Rabu, 05 Desember 2007

DESAKRALISASI AL-QURAN

DESAKRALISASI AL-QURAN

Setelah kedudukan hadis sebagai second text atau masdar tsani dalam Islam berulang kali otoritas-argumennya dipertanyakan, maka dewasa ini, al-Quran sebagai first text atau masdar awal juga mulai menuai perlakuan sama.
Mircea Aliade (1907-1986) ahli perbandingan agama berkebangsaan Rumania menulis sebuah buku yang berjudul The Sacred and The Profane (1957), dalam buku itu disinggung bahwa dalam beragama, setiap masyarakat khususnya masyarakat tribal atau tradisional melihat dua hal, yang sakral dan yang profan. Kemudian dia memberikan banyak contoh masyarakat untuk menunjukkan bagaimana yang sakral itu mempengaruhi dan mengatur seluruh kehidupan sebuah masyarakat. (Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, 1995).
Setiap pemeluk agama atau masyarakat pasti memiliki suatu yang sakral yang dipercayai bersama. Contoh yang sederhana adalah agama Yahudi dan Kristen yang meyakini Perjanjian Lama (Taurat) sebagai the Holy karena di dalamnya memuat sekumpulan firman Tuhan yang suci dan sakral. Contoh sederhana lain adalah masyarakat Jawa yang meyakini beberapa tempat yang dianggap keramat, makam para wali, gunung-gunung, dan lain-lain.
Emile Durkheim (1858-1919), sosiolog agama asal Prancis, ketika berbicara tentang yang sakral dan yang profan dalam agama maka dia selalu mengaitkannya ke dalam konteks masyarakat. Menurut dia yang sakral adalah masalah sosial yang berkaitan dengan individu sedang yang profan adalah sebaliknya, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan individu. (Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, 1995).
Umat Islam sepakat (ber-ijma') bahwa al-Quran adalah verbum dei (kalamullah) yang sakral. Kesakralan itu melebihi kesakralan Kakbah yang telah dianggap sebagai bangunan yang sakral semenjak lama sebelum kedatangan agama Islam. Implementasi kepercayaan itu, misalnya, bisa dilihat ketika seseorang membaca al-Quran maka dia harus suci dan berwudlu, menghadap kiblat, dimulai dengan ta`âwudz, dan diakhiri dengan tashdîq (shadaqallâhul 'azhîm), dan lain-lain.
Dalam agama monoteis, makna kesakralan itu adalah tidak lebih hanya diartikan secara metafor (majaz). Menurut pandangan monoteis, makna yang sakral adalah hanyalah sebagai 'simbol-simbol' yang mempunyai hubungan atau mengisyaratkan Tuhan Yang Maha Suci, tidak lebih. Sedangkan makna kesakralan dalam masyarakat panteisme atau keyakinan inkarnasi adalah bukan sekadar makna metafor, tetapi perpindahan wujud Tuhan secara hakiki kepada sebuah simbol yang sakral, misalnya anak yang mewarisi kesakralan Tuhan Bapak, atau aliran panteisme yang melihat setiap makhluk apapun adalah yang sakral. (Abdul Wahab Al-Masiri, Al-Ilmaniyah Al-Juziyah wal Al-Ilmaniyah Asy-Syamilah, 2002).
Sebagai masyarakat yang beragama, sejak awal umat Islam beriman bahwa kitab al-Quran adalah kitab yang sakral dalam artian bukan hanya kitab-kitab biasa, bukan buku sastra atau undang-undang negara yang disepakati dalam waktu tertentu secara demokratis dan bisa diubah sesuai keinginan publik. al-Quran adalah kitab ilahi (bersumber seratus persen dari Allah SWT, teks atau subtansinya). al-Quran adalah kitab mahfud (Allah SWT menjamin otentisitasnya dari segala bentuk distorsi, mistranskripsi, pergantian, perubahan, dan seterusnya). al-Quran adalah kitab mu'jiz (kitab mukjizat dulu sampai sekarang, salah satu mukjizat Nabi, bukti bahwa Muhammad SAW adalah seorang Nabi dan Rasul). al-Quran adalah kitab mubîn wa muyassar (jelas dan mudah dipahami dan dihafal tidak seperti kitab atau tulisan buku-buku lain). Al-Quran adalah kitab ad-dîn kullih (petunjuk seluruh segmen agama). Al-Quran adalah kitab shâlih li kulli az-zamân (relevan sepanjang zaman, tidak lapuk karena hujan atau usang karena panas). al-Quran adalah kitab al-insaniyah kulliha (kitab kemanusian yang sempurna, memberikan, dan melindungi hak manusia). (Yusuf al-Qaradhawi: 1997).
Semakin banyak kebenaran baru yang diperlihatkan Allah SWT dalam al-Quran maka semakin sulit al-Quran didefinisikan. Defenisi al-Quran tidak akan bisa mencakup semua dimensi dan spesifikasi atau kekhususan al-Quran. Tidak ada satu definisi pun yang mampu menjangkau al-Quran dengan sempurna. (Abdullah Diraz, An-Naba' al-'Adzim, 1957).
Akan tetapi keimanan umat Islam terhadap al-Quran tersebut samar-samar mulai diragukan dan dipertanyakan, baik dengan maksud atau tidak. Kesakralan al-Quran sedikit demi sedikit mulai digerogoti. Desakralisai kitab suci pun terjadi.
Distorsi Sejarah al-Quran
Bisa dikatakan bahwa distorsi sejarah al-Quran terjadi sejak Abraham Geiger (m. 1874), reformis Yahudi di Jerman. Dia mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW terpengaruh oleh agama Yahudi dan salah memahami Taurat sehingga al-Quran yang dibawanya juga banyak mengandung kesalahan. Usaha ini kemudian diteruskan Theodor Noldake dengan buku Geschichte des Qorans (Sejarah al-Quran) pada tahun 1860, buku ini akhirnya menjadi standar sejarah al-Quran kritis versi Orentalis. Selain kedua orentalis ini, Arthur Jeffrey dan teman-temannya mempunyai proyek ambisius menyusun al-Quran edisi kritis dengan mengumpulkan qirâ`at (varian tekstual) dari kitab-kitab tafsir, kamus, hadis, qirâ`ah, dan manuskrip, akan tetapi usaha itu gagal karena Perang Dunia ke-2 telah menghancurkan sebagian banyak bahan yang telah terkumpul (Adnin Armas: 2003).
Usaha Orentalis itu dilakukan berangkat dari asumsi bahwa al-Quran yang tersebar sampai sekarang adalah Mushaf yang hanya mengandung satu versi bacaan dari ratusan versi bacaan al-Quran yang ada sebelum standarisasi yang dilakukan Usman Ibn Affan. Mushaf Usmani sekarang adalah Mushaf politis yang proses unifikasinya penuh dengan intrik-intrik. Usaha dan pandangan seperti itu kemudian diadopsi oleh sebagian orang Islam.
Keyakinan bahwa Allah SWT telah menjaga al-Quran seperti janjinya dalam surat Al-Hijr ayat 9 dianggap hanya sebuah angan-angan teologis (al-khayâl ad-dîniy) yang diformulasi menjadi sebuah doktrin keagamaan. al-Quran yang ada sekarang ini baru berumur 79 tahun. Usia ini didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu, al-Quran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi. (Luthfi Assyaukanie: 2003).
Dengan presepsi sejarah al-Quran seperti ini kepercayaan umat Islam bahwa al-Quran adalah kitab yang sakral mulai didekonstruksi, al-Quran yang otentisitasnya telah disepakati ulama mulai dirobek karena sejarah al-Quran selama ini adalah sejarah yang salah, tidak kritis, dan terdistorsi. Menurut mereka, al-Quran yang tersebar sekarang ini adalah al-Quran yang tidak sakral lagi karena 'bukan' al-Quran yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Historisasi al-Quran
Historisisme sebenarnya adalah tantangan bagi setiap agama (baca: kepercayaan). Paham ini menafikan segala yang sakral dalam kehidupan manusia, paham ini adalah paham sekuler yang beranalogi apabila agama-agama Biblikal (Yahudi dan Kristen) mampu mengubah kesadaran religius dunia. Apakah sekarang kita (para historisis) tidak bisa mengubahnya, jika para Nabi mampu menanamkan yang sakral dalam diri manusia kenapa kita tidak diizinkan membuang yang sakral tersebut. (Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, 1995).
Dalam Islam, paham ini mempengaruhi sebuah dikotomi antara yang sakral dan yang profan pada sebuah subjek kajian. Dalam sebuah kajian ilmiah seorang Muslim rela melepaskan akidahnya terlebih dahulu, karena menurut dia kajian ilmiah tidak mengganggu akidah dan keimanan. Ketika mengkaji al-Quran maka sesorang harus bisa melihat al-Quran dari kedua sudutnya, yang sakral dan yang profan. al-Quran yang sakral adalah al-Quran sebagai verbum dei (kalamullah) yang suci dan ini harus diimani saja, sedang al-Quran yang profan adalah al-Quran sebagai teks-teks sastra yang harus dijadikan subjek kajian sebagaimana teks-teks sastra pada umumnya.
Mungkin dari situlah seorang sarjana Muslim berusaha mengkaji al-Quran dengan metodologi ilmiah modern dan kemudian membuat statemen bahwa al-Quran di dalam hakikatnya adalah produk budaya setempat yang telah terbentuk dalam kurun waktu lebih kurang 20 tahun. (Nasr Hamid Abu Zayd, 1995).
al-Quran hanyalah sebuah refleksi dari budaya yang berkembang saat itu, sehingga adalah kesalahan apabila tetap memperjuangkan al-Quran agar bisa diterapkan pada budaya modern yang telah amat berubah. al-Quran adalah kitab yang mempunyai sejarahnya sendiri yang telah lampau, dan sudah saatnya kita membangun sejarah kemanusiaan yang baru.
Selain desakralisasi al-Quran, historisasi al-Quran juga berimplikasi munculnya anggapan bahwa syariat-syariat di dalam al-Quran adalah syariat yang temporal yang tidak bisa diterapkan untuk zaman sekarang. Dan setelah al-Quran juga telah kehilangan kedudukannya dari persepsi umat Islam, maka sesungguhnya tidak ada lagi satu pun yang tersisa dari agama Islam.

Tidak ada komentar: