Selasa, 13 November 2007

Pembaruan Ushul Al-Fiqh

Pembaruan Ushul Al Fiqh

Teori hukum Islam atau disebut juga ushul al fiqh adalah salah satu disiplin ilmu keislaman tradisional yang memiliki posisi sangat penting dalam pengembangan hukum Islam. Dalam disiplin ilmu inilah pembahasan mengenai dasar-dasar pemikiran atau paradigma keilmuan dan kaidah-kaidah yang sangat diperlukan sebagai pijakan dasar dalam membangun sebuah formulasi hukum Islam yang diinginkan dibahas secara tuntas (Ramadan, 2002). Dengan perkataan lain, ushul al fiqh adalah disiplin ilmu yang paling bertanggung jawab sebagai perangkat metodologis yang paling berkompeten guna menyusun, membentuk, dan memberi corak hukum Islam yang diharapkan.
Crisis of relevance Menurut Munawir Sjadzali dalam bukunya Ijtihad Kemanusiaan, formulasi hukum Islam yang terdeskripsikan dalam kitab-kitab fikih klasik pada beberapa aspeknya sudah mengalami crisis of relevance dengan kondisi saat ini, terutama jika dikaitkan dengan standar hak asasi manusia internasional (Sjadzali, 1997). Pandangan hampir sama dikemukakan oleh Fazlur Rahman (1984), Abdullahi A An Na’im (1990), Muhammad Sa’id Al Asymawi (1993), Khaled M Abou El Fadl (2003), dan lain-lain.
Berangkat dari fenomena tersebut, maka upaya pembaruan hukum Islam melalui wahana ijtihad adalah sebuah keniscayaan. Namun seiring dengan itu, muncul permasalahan baru. Alih-alih ingin melakukan pembaruan tetapi apa yang terjadi? Ternyata para ahli hukum Islam belum berhasil memberikan jawaban yang memuaskan terhadap upaya pembaruan hukum Islam kontemporer itu, sehingga hasilnya kemudian sama saja. Muncul rasa ketidakpuasan dari kalangan Muslim sendiri yang pada titik ekstrem, menurut An Na'im, dapat mengarah pada keraguan mereka terhadap adaptabilitas Alquran dan Alhadis sebagai sumber utama hukum Islam. Kehadiran sekularisme di Turki adalah salah satu fenomena yang mewakili kondisi tersebut.
Lalu, mengapa para ahli hukum Islam kontemporer gagal dalam merumuskan formulasi hukum Islam yang sesuai dengan situasi dan kondisi pada saat ini? Di mana letak permasalahannya? Dan, apa yang semestinya dilakukan? Menurut para teoretisi hukum Islam, satu permasalahan krusial yang menghambat upaya pembaruan atau reformulasi hukum Islam yang diharapkan itu adalah miskinnya metodologi. Para ahli hukum Islam masih mengandalkan metodologi istinbath hukum lama yang sebenarnya dalam beberapa aspek sudah tidak lagi memadai.
Berdasar analisis tersebut, langkah terpenting yang harus dilakukan apabila hendak melakukan pembaruan formulasi hukum Islam yang dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi yang ada pada saat ini adalah harus menengok pula keberadaan metodologi istinbath hukumnya (ushul al fiqh). Karena jangan-jangan, ushul al fiqh-lah yang menjadi letak permasalahannya, yakni perangkat keilmuan di dalamnya sudah tidak mampu menjelaskan dan menyelesaikan kompleksitas permasalahan hukum yang muncul (Yusdani, 2001; Syarifuddin, 2002).
Jelasnya, ilmu ushul al fiqh klasik yang selama ini ditempatkan pada posisi sentral dalam studi keislaman serta pada masa lalu terbukti cukup canggih dalam membangun hukum Islam, kini menghadapi tantangan yang sangat berat. Ada beberapa bagian dari disiplin ilmu itu ditengarai tidak cukup memadai lagi untuk menjalankan fungsinya secara baik. Belum lagi, struktur penulisan kitab-kitab ushul al fiqh yang cukup rumit membuat orang harus berkerut kening untuk mempelajarinya. Ini membuat para pemula yang baru mempelajari ilmu-ilmu keislaman tradisional cenderung menjauhinya. Belum lagi ada semacam stigma yang ditempelkan oleh para ulama terhadap ilmu ushul al fiqh bahwa disiplin ilmu ini benar-benar sulit dan hanya orang-orang tertentu yang mampu mempelajarinya.
Desakralisasi ushul al fiqh
Stigma yang bisa membuat pesimistis para peminat ilmu-ilmu keislaman tradisional itu, sudah barang tentu harus dikikis karena akan membahayakan upaya pengembangan disiplin ilmu tersebut. Oleh karena itu, tepat apa yang dikatakan Muhammad Abu Al Fath Al Bayanuni dan Amar Al Thalabi bahwa apabila umat di masa lalu telah sungguh-sungguh merasakan betapa perlunya menyederhanakan ilmu seperti nahwu, sharf, balaghah, dan lain-lain, demikian pula seharusnya mereka bersikap terhadap ilmu ushul al fiqh (`Uways, 1998). Bagaimanapun, kendati perangkat kaidah-kaidah yang kini menjadi bagian dari ilmu ushul al fiqh diinspirasi Alquran dan Sunnah, tidak serta-merta kemudian sifat sakral dari kedua sumber utama ajaran Islam itu terus menempel.
Setiap ilmu itu bersifat nisbi dan relatif tingkat kebenarannya. Ilmu tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang sudah pasti, berhenti, dan tidak bisa dipermasalahkan lagi tingkat aktualitasnya. Setiap ilmu harus dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses pengembangan daya nalar dan kreativitas kaum Muslim pada masa tertentu. Oleh karena itu, mengutip Hasan A Al Turabi dalam Tajdid Al Fikr Al Islami, suatu ilmu bisa saja akan tampak canggih dan berwibawa dalam memberikan solusi-solusi berbagai permasalahan hukum Islam pada masa lalu, tetapi bisa jadi tampak tak berdaya bila diterapkan pada masa sekarang ini. Ini amat wajar terjadi, karena ia disusun dalam kondisi historis dan dipengaruhi oleh watak problematika hukum Islam yang menjadi pembahasan hukum Islam waktu itu (abad pertengahan) (Turabi, 2003).
Padahal, saat ini banyak sektor kehidupan yang telah berkembang dan melahirkan masalah-masalah baru yang belum disinggung oleh hukum Islam produk abad pertengahan. Selain itu, interaksi-interaksi sosial telah berganti. Sejak 1.000 tahun silam, belum ada sistem hukum agama yang dapat mengekspresikan tujuan agama dalam realitas tersebut. Ini disebabkan fasilitas dan sarana kehidupan telah berubah dan berkembang, sehingga hasil keputusan hukum tertentu dalam format lamanya sudah tidak relevan lagi.
Bersamaan dengan itu, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan pesat, sementara hukum Islam lama berpijak pada pengetahuan terbatas ihwal metode perumusan sistem hukum yang mempunyai relevansi dengan realitas alam dan norma-norma sosial. Di lain pihak, ilmu tekstual yang dimiliki kaum Muslim di masa itu sangat minim, dan sarana untuk menelaah, meneliti, serta menyebarkan ilmu juga masih sulit. Singkat kata menurut Al Turabi, saat ini, memikirkan kembali formulasi metodologi pengambilan hukum dalam kerangka pembaruan ilmu ushul al fiqh menjadi kebutuhan yang amat mendesak.
Akar dan lingkup
Di Indonesia sendiri, perhatian terhadap pentingnya pembaruan ushul al fiqh telah digagas oleh banyak kalangan baik secara perorangan ataupun kelompok. Dalam hal ini mereka berpendapat bahwa, pembaruan juga perlu menyentuh aspek substansial yang meliputi sisi ontologi dan epistemologi. Artinya, paradigma yang menjadi fondasi bangunan ushul al fiqh klasik selama ini tidak luput dari kritik dan dekonstruksi (suatu upaya ambisius yang dapat menuai kritik balasan yang cukup pedas).
Namun, sedikit mengabaikan kemungkinan terakhir itu, terlihat ada hal yang sangat menarik dari elaborasi di atas, yaitu tampaknya para pemikir Muslim kontemporer tidak berhenti pada tataran kritik, tetapi telah memikirkan secara serius aspek-aspek mana saja dari ushul al fiqh yang patut diperbarui dan bagaimana memperbaruinya. Bahkan, berkenaan dengan tujuan itu, mereka telah berupaya menulis artikel atau buku yang mengulas secara khusus permasalahan di atas.
Fenomena itu sangat menarik, karena akan memudahkan bagi para peminat ushul al fiqh untuk mengikuti, mengetahui, mempelajari, mengritik, dan bila mungkin memberikan kontribusi pemikiran pada proyek besar tersebut. Persoalannya sekarang adalah tinggal bagaimana umat Islam dapat menyikapi secara positif fenomena tersebut dengan tidak menyalahpahami dan mereduksinya sebagai upaya mendekonstruksi kemapanan Islam. Namun sebaliknya, kita perlu menganggap semua itu sebagai bagian dari dinamika Islam yang patut disyukuri dalam rangka mencari cara untuk memecahkan persoalan umat sebaik-baiknya.
Ikhtisar
- Pemikiran mengenai hukum Islam yang berkembang di masa lampau belum tentu relevan dengan perkembangan zaman yang terjadi saat ini.
- Kenyataan tersebut disebabkan oleh konteks sejarah dan perangkat pemikiran yang ada di masa lalu itu berbeda dengan masa sekarang.
- Karena itu, penting untuk dilakukan pembaruan pemikiran yang dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman dalam lingkup hukum-hukum Islam.

Tidak ada komentar: