Prawacana

Semua orang dihadapkan pada tanggung jawab sosial, mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap orang lain, bahkan kepada alam, di samping kepada Tuhan.
Islam mengajarkan kepada setiap muslim untuk mengerti bahwa hidupnya bukan hanya diperuntukkan bagi dirinya saja, tetapi juga kepada kepada orang lain.

Tanggung jawab setiap muslim adalah untuk menyadari bahwa dirinya adalah makhluk sosial yang harus berbuat baik dan bahkan (yang) “terbaik” untuk orang lain seperti ketika dirinya selalu berkeinginan untuk berbuat baik dan (yang) “terbaik untuk dirinya sendiri.

Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
(رواه البخارى عن أنس بن مالك)

Terjemah: “Seseorang di antara kamu sekalian tidak (akan) disebut sebagai orang yang beriman sehingga dia mencintai saudaranya seperti (ketika) dia mencintai dirinya sendiri.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Anas bin Malik)

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ أَوْ قَالَ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (رواه مسلم عن أنس بن مالك)

Terjemah : “Seseorang di antara kamu sekalian tidak (akan) disebut sebagai orang yang beriman sehingga dia mencintai saudaranya atau beliau katakan (mencintai) tetangganya seperti (ketika) dia mencintai dirinya sendiri.” (Hadis Riwayat Muslim dari Anas bin Malik)

Hadis-hadis yang semakna juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi.

Di antara contoh kongkret ajaran Islam yang mengindikasikan perlunya seseorang peduli terhadap orang lain dan mengganggap orang lain adalah menjadi bagian dari tanggung jawabnya adalah kewajiban individual untuk “berzakat”. Zakat yang – secara normatif – dipahami sebagai kewajiban untuk mengeluarkan kelebihan harta yang dimiliki untuk orang yang berkekurangan dan membutuhkannya diasumsikan sebagai implementasi kongkret tanggung jawab sosial muslim kepada sesama manusia, yang dengan optimasi pelaksanaannya dimungkinkan terciptanya distribusi kemampuan-ekonomis yang adil dan merata, dan bahkan dalam perspektif sosio-ekonomi – secara tidak langsung – akan membantu upaya pemberdayaan masyarakat untuk berproduksi dan mengeliminasi budaya konsumtif.

Menggugah Kepedulian Sosial Melalui Penyadaran Berukhuwwah

Di antara nilai-nilai sosial kemanusiaan yang ditekankan oleh Islam adalah persaudaraan (ukhuwwah). Bahwa hendaknya manusia hidup di masyarakat itu saling mencintai dan saling menolong dan diikat oleh perasaan layaknya anak-anak dalam satu keluarga. Mereka saling mencintai, saling memperkuat, sehingga benar-benar terasa bahwa kekuatan saudara adalah kekuatannya, dan kelemahan saudaranya adalah kelemahannya. Dan bahwa sesungguhnya ia akan merasa kecil (tidak berarti) jika sendirian dan dia akan banyak (bernilai) manakala bersama saudara-saudaranya.**)

Al-Quran telah menjadikan bahwa hidup bersaudara itu suatu kenikmatan yang terbesar. Allah SWT berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Terjemah: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS Âli ‘Imrân, 3: 103)

Al-Quran juga menjadikan persaudaraan dalam bermasyarakat di antara orang-orang mukmin sebagai konsekuensi keimanan yang tidak dapat terpisah satu sama lain di antara keduanya. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Terjemah: "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (QS al-Hujurât, 49: 10)

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:

وَإِنْ يُرِيدُوا أَنْ يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللَّهُ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِين َ(62) وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (63)

Terjemah: “Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang yang beriman, dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.

Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS al-Anfâl, 8: 62-63)

Rasulullah saw bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Terjemah: Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim lain. Ia tidak boleh menganiaya dan (tidak boleh juga) menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa yang bersedia memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah pun akan berkenan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan kepada seorang muslim, maka Allah akan melapangkan salah satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang menutup keaiban seseorang muslim, maka Allah akan menutup keaibannya pada hari kiamat.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar)

Sebuah hadis -- yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadis Zaid bin Arqam -- menjelaskan bahwa Rasulullah saw berdoa pada setiap selesai shalat (dengan doa) sebagai berikut:

اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَىْءٍ أَنَا شَهِيدٌ أَنَّكَ أَنْتَ الرَّبُّ وَحْدَكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ - أَنَا شَهِيدٌ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُكَ وَرَسُولُكَ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَىْءٍ أَنَا شَهِيدٌ أَنَّ الْعِبَادَ كُلَّهُمْ إِخْوَةٌ

"Ya Allah ya Tuhan kami, dan Tuhan segala sesuatu serta pemiliknya, saya bersaksi bahwa Engkaulah Allah yang Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu. Ya Allah ya Tuhan kami, Tuhan segala sesuatu dan pemiliknya, sesungguhnya kami bersaksi bahwa sesungguhnya seluruh hamba(Mu) adalah bersaudara."

Dalam doa tersebut, pengakuan prinsip ukhuwwah (bersaudara) diletakkan setelah bersyahadah kepada Allah dengan mengesakan Dia dan bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah sebagai hamba dan rasul-Nya. Dalam ungkapan "Seluruh hamba (Mu) adalah saudara" ada dua makna yang keduanya sama-sama benar, yaitu:

Pertama, Sesungguhnya para hamba yang dimaksud di sini adalah seluruh manusia, mereka adalah bersaudara antara yang satu dengan lainnya, dengan alasan bahwa mereka semua putera Adam dan hamba Allah. Ini adalah Ukhuwwah Insâniyyah 'Âmmah (persaudaraan universal antarmanusia).

Allah SWT telah mengutus sejumlah Rasul, yang di dalam al-Quran dinyatakan bahwa mereka itu adalah “bersaudara” bagi kaumnya, meskipun mereka kufur terhadap risalahnya. Karena adanya sisi persamaan dengan mereka di dalam (hal) jenis dan asal mula mereka, sebagaimana firman Allah SWT:

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Terjemah: Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum `Âd saudara mereka, Hûd. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" (QS al-A'râf, 7: 65)

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Terjemah: Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shaleh. Ia berkata. "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Onta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya, dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih." (Al-A'raf, 7: 73)

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Terjemah: Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyân saudara mereka, Syu`aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.

Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". (QS al-A'râf, 7: 85)

Kedua, Bahwa sesungguhnya yang dimaksud hamba di sini adalah khusus kaum Muslimin, karena kesamaan mereka dalam satu millah (agama). Mereka bersatu dalam satu aqidah yaitu mentauhidkan Allah, dan kiblat yang satu yaitu Ka'bah di Baitul Haram. Mereka mereka diikat oleh kitab yang satu yaitu Al-Quran dan Rasul yang satu yaitu Muhammad saw serta oleh satu
Manhaj yaitu Syari'at Islam.

Inilah yang disebut Ukhuwwah Dîniyyah (Islâmiyyah) khusus yang tidak bertentangan dengan yang pertama. Karena tidak saling menafikan antara yang khusus dan yang umum. Hanya saja ukhuwwah dîniyyah ini memiliki hak-hak yang lebih banyak, sesuai dengan ikatan aqidah dan syari'ah serta pemikiran dan tingkah laku.

Khâtimah

Setiap muslim dimotivasi untuk berperilaku asertif. Asertivitasnya harus ditunjukkan ke dalam tindakan yang seimbang antara: bertanggung jawab untuk dirinya dan orang lain. Dia (seorang muslim) bukanlah seorang yang berwatak egois, sekaligus bukan altruis. Dia adalah manusia yang dapat bersikap adil bagi dirinya dan (sekaligus) orang lain secara simultan.

Sikap-sikap seperti itulah yang harus dikedepankan oleh setiap muslim yang – implementasinya -- dia tunjukkan ke dalam seluruh aspek kehidupan. Dia dilahirkan untuk dirinya sekaligus untuk orang lain dalam rangka menciptakan kebajikan individual dan (sekaligus) kolektif tanpa harus mempertentangkan keduanya.

Jadi, meskipun tradisi budaya kita – yang menonjol -- saat ini ini adalah tradisi-budaya individualis, dengan semangat kompetitif, bukan harus berarti semangat kooperatif harus kita kubur hidup-hidup. Pada saatnya kita harus menjadi yang terdepan dan terbaik untuk menciptakan budaya tandingan, untuk menjadikan Islam menjadi “Yang Mengendalikan”, bukan “Yang Dikendalikan.”

Akhirnya, harus kita sadari bahwa semua proyek besar dakwah Islam itu adalah beban dan tanggung jawab kita bersama. Dan untuk itu harus kita katakan kepada diri kita: “isyhadû bi annâ muslimûn.”

*) Tulisan ini disusun berdasarkan dua artikel dari dua buku. Masing-masing dari: T.B. Irving, Islam dan Tanggung Jawab Sosial, Bandung: Pustaka, 1981; dan Yusuf al-Qaradhawi, Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah, (Malâmih al-Mujtama' al-Muslim Alladzî Nasyûduh), Solo: Citra Islami Press, 1997.

**) Secara rinci uraian ini dapat dibaca dalam tiga (buku) karya Muhammad al-Ghazali: Al-Islâm Wa al-Audha' al-Iqtishâdiyah; Al-Islâm Wa al-Manâhij al-Isytirâkiyah;" dan "Al-Islâm al-Muftarâ 'Alaih.

Tidak ada komentar: