Kamis, 15 Mei 2008

JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN

JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN DALAM PENGALAMAN PARA SUFI

Banyak jalan menuju surga. Itulah ungkapan yang sering kita dengan dan baca. Tetapi, dalam khazanah tasawuf, jalan itu cukup terasa terjal dan berliku. Jangankan menuju surga! Untuk bertemu dengan pemilik surga saja sudah terlampau berat. Meski begitu beratnya, seorang sufi tidak boelh berputus asa untuk melaluinya dengan proses yang panjang dan melelahkan. Menggapai atau tidak, bukan persoalan. Yang terpenting adalah selalu berusaha, tanpa kenal lelah, untuk mencapainya.

Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tharîqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia.

Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasiun-stasiun yang dalam bahasa Arab disebut maqâmât -- tempat seorang calon sufi menunggu -- sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasiun berikutnya. Sebagaimana telah di sebut di atas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Quran dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.

Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasiun pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasiun kedua, yaitu zuhud. Di stasiun ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Quran dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannya pun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan ruhani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Quran dan berdzikir.

Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Quran dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasiun wara'. Di stasiun ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.

Dari stasiun wara', ia pindah ke stasiun faqr. Di stasiun ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak pemberian Tuhan.

Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasiun sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita.

Selanjutnya ia pindah ke stasiun tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati.

Dari stasiun tawakkal, ia meningkat ke stasiun ridha. Dari stasiun ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan.

Karena maqâmât (stasiun-stasiun) tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasiun berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf.

Pengalaman Sufi

Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannya dengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yang dilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasa waswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapat meneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun ia rasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zat yang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilang dan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Pada stasiun ridha, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalam hatinya. Maka ia pun sampai ke stasiun mahabbah, cinta Ilahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut:

Pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.

Kedua, menyerahkan seluruh diri kepada Yang Dikasihi.

Ketiga, mengosongkan hati dari segala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi.

Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalam al-Quran terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhan kepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. QS al-Mâidah (5): 54 :
                 •                     

“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui."

Selanjutnya QS Âli ‘Imrân (3): 30 menyebutkan,
    •           •            
“Pada hari ketika tiap-tiap diri mendapati segala kebajikan dihadapkan (dimukanya), begitu (juga) kejahatan yang Telah dikerjakannya; ia ingin kalau kiranya antara ia dengan hari itu ada masa yang jauh; dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. dan Allah sangat Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.”

Hadis juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut,

"Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai, Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya."

Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalaman cinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiyah (713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhan memalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pula tidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan,

"Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka,
bukan pula karena ingin masuk surga,
tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya."

Ia bermunajat:

"Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka,
bakarlah mataku karena Engkau,
janganlah sembunyikan keindahan-Mu
yang kekal itu dari pandanganku."

Sewaktu malam telah sunyi ia berkata:

"Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan,
mata-mata telah bertiduran,
pintu-pintu istana telah dikunci,
tiap pecinta telah berduaan dengan yang dicintainya,
dan inilah aku berada di hadirat-Mu."

Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemas mengucapkan:

"Tuhanku,
malam telah berlalu dan siang segera akan menampakkan diri.
Aku gelisah, apakah Engkau terima aku sehingga aku bahagia,
ataukah Engkau tolak sehingga aku merasa sedih.
Demi ke-Mahakuasaan-Mu
inilah yang akan kulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku.
Sekiranya Engkau usir aku dari depan pintuMu,
aku tidak akan bergerak,
karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku."

Pernah pula ia berkata:

"Buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi.
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang ke hadiratMu,
Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.
Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau."

Begitu penuh hatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika orang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, ia menjawab:

"Cintaku kepada Tuhan
tidak meninggalkan ruang kosong
di dalam hatiku untuk benci setan."

Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiyah kepada Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut:

Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku
Membuat aku lupa yang lain
dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau
karena Engkau bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,
Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua.

Rabi'ah al-'Adawiyah, telah sampai ke stasiun sesudah mahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah sampai ke stasiun yang menjadi idaman kaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiyah telah benar-benar menjadi sufi.

Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Dzunnun al-Misri (w.860 M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cinta ikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun dapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Dzunnun ditanya, bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab:

"Aku melihat dan mengetahui Tuhan dengan Tuhan
dan sekiranya tidak karena Tuhan
aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan."

Yang dimaksud Dzunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifah karena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf, sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwa ma'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.

Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya:

Pertama, daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb (itu sendiri).

Kedua, daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh.

Ketiga, daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr.

Sirr adalah daya terpeka dari qalb (kalbu) dan daya ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau senantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai daya tangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makin besar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkap daya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikan ma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada."

Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka, ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebut ilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah, lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal, yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit syak. Tetapi, menurut al-Ghazali, setelah mencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaran ternyata melalui tasawuf, bukan filsafat.

Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawuf dijumpai ungkapan berikut:

Pertama, kalau mata yang terdapat di dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.

Kedua, ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.

Ketiga, yang dilihat orang 'ârif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanyalah Allah.

Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentuk materi, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yang memandangnya akan mati karena tak tahan melihat kecemerlangan dan keindahannya.

Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasa tidak puas dengan stasiun ma'rifah saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad. Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid al-Busthami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usaha yang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai ittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke stasiun ittihad.

Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebih dahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana' adalah “hancur”, sedangkan baqa' berarti “tinggal”. Sesuatu di dalam diri sufi akan fana’ atau hancur dan sesuatu yang lain akan baqa’ atau tinggal. Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang yang fana’ dari kebodohan akan baqa’ (tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana’ dari maksiat akan baqa’, (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul takwa.

Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulu mengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafzhi kehancuran jiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafs wa al-baqa’ bi 'l-Lah, dengan arti (bila) kesadaran tentang diri sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan.

Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan:

"Aku mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku hancur,
kemudian aku mengetahui-Nya melalui diri-Nya
dan akupun hidup.

Sedangkan mengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi:

"Ia membuat aku gila pada diriku hingga aku mati.
Kemudian Ia membuat aku gila kepada diri-Nya,
dan akupun hidup."

Lalu, diapun berkata lagi:

"Gila pada diriku adalah fana'
dan gila pada diri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)."

Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis,

"Fana’ (nya) seseorang dari dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilah ittihad."

Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebut syathahât (jama’) – mufrad: syathhah -- (ucapan teopatis). Syathahat yang diucapkan Abu Yazid, antara lain, sebagai berikut,

"Manusia tobat dari dosanya, tetapi aku tidak.
Aku hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain Allah."

Abu Yazid tobat dengan lafazh syathahât demikian, karena lafazh itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi dan berada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau.

Dia juga mengucapkan,

"Aku tidak heran melihat cintaku pada-Mu,
karena aku hanyalah hamba yang hina.
Tetapi aku heran melihat cinta-Mu padaku,
karena Engkau adalah Raja Maha Kuasa."

Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi:

"Aku tidak meminta dari Tuhan
kecuali Tuhan."

Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhan dan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yang dikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu dengan Tuhan. Dalam mimpi ia bertanya:

"Apa jalannya untuk sampai kepadaMu?"
Tuhan menjawab,
"Tinggalkan dirimu dan datanglah."

Akhirnya Abu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana’, baqa' dan ittihad.

Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kata berikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan Ia berkata:

Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat engkau.
Aku menjawab, kekasih-Ku,
aku tak ingin melihat mereka.
Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-Mu.
Hiasilah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-Mu melihat aku,
mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau.
Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah Engkau,
karena ketika itu aku tak ada di sana."

Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya:

"Hiasilah aku dengan keesaan-Mu."

Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "Abu Yazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupun berkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."

Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yang satu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalam ungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata kepadaku:

"Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "Hai Aku."
Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu."
Aku menjawab, "Akulah Yang Satu."
Ia berkata lagi, "Engkau adalah Engkau."
Aku menjawab: "Aku adalah Aku."

Yang penting diperhatikan dalam ungkapan di atas adalah kata-kata Abu Yazid:

"Aku menjawab melalui diriNya" (fa qultu bihi).

Kata-kata bihi -- melalui diri-Nya -- menggambarkan bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, ruhnya telah melebur dalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan Abu Yazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid.

Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai shalat subuh, mengeluarkan kata-kata:

"Maha Suci Aku,
Maha Suci Aku,
Maha Besar Aku,
Aku adalah Allah.
Tiada Allah selain Aku,
maka sembahlah Aku."

Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar tersebut di atas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata di atas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan,

"Pergilah,
tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa.
Di dalam jubah ini tidak ada selain Allah."

Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid.

Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan:

"Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang Maha Benar).

Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam di dalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dihancurkan.

Di sini terdapat juga konsep fana’, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari hadis yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.

Hadis ini mengandung arti bahwa di dalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia. Sebaliknya di dalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:

Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan minum

Dengan membersihkan diri melalui ibadat yang banyak dilakukan, nâsût manusia lenyap dan muncullah lâhût-nya dan ketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufi dan terjadilah hûlûl.

Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini:

Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku.

Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:

Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh,

Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.

Ketika mengalami hulul yang digambarkan di atas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan, "Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang Maha Benar).

Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidak mengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan. Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan:

"Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami."

Syathahat atau ucapan teopatis sufi seperti itu membuat kaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaran Islam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaum syari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidak menangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakikat dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.

Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangan keras antara kaum syari'at dan kaum hakikat, gelar yang diberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah al-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilah yang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan. Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah, sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa’, dan ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina.

Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh syariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawa al-Busthami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhy al-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.

Lahut dan Nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya, tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakan esensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq. Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.

Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadis yang telah dikutip pada permulaan, pada awalnya adalah "harta" tersembunyi, kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagai cermin yang di dalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan kata lain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.

Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada hakikatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada hakikatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak adalah bayangannya.

Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan “panteisme” dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri atau tajalli dari Tuhan.

Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap tanazul (turun), Ahadiyah, Huwiyah dan Aniyah.

Pada tahap Ahadiyah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap huwiyah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniyah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.

Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil, seorang sufi mesti mengadakan taraqqi (pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassuth dan khitam.

Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassuth, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat, dan sifa-sifat lainnya. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari “dzat Tuhan” yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya, Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad.

Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai melalui ittihad serta hulul yang mengandung pengalaman persatuan ruh manusia dengan ruh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil.

Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriyah yang muncul pada abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), dan Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.

Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadang diselewengkan, sehingga tarekat menyimpang dari tujuan sebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasar sufi dan syari'at Islam, sehingga timbullah pertentangan antara kaum syari'at dan kaum tarekat.

Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnya kehidupan ruhani dan mengabaikan kehidupan duniawi, dan disamping itu menekankan ajaran tawakal sufi, sehingga mengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkan tarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal.

Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam. Karena pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungan dari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam perlawanan mereka terhadap pembaharuan yang diadakan sultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi dan para ulama Turki.

Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhirat dan sikap tawakal berkembang di kalangan umat Islam yang bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk memandang tarekat sebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduran umat Islam.

Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialisme yang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyak orang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme yang melanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembali “spiritualisme”. Disini tasawuf dengan ajaran keruhanian dan akhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapi untuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri para pengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan akhlak mulia di samping keruhanian dengan tidak mengabaikan kehidupan keduniaan.

Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang di Barat yang bosan hidup kematerian lalu mencari hidup keruhanian di Timur. Ada yang pergi ke keruhanian dalam agama Buddha, ada ke keruhanian dalam agama Hindu dan tak sedikit pula yang mengikuti keruhanian dalam agama Islam, umpamanya aliran Subud di Jakarta.

Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberry dalam bukunya Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslim adalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajari ajaran-ajaran sufi yang telah meninggalkan pengaruh besar dalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orang Islam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapat memenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai keruhanian dan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan seperti sekarang.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963.

Badawi, A.R., Syathahât al-Shûfiyyah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949.

Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique (The History of Islamic Philosophy), Paris, Gallimard, 1964.

Tidak ada komentar: