Jumat, 24 Oktober 2008

UANG

Uang

Pengantar
Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang.[1] Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.[2]
Keberadaan uang menyediakan alternatif transaksi yang lebih mudah daripada barter yang lebih kompleks, tidak efesien, dan kurang cocok digunakan dalam sistem ekonomi modern karena membutuhkan orang yang memiliki keinginan yang sama untuk melakukan pertukaran dan juga kesulitan dalam penentuan nilai. Efesiensi yang didapatkan dengan menggunakan uang pada akhirnya akan mendorong perdagangan dan pembagian tenaga kerja yang kemudian akan meningkatkan produktifitas dan kemakmuran.
Pada awalnya di Indonesia, uang —dalam hal ini uang kartal— diterbitkan oleh pemerintah Republik Indonesia. Namun sejak dikeluarkannya UU No. 13 tahun 1968 pasal 26 ayat 1, hak pemerintah untuk mencetak uang dicabut. Pemerintah kemudian menetapkan Bank Sentral, Bank Indonesia, sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menciptakan uang kartal. Hak untuk menciptakan uang itu disebut dengan hak oktroi.
Sejarah Uang
Uang yang kita kenal sekarang ini telah mengalami proses perkembangan yang panjang. Pada mulanya, masyarakat belum mengenal pertukaran karena setiap orang berusaha memenuhi kebutuhannnya dengan usaha sendiri. Manusia berburu jika ia lapar, membuat pakaian sendiri dari bahan-bahan yang sederhana, mencari buah-buahan untuk konsumsi sendiri; singkatnya, apa yang diperolehnya itulah yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya.
Perkembangan selanjutnya mengahadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa yang diproduksi sendiri ternyata tidak cukup untuk memenuhui seluruh kebutuhannya. Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari orang yang mau menukarkan barang yang dimiliki dengan barang lain yang dibutuhkan olehnya. Akibatnya muncullah sistem barter', yaitu barang yang ditukar dengan barang.
Namun pada akhirnya, banyak kesulitan-kesulitan yang dirasakan dengan sistem ini. Di antaranya adalah kesulitan untuk menemukan orang yang mempunyai barang yang diinginkan dan juga mau menukarkan barang yang dimilikinya serta kesulitan untuk memperoleh barang yang dapat dipertukarkan satu sama lainnya dengan nilai pertukaran yang seimbang atau hampir sama nilainya. Untuk mengatasinya, mulailah timbul pikiran-pikiran untuk menggunakan benda-benda tertentu untuk digunakan sebagai alat tukar. Benda-benda yang ditetapkan sebagai alat pertukaran itu adalah benda-benda yang diterima oleh umum (generally accepted), benda-benda yang dipilih bernilai tinggi (sukar diperoleh atau memiliki nilai magis dan mistik), atau benda-benda yang merupakan kebutuhan primer sehari-hari; misalnya garam yang oleh orang Romawi digunakan sebagai alat tukar maupun sebagai alat pembayaran upah. Pengaruh orang Romawi tersebut masih terlihat sampai sekarang; orang Inggris menyebut upah sebagai salary yang berasal dari bahasa Latin salarium yang berarti garam.
Meskipun alat tukar sudah ada, kesulitan dalam pertukaran tetap ada. Kesulitan-kesulitan itu antara lain karena benda-benda yang dijadikan alat tukar belum mempunyai pecahan sehingga penentuan nilai uang, penyimpanan (storage), dan pengangkutan (transportation) menjadi sulit dilakukan serta timbul pula kesulitan akibat kurangnya daya tahan benda-benda tersebut sehingga mudah hancur atau tidak tahan lama.
Kemudian muncul apa yang dinamakan dengan uang logam. Logam dipilih sebagai alat tukar karena memiliki nilai yang tinggi sehingga digemari umum, tahan lama dan tidak mudah rusak, mudah dipecah tanpa mengurangi nilai, dan mudah dipindah-pindahkan. Logam yang dijadikan alat tukar karena memenuhi syarat-syarat tersebut adalah emas dan perak. Uang logam emas dan perak juga disebut sebagai uang penuh (full bodied money). Artinya, nilai intrinsik (nilai bahan) uang sama dengan nilai nominalnya (nilai yang tercantum pada mata uang tersebut). Pada saat itu, setiap orang berhak menempa uang, melebur, menjual atau memakainya, dan mempunyai hak tidak terbatas dalam menyimpan uang logam.
Sejalan dengan perkembangan perekonomian, timbul kesulitan ketika perkembangan tukar-menukar yang harus dilayani dengan uang logam bertambah sementara jumlah logam mulia (emas dan perak) sangat terbatas. Penggunaan uang logam juga sulit dilakukan untuk transaksi dalam jumlah besar sehingga diciptakanlah uang kertas
Mula-mula uang kertas yang beredar merupakan bukti-bukti pemilikan emas dan perak sebagai alat/perantara untuk melakukan transaksi. Dengan kata lain, uang kertas yang beredar pada saat itu merupakan uang yang dijamin 100% dengan emas atau perak yang disimpan di pandai emas atau perak dan sewaktu-waktu dapat ditukarkan penuh dengan jaminannya. Pada perkembangan selanjutnya, masyarakat tidak lagi menggunakan emas (secara langsung) sebagai alat pertukaran. Sebagai gantinya, mereka menjadikan 'kertas-bukti' tersebut sebagai alat tukar.
Fungsi Uang
Secara umum, uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk pertukaran barang dengan barang, juga untuk menghidarkan perdagangan dengan cara barter. Secara lebih rinci, fungsi uang dibedalan menjadi dua: fungsi asli dan fungsi turunan.
Fungsi asli uang ada tiga, yaitu sebagai alat tukar, sebagai satuan hitung, dan sebagai penyimpan nilai.
Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat mempermudah pertukaran. Orang yang akan melakukan pertukaran tidak perlu menukarkan dengan barang, tetapi cukup menggunakan uang sebagai alat tukar. Kesulitan-kesulitan pertukaran dengan cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.
Uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account) karena uang dapat digunakan untuk menunjukan nilai berbagai macam barang/jasa yang diperjualbelikan, menunjukkan besarnya kekayaan, dan menghitung besar kecilnya pinjaman. Uang juga dipakai untuk menentukan harga barang/jasa (alat penunjuk harga). Sebagai alat satuan hitung, uang berperan untuk memperlancar pertukaran.
Selain itu, uang berfungsi sebagai alat penyimpan nilai (valuta) karena dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli dari masa sekarang ke masa mendatang. Ketika seorang penjual saat ini menerima sejumlah uang sebagai pembayaran atas barang dan jasa yang dijualnya, maka ia dapat menyimpan uang tersebut untuk digunakan membeli barang dan jasa di masa mendatang.
Selain ketiga hal di atas, uang juga memiliki fungsi lain yang disebut sebagai fungsi turunan. Fungsi turunan itu antara lain uang sebagai alat pembayaran, sebagai alat pembayaran utang, sebagai alat penimbun atau pemindah kekayaan (modal), dan alat untuk meningkatkan status sosial.
Syarat-syarat Sesuatu Untuk Disebut Uang
Suatu benda dapat dijadikan sebagai "uang" jika benda tersebut telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Pertama, benda itu harus diterima secara umum (acceptability). Agar dapat diakui sebagai alat tukar umum suatu benda harus memiliki nilai tinggi atau —setidaknya— dijamin keberadaannya oleh pemerintah yang berkuasa. Bahan yang dijadikan uang juga harus tahan lama (durability), kualitasnya cenderung sama (uniformity), jumlahnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat serta tidak mudah dipalsukan (scarcity).
Uang juga harus mudah dibawa, portable, dan mudah dibagi tanpa mengurangi nilai (divisibility), serta memiliki nilai yang cenderung stabil dari waktu ke waktu (stability of value).
Jenis-jenis Uang
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Jenis-jenis uang
Uang yang beredar dalam masyarakat dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu uang kartal (sering pula disebut sebagai common money) dan uang giral. Uang kartal adalah alat bayar yang sah dan wajib digunakan oleh masyarakat dalam melakukan transaksi jual-beli sehari-hari. Sedangkan yang dimaksud dengan uang giral adalah uang yang dimiliki masyarakat dalam bentuk simpanan (deposito) yang dapat ditarik sesuai kebutuhan. Uang ini hanya beredar di kalangan tertentu saja, sehingga masyarakat mempunyai hak untuk menolak jika ia tidak mau barang atau jasa yang diberikannya dibayar dengan uang ini. Untuk menarik uang giral, orang menggunakan cek.
Menurut bahan pembuatannya


Dinar dan Dirham, dua contoh mata uang logam.
Uang menurut bahan pembuatannya terbagi menjadi dua, yaitu uang logam dan uang kertas.
Uang logam adalah uang yang terbuat dari logam; biasanya dari emas atau perak karena kedua logam itu memiliki nilai yang cenderung tinggi dan stabil, bentuknya mudah dikenali, sifatnya yang tidak mudah hancur, tahan lama, dan dapat dibagi menjadi satuan yang lebih kecil tanpa mengurangi nilai.
Uang logam memiliki tiga macam nilai:
Nilai intrinsik, yaitu nilai bahan untuk membuat mata uang, misalnya berapa nilai emas dan perak yang digunakan untuk mata uang.
Nilai nominal, yaitu nilai yang tercantum pada mata uang atau cap harga yang tertera pada mata uang. Misalnya seratus rupiah (Rp. 100,00), atau lima ratus rupiah (Rp. 500,00).
Nilai tukar, nilai tukar adalah kemampuan uang untuk dapat ditukarkan dengan suatu barang (daya beli uang). Misalnya uang Rp. 500,00 hanya dapat ditukarkan dengan sebuah permen, sedangkan Rp. 10.000,00 dapat ditukarkan dengan semangkuk bakso).
Ketika pertama kali digunakan, uang emas dan uang perak dinilai berdasarkan nilai intrinsiknya, yaitu kadar dan berat logam yang terkandung di dalamnya; semakin besar kandungan emas atau perak di dalamnya, semakin tinggi nilainya. Tapi saat ini, uang logam tidak dinilai dari berat emasnya, namun dari nilai nominalnya. Nilai nominal adalah nilai yang tercantum atau tertulis di mata uang tersebut.
Sementara itu, yang dimaksud dengan "uang kertas" adalah uang yang terbuat dari kertas dengan gambar dan cap tertentu dan merupakan alat pembayaran yang sah. Menurut penjelasan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia, yang dimaksud dengan uang kertas adalah uang dalam bentuk lembaran yang terbuat dari bahan kertas atau bahan lainnya (yang menyerupai kertas).
Menurut nilainya
Menurut nilainya, uang dibedakan menjadi uang penuh (full bodied money) dan uang tanda (token money)
Nilai uang dikatakan sebagai uang penuh apabila nilai yang tertera di atas uang tersebut sama nilainya dengan bahan yang digunakan. Dengan kata lain, nilai nominal yang tercantum sama dengan nilai intrinsik yang terkandung dalam uang tersebut. Jika uang itu terbuat dari emas, maka nilai uang itu sama dengan nilai emas yang dikandungnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan uang tanda adalah apabila nilai yang tertera diatas uang lebih tinggi dari nilai bahan yang digunakan untuk membuat uang atau dengan kata lain nilai nominal lebih besar dari nilai intrinsik uang tersebut. Misalnya, untuk membuat uang Rp1.000,00 pemerintah mengeluarkan biaya Rp750,00.
Teori nilai uang
Teori nilai uang membahas masalah-masalah keuangan yang berkaitan dengan nilai uang. Nilai uang menjadi perhatian para ekonom, karena tinggi atau rendahnya nilai uang sangat berpengaruh terhadap kegiatan ekonomi. Hal ini terbukti dengan banyaknya teori uang yang disampaikan oleh beberapa ahli.
Teori uang terdiri atas dua teori, yaitu teori uang statis dan teori uang dinamis.
Teori uang statis
Teori Uang Statis atau disebut juga "teori kualitatif statis" bertujuan untuk menjawab pertanyaan: apakah sebenarnya uang? Dan mengapa uang itu ada harganya? Mengapa uang itu sampai beredar? Teori ini disebut statis karena tidak mempersoalkan perubahan nilai yang diakibatkan oleh perkembangan ekonomi.
Yang termasuk teori uang statis adalah:
Teori Metalisme (Intrinsik) oleh KMAPP
Uang bersifat seperti barang, nilainya tidak dibuat-buat, melainkan sama dengan nilai logam yang dijadikan uang itu, contoh: uang emas dan uang perak.
Teori Konvensi (Perjanjian) oleh Devanzati dan Montanari
Teori ini menyatakan bahwa uang dibentuk atas dasar pemufakatan masyarakat untuk mempermudah pertukaran.
Teori Nominalisme
Uang diterima berdasarkan nilai daya belinya.
Teori Negara
Asal mula uang karena negara, apabila negara menetapkan apa yang menjadi alat tukar dan alat bayar maka timbullah uang. Jadi uang bernilai karena adanya kepastian dari negara berupa undang-undang pembayaran yang disahkan.
[sunting] Teori uang dinamis
Teori ini mempersoalkan sebab terjadinya perubahan dalam nilai uang. Teori dinamis antara lain:
Teori Kuantitas dari David Ricardo
Teori ini menyatakan bahwa kuat atau lemahnya nilai uang sangat tergantung pada jumlah uang yang beredar. Apabila jumlah uang berubah menjadi dua kali lipat, maka nilai uang akan menurun menjadi setengah dari semula, dan juga sebaliknya.
Teori Kuantitas dari Irving Fisher
Teori yang telah dikemukakan David Ricardo disempurnakan lagi oleh Irving Fisher dengan memasukan unsur kecepatan peredaran uang, barang dan jasa sebagai faktor yang mempengaruhi nilai uang.
Teori Persediaan Kas
Teori ini dilihat dari jumlah uang yang tidak dibelikan barang-barang.
Teori Ongkos Produksi
Teori ini menyatakan nilai uang dalam peredaran yang berasal dari logam dan uang itu dapat dipandang sebagai barang.
Uang dalam ekonomi
Uang adalah salah satu topik utama dalam pembelajaran ekonomi dan finansial. Monetarisme adalah sebuah teori ekonomi yang kebanyakan membahas tentang permintaan dan penawaran uang. Sebelum tahun 80-an, masalah stabilitas permintaan uang menjadi bahasan utama karya-karya Milton Friedman, Anna Schwartz, David Laidler, dan lainnya.
Kebijakan moneter bertujuan untuk mengatur persediaan uang, inflasi, dan bunga yang kemudian akan mempengaruhi output dan ketenagakerjaan. Inflasi adalah turunnya nilai sebuah mata uang dalam jangka waktu tertentu dan dapat menyebabkan bertambahnya persediaan uang secara berlebihan. Interest rate, biaya yang timbul ketika meminjam uang, adalah salah satu alat penting untuk mengontrol inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Bank sentral seringkali diberi tanggung jawab untuk mengawasi dan mengontrol persediaan uang, interest rate, dan perbankan.
Krisis moneter dapat menyebabkan efek yang besar terhadap perekonomian, terutama jika krisis tersebut menyebabkan kegagalan moneter dan turunnya nilai mata uang secara berlebihan yang menyebabkan orang lebih memilih barter sebagai cara bertransaksi. Ini pernah terjadi di Rusia, sebagai contoh, pada masa keruntuhan Uni Soviet.
Referensi
^ R.G. Thomas, Our Modern Banking
^ amosweb.com

Jumat, 10 Oktober 2008

MENUJU PEMENUHAN KEBUTUHAN DAN KEMANDIRIAN UMAT

MENUJU PEMENUHAN KEBUTUHAN DAN KEMANDIRIAN UMMAT

Ada beberapa hal yang harus dipenuhi agar ummat dapat memenuhi kebutuhannya dan bisa mandiri, antara lain sebagai berikut:
1. Membuat Planning (Perencanaan)
Kita harus membuat planing (perencanaan) berdasarkan data statistik yang rinci dan angka yang sebenarnya (kongkrit), pengetahuan yang sempurna terhadap realitas di lapangan, memahami prioritas setiap program serta sejauh mana kepentingannya. Mengenal kemampuan diri dan berupaya untuk meningkatkan kemampuan dan yang terakhir menyiapkan sarana-sarana untuk memenuhi semua kebutuhan.
Al Qur'an telah menyebutkan kepada kita sebuah contoh dari takhtith (perencanaan) yang memakan waktu selama lima belas tahun yang dilakukan oleh Nabi Yusuf AS yang meliputi peningkatan produktivitas, deposito, pengambilan dan pendistribusian bahan makanan dalam menghadapi krisis kelaparan dan tahun-tahun kekeringan yang terjadi di Mesir dan sekitarnya. Sebagaimana diceritakan oleh Al Qur'an di dalam Surat Yusuf.
2. Mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas dan menempatkannya dengan tepat
Merupakan kewajiban bagi ummat untuk meningkatkan sistem pendidikan dan pelatihan ummat agar dapat mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas di segala bidang kehidupan. Setelah itu perlu adanya penempatan personal pada job yang tepat sesuai keahlian masing-masing mereka, sehingga bisa mengembangkan potensi yang dimiliki dan membagi potensi yang ada itu dalam berbagai spesialisasi dengan seimbang. Berdasarkan firman Allah SWT:
"Tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama (tafaqquh fiddin) dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya." (At-Taubah: 122)
Selain itu diharapkan kita bisa memenuhi sisi-sisi yang sering dilupakan dengan mengadakan terobosan-terobosan baru dan evaluasi secara berkala. Hendaknya kita meletakkan seseorang pada posisi yang sesuai dengan keahliannya dan berupaya menghindari dari menyerahkan sesuatu kepada yang bukan ahlinya. Rasulullah SAW bersabda:
"Apabila sesuatu urusan itu diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya." (TIR. Bukhari)
Di sinilah Islam itu sangat memperhatikan kekayaan sumber daya manusia, memelihara dan berusaha meningkatkan kualitasnya, baik di bidang fisik, pemikiran, moral, maupun intelektual. Menempatkan secara seimbang antara kepentingan agama dan dunia tanpa berlebihan dan mengurangi takaran.
3. Memfungsikan asset yang ada dengan sebaik-baiknya
Mempergunakan dan memfungsikan aset ekonomi dan kekayaan materi dengan baik itu bisa dilakukan dengan tidak membiarkan sesuatu tanpa guna dan tetap memeliharanya dengan baik. Karena dia merupakan amanah yang harus dijaga dan nikmat yang wajib disyukuri dengan mempergunakannya secara tepat dan maksimal.
Karena itulah Al Qur'an mengingatkan pada kita terhadap apa saja yang ditundukkan oleh Allah untuk kepentingan kita, baik yang ada di langit maupun di bumi, serta yang ada di daratan maupun di lautan.
Al Qur'an juga bersikap keras terhadap orang-orang yang tidak memfungsikan kekayaan hewani atau pertanian karena mengikuti keinginan mereka yang tidak berdasarkan wahyu Allah. Mereka mengharamkan apa yang direzekikan oleh Allah kepada mereka dengan membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Tetapi hal itu di bantah dengan tegas oleh Al Qur'an, sebagaimana di dalam surat Al An'am:
"Dan mereka mengatakan, "Inilah binatang ternak dan tanaman yang dilarang tidak boleh memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki" menurut anggapan mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah di waktu menyembelihnya, semata-mata membuat-buat kedustaan terhadap Allah. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan. Dan mereka mengatakan: "Apa yang ada di dalam perut binatang ternak ini adalah khusus untuk pria kami dan diharamkan atas wanita kami" dan jika yang dalam perut itu dilahirkan mati, maka pria dan wanita sama-sama boleh memakannya. Kelak Allah akan membalas mereka terhadap ketetapan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya rugilah orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah rezekikan kepada mereka dengan semata-mata mengada-adakan terhadap Allah. Sesungguhnya mereka telah sesat dan tidaklah mereka mendapat petunjuk." (Al An'am: 138-140)
Rasulullah SAW mengingatkan akan wajibnya kita untuk memanfaatkan apa saja yang sekiranya bisa difungsikan dan tidak membiarkan atau menelantarkannya, meskipun kebanyakan manusia melecehkannya.
Suatu ketika Rasulullah SAW berjalan melewati bangkai kambing, kemudian beliau bertanya tentang bangkai kambing itu. Mereka berkata. Sesungguhnya ia adalah kambing milik pembantu Maimunah (Ummul Mukminin), maka Nabi bersabda:
"Mengapa kalian tidak mengambil kulitnnya (untuk kemudian disamak) sehingga kamu dapat memanfaatkannya, sesungguhnya yang diharamkan adalah memakannya..." (HR. Muttafaqun 'Ala'ih)
Bahkan Rasulullah SAW telah memperingatkan sikap meremehkan, sampai-sampai terhadap suapan yang jatuh dari orang yang memakannya. Maka sebaiknya orang tersebut membersihkan suapan itu, kemudian memakannya dan tidak dibiarkan untuk syetan. Sebagaimana juga sebaiknya membersihkan makanan yang tersedia di nampan atau yang menempel di tangan, dan tidak membuang sisa di tempat sampah.
Di antara yang patut diperingatkan di sini adalah pengarahan Nabi SAW tentang masalah pertanian atau bercocok tanam bagi seseorang yang mampu untuk menanami sendiri atau dipinjamkan kepada orang Muslim lainnya yang bisa menanaminya. Rasulullah SAW bersabda:
"Barangsiapa yang memiliki tanah maka hendaklah menanaminya, atau memberikannya kepada saudaranya." (HR. Muttafaqun 'Alaih)
Apabila tanah itu bisa ditanami dengan perhitungan yang berlaku pada umumnya maka itu termasuk sesuatu yang baik, karena termasuk bentuk kerjasama antara pemilik tanah dengan petani yang menanami, mirip dengan mudharabah yang dijalankan oleh pemilik modal dengan pekerja.
Nabi SAW pernah bekerjasama dengan kaum Yahudi untuk menanami tanah khaibar dengan sistem paroan (bagi hasil) dari hasil tanah.
Umar bin Abdul 'Aziz berkata, "Fungsikanlah tanah itu untuk ditanami dengan memperoleh separuh, sepertiga, seperempat hingga sepersepuluhnya, dan janganlah kamu biarkan tanah itu rusak."
Rasulullah SAW juga pernah bersikap keras terhadap orang yang membunuh burung pipit karena main-main. Beliau memberitahu bahwa burung itu kelak akan mengadu kepada Allah, yang akan membunuhnya pada hari kiamat sambil mengatakan, "Hai Tuhanku dia telah membunuhku karena main-main, bukan karena manfaat." (HR. Ahmad dan Nasa'i)
Dan disamakan dengan burung itu adalah segala binatang yang diperoleh dengan berburu atau lainnya, baik binatang daratan atau lautan, maka tidak boleh bermain-main dengannya, tanpa ada kemanfaatan bagi kaum Muslimin.
Sebagaimana juga Nabi SAW mengingkari perbuatan yang menggunakan sesuatu yang tidak semestinya, atau berlawanan dengan fithrah dan kebiasaan. Di dalam hadits shahih diceritakan, bahwa ada seorang laki-laki yang menunggangi sapi, maka sapi itu berbicara, "Aku diciptakan bukan untuk diperlakukan seperti ini, tetapi aku diciptakan untuk bercocok tanam."
Apakah sapi itu berbicara dengan ucapan perilakunya, jika demikian maka itu lebih mantap daripada dengan ucapan. Kalau berbicara dalam arti yang sebenarnya, maka itu termasuk keanehan-keanehan, karena memang itulah zhahirnya hadits dan bagi Allah yang demikian itu sangatlah mudah.
Yang penting bagi kita bahwa hadits di atas mengajak kita untuk menggunakan sesuatu sebagaimana mestinya.
Ada baiknya di sini kita singgung firman Allah SWT mengenai wasiat harta anak yatim:
"Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) hingga ia dewasa..." (Al Isra': 34)
Ini berulang kali disebutkan dalam Al Qur'an Al Karim, dengan bentuk ungkapan yang sama, maka Al Qur'an tidak cukup menuntut kepada kita untuk mendekati harta anak yatim dengan cara yang baik saja, tetapi juga dengan cara yang lebih baik. Sehingga jika di sana ada dua cara untuk mengembangkan harta anak yatim dan memeliharanya, salah satunya cara itu baik dan cara yang lain lebih baik, maka yang diwajibkan untuk kita dahulukan adalah menggunakan yang lebih baik. Bahkan haram bagi kita untuk tidak menggunakan cara kecuali cara yang lebih baik, sebagaimana dalam memahami redaksi terhadap larangan dan uslub Qashr (innama, sebagai pembatas yang bermakna hanyalah).
Harta ummat ini mirip-mirip dengan harta anak yatim, sedangkan daulah (pemerintah) yang bertugas untuk memeliharanya dan lembaga-lembaganya itu seperti wali anak yatim. Sebagaimana Umar pernah mengumpamakan dirinya terhadap "Baitul Maalt" itu seperti wali anak yatim, apabila dalam keadaan berkecukupan ia memelihara dirinya, dan jika ia dalam keadaan miskin ia memakannya dengan baik. Untuk itu wajib bagi kita untuk memelihara dan mengembangkan harta itu dengan sebaik-baiknya.
4. Konsolidasi antar cabang-cabang produksi
Yang terpenting di sini agar ummat bisa mencukupi kebutuhan mereka secara mandiri. Hendaklah ia menyempurnakan konsolidasi antara berbagai bidang produksi yang beraneka ragam, sehingga tidak terjadi saling tumpang tindih antara yang satu dengan yang lainnya. Maka tidak baik jika perhatian itu ditujukan pada masalah pertanian saja umpamanya, di saat yang sama masalah industri diabaikan, atau sebaliknya. Atau pendidikan yang hanya mengeluarkan para dokter sementara Insinyur dilupakan. Atau hanya memperhatikan tehnik sipil dan teknik mesin, sementara melupakan tehnik elektro dan atom. Atau hanya memperhatikan sisi konseptual dan pemikiran yang melangit, sementara aspek amaliah (usaha) terbengkelai.
Oleh karena itu kami menegaskan kembali pentingnya membuat takhtith (perencanaan) berdasarkan studi lapangan dan data statistik, untuk mengetahui kebutuhan masyarakat dari setiap spesialisasi di bidang kerja yang kemudian kita bisa memenuhinya, dan melihat kembali sisi-sisi kekurangan agar kita bisa menutupinya (menyempurnakannya).
Rasulullah SAW pernah bersabda:
"Apabila kamu telah melakukan jual beli dengan (sistem) 'Ainah (menjual barang dengan dua harga) dan kamu rela (senang) dengan bertani, dan kamu mengikuti ekor sapi, tetapi kamu meninggalkan jihad fi sabilillah, maka Allah akan memberikan kerendahan (kehinaan) atas kamu yang sulit untuk dihilangkan hingga kamu mau kembali pada agamamu." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Thabrani)
Hadits ini menunjukkan bahwa merasa cukup dengan pertanian saja dan keasyikan dengan kehidupan bertani yang digambarkan dengan mengikuti ekor sapi sementara ia meninggalkan berjihad fi sabilillah dan apa yang menjadi konsekuensinya, yaitu mempersiapkan kekuatan itu, menyebabkan ummat ini dalam bahaya besar, yaitu kehinaan dan keterjajahan. Ini membuktikan betapa pentingnya industri yang harus ada pada ummat. Karena sesuatu yang menunjang (menjadi prasyarat) terlaksananya suatu kewajiban, itu keberadaannya menjadi wajib.
Cukuplah bagi orang-orang yang beriman, bahwa Allah SWT telah menurunkan satu surat di dalam Al Qur'an yang diberi nama dengan surat "AI Hadid" yang artinya besi. Hal itu untuk mengingatkan akan pentingnya tambang ini. Allah SWT berfirman:
"Dan Kami ciptakan besi yang padannya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia ..." (Al Hadid: 25)
Di dalam firman Allah SWT, "Fihi ba'sun syadid" mengisyaratkan pentingnya peralatan perang, sedangkan firman Allah "Wa manaafi'u linnaas," mengisyaratkan pentingnya pembuatan peralatan sipil. Dengan demikian maka sempurnalah kekuatan ummat dalam suasana aman maupun perang. Tetapi sayang bahwa ummat "surat Hadid" hingga saat ini tidak lebih pandai dalam memanfaatkan besi, baik di bidang militer maupun sipil dibanding ummat lain.
Dalam memacu produktivitas kita harus mendahulukan yang lebih penting daripada yang sekedar penting, dan mendahulukan yang penting daripada yang tidak penting. Atau menurut istilah ulama ushul disebut mendahulukan "Dharuriyyaat" (hal-hal yang bersifat primer) -karena kehidupan tidak akan tegak kecuali dengannya- daripada "Haajiyyaat" (hal-hal yang bersifat sekunder) -karena kehidupan akan sulit tanpa adanya hal itu- dan mendahulukan "Haajiyyaat" atas"Tahsiniyyaat" (pelengkap).
Maka tidak boleh bagi masyarakat menanam buah-buahan yang mahal saja, yang hanya terjangkau oleh orang-orang kaya dan berduit, sementara mereka tidak mau menanam gandum, jagung dan padi yang itu merupakan makanan pokok sehari-hari, bagi masyarakat pada umumnya.
Tidak boleh pula bagi masyarakat hanya memperhatikan produksi minyak wangi dan alat-alat kecantikan (kosmetik) lainnya, sementara mereka tidak mau memproduksi alat-alat pertanian, pengairan atau transportasi atau persenjataan penting guna memperkuat pertahanan.
Adapun memproduksi apa-apa yang membahayakan individu atau masyarakat, baik secara materi maupun moral, jasmani atau ruhani, maka itu tertolak dan dilarang secara syar'i. Seperti menanam tanaman tertentu untuk dibuat minuman keras, menanam ganja untuk bahan narkotik, atau menanam tembakau dan lain-lain, yang itu merupakan penggunaan nikmat-nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya dan membahayakan makhluq-Nya.
5. Mengoperasionalkan kekayaan harta (Emas dan Perak)
Di antara kewajiban masyarakat Islam adalah mengeluarkan harta yang di tangannya untuk diputar dan diinvestasikan, karena uang dan harta itu ada bukan untuk ditahan dan ditimbun. Akan tetapi uang itu dibuat untuk dipergunakan dan berpindah dari tangan ke tangan, sebagai harga untuk jual beli, upah untuk bekerja, mata uang yang bisa dimanfaatkan atau modal yang berputar (syirkah) atau mudharabah. Ia merupakan sarana untuk berbagai keperluan. Sekali lagi, semata-mata sarana, dan tidak boleh berubah menjadi tujuan, apalagi menjadi berhala yang disembah. Kalau demikian adanya, maka akan menjadi penyebab kenistaan dan kecelakaan, "Merugilah hamba dinar, merugilah hamba dirham," demikian sabda Rasulullah SAW.
Imam Ghazali di dalam kitabnya "Ihya' Ulumuddiin" berbicara tentang fungsi uang dalam kehidupan berekonomi dengan pembahasan yang lebih rinci dan detail dibandingkan para pakar ekonomi sekarang ini. Beliau mengungkapkan bahwa sesungguhnya Allah SWT menciptakan dirham dan dinar (uang) itu untuk dioperasionalisasikan oleh tangan manusia dan agar keduanya menjadi hakim dan wasit di antara harta yang ada secara adil dan karena hikmah lainnya, yaitu menjadi sarana untuk memperoleh segala sesuatu. Karena pada dasarnya keduanya mulia dan tidak ada tujuan pada mata uangnya dan disandarkannya pada segala sesuatu itu satu. Maka barangsiapa yang memilikinya, seakan ia memiliki segala sesuatu. Tidak seperti orang yang memiliki baju, maka ia tidak memiliki kecuali baju itu. Sehingga setiap orang yang bekerja untuk memperoleh uang tetapi caranya tidak sesuai dengan hukum, bahkan bertentangan dengan hukum, maka ia telah kufur terhadap nikmat Allah berupa emas dan perak.
Karena itu barangsiapa yang menyimpan emas dan perak maka ia menzhalimi keduanya dan menghilangkan hikmah di dalamnya, seperti orang yang menyandera penguasa kaum Muslimin di dalam tahanan sehingga mencegah dia dari melaksanakan hukum. Disebabkan karena mampu membaca lembaran-lembaran Illahi yang tertulis di atas alam yang terbuka dengan suatu perkataan yang mereka dengar sehingga maknanya bisa sampai kepadanya melalui huruf dan suara, Allah berfirman:
"Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkan pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih." (At Taubah: 34) 17)
Allah SWT telah mewajibkan zakat atas emas dan perak dalam setiap tahun, baik dikembangkan oleh pemiliknya atau tidak. Agar dengan ini dapat menjadi motivasi yang kuat bagi pemiliknya untuk mengembangkan dan menginvestasikannya, sehingga tidak "habis dimakan" oleh zakat pada setiap tahunnya.18)
Inilah yang diperintahkan oleh hadits Rasulullah SAW kepada para pemelihara anak yatim terhadap harta mereka dengan perintah yang jelas, yaitu agar mereka mengembangkan harta tersebut sehingga mendatangkan kemanfaatan dan tidak "dimakan" oleh zakat.
17) Lihat Kitab Al Ihya', Bab Asy-Syukur min Rabtil Munaajati, hal 2219-2221
18) Lihat Figih Zakat: 1/253 Yusuf Al Qardhawi.

AKTIVITAS EKONOMI

AKTIVITAS EKONOMI

Aktivitas antar manusia -- termasuk aktivitas ekonomi – terjadi melalui apa yang diistilahkan oleh ulama dengan mu'amalah (interaksi). Pesan utama Al-Quran dalam mu'amalah keuangan atau aktivitas ekonomi adalah: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan atau melakukan interaksi keuangan di antara kamu secara batil... (QS Al-Baqarah [2]: 188). Kata "batil" diartikan sebagai "segala sesuatu yangbertentangan dengan ketentuan dan nilai agama". Bukan di sini tempatnya merinci cakupan kata batil, apalagi Al-Quran --sejalan dengan sikapnya terhadap hal-hal yang bukan bersifat ibadah murni-- pada dasarnya tidak memberikan perincian. Ini untuk memberikan peluang kepada manusia atau masyarakat yang sifatnya selalu berubah, agar menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat sepanjang sejalan dengannilai-nilai Islam. NILAI-NILAI ISLAM Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai Islam terangkumdalam empat prinsip pokok: tauhid, keseimbangan, kehendakbebas, dan tanggung jawab. Tauhid mengantar manusia mengakui bahwa keesaan Allahmengandung konsekuensi keyakinan bahwa segala sesuatubersumber serta kesudahannya berakhir pada Allah Swt. DialahPemilik mutlak dan tunggal yang dalam genggaman-Nya segalakerajaan langit dan bumi. Keyakinan demikian mengantar seorangMuslim untuk menyatakan: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah semata-mata demi karena Allah, Tuhan seru sekalian alam. Prinsip ini menghasilkan "kesatuan-kesatuan" yang beredardalam orbit tauhid, sebagaimana beredarnya planet-planettatasurya mengelilingi matahari. Kesatuan-kesatuan itu, antaralain, kesatuan kemanusiaan, kesatuan alam raya, kesatuan duniadan akhirat, dan 1ain-lain. Keseimbangan mengantar manusia Muslim meyakini bahwa segalasesuatu diciptakan Allah dalam keadaan seimbang dan serasi, Engkau tidak menemukan sedikitpun ketidakseimbangan dalam ciptaan Yang Maha Pengasih. Ulang-ulanglah mengamati! Apakah engkau melihat sedikit ketimpangan? (QS Al-Mulk [67]: 3) Prinsip ini menuntut manusia bukan saja hidup seimbang serasi,dan selaras dengan dirinya sendiri, tetapi juga menuntunnyauntuk menciptakan ketiga hal tersebut dalam masyarakatnya,bahkan alam seluruhnya. Kehendak bebas adalah prinsip yang mengantar seorang Muslimmeyakini bahwa Allah Swt. memiliki kebebasan mutlak namun Diajuga menganugerahkan kepada manusia kebebasan untuk memilihdua jalan yang terbentang di hadapannya --baik dan buruk.Manusia yang baik di sisi-Nya adalah manusia yang mampumenggunakan kebebasan itu dalam rangka penerapan tauhid dankeseimbangan di atas. Dari sini lahir prinsip tanggung jawabbaik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks ini, Islammemperkenalkan konsep fardhu 'ain dan jardhu kifayah. Yangpertama adalah kewajiban individual yang tidak dapatdibebankan kepada orang lain sedang yang kedua adalahkewajiban yang bila dikerjakan oleh orang lain sehinggaterpenuhi kebutuhan yang dituntut, maka terbebaskanlah semuaanggota masyarakat dari pertanggungjawaban (dosa). Tetapi bilatidak seorang pun yang mengerjakannya, atau dikerjakan olehsebagian orang namun belum memenuhi apa yang seharusnya, makaberdosalah setiap anggota masyarakat. Keempat prinsip yang disebut di atas, harus mewarnai aktivitassetiap Muslim, termasuk aktivitas ekonominya. Prinsip tauhid mengantarkan manusia dalam kegiatan ekonomiuntuk menyakini bahwa harta benda yang berada dalam genggamantangannya adalah milik Allah, yang antara lain diperintahkanoleh Pemiliknya agar diberikan (sebagian) kepada yangmembutuhkan: Dan berilah kepada mereka (yang membutuhkan) harta yang diberikan-Nya kepada kamu (QS Al-Nur [24]: 33). Dalam pandangan agama Islam, harta kekayaan bahkan segalasesuatu adalah milik Allah. Memang jika diamati dengansaksama, hasil-hasil produksi yang dapat menghasilkan uangatau harta kekayaan, tidak lain kecuali hasil rekayasa manusiadari bahan mentah yang telah disiapkan oleh Tuhan Yang MahaEsa. Di sisi lain, keberhasilan para pengusaha bukan hanyadisebabkan oleh hasil usahanya sendiri, tetapi terdapat jugapartisipasi orang lain atau masyarakat. Bukankah para pedagang--misalnya-- membutuhkan para pembeli agar hasil produksi ataubarang dagangannya terjual? Bukankah petani membutuhkanirigasi demi kesuburan pertaniannya? Bukankah para pengusahamembutuhkan stabilitas keamanan guna lancarnya roda keuangandan perdagangan? Dan masih banyak lagi yang lain. Kalaudemikian, wajar jika Allah memerintahkan manusia untukmenyisihkan sebagian dari apa yang berada dalam genggamantangannya ("miliknya") demi kepentingan masyarakat umum. Darisini agama menetapkan keharusan adanya fungsi sosial bagiharta kekayaan. Tauhid, yang menghasilkan keyakinan kesatuan dunia danakhirat, mengantar seorang pengusaha untuk tidak mengejarkeuntungan material semata, tetapi keuntungan yang lebih kekaldan abadi. Prinsip tauhid yang menghasilkan pandangan tentang kesatuanumat manusia mengantar seorang pengusaha Muslim untukmenghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia.Dari sini dapat dimengerti mengapa Islam bukan saja melarangpraktek riba dan pencurian, tetapi juga penipuan walauterselubung, bahkan sampai kepada larangan menawarkan barangpada saat konsumen menerima tawaran yang sama dari orang lain. Prinsip keseimbangan mengantar kepada pencegahan segala bentukmonopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada satu tangan atausatu kelompok. Atas dasar ini pula Al-Quran menolak denganamat tegas daur sempit yang menjadikan kekayaan hanya berkisarpada orang-orang atau kelompok tertentu. Supaya harta itu tidak hanya beredar pada orang-orang kaya saja di antara kamu... (QS Al-Hasyr [59]: 7). Dari sini juga datang larangan penimbunan dan pemborosan. Halini tercermin pada ayat 34 surat At-Taubah yang memberikanancaman sedemikian keras kepada para penimbun, serta sabdaNabi Muhammad Saw. berikut: Siapa yang menimbun makanan selama empat puluh hari, dengan tujuan menaikkan harga, maka ia telah berlepas diri dari Allah, dan Allah juga berlepas diri darinya. Ayat dan hadis-hadis Nabi seperti di atas oleh sementara pakardijadikan dasar pemberian wewenang kepada penguasa untukmencabut hak milik perusahaan spekulatif yang melakukanpenimbunan, penyelundupan, dan yang mengambil keuntungansecara berlebihan, karena penimbunan mengakibatkan kenaikanharga yang tidak semestinya. Di sisi lain pemborosan pun dilarang juga: Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan (QS Al-A'raf [7]: 31). Pemborosan dan sikap konsumtif dapat menimbulkan kelangkaanbarang-barang yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan akibatkenaikan harga-harga. Dalam rangka memelihara keseimbangan itu, Islam menugaskanPemerintah untuk mengontrol harga, bahkan melakukanlangkah-langkah yang diperlukan untuk menjamin agar-palingtidak bahan-bahan kebutuhan pokok dapat diperoleh dengan mudaholeh seluruh anggota masyarakat. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad Saw. menyebutkan bahwa: Masyarakat berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api (HR Abu Daud). Tiga komoditi ini merupakan kebutuhan masyarakat pada masaNabi Saw., dan tentunya setiap masyarakat dapat memilikikebutuhan-kebutuhan lain, yang dengan demikian masing-masingdapat menyesuaikan diri dengan kebutuhannya. Semua hal yang disebut di atas harus dipertanggungjawabkanoleh manusia demi terlaksananya keadilan baik secara individumaupun kolektif. Demikian sekilas yang dilahirkan oleh prinsip dan nilai Islamdalam bidang ekonomi. Dalam perkembangan perekonomian sesudah turunnya A1-Qurantelah lahir institusi-institusi serta kondisi yangdiperselisihkan keabsahannya dari segi syariat seperti halnyadengan perbankan konvensional. Sementara ulama mempersamakanpraktek perbankan itu dengan riba, sementara ulama lainnyamentoleransinya dengan syarat-syarat tertentu, antara lainbahwa bank yang menyalurkan kredit haruslah bank pemerintah,karena keuntungan yang diperolehnya pada akhirnya akan kembalijuga ke masyarakat. Berikut akan disoroti hal tersebut dansegi penafsiran ayat riba. RIBA Keraguan terjerumus ke dalam riba yang diharamkan menjadikanpara sahabat Nabi, seperti ucap Umar ibn Khaththab,"Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal." Inidisebabkan karena mereka tidak memperoleh informasi yang utuhtentang masalah ini langsung dari Nabi Muhammad Saw. Kata riba dari segi bahasa berarti "kelebihan". Kalau kitahanya berhenti pada makna kebahasaan ini, maka logika yangdikemukakan para penentang riba pada masa Nabi dapatdibenarkan. Ketika itu mereka berkata --seperti yangdiungkapkan Al-Quran-- bahwa "jual beli sama saja dengan riba"(QS Al-Baqarah [2]: 275), Allah menjawab mereka dengan tegasbahwa "Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."Penegasan ini dikemukakan-Nya tanpa menyebut alasan secaraeksplisit, namun dapat dipastikan bahwa pasti ada alasan atauhikmah sehingga ini diharamkan dan itu dihalalkan. Dalam Al-Quran ditemukan kata riba sebanyak delapan kali dalamempat surat, tiga di antaranya turun setelah Nabi hijrah dansatu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah,walaupun menggunakan kata riba (QS Al-Rum [30]: 39), ulamasepakat bahwa riba yang dimaksud di sana bukan riba yang haramkarena ia diartikan sebagai pemberian hadiah, yang bermotifmemperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang lain. Upaya memahami apa yang dimaksud dengan riba adalah denganmempelajari ayat-ayat yang turun di Madinah, atau lebih khususlagi kata-kata kunci pada ayat-ayat tersebut yaitu adh'afanmudha'afah (berlipat ganda), ma baqiya minarriba (apa yangtersisa dari riba) dan falakum ru'usu amwalikum, la tazlimunwa la tuzlamun. Sementara ulama, semacam Sayyid Muhammad Rasyid Ridha,memahami bahwa riba yang diharamkan Al-Quran hanya riba yangberlipat ganda. Lipat ganda yang dimaksud di sini adalah"pelipatgandaan yang berkali-kali". Memang pada zaman jahiliah dan awal Islam, apabila seorangdebitur yang tidak mampu membayar hutangnya pada saat yangditentukan, ia meminta untuk ditangguhkan dengan janjimembayar berlebihan, demikian berulang-ulang. Sikap semacam ini amat dikecam oleh Al-Quran, sebagaimanafirman Allah: Bila debitur berada dalam kesulitan, maka hendaklah diberi tangguh hingga ia memperoleh keleluasaan dan menyedekahkan (semua atau sebagian dan piutang) (lebih baik untuknya jika kamu mengetahui) (QS Al-Baqarah [2]: 280). Pendapat yang memahami riba yang diharamkan hanya yangberlipat ganda, tidak diterima oleh banyak ulama. Bukan sajakarena masih ada ayat lain yang turun sesudahnya, yangmemerintahkan untuk meninggalkan sisa riba yang belum diambil,tetapi juga karena akhir ayat yang turun tentang riba,memerintahkan untuk meninggalkan sisa riba. Dan bila merekamengabaikan hal ini, maka Tuhan mengumumkan perang terhadapmereka sedang Bila kamu bertobat, maka bagi kamu modalmu, (dengan demikian) Kami tidak menganinya dan tidak pula dianiaya (QS Al-Baqarah [2]: 279). Hemat penulis, inilah kata kunci yang terpenting dalampersoalan riba, dan atas dasar inilah kita dapat menilaitransaksi hutang piutang dewasa ini, termasuk praktek-praktekperbankan. Kesimpulan yang dapat kita peroleh dari ayat-ayat Al-Quranyang berbicara tentang riba, demikian pula hadis Nabi danriwayat-riwayat lainnya adalah, bahwa riba yang dipraktekkanpada masa turunnya Al-Quran adalah kelebihan yang dipungutbersama jumlah hutang, pungutan yang mengandung penganiayaandan penindasan, bukan sekadar kelebihan atau penambahan danjumlah hutang. Kesimpulan di atas diperkuat pula dengan praktek Nabi Saw.yang membayar hutangnya dengan berlebihan. Dalam kontekspembayaran berlebihan inilah Nabi Saw. bersabda: Sebaõk-baik manusia adalah yang sebaik-baik membayar hutang.(Diriwayatkan oleh Muslim melalui sahabat Nabi A'bi Rafi',yakni antara lain "melebihkan". Hanya tentu harusdigarisbawahi bahwa kelebihan pembayaran itu tidak bersyaratpada awal transaksi) Nah, bagaimana dengan praktek perbankan dewasa ini? Ulama sejak dahulu hingga kini belum dan besar kemungkinantidak akan sepakat, karena sikap kehati-hatian tetap menghiasidiri orang-orang yang bertakwa.

ETIKA DISTRIBUSI DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN

ETIKA DISTRIBUSI DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN

Dalam Islam, setiap orang dilarang menumpuk-numpuk atau menimbun-nimbun harta kekayaan. Larangan ini selain karena pertimbangan bahwa menimbun dan menumpuk kekayaan itu merupakan sikap yang berlebihan dan tamak, juga karena penimbunan barang-barang kekayaan itu dapat menghambat kelancaran arus distribusi barang-barang, dan ini mengganggu stabilitas ekonomi.
وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ(۱) الَّذِي جَمَعَ مَالًا وَعَدَّدَهُ(۲) يَحْسَبُ أَنَّ مَالَهُ أَخْلَدَهُ(۳)
Artinya: "Celakalah bagi setiap pengumpat dan pecela yang mengumpulkan harta kekayaan dan menghitung-hitungnya; dia mengira bahwa hartanya itu akan dapat mengekalkan dirinya." (QS al-Humazah, 104: 1-3).
Seperti halnya dengan memberi nafkah membelanjakan harta kekayaan juga haruslah dilakukan dengan halal dengan cara membelanjakan harta itu di jalan Allah SWT. Yang dimaksud membelanjakan harta itu adalah mempergunakan harta untuk mengkonsumsi sesuatu kebutuhan. Yang dikonsumsi itu, mungkin terdiri dari barang makanan, pakaian, perumahan, perhiasan, alat-alat produksi, dan lain sebagainya. Barang-barang yang dikonsumsi tersebut semuanya haruslah halal, dan cara mereka diperoleh juga harus halal, misalnya melalui pembelian yang sah.

Dalam hal distribusi Kekayaan, Islam juga telah menggariskan mengenai bagaimana proses dan mekanisme distribusi kekayaan di antara seluruh lapisan masyarakat agar tercipta keadilan dan kesejahteraan. Instrumen distribusi kekayaan dalam Islam melalui beberapa aturan yaitu :
1. Wajibnya muzakki (orang yang berzakat) membayar zakatnya dan diberikan kepada kepada mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) khususnya kalangan fakir-miskin.
2. Hak setiap warga negara untuk memanfaatkan kepemilikan umum. Negara berhak mengelola secara optimal dan efisien serta mendistribusikannya kepada masyarakat secara adil dan proporsional.
3. Pembagian harta negara seperti tanah, barang dan uang sebagai modal bagi yang memerlukannya.
4. Pemberian harta waris kepada ahli warisnya.
5. Larangan menimbun emas dan perak sekalipun telah dikeluarkan zakatnya.

Pemberlakuan aturan dalam pendistribusian kekayaan secara adil akan menjaga kemungkinan terjadinya ketimpangan pendapatan diantar anggota masyarakat. Di satu sisi ada kesempatan dan peluang bagi individu yang kreatif dan punya potensi untuk dapat memiliki kekayaan dalam jumlah yang banyak tanpa harus melakukan praktik ekonomi yang tidak benar seperti monopoli, KKN dan sebagainya dan di sisi lain negara akan menjaga agar jangan sampai ada anggota masyarakat yang tidak mampu

Mekanisme syari’ah Islam yang mengatur persoalan distribusi kekayaan di antara umat manusia tidak terlepas dari pandangan ideologis bahwa semua kekayaan yang ada di alam semesta ini pada hakikatnya adalah milik Allah SWT sehingga harus diatur sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. Manusia tidak punya hak untuk mengklaim bahwa semua harta miliknya adalah miliknya secara absolut karena sebenarnya manusia hanya diberi wewenang untuk mengelola dan memanfaatkan harta yang ada di dunia dan pada saatnya akan harus dikembalikan kepada pemilik yang sebenarnya yaitu Allah SWT. Dalam pada itu Islam mendorong sifat dan sikap kepemilikan yang dapat meningkatkan kemanfaatan (utility) suatu barang melalui dorongan semangat etos bekerjasama antara pemilik modal dengan pengusaha, pemanfaatan sumber daya alam secara bertanggung jawab dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan (growth) dan keadilan (equity) disamping harus memperhatikan dimensi keberlanjutan (sustainability) lingkungan ekologi.




Islam mencela sikap dan sifat yang hanya memperhatikan kepentingan individu (self-interest) tanpa mempedulikan keadaan sekitarnya. Gejolak sosial dan berbagai tindak kriminalitas seringkali dipicu oleh adanya faktor kesenjangan ekonomi di tengah masyarakat. Demikian juga dalam skala regional dan internasional konflik antardaerah dan antarnegara selalu dilatarbelakangi oleh persoalan ekonomi. Sehingga menjadi suatu keharusan bagi setiap individu, kelompok dan masyarakat untuk membangun etos kerja dan semangat bekerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi. Semangat mencari kekayaan harus diimbangi dengan semangat sosial untuk membantu orang lain yang membutuhkan sehingga akan terwujud keseimbangan sosial. Kebijakan ekonomi melalui instrumen moneter dan fiskal merupakan alat (tools) untuk mendorong peningkatan produksi dan distribusi barang dan jasa bagi kebutuhan masyarakat.

Rabu, 08 Oktober 2008

MEMBINGKAI UKHUWAH

MEMBINGKAI UKHUWAH

Oleh: Muhsin Hariyanto

KERINDUAN umat Islam terhadap jalinan ukhuwah telah menjadi bagian dari cita-cita yang tak pernah terkubur selamanya. Hingga kini slogan yang mengisyaratkan artipentingnya ukhuwah ada di mana pun, apalagi dalam khutbah-khutbah para ustadz, tema ini menjadi sesuatu yang selalu menarik untuk dikemukakan. Persoalannyanya adalah: apakan ukhuwah yang dicita-citakan itu telah benar-benar telah terwujud. Kalau jawablah "sudah", seberapa berarti keterwudujannya? Dan bila jawabnya "belum", kenapa bisa terjadi? Ukhuwah (ukhuwwah) yang biasa diartikan sebagai "persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti "memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian antarpihak yang berkepentingan. Rasa persaudaraan bukan sesuatu yang mudah untuk direkayasa, karena "dia" adalah Sesuatu yang tumbuh dari lubuk hati yang paling dalam, dengan satu modal dasar: “ikhlâsh” (ketulusan). Boleh jadi, perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang merasa bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya (ukhuwwah) dimaknai sebagai "setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain". Dalam makna metafor (majazi) kata ukhuwwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur seperti: suku, agama, budaya, profesi, dan kepentingan lain yang lebih luas. Semnata vitu, dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwwah digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”. Sehingga banyak orang yang memaknai ukhuwwah dengan pengertian pertemanan yang akrab atau persahabatan. Para psikolog, pada umumnya, menyatakan bahwa faktor penting (penunjang) lahirnya ukhuwwah (persaudaraan) dalam arti luas ataupun sempit adalah “kepedulian”. Semakin kokoh kepedulian seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain, akan semakin memperkokoh (pula) persaudaraan mereka. "Kepedulian", sebagai kata kunci, merupakan faktor dominan yang mendahului lahirnya persaudaraan sejati. dan pada akhimya menjadikan seseorang mampu merasakan derita saudaranya,. mengulurkan tangan sebelum diminta. serta memperlakukan saudaranya bukan atas dasar "take and give", tetapi justeru merupakan sebuah tindakan "give for all", dengan spirit "mengutamakan orang lain" atas diri mereka, walau pun diri mereka sendiri masih membutuhkannya (QS al-Hasyr [59]: 9), yang di dalam khazanah kajian hadis Nabi s.a.w. disebut sebagai spirit “al-îtsâr”.
Dalam kajian etika (ilmu akhlak), para ulama mengelaborasi konsep al-îtsâr yang terdapat dalam hadis Nabi s.a.w. tersebut dalam konteks yang beragam. Dengan memandang al-îtsâr atau mengutamakan orang lain sebagai tindakan yang disunnahkan oleh Rasulullah s.a.w., perilaku ini dinyatakan sebagai artikulasi persaudaraan sejati antarmuslim, yang selanjutnya bisa diperluas menjadi persaudaraan antarmanusia dengan spirit (nilai-nilai) keislaman. Itsar dikatakan sebagai seseutu yang memiliki dua sisi kemuliaan. Disamping memiliki nilai mulia di sisi Allah dalam ranah kesalehan vertikal, juga dipandang memiliki nilai mulia di sisi manusia dalam ranah kesalehan horisontal.
Dikisahkan oleh Abu Hurairah menurut hadis riwayat Imam Muslim (Shahih Muslim, Juz III, h. 1624), bahwa pada suatu ketika ada seorang laki-laki (yang tidak tidak disebut namanya) datang kepada Rasulullah s.a.w.. Ia bermaksud memohon bantuan kepada beliau karena sedang dalam kesusahan.
Episode pertama, Rasulullah s.a.w. meminta kepada seorang laki-laki itu untuk menemui salah seorang isteri beliau. Ketika bertemu, maka isteri Rasulullah s.a.w. pun menyatakan, ''Demi Allah yang telah mengutusmu dengan haq, aku tidak mempunyai apapun kecuali air.'' Mendengar itu, Rasulullah s.a.w. pun meminta seorang laki-laki itu untuk menemui isteri beliau yang lain. Ternyata, hasilnya sama. Isteri Rasulullah s.a.w. yang lain pun (yang ditemui) hanya memiliki air.
Episode kedua, Rasululllah s.a.w. bersabda di hadapan para sahabat beliau: ''Siapa di anatara kalian yang bersedai menjamu tamuku pada malam hari ini?'' Atas permintaan Rasulullah s.a.w. tersebut, seorang laki-laki dari kaum Anshar menyanggupinya dengan jawaban lantang: ''Aku, ya Rasulullah!'' Orang Anshar ini pun kemudia membawa laki-laki tersebut ke rumahnya.
Sesampainya di rumah ia memohon kepada isterinya: ''Wahai isteriku, muliakanlah tamu Rasulullah s.a.w. ini. Dan kemudian bertanya: Apakah engkau punya sesuatu?'' Isterinya pun menjawab: ''Tidak, kecuali makanan untuk peersediaan anak-anak kita.''
Mendengar jawaban isterinya,. ia berpesan kepada isterinya: ''Hiburlah mereka (anak-anak kita). Jika mereka mau makan malam, maka tidurkanlah mereka. Jika tamu kita sudah masuk, matikanlah lampu rumah dan perlihatkan kepadanya seolah-olah kita sedang makan.''
Di saat 'Sang Tamu' itu datang, mereka (seluruh anggota keluarga orang Anshar) pun duduk. 'Sang Tamu' itu pun dipersilakan makan dalam keadaan gelap, dengan maksud untuk memanjakannya, tanpa harus memperlihatkan seluruh anggota keluarganya yang pada malam itu (juga) membutuhkan makanan yang sama. Orang Anshar, dan isteri dan anak-anaknya menemani sang tamu, seolah-olah sedang makan bersama (Sang Tamu)-nya.
Akhirnya, 'Sang Tamu' bisa menimati hidangan makan malam dengan lahapnya, sementara orang Anshar, isteri dan anak-anaknya itu tidur dalam keadaan lapar.
Di waktu Subuh, orang Anshar itu pun menemui Rasulullah s.a.w. dan mengisahkan pengalamannya semalam bersama 'Sang Tamu' dan anggota keluarganya.. Mendengar kisah orang Anshar itu pun Rasulullah s.a.w. bersabda: ''Sungguh Allah SWT mengagumi perbuatanmu bersama isteri beserta anak-anakmu tadi malam pada saat menjamu tamu.''
Belajar dari kasus di atas, alangkah indah jika karakter îtsâr yang ditunjukkan oleh salah seorang sahabat Nabi s.a.w. dieksperimentasikan saat ini dalam konteks kekinian. Apalagi di ketika banyak anggota masyarakat yang mengalami kesusahan hidup di samping sejumlah orang yang memiliki kelebihan untuk dibagikan kepada sesama (umat manusia). Îtsâr yang yang telah menciptakan pribadi mulia untuk seorang sahabat Nabi s.a.w., pada saat yang lain juga seharusnya mendorong kita untuk mau menekan 'ego' dan mengorbankan kepentingan pribadi demi (kepentingan) orang lain.
Realitasnya, memang tidak bisa dipungkiri, kini justeru karakter "mementingkan diri sendiri" yang lebih banyak mendominasi kehidupan kita. Namun, sebagai sebuah tawaran penting yang ternyata bisa diberlakukan pada masa Rasulullah s.a.w., bukan berarti "kini" itsar tidak bisa kita lakukan.'.
Kata kuncinya adalah: "kesediaan kita untuk memulai". Karena pada akhirnya harus kita katakan, bahwa untuk menciptakan ukhuwwah yang berkelanjutan, yang perlu kita ciptakan adalah: “membangun kepedulian antarkita dengan spirit al-itsar (mentalitas memberi), bukan sebaliknya (mentalitas meminta)”.

Penulis: Dosen Tetap FAI-UMY dan Dosen Luar Biasa STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta

Senin, 06 Oktober 2008

ETIKA BERBEDA PENDAPAT

Etika Berbeda Pendapat

Di saat berbeda pendapat baik dalam suatu majelis atau bukan, sebagai seorang muslim kita berupaya untuk ikhlas dan mencari yang haq serta melepaskan diri dari nafsu dan juga menghindari sikap show (ingin tampil) dan membela diri dan nafsu.

Seorang muslim haruslah mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitab Al-Qur’an dan Sunnah. Karena Allah Subhaanahu wa Ta’ala telah berfirman, yang artinya: “Dan jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Kitab) dan Rasul”. (QS an-Nisa, 4: 59).

Seorang muslim berupaya berbaik sangka kepada orang yang berbeda pendapat dengan kita dan tidak menuduh buruk niatnya, mencela dan menganggapnya cacat. Sebisa mungkin berusaha untuk tidak memperuncing perselisihan, yaitu dengan cara menafsirkan pendapat yang keluar dari lawan atau yang dinisbatkan kepadanya dengan tafsiran yang baik.

Seorang muslim berusaha sebisa mungkin untuk tidak mudah menyalahkan orang lain, kecuali sesudah penelitian yang dalam dan difikirkan secara matang. Berlapang dada di dalam menerima kritikan yang ditujukan kepada anda atau catatan-catatang yang dialamatkan kepada anda.

Sedapat mungkin menghindari permasalahan-permasalahan khilafiyah dan fitnah. Berpegang teguh dengan etika berdialog dan menghindari perdebatan, bantah-membantah dan kasar menghadapi lawan.

PERMASALAHAN ZAKAT KONTEMPORER

Permasalahan Zakat Kontemporer

Pertama: Penyaluran Zakat untuk Amil

1. Amil zakat adalah setiap orang yang ditunjuk oleh pemimpin negeri-negeri Islam, atau ditugaskan dan dipilih oleh lembaga yang berkiprah di bidang zakat, baik pemerintah maupun organisasi keislaman untuk melaksanakan aktivitas pengumpulan, penyaluran beserta segala konsekuensinya seperti advertansi tentang hukum-hukum zakat, memperkenalkannya kepada para pemilik modal, advertansi tentang para mustahiq, menyimpan, mengelola, menjaga, mengembangkan (bukan membungakan –pent), mendayagunakan dalam sektor usaha profit making sesuai ketentuan yang sudah diputuskan dalam Fatwa hasil sidang I. Lembaga Islam yang termasuk di sini adalah yayasan-yayasan Islam, berbagai wadah perkumpulan yang ada di zaman kini yang concern di bidang shadaqah. Semua lembaga-lembaga tersebut di atas harus sesuai dengan sistem Islam dan syarat-syarat yang ditetapkan untuk bisa menjadi amil zakat.

2. Diantara tugas yang harus dikerjakan oleh amil adalah tugas yang bersifat baku karena terkait dengan tugas pokok dan manajemen. Maka, dipersyaratkan untuk setiap orang yang akan memegang tanggung jawab ini adalah ia harus memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh para fuqaha (ahli fiqh), seperti muslim, laki-laki, amanah, berilmu tentang hukum-hukum zakat. Dan bisa ditambahkan persyaratan lainnya jika ada salah satu persyaratan di atas yang tidak terpenuhi.

3. Amil zakat berhak atas dana zakat namun tidak boleh lebih dari gajinya walaupun mereka bukan fakir, dengan catatan penyaluran untuk seluruh amil dan peralatan serta administrasi tidak boleh lebih dari 12,5 %. Hal ini dengan memperhatikan untuk tidak mempekerjakan orang untuk menjadi amil kecuali sesuai kebutuhan walaupun sebaiknya tanggung jawab gaji mereka, seluruhnya atau sebagiannya, dibebankan kepada pemerintah. Hal ini ditujukan agar dana zakat juga tersalur kepada para mustahiq lainnya. Amil tidak boleh menerima pemberian apapun, hadiah, hibah, ataupun uang dari orang lain.

4. Penambahan lokasi lembaga/yayasan dan administrasinya yang konsekuensinya akan memerlukan penambahan sarana dan prasarana, jika tidak memungkinkan untuk bisa menganggarkan dari dana selain zakat seperti anggaran negara, hibah, shadaqah, maka boleh untuk diambilkan dari hak amil sesuai kebutuhan. Hal ini dengan catatan bahwa sarana dan prasarana tersebut memiliki hubungan langsung dengan aktivitas pengumpulan zakat, penyaluran, ataupun dampak positif terhadap progresivitas penerimaan zakat.

5. Wajib melakukan kontrol terhadap lembaga zakat. Hal ini sebagai bentuk pengamalan terhadap perilaku Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengevaluasi para petugas zakat. Sebab, amil zakat adalah pemegang amanah harta, maka ia harus memberikan pertanggungjawabannya, baik berupa pelanggaran maupun ketidakoptimalan kerjanya.

6. Amil harus selalu memperhatikan kode etik Islam secara umum seperti sopan-santun kepada para muzakki, mendoakan muzakki, kepada mustahiq, mempublikasikan hukum-hukum zakat dan urgensinya sehingga tercapai social insurance, serta bersegera dalam menyalurkan berbagai shadaqah ketika ada mustahiq.

Kedua: Zakat atas Harta Haram

1. Harta haram adalah setiap harta yang oleh syariat diperingatkan agar dijauhi dan tidak digunakan, baik haram secara dzat karena mengandung unsur bahaya maupun nista seperti bangkai dan minuman keras, ataupun haram karena factor lain, misalnya karena adanya link yang salah dalam proses perolehannya seperti memiliki tanpa izin pemiliknya (menipu), ataupun mengambil dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh syariat walaupun saling ridha, seperti riba dan suap.

2. Untuk harta haram karena sebab adanya link yang salah dalam proses perolehannya, maka ia tidak ada pemiliknya sepanjang zaman apapun. Pemegang harta ini wajib mengembalikannya kepada pemiliknya yang sah ataupun kepada ahli warisnya, jika terketahui. Jika tidak lagi memungkinkan, maka ia wajib menyalurkannya dalam sektor sosial sehingga ia bisa terbebas dari harta tersebut, dengan meniatkan shadaqah dari pemiliknya yang sah.

3. Jika harta haram itu merupakan gaji atas pekerjaan haram, maka pemiliknya harus menyalurkannya pada sektor sosial dan tidak mengembalikannya kepada pemilik sebelumnya.

4. Tidak boleh mengembalikan harta haram kepada pemiliknya jika pemiliknya masih tetap bermuamalah secara haram yang menyebabkan terjadinya harta haram, seperti bunga bank, akan tetapi harta itu disalurkan dalam sektor sosial.

5. Jika ia tidak bisa mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya yang sah maka ia wajib mengembalikannya dengan harta yang sepadan ataupun secara senilai jika mampu. Jika tidak, maka ia wajib menyalurkannya dalam sektor sosial dengan meniatkan shadaqah dari pemiliknya yang sah.

6. Harta yang haram secara dzat tidak bisa menjadi halal karena dizakati, sebab ia bukanlah harta yang benar dalam pandangan syariat. Oleh karena itu, wajib atas setiap kita membebaskan diri darinya dengan cara-cara yang dibenarkan syariat.

7. Harta yang haram karena adanya faktor lain, semisal karena adanya link yang salah dalam proses perolehannya tidak ada zakatnya. Namun jika sudah dikembalikan kepada pemiliknya yang sah maka, berdasarkan pendapat yang dipilih, pemiliknya wajib menunaikan zakatnya untuk tahun pertama saja walupun harta tersebut sudah berlalu bertahun-tahun.

8. Pemegang harta haram, jika ia mengeluarkan zakat atas harta tersebut, maka ia mendapatkan dosa karena ia masih memegang harta haram, dan zakatnya tidak sah, dan ia tetap menanggung beban itu sampai ia mengembalikan kepada pemiliknya yang sah ataupun kepada ahli warisnya jika mampu ataupun menshadaqahkan atas nama pemiliknya.

Ketiga: Zakat dan Pajak

1. Sidang menyuarakan kepada para pemimpin pemerintahan negeri-negeri muslimin untuk menetapkan undang-undang tentang pengumpulan dan penyaluran zakat. Sidang menyuarakan agar mereka mendirikan badan atau lembaga zakat dengan seluruh penerimaan dan penyalurannya dalam rekening dan system tersendiri. Sidang juga menyuarakan agar mereka meninjau ulang seluruh system keuangan yang sudah ada dan menyesuaikannya dengan system Islam.

2. Pada dasarnya, neraca keuangan negara adalah dari penerimaan kepemilikan umum dan penerimaan yang halal. Namun jika tidak mencukupi, pemerintah diperbolehkan menetapkan pajak dengan cara yang adil untuk kebutuhan pembiayaan negara dimana hal itu tidak boleh dari penerimaan zakat, ataupun untuk menutupi defisit dalam penyaluran zakat dalam memenuhi kebutuhan para mustahiq.

3. Karena pembolehan penetapan adanya pajak adalah demi kemaslahatan, maka wajib tetap memperhatikan maslahat ketika akan menetapkan besaran pajak, sesuai dengan kaidah system keuangan yang islami dan memperhatikan kaidah-kaidah umum serta maqashid syariah (tujuan-tujuan penetapan hukum).

4. Dipersyaratkan agar dalam menetapkan adanya aturan pajak tetap melihat kepada kebutuhan faktual.

5. Wajib memperhatikan azas keadilan dalam timbangan syariat, baik dalam penyaluran dan penggunaannya, serta ditetapkan adanya fungsi kontrol yang terpercaya dan professional.

6. Pembayaran pajak tidak menggugurkan kita dari kewajiban menunaikan zakat karena perbedaan keduanya, baik dari aspek dasar hukum perwajibannya maupun tujuan utamanya, apalagi jika dilihat dari aspek lainnya seperti tata-kelolanya, standar minimal wajibnya, penyalurannya. Dan tidak boleh memotong pajak dari harta wajib zakat.

7. Pajak yang wajib dibayarkan dalam satu tahun akan tetapi tidak dibayarkan dalam 2 tahun, maka pajaknya dipotongkan dari harta wajib zakat, dengan pertimbangan bahwa hak yang wajib ditunaikan.

8. Sidang menyarankan kepada pemerintah negeri-negeri muslimin untuk mengevaluasi undang-undang dan peraturannya agar bisa mengeluarkan zakat dari harta wajib pajak. Hal ini untuk memudahkan muslimin dalam menunaikan kewajiban zakatnya.

HAWA NAFSU DAN CARA PENGENDALIANNYA

Hawa Nafsu dan Cara Pengendaliannya

Nafsu adalah kecondongan jiwa kepada perkara-perkara yang selaras dengan kehendaknya. Kecondongan ini secara fitrah telah diciptakan pada diri manusia demi kelangsungan hidup mereka. Sebab bila tak ada selera terhadap makanan, minuman dan kebutuhan biologis lainnya niscaya tidak akan tergerak untuk makan, minum dan memenuhi kebutuhan biologis tersebut.

Nafsu mendorongnya kepada hal-hal yang dikehendakinya tersebut. Sebagaimana rasa emosional mencegahnya dari hal-hal yang menyakitinya.

Maka dari itu tidak boleh mencela nafsu secara mutlak dan tidak boleh pula memujinya secara mutlak. Namun karena kebiasaan orang yang mengikuti hawa nafsu, syahwat dan emosinya tidak dapat berhenti sampai pada batas yang bermanfaat saja maka dari itulah hawa nafsu, syahwat dan emosi dicela, karena besarnya mudharat yang ditimbulkannya.

Sehubungan manusia selalu diuji dengan hawa nafsu, tidak seperti hewan dan setiap saat ia mengalami berbagai macam gejolak, maka ia harus memiliki dua peredam, yaitu akal sehat dan agama. Maka diperintahkan untuk mengangkat seluruh hawa nafsu kepada agama dan akal sehat. Dan hendaknya ia selalu mematuhi keputusan kedua peredam tersebut.

Lalu bagaimana solusi bagi orang yang sudah terjerat dari hawa nafsu agar terlepas dari jeratannya? Ia bisa terlepas dari jeratan hawa nafsu dengan pertolongan Allah dan taufik-Nya melalui terapi berikut :

Tekad membara yang membakar kecemburuannya terhadap dirinya.

Seteguk kesabaran untuk memotivasi dirinya agar bersabar atas kepahitan yang dirasakan saat mengekang hawa nafsu.kekuatan jiwa untuk menumbuhkan keberaniaannya meminum seteguk kesabaran tersebut. Karena hakikat keberanian tersebut adalah sabar barang sesaat! sebaik-baik bekal dalam hidup seseorang hamba adalah sabar!.

Selalu memeperhatikan hasil yang baik dan kesembuhan yang didapat dari seteguk kesabaran.

Selalu mengingat pahitnya kepedihan yang dirasakan daripada kelezatan menuruti kehendak hawa nafsu.Kedudukan dan martabatnya di sisi Allah dan di hati para hamba-Nya lebih baik dan berguna daripada kelezatan mengikuti tuntutan hawa nafsu.

Hendaklah lebih mengutamakan manis dan lezatnya menjaga kesucian diri dan kemuliaanya daripada kelezatan kemaksiatan.

Hendaklah bergembira dapat mengalahkan musuhnya, membuat musuhnya merana dengan membawa kemarahan, kedukaan dan kesedihan! Karena gagal meraih apa yang diinginkannya. Allah azza wa jalla suka kepada hamba yang dapat memperdaya musuhnya dan membuatnya marah (kesal). Allah berfirman : Dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir dan tidak menimpakan suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskanlah bagi mereka dengan demikian itu suatu amal shaleh. (At-Taubah:120).

Dan salah satu tanda cinta yang benar adalah membuat kemarahan musuh kekasih yang dicintainya dan menaklukannya (musuh kekasih tersebut).

Senantiasa berpikir bahwa ia diciptakan bukan untuk memperturutkan hawa nafsu namun ia diciptakan untuk sebuah perkara yang besar, yaitu beribadah kepada Allah pencipta dirinya. Perkara tersebut tidak dapat diraihnya kecuali dengan menyelisihi hawa nafsu.

Janganlah sampai hewan ternak lebih baik keadaannya daripada dirimu! Sebab dengan tabiat yang dimilikinya, hewan tahu mana yang berguna dan mana yang berbahaya bagi dirinya. Hewan ternak lebih mendahulukan hal-hal yang berguna daripada hal-hal yang membahayakan.

Manusia telah diberi akal untuk membedakannya, jika ia tidak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang berbahaya atau mengetahui tetapi lebih mendahulukan yang membahayakan dirinya maka jelas hewan ternak lebih baik dari pada dirinya.

(Dikutip dengan perubahan seperlunya dari Asbaabut Takhallush minal Hawaa oleh Al Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah)

MEMBANGUN KOMUNITAS MUSLIM IDEAL DENGAN UKHUWWAH

Membangun Komunitas Muslim Ideal Dengan Ukhuwwah*)

Oleh: Muhsin Hariyanto

Prawacana

Semua orang dihadapkan pada tanggung jawab sosial, mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap orang lain, bahkan kepada alam, di samping kepada Tuhan.
Islam mengajarkan kepada setiap muslim untuk mengerti bahwa hidupnya bukan hanya diperuntukkan bagi dirinya saja, tetapi juga kepada kepada orang lain.

Tanggung jawab setiap muslim adalah untuk menyadari bahwa dirinya adalah makhluk sosial yang harus berbuat baik dan bahkan (yang) “terbaik” untuk orang lain seperti ketika dirinya selalu berkeinginan untuk berbuat baik dan (yang) “terbaik untuk dirinya sendiri.

Dalam hal ini Rasulullah saw bersabda:

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
(رواه البخارى عن أنس بن مالك)

Terjemah: “Seseorang di antara kamu sekalian tidak (akan) disebut sebagai orang yang beriman sehingga dia mencintai saudaranya seperti (ketika) dia mencintai dirinya sendiri.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dari Anas bin Malik)

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ أَوْ قَالَ لِجَارِهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ (رواه مسلم عن أنس بن مالك)

Terjemah : “Seseorang di antara kamu sekalian tidak (akan) disebut sebagai orang yang beriman sehingga dia mencintai saudaranya atau beliau katakan (mencintai) tetangganya seperti (ketika) dia mencintai dirinya sendiri.” (Hadis Riwayat Muslim dari Anas bin Malik)

Hadis-hadis yang semakna juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, An-Nasa-i, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal dan Ad-Darimi.

Di antara contoh kongkret ajaran Islam yang mengindikasikan perlunya seseorang peduli terhadap orang lain dan mengganggap orang lain adalah menjadi bagian dari tanggung jawabnya adalah kewajiban individual untuk “berzakat”. Zakat yang – secara normatif – dipahami sebagai kewajiban untuk mengeluarkan kelebihan harta yang dimiliki untuk orang yang berkekurangan dan membutuhkannya diasumsikan sebagai implementasi kongkret tanggung jawab sosial muslim kepada sesama manusia, yang dengan optimasi pelaksanaannya dimungkinkan terciptanya distribusi kemampuan-ekonomis yang adil dan merata, dan bahkan dalam perspektif sosio-ekonomi – secara tidak langsung – akan membantu upaya pemberdayaan masyarakat untuk berproduksi dan mengeliminasi budaya konsumtif.

Menggugah Kepedulian Sosial Melalui Penyadaran Berukhuwwah

Di antara nilai-nilai sosial kemanusiaan yang ditekankan oleh Islam adalah persaudaraan (ukhuwwah). Bahwa hendaknya manusia hidup di masyarakat itu saling mencintai dan saling menolong dan diikat oleh perasaan layaknya anak-anak dalam satu keluarga. Mereka saling mencintai, saling memperkuat, sehingga benar-benar terasa bahwa kekuatan saudara adalah kekuatannya, dan kelemahan saudaranya adalah kelemahannya. Dan bahwa sesungguhnya ia akan merasa kecil (tidak berarti) jika sendirian dan dia akan banyak (bernilai) manakala bersama saudara-saudaranya.**)

Al-Quran telah menjadikan bahwa hidup bersaudara itu suatu kenikmatan yang terbesar. Allah SWT berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ

Terjemah: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS Âli ‘Imrân, 3: 103)

Al-Quran juga menjadikan persaudaraan dalam bermasyarakat di antara orang-orang mukmin sebagai konsekuensi keimanan yang tidak dapat terpisah satu sama lain di antara keduanya. Allah SWT berfirman:

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

Terjemah: "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (QS al-Hujurât, 49: 10)

Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:

وَإِنْ يُرِيدُوا أَنْ يَخْدَعُوكَ فَإِنَّ حَسْبَكَ اللَّهُ هُوَ الَّذِي أَيَّدَكَ بِنَصْرِهِ وَبِالْمُؤْمِنِين َ(62) وَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ لَوْ أَنْفَقْتَ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مَا أَلَّفْتَ بَيْنَ قُلُوبِهِمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ أَلَّفَ بَيْنَهُمْ إِنَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (63)

Terjemah: “Dan jika mereka bermaksud hendak menipumu, maka sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan orang-orang yang beriman, dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka.

Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana." (QS al-Anfâl, 8: 62-63)

Rasulullah saw bersabda:

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِي حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Terjemah: Seorang muslim itu adalah saudara bagi muslim lain. Ia tidak boleh menganiaya dan (tidak boleh juga) menyerahkannya (kepada musuh). Barangsiapa yang bersedia memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah pun akan berkenan memenuhi kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan satu kesusahan kepada seorang muslim, maka Allah akan melapangkan salah satu kesusahan di antara kesusahan-kesusahannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang menutup keaiban seseorang muslim, maka Allah akan menutup keaibannya pada hari kiamat.” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Umar)

Sebuah hadis -- yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadis Zaid bin Arqam -- menjelaskan bahwa Rasulullah saw berdoa pada setiap selesai shalat (dengan doa) sebagai berikut:

اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَىْءٍ أَنَا شَهِيدٌ أَنَّكَ أَنْتَ الرَّبُّ وَحْدَكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ - أَنَا شَهِيدٌ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُكَ وَرَسُولُكَ رَبَّنَا وَرَبَّ كُلِّ شَىْءٍ أَنَا شَهِيدٌ أَنَّ الْعِبَادَ كُلَّهُمْ إِخْوَةٌ

"Ya Allah ya Tuhan kami, dan Tuhan segala sesuatu serta pemiliknya, saya bersaksi bahwa Engkaulah Allah yang Esa, dan tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah hamba-Mu dan utusan-Mu. Ya Allah ya Tuhan kami, Tuhan segala sesuatu dan pemiliknya, sesungguhnya kami bersaksi bahwa sesungguhnya seluruh hamba(Mu) adalah bersaudara."

Dalam doa tersebut, pengakuan prinsip ukhuwwah (bersaudara) diletakkan setelah bersyahadah kepada Allah dengan mengesakan Dia dan bersaksi bahwa Muhammad SAW adalah sebagai hamba dan rasul-Nya. Dalam ungkapan "Seluruh hamba (Mu) adalah saudara" ada dua makna yang keduanya sama-sama benar, yaitu:

Pertama, Sesungguhnya para hamba yang dimaksud di sini adalah seluruh manusia, mereka adalah bersaudara antara yang satu dengan lainnya, dengan alasan bahwa mereka semua putera Adam dan hamba Allah. Ini adalah Ukhuwwah Insâniyyah 'Âmmah (persaudaraan universal antarmanusia).

Allah SWT telah mengutus sejumlah Rasul, yang di dalam al-Quran dinyatakan bahwa mereka itu adalah “bersaudara” bagi kaumnya, meskipun mereka kufur terhadap risalahnya. Karena adanya sisi persamaan dengan mereka di dalam (hal) jenis dan asal mula mereka, sebagaimana firman Allah SWT:

وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ أَفَلَا تَتَّقُونَ

Terjemah: Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum `Âd saudara mereka, Hûd. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" (QS al-A'râf, 7: 65)

وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ هَذِهِ نَاقَةُ اللَّهِ لَكُمْ ءَايَةً فَذَرُوهَا تَأْكُلْ فِي أَرْضِ اللَّهِ وَلَا تَمَسُّوهَا بِسُوءٍ فَيَأْخُذَكُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Terjemah: Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shaleh. Ia berkata. "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhanmu. Onta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya, dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih." (Al-A'raf, 7: 73)

وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلَا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Terjemah: Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Madyân saudara mereka, Syu`aib. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya.

Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman". (QS al-A'râf, 7: 85)

Kedua, Bahwa sesungguhnya yang dimaksud hamba di sini adalah khusus kaum Muslimin, karena kesamaan mereka dalam satu millah (agama). Mereka bersatu dalam satu aqidah yaitu mentauhidkan Allah, dan kiblat yang satu yaitu Ka'bah di Baitul Haram. Mereka mereka diikat oleh kitab yang satu yaitu Al-Quran dan Rasul yang satu yaitu Muhammad saw serta oleh satu
Manhaj yaitu Syari'at Islam.

Inilah yang disebut Ukhuwwah Dîniyyah (Islâmiyyah) khusus yang tidak bertentangan dengan yang pertama. Karena tidak saling menafikan antara yang khusus dan yang umum. Hanya saja ukhuwwah dîniyyah ini memiliki hak-hak yang lebih banyak, sesuai dengan ikatan aqidah dan syari'ah serta pemikiran dan tingkah laku.

Khâtimah

Setiap muslim dimotivasi untuk berperilaku asertif. Asertivitasnya harus ditunjukkan ke dalam tindakan yang seimbang antara: bertanggung jawab untuk dirinya dan orang lain. Dia (seorang muslim) bukanlah seorang yang berwatak egois, sekaligus bukan altruis. Dia adalah manusia yang dapat bersikap adil bagi dirinya dan (sekaligus) orang lain secara simultan.

Sikap-sikap seperti itulah yang harus dikedepankan oleh setiap muslim yang – implementasinya -- dia tunjukkan ke dalam seluruh aspek kehidupan. Dia dilahirkan untuk dirinya sekaligus untuk orang lain dalam rangka menciptakan kebajikan individual dan (sekaligus) kolektif tanpa harus mempertentangkan keduanya.

Jadi, meskipun tradisi budaya kita – yang menonjol -- saat ini ini adalah tradisi-budaya individualis, dengan semangat kompetitif, bukan harus berarti semangat kooperatif harus kita kubur hidup-hidup. Pada saatnya kita harus menjadi yang terdepan dan terbaik untuk menciptakan budaya tandingan, untuk menjadikan Islam menjadi “Yang Mengendalikan”, bukan “Yang Dikendalikan.”

Akhirnya, harus kita sadari bahwa semua proyek besar dakwah Islam itu adalah beban dan tanggung jawab kita bersama. Dan untuk itu harus kita katakan kepada diri kita: “isyhadû bi annâ muslimûn.”

*) Tulisan ini disusun berdasarkan dua artikel dari dua buku. Masing-masing dari: T.B. Irving, Islam dan Tanggung Jawab Sosial, Bandung: Pustaka, 1981; dan Yusuf al-Qaradhawi, Sistem Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah, (Malâmih al-Mujtama' al-Muslim Alladzî Nasyûduh), Solo: Citra Islami Press, 1997.

**) Secara rinci uraian ini dapat dibaca dalam tiga (buku) karya Muhammad al-Ghazali: Al-Islâm Wa al-Audha' al-Iqtishâdiyah; Al-Islâm Wa al-Manâhij al-Isytirâkiyah;" dan "Al-Islâm al-Muftarâ 'Alaih.