Kamis, 22 November 2007

MEMAHAMI HERMENEUTIKA

MEMAHAMI HERMENEUTIKA :
“Sebuah Pengantar”

Kata Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermenuein, hermenus yang berarti penafsiran, ungkapan, pemberitahuan atau terjemah. Ia diambil dari kata hermes, utusan para dewa dalam mitologi Yunani. Meskipun ia sendiri adalah dewa yang mempunyai peran sebagaimana dewa Mesir kuno Theth (dewa kata), kalau dicermati lebih dalam, sebetulnya kedua dewa ini mempunyai peran yang berbeda. Dewa Theth kata-katanya bersifat naratif sedangkan Hermes bersifat formatif-ilustratif. Agaknya perpaduan ini merupakan keharusan, karena makna suatu mitos terbentuk dari narasi dan forma.

Theth disebut juga juru tulis para dewa, “dewa tulisan”, pencipta pena dan tinta, penutur agung, penguasa tulisan dari Mesir. Ia juga kata pemula yang menyebabkan alam ini ada. Di samping itu ia berperan sebagai jaksa di pengadilan akhir hayat. Secara singkat bisa dikatakan bahwa Theth adalah symbol (pertanda) dari kata, kata pencipta, pengatur, pemusnah alam ini, sekaligus juga yang berperan mengadili. Dan karakteristik kata ini adalah samar, tidak akan pernah jelas. Sebab dengan kesamaran itu kehidupan bisa dinamis dan abadi.

Adapun Hermes adalah dewa kata yang fasih. Ia putra Zeus dan Maya. Ia adalah kata-kata yang menjadi penghubung (komunikasi) antarmanusia dan manusia dengan suatu tempat. Perkataan gaya Hermes adalah perkataan yang berputar-putar antara kebenaran dan kebohongan. Hermes memang bersumpah untuk tidak berdusta meskipun ada catatan ia pun tidak berjanji bisa mengungkapkan kebenaran secara sempurna.

Dengan demikian, hermeneutika ala mitologi Yunani adalah upaya mendapatkan kebenaran hakiki melalui ucapan-ucapan Hermes yang sifatnya sangat terbatas (tidak mutlak kebenarannya).

Berikut ini penulis akan memaparkan secara singkat perjalanan hermeneutika.

Abad Pertengahan

Pada masa ini terjadi perpindahan lapangan penafsiran teks dari humeira (injil Yunani) ke penafsiran injil-injil Romawi. Para penafsir juga mulai meletakkan pedoman-pedoman, kaedah-kaedah unuk memahami kitab suci, yaitu berpegang pada tekstualitas, tujuan moral dan kandungan arti spiritual. Augustin membagi arti-arti yang dicari oleh para penafsir dari kitab suci menjadi 4 (empat) yaitu ari tekstual, tujuan moral, arti simbolik dan penafsiran yang tersembunyi. Dan ketika Martin Luther menampilkan corak penafsiran barunya dalam gerakan reformasi agama, bermuncullah karya-karya seputar kaedah-kaedah penfsiran. Pada tahun 1654 mulai muncul karya yang menyebut kata hermeneutika yaitu Hermeneutika Sacra Sive Methodus Exponent Darum Sacarum Literum (Penafsiran Kitab Suci atau Metode Penjelasan Teks-teks Kitab Suci) karya Dannhauuer. Dan pada abad XVIII corak penafsiran kitab suci bertumpu pada filologi.

Schleiermacher (w. 1843 )

Oleh Schleiermacher, hermeneutika dibawa dari objek wilayah ketuhanan (kitab suci) ke wilayah ilmu-ilmu pengetahuan (teks secara umum). Hal ini karena pada masanya terjadi reaksi keras terhadap faham Hegel yang menfsirkan teks sebagai penjelmaan yang Maha Kuasa di satu sisi dan faham Feurbagh yang berpandangan bahwa teks keagamaan tidak lain adalah bentuk alianasi manusia di sisi lain. Bagi Schleiermacher, yang penting bukan Hegel atau Feurbagh, tetapi bagaimana memahami teks keagamaan tersebut sebagaimana teks-teks yang lain. Dalam menafsirkan teks ia tidak mencukupkan pada pendekatan filologi saja, tetapi dilengkapi dengan pendekatan psikologi dan sejarah. Secara garis besar ada 2 (dua) dasar yang ditawarkan Schleiermacher dalam menafsirkan teks:

1. Langkah-langkah penafsiran (hermeneutika) terhadap teks. Dan langkah ini ada dua cara. Pertama “intuitif-struktural” yang mendasarkan pada arti keseluruhan teks. Kedua adalah gramatikal- historis-analitis-komparatif yang digunakan untuk mengkaji lebih dalam komponen-komponen teks
2. Landasan pemahaman bahwa teks adalah sarana komunikasi antara penulis (pembuat teks) dan pembaca (penafsir teks) di satu sisi, dan di sisi lain adalah karakteristik dari pembuat teks itu sendiri. Dengan demikian, penafsiran hermeneutik adalah upaya untuk berpadu, menyatu rasa dengan pembuat teks dan memperkirakan maksud dan tujuannya di satu sisi. Dan di sisi lain adalah analisa mendalam terhadap teks itu dari segi gramática dan sejarah, yang dengan demikian pembaca (penafsir) mempunyai otoritas luas untuk menafsirkan teks tersebut.

Dilthey (1833 – 1911)

Kalau Schleiermacher tantangannya adalah Hegelisme dan Feurbaghisme, maka Dilthey adalah ilmu Fisika di satu sisi dan Filsafat Idealisme di sisi lain. Masa Dilthey disebut sebagai masa filsafat positivisme, yang mendasarkan kebenaran pada eksperimen dan rumus-rumus fisika. Para pengusung positivisme mencela ilmu-ilmu humaniora, karena tidak adanya kepastian rumus-rumus dan kaedah-kaedah. Dan Dilthey menjawab bahwa ilmu fisika dan humaniora mempunyai perbedaan objek, tujuan dan penggarapan. Objek ilmu fisika adalah alam, sesuatu yang ada di luar manusia. Sementara humaniora objeknya adalah manusia itu sendiri. Dan oleh karena itu, manusia adalah pengkaji dan objek sekaligus. Sedangkan tujuan dari ilmu fisika adalah menguasai alam sementara humaniora adalah upaya memahami manusia. Dengan demikian, hermeneutika lebih dekat dengan humaniora. Dan hermeneutika ala Dilthey adalah penafsiran yang mendalam terhadap teks dan bukan sekadar eksperimen atau pencarian sebab-sebab kemunculan teks.

Heidegger (1889 – 1976)

Bersama Heidegger, hermeneutika mengalami lompatan besar sebab ia mengaitkannya dengan filsafat yang dalam hal ini adalah fenomenologi. Keterkaitan ini tidak berarti objek kajian hermeneutika adalah hal-hal yang lahiriah atau kulit kalimat. Tetapi konsentrasinya justeru pada perspektif kesadaran individu terhadap fenomena itu. Dan ketika objek kajian hermeneutika adalah bahasa, sedangkan fenomenologi adalah alam maka dengan cerdas Heidegger menjelaskan bahwa bahasa adalah ekspresi dari alam. Dan oleh karena itu, penafsiran teks adalah penafsiran terhadap alam. Fungsi penafsiran teks adalah (ber)fungsinya kesadaran- kesadaran terhadap alam. Dan penafsiran teks adalah membaca bahasa alam, mendengar suaranya seakan-akan ia menjelma di hadapan penafsir.

Heidegger menegaskan bahwa penafsiran dengan cara ini (dengan hermeneutika) memang memunculkan beragamnya penafsiran, sebab:

1. Penafsiran hermeneutik adalah pengalaman ontologis (upaya pencarian wujud dan hakikat sesuatu). Padahal keberadaan hakikat tersebut adalah antara ada dan tiada, kesamaran dan kejelasan. Dan oleh karena itu, penafsiran hermeneutik -- dengan tujuan seperti ini --harus dilakukan terus-menerus. Artinya tidak bisa diklaim bahwa suatu bentuk atau tahapan penafsiran telah menemukan hakikatnya.
2. Penafsiran hermeneutik adalah penafsiran historis. Artinya, pertama ia muncul pada satu titik dari rangkaian kesejarahan dan terpengaruh oleh kejadian sejarah itu. Kedua pemahaman-pemahaman yang kita daptkan dari sejarah (kejadian) senantiasa mempengaruhi pemahaman kita terhadap teks.
3. Hakikat sesuatu jauh melampaui kesadaran kita, lebih panjang dari pada usia dunia, lebih kompleks dari pada potongan sejarah di mana kita hidup. Dan oleh karena itu kesadaran akan sejarah (realitas) harus dilakukan terus menerus.

Gadamer (1900 - ?)

Teori Gadamer (Hans-Georg Gadamer, Truth and Method, New York: The Seabury Press, 1975) tentang hermeneutika melalui pendekatan seni. Ia mengatakan: "Ketika kita menemukan karya seni dengan ciri khas keindahannya bukan wujud lahirnya . Kita akan merasa bertambah asing. Sebab karya seni berkaitan dengan kenyataan (wujud karya seni tersebut) dan persepsi banyak orang sementara itu kita sendiri secara pribadi sulit untuk menerimanya". Menanggapi kepelikan semacam ini, Gadamer menawarkan teori dekomparasi keindahan yang artinya kelangsungan nilai seni. Suatu pemahaman bahwa karya seni (yang dibuat di masa lalu) mempunyai sifat berkembang, aktual sampai pada masa kini. Dan dengan hermeneutika hal tersebut bisa diatasi melalui pemahaman, penafsiran dan dialog. Penafsir dengan cara ini melakukan pengembaraan untuk menemukan keserasian antara si penafsir tersebut dengan objek (teks). Keserasian ini tidak berarti penafsir tergantung pada teks, tetapi maksud si penafsir membuka diri untuk berdialog dengan yang lain. Meskipun Gadamer menekankan pada hakikat dan kandungan nilai karya seni, ia tidak menafikan bentuk lahir. Sebab bentuk lahir merupakan media yang memungkinkan penafsir (dalam hal ini pengamat seni) -- melalui eksperimen-eksperimennnya yang terus menerus -- bisa mendapatkan suatu makna yang pasti. Demikian juga dengan adanya bentuk lahir, generasi mendatang bisa turut memberikan apresiasi terhadap karya seni tersebut. Dengan kata lain, keberadaan wujud luar mempunyai kekuatan yang dinamis, dalam arti karya seni tidak hanya dilihat dari sisi keindahan belaka, tetapi juga makna terdalam yang terkandung. Juga beragamnya apresiasi, pemahaman menjadi lestari dan tidak akan berhenti pada satu tahapan atau orang penafsir tertentu.

Secara garis besar bisa dikatakan bahwa Gadamer -- dalam hermeneutika -- menawarkan tiga poros yaitu penulis (pencipta teks/sejarah/seni), penafsir dan teks dalam pengertian umum. Si penafsir bergerak merambah dari pemahaman yang ada menjelang kemunculan teks, beragamnya arti sepanjang sejarah sampai pada arti di mana penafsir hidup, dan dari penafsir mencoba menyatu rasa dengan penulis (pembuat teks). Dengan demikian, penafsiran hermeneutik adalah penafsiran yang terus menerus dan berputar-putar antara penafsir, teks dan pembuat teks.

Jauss

Jauss sebagaimana Gadamer juga menawarkan “teori dialog”. Ia menawarkan 3 (tiga) macam bentuk dialog, pertama dialog dengan para pembaca (penafsir) teks. Kedua dialog antarteks, yaitu teks yang sedang dikaji penafsir dengan teks-teks yang lain. Ketiga dialog antara teks puitis dan teks biasa (prosa). Bagi Jauss kemunculan bahasa bukan dari interaksi individu dengan objek, tetapi interaksi antara individu dengan individu yang lain. Dan pengertian "faham" bukan monologis (bagaimana kita memahami suatu objek), tetapi dialogis (sharing [berbagi] pengertian antara individu dengan individu lain terhadap suatu objek). Dan dengan demikian, di hadapan teks kita tidak dalam posisi tersandera, tetapi justeru sebagai tuan yang mempunyai otoritas untuk menguasai teks.

Paul Ricoeur

Sebagaimana Michel Foucault dan Jack Derrida, pengaruh Ricoeur tidak hanya pada bidang sastra dan filsafat saja. Tetapi merambah ke sejarah, agama, politik, mitologi, ideologi dan lain-lain. Demikian juga ia juga berdialog, berinteraksi dengan disiplin-disiplin ilmu lain seperti faham-faham filsafat, psikologi, sosial. Bagi Ricoeur, hermeneutika bukanlah metode yang bertentangan dengan disiplin ilmu lain, tetapi justeru sebagai penyerap, pengkritik dan bisa membuat ilmu-ilmu lain menjadi jaya. Bersama analisa psikologik – misalnya -- kita dalam menafsirkan suatu teks berangkat dari pemahaman awal, keadaan alam bawah sadar kita yang tersembunyi di balik fenomena. Suatu keadaan di mana kita belum terpengaruh oleh fenomena di luar kita. Dan dengan analisa fenomenologik, penafsir (hermeneutik) – yang selanjutnya disebut sebagai hermeneut -- menunjukkan bagaimana super ego kita memahami fenomena (teks) di hadapan kita. Hermenutika, dalam menafsiri fenomena melalui 2 (dua) media, yaitu simbol dan kesadaran. Kesadaran dalam hermeneutika bukan hal yang mutlak, tetapi penting. Sebab hermeneutika memandang kesadaran pada mulanya adalah palsu. Dan oleh karena itu harus dilanjutkan dengan memikirkan, memahami simbol-simbol dan dilakukan terus-menerus supaya teruji dan kepalsuan itu relatif berkurang. Puncak kesadaran yang dicapai hermeneutik bukan pengetahuan (kebenaran) yang mutlak, tetapi upaya yang terus menerus dan terus menyisakan pemahaman yang baru lagi.

Berbeda dengan “fenomenologi” Husserl dan “Cogito” Descartes, Riceour memandang bahwa hakikat sesuatu tidak diperoleh dengan bagaimana fenomena itu menampakkan pada kita, atau hanya dengan sekadar memikirkannya, tetapi bagaimana kita membaca, memahami simbol-simbol dari sesuatu tersebut. Dengan demikian, dalam hermenutika (penafsiran teks) Ricouer tidak mengesampingkan simbol dan struktur teks tersebut. Meskipun demikian, struktur -- menurutnya -- hanya satu tahapan dari tahapan hermeneutika. Struktur hanyalah pembuka dari upaya penafsiran hermeneutik. Teks tidak bisa dipahami secara sempurna dengan teori strukturalisme sebagus apapun teori itu. Dengan demikian, struktur bukan puncak dari penafsiran hermeneutik tapi hanya tahapan awal.

Berkait dengan semiotika, Ricouer menganggap bahwa penafsiran teks harus bergerak dari kesadaran penuh akan tahapan semiotik (simbol) suatu teks menuju tahapan bahwa teks tersebut mempunyai arti dan kandungan makna. Kalau semiotika bercirikan teks yang formal dan sederhana, maka hermeneutika lebih jauh dan lebih dalam dari pada itu, yaitu kedalaman makna.

Dan kalau dekonstruksi Michel Foucault memporakporandakan makna suatu teks, maka hermenutika justeru mencari nilai terdalam yang terkandung dalam teks. Relativitas teks bukan pada faktor yang menyebabkan berbedanya arti dalam suatu teks, tetapi pada upaya unifikasi makna dengan mengingat perbedaan pengalaman dan faktor-faktor lain.

Karakteristik Metode Hermeneutika

Dari uraian singkat di atas penulis mencoba meringkas beberapa karakteristik dari metode penafsiran yang sekarang sedang marak:

1. Metode hermeneutika adalah metode penafsiran teks atau penafsiran kalimat sebagai simbol. Materi pembahasannya meliputi dua sektor yaitu pertama perenungan filsofis tentang dasar-dasar dan syarat-syarat konstruksi pemahaman. Kedua pemahaman dan penafsiran teks itu sendiri melalui media bahasa.
2. Metode hermeneutika adalah metode yang mendasarkan pada pengompromian filsafat dan kritik sastra. Memahami teks sastra, seni, agama atau sejarah adalah upaya memahami realitas melalui bahasa atau bentuk keindahan. Keberadaan bentuk ini menjadikan proses pemahaman menjadi mungkin, fleksibel dan lestari.
3. Kalau boleh dikatakan bahwa kritik sastra bersifat normatif dan deskriptif, maka metode hermeneutik adalah metode pamungkas. Sebab yang dicapai oleh hermeneutik adalah makna terdalam atau nilai dari suatu teks. Dan nilai ini tidak berada di belakang teks, tetapi melanglang ke depan teks. Dengan demikian arti suatu teks menurut metode ini adalah berkelanjutan dan senantiasa baru.
4. Metode hermeneutika adalah metode penafsiran individual, tetapi melebur dengan yang lain. Sebab metode ini mengompromikan antara yang historis dan ahistoris, antara individu satu dengan individu yang lain, antara makna lahir dan makna yang tersembunyi.
5. Metode hermeneutika mempunyai 2 (dua) ciri utama, yaitu optimis dan liberal. Maksudnya penafsir teks -- dalam hermeneutika -- tidak menganggap teks sebagai guru yang memenjarakan penafsir, tetapi penafsir mempunyai otoritas untuk memperlakukan teks. Sementara itu, keoptimisan penafsir adalah karena ia percaya ada nilai tersembunyi dalam kandungan teks.
6. Metode hermeneutika bisa pula dikompromikan dengan ilmu fisika, sebab hermenutika mendasarkan pada :
a. Eksperimen terus menerus yang menjauhkan dari generalisasi sebagaimana pada teori standarisasi yang menerapkan pedoman-pedoman yang menyebabkan suatu teks bisa atau tidak bisa diterima; atau pada strukturalisme yang mengembalikan semua teks pada bingkai kaedah yang baku, atau pada dekonstruksisme yang mengatakan bahwa semua teks tidak mempunyai makna atau nilai yang bisa diterima.
b. Intuisi pada hermeneutika bukan emosional dan bukan pula generalis. Tetapi intuisi di sini adalah pertanyaan kritis terus menerus tentang kebenaran suatu teks. Atau dengan kata lain bahwa intuisi pada hermeneutika berawal dari dugaan-dugaan kasar menuju suatu keyakinan.
c. Kalau metode ilmiah mengungkap sesuatu dari ketidak-tahuan, dan memperoleh kebenaran dari eksperimen. Maka metode hermeneutika tidak berangkat dari satu standar yang paten dan memperoleh kebenaran dari eksperimen. Makna yang ingin dicapai oleh hermeneutik dari suatu teks bukan makna final. Setiap analisa Hermeneutik pada akhirnya selalu menyisakan pertanyaan-pertanyaan baru. Garapan hermenutika jauh lebih luas dari pada si penafsir itu, tetapi justeru inilah yang memacu penafsir untuk berlomba-lomba, bersungguh-sungguh untuk menemukan makna terdalam dari teks.

Hermeneutika Untuk al-Quran, Mungkinkah?
Penafsiran terhadap al-Quran menghadapi babak baru. Tepatnya, setelah ilmu penafsiran teks -- atau lazim disebut hermeneutika -- diadopsi oleh sebagian kalangan umat Islam. Dari sisi keilmuan, mungkin sah-sah saja. Tetapi bagi sebagian kalangan, 'sah-sah saja' itu menjadi “tidak sah”. Pasalnya, hermeneutika bukan orosinil ciptaan umat.
Penafsiran gaya hermeneutika merupakan tradisi Yunani yang kemudian diadopsi oleh orang-orang Kristen. Mereka menggunakannya untuk mengatasi persoalan yang dihadapi teks Bible. Menurut Hamid Fahmi Zarkasy (2004), Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilazation (Insist), sebagai sebuah ilmu, hermeneutika berkembang menurut latar belakang budaya maupun pandangan hidup di mana ia lahir. Dengan demikian, hermeneutika lahir dengan latar pandangan Yunani, Kristen, dan Barat. ''Jadi ia tidak bebas nilai,'' ujarnya.
Mereduksi Wahyu
Pada mulanya hermeneutika masuk dalam teologi Kristen tanpa resistensi. Karena dalam tradisi intelektual Kristen tidak terdapat ilmu interpretasi yang lahir dari konsep teologi mereka. Jika kemudian hermeneutika diadopsi dalam penafsiran al-Quran ini akan melahirkan masalah. ''Melalui hermeneutika, status al-Quran akan tereduksi,'' tambah Hamid. Seperti yang pernah dilakukan di Yunani maupun dalam tradisi Bible, maka dengan hermeneutika, ia (al-Quran, sebagaimana Bible dan teks-teks lain) hanya dipandang sebagai sebuah teks belaka.
Belajar pada apa yang terjadi pada Bibel, kitab ini pun telah direduksi dari firman Tuhan menjadi sebuah teks yang ditulis oleh pengarang Bible. Dengan kondisi tersebut maka diperlukan hermeneutika untuk menafsirkan apa yang dimaui pengarang Bible tersebut. ''Dengan kata lain bila hermeneutika digunakan untuk menafsirkan al-Quran maka mereka harus mereduksi al-Quran dari wahyu yang suci menjadi teks biasa,'' ujarnya. Pendekatan pun tidak dilakukan seperti pada wahyu yang menggunakan konsep menyeluruh, baik tentang Tuhan, alam, dan sebagainya. Sedangkan hermeneutika mendasarkan dirinya pada ilmu-ilmu humaniora. Misalnya, psikologi maupun sosiologi. Dan dilakukan secara parsial. Katakanlah, seperti ketika Schleiermacher menggunakan hermeneutika dengan pendekatan psikologis untuk menafsirkan maksud pengarang.
''Ia (Schleiermacher) menyatakan bahwa pandangan pengarang harus direkonstruksi secara psikologis. Dengan demikian, ia hanya menggunakan psikologi untuk menafsirkan teks tersebut dan mengabaikan ilmu lainnya,'' tambahnya. Pada saat hermeneutika ini diterapkan dengan berdasarkan sebuah ilmu ia akan menafikan ilmu lainnya. Kalau mendekati hermeneutik secara historis maka dikatakan pendekatan tersebut tidak manusiawi. Sebab tidak melibatkan psikologi di dalamnya. Demikian pula sebaliknya. Jika menerapkan hermeneutika melalui pendekatan psikologi, akan dikatakan pendekatan tersebut ahistoris, karena tidak melibatkan sejarah dalam melakukan pendekatannya. Hamid Fahmi Zarkasyi menyatakan bahwa pakar hermeneutika seperti Dilthey, Schleiermacher, Gadamer, maupun Heidegger saling berbeda pendapat karena hal itu.
''Bagaimana kita akan menerapkan hermeneutika ke dalam hal yang bersifat tauhidi seperti al-Quran. Inilah masalahnya, kita ingin menafsirkan al-Quran secara komprehensif namun kita memakai pendekatan ilmu Barat yang parsial,'' jelasnya. Pendekatan yang dilakukan oleh Dilthey lain lagi. Dalam menggunakan hermeneutika ia menggunakan pendekatan yang disebut dengan interest atau kepentingan. ''Bahwa pada saat menafsirkan sebuah teks, maka harus dilihat kepentingan apa yang ada di balik pengarang,'' kata Hamid. Kemudian kepentingan tersebut, dihubungkan dengan pula dengan konteks sosial.''Jika orang yang menafsirkan teks tersebut adalah seorang “Marxis“, maka ia akan melakukan penafsiran yang sesuai dengan kepentingan diri dan masyarakat yang menganut marxisme,'' katanya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bagaimana memahami kepentingan pengarang, ini akan menjadi masalah jika kemudian hermeneutika diterapkan terhadap wahyu (al-Quran). Ia menegaskan bahwa penggunaan hermeneutika ini akan membahayakan status al-Quran. Dengan memosisikan al-Quran hanya sebagai teks biasa, maka al-Quran nantinya juga akan dianggap sebagai produk (sebuah) budaya, yaitu budaya Arab. Ia menjelaskan bahwa al-Quran telah diturunkan kepada Nabi Muhammad dalam bahasa Arab. Dengan pendekatan hermeneutika maka akan muncul pula sebuah anggapan bahwa al-Quran itu adalah kata-kata Muhammad. Jadi al-Quran tidak lagi “sakral“, karena ia dianggap bukan sebagai perkataan (firman) Allah SWT. Maka tidak heran jika kalangan yang menggunakan hermeneutika tidak mau menyatakan 'Allah berfirman'. Namun mereka akan menyatakan 'bahwa di dalam al-Quran disebutkan'.
Ada Kemandekan
Meski demikian, Hamid menyatakan bahwa hermeneutika yang kian merebak ini memang sebuah kenyataan. Dan umat Islam memang harus berintrospeksi diri. Bahwa di kalangan ulama kajian kreatif tentang khazanah tafsir memang dapat dibilang mengalami kemandekan. Dan hal ini membuat kalangan liberal menyatakan kondisi ini menyebabkan status quo. Sayangnya, untuk mengatasi kemandekan tersebut sebagian kalangan tidak mengambil ilmu penafsiran yang ada di dalam Islam sendiri. Namun kemudian mengambilnya dari luar tradisi Islam, yang tentunya memiliki nilai yang berbeda dengan nilai Islam. Hal senada disampaikan Wakil Direktur Insist, Adnin Armas. Menurutnya kesakralan teks akan runtuh jika hermeneutika digunakan dalam menafsirkan al-Quran. Tidak heran jika pernah ada gagasan menerbitkan “Al-Quran Edisi Iritis”. Hal ini terjadi karena mereka menganggap teks al-Quran bermasalah.
''Karena teks al-Quran dianggap tidak sakral lagi, apa lagi hadis yang kedudukannya di bawah al-Quran,'' ujarnya dengan nada tanya. Maka, tidak akan ada hadis sahih lagi, karena hadis pun akan dianggap sebagai buatan manusia. Ia menyatakan bahwa latar belakang adanya hermeneutika ini memang akibat adanya gelombang liberalisme. Barat menggunakan paham ini untuk melepaskan diri dari hal yang sakral. Dan memisahkan antara kehidupan dunia dan agama. Karena pengalaman yang mereka alami begitu pahit dalam berhubungan dengan agama. Di sisi lain, hadirnya liberalisme dalam Islam karena memang adanya kemuduran yang dialami umat Islam. Dari sini, maka mari kita bercermin lagi.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

punya rekomendasi buku hermeunitiknya Ricour selain Hermeunitika Ilmu Sosial?

Asha Falsafia mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.