Rabu, 26 Desember 2007

IHTIKAR

الإِحْتِكَارُ
(PENIMBUNAN BARANG)

Konsep Dasar:

Dalam praktik jual-beli, kadang-kadang manusia lupa bahwa semua aktivitas yang dilakukannya seharusnya dikerjakan dalam kerangka “ibadah”, Sehingga masing-masing orang harus berpikir untuk dapat berbuat Sesuatu dalam rangka menciptakan mashlahah timbal-balik (antarsesama manusia). Salah satu indikator “lupa”-nya manusia dalam berjual-beli adalah ketika “dia” hanya berorientasi untuk mencari untung bagi dirinya (sendiri) atau kelompoknya tanpa peduli terhadap kepentingan orang lain. Sehingga sangat mungkin dia akan berusaha untuk hanya mencari untung bangi dir atau kelompoknya dengan cara merugikan orang lain. Salah satunya dengan cara melakukan ihtikâr (menimbun barang). Apa pengertian ihtikâr, bagaimana modus-operandinya, dan apa tujuannya? Tulisan ringkas ini disusun untuk memaparkannya.

Teks Hadis:

صحيح مسلم مشكول - (ج ٨ / ص ٣١۲)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ بِلَالٍ عَنْ يَحْيَى وَهُوَ ابْنُ سَعِيدٍ قَالَ كَانَ سَعِيدُ بْنُ الْمُسَيَّبِ يُحَدِّثُ أَنَّ مَعْمَرًا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ
Terjemah:

“Barangsiapa (yang) melakukan ihtikâr (penimbunan barang dagangan), maka ia (dianggap) bersalah.”

Maksud Hadis:

Setiap orang yang melakukan ihtikâr (penimbunan barang dagangan) – dengan sengaja – untuk menunda penjualan barang (dagang) itu ke pasar, dengan maksud untuk mendapatkan kenaikan harga barang, dengan cara memanfaatkan kelangkaan barang (dagangan) dan kebutuhan konsumen (pembeli), maka orang tersebut dianggap bersalah (berdosa karena tindakannya).

Penjelasan dan Istinbath Hukum:
Ihtikâr berasal dari kata hakara yang arti azh-zhulm (aniaya) dan isâ' al-mu'âsyarah (merusak pergaulan). Secara istilah berarti: “menyimpan barang dagangan untuk menunggu lonjakan harga”.
Menurut Imam Asy-Syaukani (wafat 1834 h.) ahli hadis dan usul fikih, ihtikâr adalah penimbunan barang dagangan dari peredarannya. Imam al-Ghazali mengartikan sebagai penjual makanan yang menyimpan barang dagangannya dan menjualnya setelah harganya melonjak. Adapun menurut ulama mazhab Maliki, ihtikâr adalah menyimpan barang oleh produsen, baik berupa makanan, pakaian, dan segala barang yang dapat merusak pasar.
Semua pendapat tersebut secara esensi mempunyai pengertian yang sama, yaitu menyimpan barang yang dibutuhkan masyarakat dan memasarkannya setelah harga melonjak, namun dari jenis barang yang disimpan atau ditimbun terjadi perbedaan. Imam asy Syaukani dan mazhab Maliki tak merinci barang apa saja yang disimpan tersebut. Berbeda dengan pendapat keduanya, Imam al-Ghazali mengkhususkan ihtikâr kepada jenis makanan.
Dengan menganalisis berbagai pengertian tentang ihtikâr yang dikemukakan oleh para ulama dan memperhatikan situasi perekonomian pada umumnya, Fathi ad-Duraini seorang Guru Besar bidang fikih dan usul fikih di Fakultas Syariah Universitas Damaskus, memberikan suatu pengertian. Menurutnya, ihtikâr adalah tindakan menyimpan harta, manfaat atau jasa serta enggan untuk menjual dan memberikan harta dan jasanya kepada orang lain, sehingga harga pasar melonjak secara drastis karena persediaan terbatas atau stok hilang sama sekali dari pasar, sementara kebutuhan masyarakat negara atau hewan amat mendesak untuk mendapatkan barang, manfaat atau jasa tersebut.
Berdasarkan analisis yang mereka lakukan, para ahli fikih menghukumkan ihtikâr sebagai perbuatan terlarang dalam agama. Dasar hukum pelarangan ini adalah kandungan al-Quran yang menyatakan bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya kegiatan ihtikâr, diharamkan oleh agama (QS al-Baqarah [2]: 279; al-Mâidah [5]: 2 dan 6; dan al-Hajj [22]: 78).
Di samping itu banyak hadis Rasulullah SAW tidak membenarkan perbuatan ihtikâr, misalnya, ''Siapa yang merusak harga pasar, sehingga harga tersebut melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam api neraka pada hari kiamat.'' (HR at-Tabrani dari Ma'qil bin Yasar).
Kemudian sabda Rasulullah yang lain yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah, ''Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.''
Dalam riwayat Ibnu Umar dari Rasulullah SAW juga mengatakan, ''Para pedagang yang menimbun barang makanan (kebutuhan pokok manusia) selama 40 hari, maka ia terlepas dari (hubungan dengan) Allah, dan Allah pun melepaskan (hubungan denga)-nya.''
Berdasarkan al-Quran dan hadis di atas, para ulama sepakat bahwa ihtikar tergolong ke dalam perbuatan yang dilarang atau haram. meskipun demikian, terdapat sedikit perbedaan pendapat diantara mereka tentang cara menempatkan hukum tersebut, sesuai dengan sistem pemahaman hukum yang mereka miliki.
Menurut jumhur ulama yang terdiri dari ulama mazhab Maliki, Syafi'i, Hanbali, Zaidiyah dan Imam al-Kasani (ahli fikih mazhab Hanafi), ihtikar hukumnya haram. Alasan yang mereka kemukakan adalah ayat-ayat dan hadis-hadis di atas. Ulama mazhab Syafi'i berpendapat bahwa hadis di atas mengandung pengertian yang dalam. Orang yang melakukan kesalahan al-khata' dengan sengaja berarti telah mengingkari ajaran syara' (hukum Islam) dan syariat. Kalangan mazhab Hanbali juga mengatakan bahwa ihtikar adalah perbuatan yang diharamkan syara', karena membawa mudharat yang besar terhadap masyarakat dan negara.
Apabila penimbunan suatu barang telah terjadi di pasar, maka pemerintah berhak memaksa pedagang untuk menjualnya dengan harga normal pada saat itu. Bahkan menurut ulama fikih, para pedagang menjual barang tersebut dengan harga modal sebagai hukumannya, karena mereka tidak berhak mengambil untung. Disamping bertindak tegas, pemeritah sejak semula seharusnya dapat mengantisipasi agar tidak terjadi ihtikar dalam setiap komoditi, manfaat atau jasa yang sangat dibutuhkan masyarakat.

Dalam kaitannya dengan hak dan kewajiban pemerintah untuk menjadi regulator aktivitas bisnis masyarakat, para ulama mendasarkan pendapatnya pada kaedah fikih:

)الْقَاعِدَةُ الْخَامِسَةُ( تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
(tindakan pemimpin/penguasa [pemerintah] terhadap rakyat harus selalu berorientasi pada kemashlahatan [orang banyak]).

Tidak ada komentar: