Rabu, 01 Agustus 2007

Hukum Isbal

HUKUM ISBAL: “Menempatkan Makna Isbal Sesuai Sunnah”

Oleh: Muhsin Hariyanto

Perdebatan di seputar isbâl (memanjangkan atau menjulurkan sarung, gamis atau jubah hingga menutupi kedua mata kaki) hingga kini masih menjadi perdebatan. Utamanya dalam khazanah fiqih (Islam). Hal itu disebabkan adanya cara pandang masing-masing tentang hadis-hadis tentang isbâl, apakah harus dipahami secara tekstual (apa adanya), atau seharusnya dipahami berdasarkan sabab al-wurûdnya (konteks sosio-historisnya). Bagi yang memahaminya secara tekstual, mereka berkesimpulan bahwa memanjangkan atau menjulurkan sarung, gamis atau jubah hingga menutupi kedua mata kaki, dengan alasan apa pun, hukumnya “haram”. Sedang mereka yang melihat konteks sosio-historisnya, menyatakan bahwa haramnya memanjangkan atau menjulurkan sarung, gamis atau jubah hingga menutupi kedua mata kaki bergantung pada niat (motivasi)-nya.

Perbedaan pendapat tentang isbâl memang sudah lama ada, bukan sebuah hal yang qath'i, meski ada sebagian kalangan yang agaknya tetap memaksakan pendapatnya. Hal itu wajar dan kita harus berlapang dada.

Walaupun sesungguhnya perbedaan pendapat itu tidak bisa dipungkiri. Sebagian mengatakan bahwa memanjangkan kain atau celana di bawah mata kaki hukumnya mutlak haram, apapun motivasinya. Namun sebagian lainnya mengatakan tidak mutlak haram, karena sangat tergantung motivasi dan niatnya.

1. Pendapat Yang Mengatakan Mutlak Haram

Tidak sulit untuk mencari literatur pendapat yang mengharamkan isbâl secara mutlak. Fatwa-fatwa dari kalangan ulama Saudi umumnya cenderung memutlakkan keharaman isbâl.
Kalau boleh disebut sebagai sebuah contoh, ambillah misalnya fatwa Syeikh Bin Baz rahimahullah. Jelas dan tegas sekali beliau mengatakan bahwa isbâl itu haram, apapun alasannya. Dengan niat riya' atau pun tanpa niat riya'. Pendeknya, apapun bagian pakaian yang lewat dari mata kaki adalah dosa besar dan menyeret pelakunya masuk neraka.
Beliau amat serius dalam masalah ini, sampai-sampai fatwa beliau yang paling terkenal adalah masalah keharaman mutlak perilaku isbâl ini. Setidaknya, fatwa inilah yang selalu dan senantiasa dicopy-paste oleh para murid dan pendukung beliau, sehingga memenuhi ruang-ruang cyber di mana-mana. Berikut ini adalah salah satu petikan fatwa beliau:

“Apa yang di bawah kedua mata kaki berupa sarung maka tempatnya di Neraka." [Hadis Riwayat al-Bukhari dalam shahihnya]

"Ada tiga golongan yang tidak akan dilihat oleh Allah di hari Kiamat, tidak dilihat dan tidak disucikan (dari dosa) serta mendapatkan azab yang sangat pedih, yaitu pelaku isbâl (musbil), pengungkit pemberian dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu." (HR Muslim)

Kedua hadis ini dan yang semakna dengannya mencakup orang yang menurunkan pakaiannya (isbâl) karena sombong atau dengan sebab lain. Karena Rasulullah SAW mengucapkan dengan bentuk umum tanpa mengkhususkan. Kalau melakukan isbâl karena sombong, maka dosanya lebih besar dan ancamannya lebih keras.
Tidak boleh menganggap bahwa larangan melakukan isbâl itu hanya karena sombong saja, karena Rasullullah SAW tidak memberikan pengecualian hal itu dalam kedua hadis yang telah kita sebutkan tadi, sebagaimana juga beliau tidak memberikan pengecualian dalam hadis yang lain.

Beliau Nabi s.a.w. menjadikan semua perbuatan isbâl termasuk kesombongan karena secara umum perbuatan itu tidak dilakukan kecuali memang demikian. Siapa yang melakukannya tanpa diiringi rasa sombong maka perbuatannya bisa menjadi perantara menuju ke sana. Dan perantara dihukumi sama dengan tujuan, dan semua perbuatan itu adalah perbuatan berlebihan-lebihan dan mengancam terkena najis dan kotoran.

Adapun Ucapan Nabi SAW kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. ketika berkata: Wahai Rasulullah, sarungku sering melorot (lepas ke bawah) kecuali aku benar-benar menjaganya. Maka beliau bersabda:

"Engkau tidak termasuk golongan orang yang melakukan itu karena sombong." [Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim]

Yang dimaksudkan oleh oleh Rasulullah s.a.w. bahwa orang yang benar-benar menjaga pakaiannya bila melorot kemudian menaikkannya kembali tidak termasuk golongan orang yang menyeret pakaiannya karena sombong. Karena dia (yang benar-benar menjaga ) tidak melakukan isbâl. Tapi pakaian itu melorot (turun tanpa sengaja) kemudian dinaikkannya kembali dan menjaganya benar-benar. Tidak diragukan lagi ini adalah perbuatan yang dimaafkan.

Adapun orang yang menurunkannya dengan sengaja, apakah dalam bentuk celana atau sarung atau gamis, maka ini termasuk dalam golongan orang yang mendapat ancaman, bukan yang mendapatkan kemaafan ketika pakaiannya turun. Karena hadis-hadis shahih yang melarang melakukan isbâl besifat umum dari segi teks, makna dan maksud.

Maka wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati terhadap isbâl. Dan hendaknya dia takut kepada Allah ketika melakukannya. Dan janganlah dia menurunkan pakaiannya di bawah mata kaki dengan mengamalkan hadis-hadis yang shahih ini. Dan hendaknya juga itu dilakukan karena takut kepada kemurkaan Alllah dan hukuman-Nya. Dan Allah adalah sebaik-baik pemberi taufiq. [Fatwa Syaikh Abdul Aziz Ibn Abdullah Ibn Bazz

2. Pendapat Yang Mengharamkan Bila Dengan Niat Riya'

Sedangkan pendapat para ulama yang tidak mengharamkan isbal asalkan bukan karena riya’, di antaranya adalah pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang yang dengan sukses menulis syarah (penjelasan) kitab Shahih al-Bukhari. Kitab beliau ini boleh dibilang kitab syarah yang paling masyhur dari Shahih Bukhari. Beliau adalah ulama besar dan umat Islam berutang budi tak terbayarkan kepada ilmu dan integritasnya.

Khusus dalam masalah hukum isbâl ini, beliau punya pendapat yang tidak sama dengan Syeikh Bin Baz yang hidup di abad ke-20 ini. Beliau memandang bahwa haramnya isbâl tidak bersifat mutlak. Isbâl hanya haram bila memang dimotivasi oleh sikap riya'. Isbâl halal hukumnya bila tanpa diiringi sikap itu.

Ketika beliau menerangkan hukum atas sebuah hadis tentang haramnya isbal, beliau secara tegas memilah masalah isbâl ini menjadi dua. Pertama, isbal yang haram, yaitu yang diiringi sikap riya'. Kedua, isbal yang halal, yaitu isbal yang tidak diiringi sikap riya'.
Di dalam hadis ini terdapat keterangan bahwa isbal izâr karena sombong termasuk dosa besar.

Sedangkan isbâl bukan karena sombong (riya'), meski lahiriyah hadis mengharamkannya juga, namun hadis-hadis ini menunjukkan adalah taqyîd (syarat ketentuan) karena sombong. Sehingga penetapan dosa yang terkait dengan isbâl tergantung kepada masalah ini. Maka tidak diharamkan memanjangkan kain atau isbalasalkan selamatdari sikap sombong. (Lihat Fathul Bari, hadis 5345)

Komentar al-Imam An-Nawawi

Adapun hadis-hadis yang mutlak bahwa semua pakaian yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila dilakukan oleh orang yang sombong. Karena dia mutlak, maka wajib dibawa kepada muqayyad.

Dan khuyalâ' adalah kibir (sombong). Dan pembatasan adanya sifat sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang melakukan isbâl) pada kainnya, bahwas yang dimaksud dengan ancaman dosa hanya berlaku kepada orang yang memanjangkannya karena sombong. Dan Nabi SAW telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra seraya bersabda, "Kamu bukan bagian dari mereka." Hal itu karena panjangnya kain Abu Bakar bukan karena sombong.

Maka klaim bahwa isbâl itu haram secara mutlak dan sudah disepakati oleh semua ulama adalah klaim yang kurang tepat. Sebab siapa yang tidak kenal dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Al-Imam An-Nawawi. Keduanya adalah ulama sepanjang zaman. Dan keduanya mengatakan bahwa isbâl itu hanya diharamkan bila diiringi rasa sombong.

Maka haramnya isbâl secara mutlak adalah masalah khilafiyah, bukan masalah yang qath'i atau ijmâ’ (kesepakatan semua ulama). Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan itulah realitasnya.

Pendapat mana pun dari ulama itu, tetap wajib kita hormati. Sebab menghormati pendapat ulama, meski tidak sesuai dengan selera kita, adalah bagian dari akhlaq dan adab seorang muslim yang mengaku bahwa Muhammad SAW adalah nabinya. Dan Muhammad itu tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlaq.

Pendapat mana pun dari ulama itu, boleh kita ikuti dan boleh pula kita tinggalkan. Sebab semua itu adalah ijtihad. Tidak ada satu pun orang yang dijamin mutlak kebenaran pendapatnya, kecuali alma'shum Rasulullah SAW. Selama seseorang bukan nabi, maka pendapatnya bisa diterima dan bisa tidak.

Bila satu ijtihad berbeda dengan ijtihad yang lain, bukan berarti kita harus panas dan naik darah. Sebaliknya, kita harus mawas diri, luas wawasan dan semakin merasa diri bodoh. Kita tidak perlu menjadi sok pintar dan merasa diri paling benar dan semua orang harus salah. Sikap demikian bukan ciri thalabatul ilmi yang sukses, sebaliknya sikap para juhala' (orang bodoh) yang ilmunya terbatas.

Hadis yang pertama-tama menjadi sandaran perdebatan mengenai isbâl adalah hadis riwayat Jamâ’ah dari Ibnu 'Umar. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat. Kemudian Abu Bakar bertanya, "Sesungguhnya sebagian dari sisi sarungku melebihi mata kaki, kecuali aku menyingsingkannya." Rasulullah saw menjawab, "Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong."[HR. Jamâ'ah, kecuali Muslim. Ibnu Mâjah dan Tirmidzî tidak menyebutkan penuturan dari Abû Bakr.] Di samping itu ada hadis lain yang diriwayatakan oleh Abû Dâwud, al-Nasâ`iy, dan Ibnu Mâjah, dari Ibnu 'Umar. Dituturkan bahwa Rasulullah saw telah bersabda, "Isbal itu bisa terjadi pada sarung, gamis dan jubah.

Siapa saja yang memanjangkan pakaiannya karena sombong, maka Allah swt tidak akan melihatnya kelak di hari kiamat."[HR. Abû Dâwud, al-Nasâ`iy, dan Ibnu Mâjah] Kata khuyalâ berasal dari wazan fu'alâ'. Kata al-khuyalâ', al-bathar, al-kibr, al-zahw, al-tabakhtur, bermakna sama, yakni “sombong/takabur“.

Mengomentari hadis ini, Ibnu Ruslan dari Syarah al-Sunan menyatakan, "Dengan adanya taqyîd "khuyalâ'" (karena sombong) menunjukkan bahwa siapa saja yang memanjangkan kainnya melebihi mata kaki tanpa ada unsur kesombongan, maka dirinya tidak terjatuh dalam perbuatan haram. Hanya saja, perbuatan semacam itu tercela (makruh)." Imam Nawawi berkata, "Hukum isbâl adalah “makruh“. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh asy-Syafi'i. Imam al-Buwaithi dari al-Syafi'i dalam Mukhtasharnya berkata, "Isbâl dalam shalat maupun di luar shalat karena sombong dan karena sebab lainnya tidak diperbolehkan. Ini didasarkan pada perkataan Rasulullah saw kepada Abu Bakar ra." Namun demikian sebagian 'ulama menyatakan bahwa khuyala' dalam hadis di atas bukanlah taqyîd. Atas dasar itu, dalam kondisi apapun Isbâl terlarang dan harus dijauhi.

Dalam mengomentari hadis di atas, Ibnu al-'Arabi berkata, "Tidak diperbolehkan seorang laki-laki melabuhkan kainnya melebihi mata kaki dan berkata tidak ada pahala jika karena sombong. Sebab, larangan isbal telah terkandung di dalam lafadz. Tidak seorangpun yang tercakup di dalam lafadz boleh menyelisihinya dan menyatakan bahwa ia tidak tercakup dalam lafadz tersebut; sebab, 'illatnya sudah tidak ada. Sesungguhnya, sanggahan semacam ini adalah sanggahan yang tidak kuat. Sebab, Isbâl itu sendiri telah menunjukkan kesombongan dirinya.

Walhasil, isbal adalah melabuhkan kain melebihi mata kaki, dan melabuhkan mata kaki identik dengan kesombongan meskipun orang yang melabuhkan kain tersebut tidak bermaksud sombong." Mereka juga mengetengahkan riwayat-riwayat yang melarang Isbâl tanpa ada taqyîd. Riwayat-riwayat itu di antaranya adalah sebagai berikut;"Angkatlah sarungmu sampai setengah betis, jika engkau tidak suka maka angkatlah hingga di atas kedua mata kakimu.

Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan. Sedangkan Allah swt tidak menyukai kesombongan."[HR. Abû Dâwûd, al-Nasâ'i, dan Al-Tirmidzî dari Jâbir bin Sâlim] "Tatkala kami bersama Rasulullah saw, datanglah 'Amru bin Zurarah al-Anshari dimana kain sarung dan jubahnya dipanjangkannya melebihi mata kaki (isbal). Selanjutnya, Rasulullah saw segera menyingsingkan sisi pakaiannya (Amru bin Zurarah) dan merendahkan diri karena Allah swt. Kemudian beliau saw bersabda, "Budakmu, anak budakmu dan budak perempuanmu", hingga 'Amru bin Zurarah mendengarnya. Lalu, Amru Zurarah berkata, "Ya Rasulullah sesungguhnya saya telah melabuhkan pakaianku melebihi mata kaki."

Rasulullah saw bersabda, "Wahai 'Amru, sesungguhnya Allah swt telah menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Wahai 'Amru sesungguhnya Allah swt tidak menyukai orang yang melabuhkan kainnya melebihi mata kaki." [HR. al-Thabarani dari hadisnya Abu Umamah] Hadis ini rijalnya tsiqah. Zhahir hadis ini menunjukkan bahwa 'Amru Zurarah tidak bermaksud sombong ketika melabuhkan kainnya melebihi mata kaki. Riwayat-riwayat ini memberikan pengertian, bahwa isbal yang dilakukan baik karena sombong atau tidak, hukumnya haram. Akan tetapi, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan hadis-hadis seperti ini. kita mesti mengkompromikan riwayat-riwayat ini dengan riwayat-riwayat lain yang di dalamnya terdapat taqyîd (pembatas) "khuyalâ'".

Kompromi (jam'u) ini harus dilakukan untuk menghindari penelantaran terhadap hadis Rasulullah saw. Sebab, menelantarkan salah satu hadis Rasulullah bisa dianggap mengabaikan sabda Rasulullah saw. Tentunya, perbuatan semacam ini adalah haram. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar, yakni perkataan Rasulullah saw kepada Abu Bakar ra (Kamu bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong."), menunjukkan bahwa manath (objek) pengharaman isbal adalah karena sombong. Sebab, isbal kadang-kadang dilakukan karena sombong dan kadang-kadang tidak karena sombong.

Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar telah menunjukkan dengan jelas bahwa isbâl yang dilakukan tidak dengan sombong hukumnya tidak haram. Atas dasar itu, isbâl yang diharamkan adalah isbâl yang dilakukan dengan kesombongan. Sedangkan isbâl yang dilakukan tidak karena sombong, tidaklah diharamkan. Imam Syaukani berkata, "Oleh karena itu, sabda Rasulullah saw," Perhatikanlah, sesungguhnya memanjangkan kain melebihi mata kaki itu termasuk kesombongan."[HR. Abu Dawud, al-Nasaa'iy, dan Al-Tirmidzi dari Jabir bin Salim], harus dipahami bahwa riwayat ini hanya berlaku bagi orang yang melakukan isbâl karena sombong.

Hadis yang menyatakan bahwa isbal adalah kesombongan itu sendiri ?yakni riwayat Jabir bin Salim?harus ditolak karena kondisi yang mendesak. Sebab, semua orang memahami bahwa ada sebagian orang yang melabuhkan pakaiannya melebihi mata kaki memang bukan karena sombong. Selain itu, pengertian hadis ini (riwayat Jabir bin Salim) harus ditaqyîd dengan riwayat dari Ibnu 'Umar yang terdapat dalam shahihain?.Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Umamah yang menyatakan bahwa Allah swt tidak menyukai orang-orang yang sombong hadir dalam bentuk muthlaq, sedangkan hadis yang lain yang diriwayatkan Ibnu 'Umar datang dalam bentuk muqayyad. Dalam kondisi semacam ini, membawa muthlaq ke arah muqayyad adalah wajib?." Dari penjelasan Imam Syaukani di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa kesombongan adalah taqyîd atas keharaman isbal. Atas dasar itu, hadis-hadis yang memuthlaqkan keharaman isbâl harus ditaqyîd dengan hadis-hadis yang mengandung redaksi "khuyalâ'.

Walhasil, isbâl yang dilakukan tidak karena sombong, tidak termasuk perbuatan yang haram. Tidak boleh dinyatakan di sini bahwa hadis yang diriwayatkan dari Ibnu 'Umar tidak bisa mentaqyîd kemuthlaqan hadis-hadis lain yang dating dalam bentuk muthlaq dengan alasan, sebab dan hukumnya berbeda. Tidak bisa dinyatakan demikian. Sebab, hadis-hadis tersebut, sebab dan hukumnya adalah sama.

Topik yang dibicarakan dalam hadis tersebut juga sama, yakni sama-sama berbicara tentang pakaian dan cara berpakaian. Atas dasar itu, kaedah taqyîd dan muqayyad bisa diberlakukan dalam konteks hadis-hadis di atas. Inilah pemahan hadis secara kontekstual. Dengan melihat konteks sosio-historisnya, ketika hadis itu diungkapkan, kita bisa memahaminya dalam konteks transhistoris (ke-kini-an dan ke-di sini-an).

Tidak ada komentar: