Rabu, 08 Oktober 2008

MEMBINGKAI UKHUWAH

MEMBINGKAI UKHUWAH

Oleh: Muhsin Hariyanto

KERINDUAN umat Islam terhadap jalinan ukhuwah telah menjadi bagian dari cita-cita yang tak pernah terkubur selamanya. Hingga kini slogan yang mengisyaratkan artipentingnya ukhuwah ada di mana pun, apalagi dalam khutbah-khutbah para ustadz, tema ini menjadi sesuatu yang selalu menarik untuk dikemukakan. Persoalannyanya adalah: apakan ukhuwah yang dicita-citakan itu telah benar-benar telah terwujud. Kalau jawablah "sudah", seberapa berarti keterwudujannya? Dan bila jawabnya "belum", kenapa bisa terjadi? Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai "persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti "memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian antarpihak yang berkepentingan. Rasa persaudaraan bukan sesuatu yang mudah untuk direkayasa, karena "dia" adalah Sesuatu yang tumbuh dari lubuk hati yang paling dalam, dengan satu modal dasar: “ikhlâsh” (ketulusan). Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang merasa bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya (ukhuwwah) dimaknai sebagai "setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain". Dalam makna metafor (majazi) kata ukhuwwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur seperti: suku, agama, budaya, profesi, dan kepentingan lain yang lebih luas. Semnata vitu, dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwwah digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”. Sehingga banyak orang yang memaknai ukhuwwah dengan pengertian pertemanan yang akrab atau persahabatan. Para psikolog, pada umumnya, menyatakan bahwa faktor penting (penunjang) lahirnya ukhuwwah (persaudaraan) dalam arti luas ataupun sempit adalah “kepedulian”. Semakin kokoh kepedulian seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain, akan semakin memperkokoh (pula) persaudaraan mereka. "Kepedulian", sebagai kata kunci, merupakan faktor dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan sejati. dan pada akhimya menjadikan seseorang mampu merasakan derita saudaranya,. mengulurkan tangan sebelum diminta. serta memperlakukan saudaranya bukan atas dasar "take and give", tetapi justeru merupakan sebuah tindakan "give for all", dengan spirit "mengutamakan orang lain" atas diri mereka, walau pun diri mereka sendiri masih membutuhkannya (QS al-Hasyr [59]: 9), yang di dalam khazanah kajian hadis Nabi s.a.w. disebut sebagai spirit “al-îtsâr”.
Dalam kajian etika (ilmu akhlak), para ulama mengelaborasi konsep al-îtsâr yang terdapat dalam hadis Nabi s.a.w. tersebut dalam konteks yang beragam. Dengan memandang al-îtsâr atau mengutamakan orang lain sebagai tindakan yang disunnahkan oleh Rasulullah s.a.w., perilaku ini dinyatakan sebagai artikulasi persaudaraan sejati antarmuslim, yang selanjutnya bisa diperluas menjadi persaudaraan antarmanusia dengan spirit (nilai-nilai) keislaman. Itsar dikatakan sebagai seseutu yang memiliki dua sisi kemuliaan. Disamping memiliki nilai mulia di sisi Allah dalam ranah kesalehan vertikal, juga dipandang memiliki nilai mulia di sisi manusia dalam ranah kesalehan horisontal.
Dikisahkan oleh Abu Hurairah menurut hadis riwayat Imam Muslim (Shahih Muslim, Juz III, h. 1624), bahwa pada suatu ketika ada seorang laki-laki (yang tidak tidak disebut namanya) datang kepada Rasulullah s.a.w.. Ia bermaksud memohon bantuan kepada beliau karena sedang dalam kesusahan.
Episode pertama, Rasulullah s.a.w. meminta kepada seorang laki-laki itu untuk menemui salah seorang isteri beliau. Ketika bertemu, maka isteri Rasulullah s.a.w. pun menyatakan, ''Demi Allah yang telah mengutusmu dengan haq, aku tidak mempunyai apapun kecuali air.'' Mendengar itu, Rasulullah s.a.w. pun meminta seorang laki-laki itu untuk menemui isteri beliau yang lain. Ternyata, hasilnya sama. Isteri Rasulullah s.a.w. yang lain pun (yang ditemui) hanya memiliki air.
Episode kedua, Rasululllah s.a.w. bersabda di hadapan para sahabat beliau: ''Siapa di anatara kalian yang bersedai menjamu tamuku pada malam hari ini?'' Atas permintaan Rasulullah s.a.w. tersebut, seorang laki-laki dari kaum Anshar menyanggupinya dengan jawaban lantang: ''Aku, ya Rasulullah!'' Orang Anshar ini pun kemudia membawa laki-laki tersebut ke rumahnya.
Sesampainya di rumah ia memohon kepada isterinya: ''Wahai isteriku, muliakanlah tamu Rasulullah s.a.w. ini. Dan kemudian bertanya: Apakah engkau punya sesuatu?'' Isterinya pun menjawab: ''Tidak, kecuali makanan untuk peersediaan anak-anak kita.''
Mendengar jawaban isterinya,. ia berpesan kepada isterinya: ''Hiburlah mereka (anak-anak kita). Jika mereka mau makan malam, maka tidurkanlah mereka. Jika tamu kita sudah masuk, matikanlah lampu rumah dan perlihatkan kepadanya seolah-olah kita sedang makan.''
Di saat 'Sang Tamu' itu datang, mereka (seluruh anggota keluarga orang Anshar) pun duduk. 'Sang Tamu' itu pun dipersilakan makan dalam keadaan gelap, dengan maksud untuk memanjakannya, tanpa harus memperlihatkan seluruh anggota keluarganya yang pada malam itu (juga) membutuhkan makanan yang sama. Orang Anshar, dan isteri dan anak-anaknya menemani sang tamu, seolah-olah sedang makan bersama (Sang Tamu)-nya.
Akhirnya, 'Sang Tamu' bisa menimati hidangan makan malam dengan lahapnya, sementara orang Anshar, isteri dan anak-anaknya itu tidur dalam keadaan lapar.
Di waktu Subuh, orang Anshar itu pun menemui Rasulullah s.a.w. dan mengisahkan pengalamannya semalam bersama 'Sang Tamu' dan anggota keluarganya.. Mendengar kisah orang Anshar itu pun Rasulullah s.a.w. bersabda: ''Sungguh Allah SWT mengagumi perbuatanmu bersama isteri beserta anak-anakmu tadi malam pada saat menjamu tamu.''
Belajar dari kasus di atas, alangkah indah jika karakter îtsâr yang ditunjukkan oleh salah seorang sahabat Nabi s.a.w. dieksperimentasikan saat ini dalam konteks kekinian. Apalagi di ketika banyak anggota masyarakat yang mengalami kesusahan hidup di samping sejumlah orang yang memiliki kelebihan untuk dibagikan kepada sesama (umat manusia). Îtsâr yang yang telah menciptakan pribadi mulia untuk seorang sahabat Nabi s.a.w., pada saat yang lain juga seharusnya mendorong kita untuk mau menekan 'ego' dan mengorbankan kepentingan pribadi demi (kepentingan) orang lain.
Realitasnya, memang tidak bisa dipungkiri, kini justeru karakter "mementingkan diri sendiri" yang lebih banyak mendominasi kehidupan kita. Namun, sebagai sebuah tawaran penting yang ternyata bisa diberlakukan pada masa Rasulullah s.a.w., bukan berarti "kini" itsar tidak bisa kita lakukan.'.
Kata kuncinya adalah: "kesediaan kita untuk memulai". Karena pada akhirnya harus kita katakan, bahwa untuk menciptakan ukhuwwah yang berkelanjutan, yang perlu kita ciptakan adalah: “membangun kepedulian antarkita dengan spirit al-itsar (mentalitas memberi), bukan sebaliknya (mentalitas meminta)”.

Penulis: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta

1 komentar:

AL Nadhirin mengatakan...

yup salan knal artikelnya cukup bagus