Kamis, 15 Mei 2008

TAFSIR KONTEMPORER, KONTEKSTUALISASI TAFSIR AL-QURAN DALAM SEJARAH

TAFSIR KONTEMPORER:
Kontekstualisasi Tafsir al-Quran Dalam Sejarah

Modernitas merupakan realitas historis yang menawarkan sejumlah nilai. Utamanya: individualitas, rasionalitas, perubahan dan kemerdekaan, sedang Islam sebagai sebuah agama menawarkan nilai-nilai modernitas, yang bertumpu pada prinsip: independensi dan kebebasan yang bertanggungjawab. Modernitas hanyalah sebuah proses tranformasi atau perubahan sosial dalam segala aspeknya, yang bertumpu pada rasionalitas. Kemerdekaan berpikir dan bertindak, itulah yang menjadi ciri utamanya. Dalam, hal ini, Islam mengakomodasi prinsip modernitas tersebut pada pada prinsip “independensi” yang bermuara pada kebebasan yang bertanggung jawab sebagaimana tersebut di atas. Proses Transformasi tersebut juga (bisa) terjadi pada (wilayah) interpretasi atas al-Quran, yang terus menghendaki kontekstualisasi seiring dengan perubahan situasi dan kondisi
Prawacana
Al-Quran – secara makro -- memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li al-nâs (QS al-Baqarah, 2: 185),
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
dan sebagai Kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS Ibrâhîm, 14: 1).
الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
Alif, lâm râ. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.
Salah satu ayatnya menjelaskan bahwa manusia tadinya merupakan satu kesatuan (ummatan wâhidah), tetapi sebagai akibat lajunya pertumbuhan penduduk serta pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbullah persoalan-persoalan baru yang menimbulkan perselisihan dan silang pendapat. Sejak itu, Allah mengutus nabi-nabi dan menurunkan Kitab Suci, agar mereka -- melalui Kitab Suci tersebut -- dapat menyelesaikan perselisihan mereka serta menemukan jalan keluar bagi penyelesaian problem-problem mereka (QS al-Baqarah, 2: 213).
كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلَّا الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.
Agar al-Quran berguna sesuai dengan fungsi-fungsi yang digambarkan di atas, al-Quran memerintahkan umat manusia untuk mempelajari dan memahaminya (baca antara lain QS Shâd, 38: 29), sehingga mereka dapat menemukan -- melalui petunjuk-petunjuknya yang tersurat dan tersirat -- apa yang dapat mengantarkan mereka menuju (ke arah) terang benderang.
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا ءَايَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.
Di sisi lain, al-Quran menggambarkan masyarakat ideal sebagai: tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman tadi kuat, lalu menjadi besarlah ia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya ... (QS al-Fath, 48: 29).
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka ruku` dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu'min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.
Penggalan ayat ini menggambarkan betapa masyarakat ideal tersebut terus-menerus berubah dan berkembang menuju kesempurnaannya. Kalau gambaran di atas dikaitkan dengan hakikat kemodernan yang -- antara lain -- bercirikan dinamika dan perubahan terus-menerus, serta dikaitkan dengan fungsi Kitab Suci seperti yang dijelaskan sebelumnya, maka kita dapat berkesimpulan bahwa al-Quran menganjurkan pembaruan atau --dalam bahasa hadis Rasulullah saw.-- tajdîd, atau istilah lainnya "modernisasi" atau "reaktualisasi".
Arti Tajdîd atau Modernisasi
Walaupun semua ulama mengakui dan menyadari perlunya tajdîd, terlepas apakah mereka menilai shahîh atau tidak hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dari sahabat Abu Hurairah,1 namun -- dalam pengertiannya serta pengalamannya -- telah terjadi perbedaan-perbedaan yang tidak kecil.
Busthami Muhammad Said2 – misalnya -- menyimpulkan pengertian tajdîd seperti yang dikemukakan oleh Sahl al-Sha'luki (w. 387 H) sebagai "Mengembalikan ajaran agama sebagaimana keadaannya pada masa salaf pertama" (i'âdah al-dîn ilâ mâ kâna 'alayhi ahd al-salaf al-shalîh). Sementara itu, Ahmad ibn Hanbal memahami pengertian tajdîd sebagai "penyebarluasan ilmu".3 Dengan menggabungkan keduanya, diperoleh suatu rumusan bahwa tajdid tidak lain kecuali "menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa al-salaf al-awwal."
Sebaliknya, ada pula yang memahami tajdîd sebagai "usaha untuk menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan kontemporer dengan jalan men-ta'wîl-kan atau menafsirkannya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan serta kondisi sosial masyarakat."4
Hemat kita, memahami ajaran-ajaran agama atau menafsirkan al-Quran sebagaimana dipahami dan ditafsirkan al-salaf tidak sepenuhnya benar. Ini bukan saja karena al-Quran harus diyakini berdialog dengan setiap generasi serta memerintahkan mereka untuk mempelajari dan memikirkannya. Sementara itu, hasil pemikiran pasti dipengaruhi oleh sekian faktor, antara lain pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, serta latar belakang pendidikan yang berbeda antara generasi dan generasi lainnya, bahkan antara pemikir dan pemikir lainnya pada suatu generasi. Tapi juga karena memaksa satu generasi untuk mengikuti "keseluruhan" hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan bagi mereka. Ini tidak sejalan dengan ciri agama serta tidak sejalan pula dengan hakikat masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan.
Di pihak lain, melakukan tajdîd dengan jalan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran al-Quran yang dinilai "selalu sesuai dengan setiap masa dan tempat." Selain itu, menafsirkan dan men-ta'wîl-kannya sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi mengandung bahaya yang tidak kecil. Ini karena perkembangan masyarakat dapat merupakan akibat potensi positif manusia dan dapat juga sebaliknya. Demikian pula dengan penemuan ilmiah: “ada yang bersifat objektif dan telah mapan dan ada pula yang sebaliknya.”
Atas dasar ini, diperlukan beberapa catatan terhadap ide-ide sementara pemikir atau ulama kontemporer. Mereka, walaupun semuanya berbicara tentang tajdîd atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batas-batasnya: di satu pihak ada yang membatasinya sehingga tidak mencapai apa yang diharapkan, dan di pihak lain ada yang melampaui batas sehingga menyerempet bahaya.
Sebagai contoh dikemukakan berikut ini pandangan Maududi: "Tidak dapat disangkal bahwa manusia, dengan kedalaman pengetahuannya tentang alam dan hakikat-hakikat ilmiah, menyebabkan bertambah dalam pula pemahamannya tentang makna-makna al-Quran. Tetapi, hal ini bukan berarti bahwa ia telah memahami al-Quran melebihi pemahaman Nabi dan murid-muridnya (sahabat) yang memperoleh pemahaman tersebut dari Nabi saw."5
Pendapat Maududi di atas, walaupun kelihatannya berbeda dengan pendapat al-Syâthibî (1143-1194), namun hakikatnya sama. Menurut al-Syâthibî, "Syari'at bersifat ummiyah, tidak boleh dipahami kecuali sebagaimana pemahaman para sahabat Nabi saw."6
Kita tidak menolak bahwa para sahabat adalah "murid-murid" Nabi, tetapi tidak semua pendapat mereka bersumber dari Nabi. Ini terbukti dengan adanya perbedaan pendapat di antara mereka, bahkan di antara mereka ada yang keliru memahami arti ayat-ayat al-Quran. 'Âdiy ibn Hâtim, misalnya, memahami arti al-khaith al-abyadh min al-khaith al-aswad (QS 2:187), dengan arti hakiki (benang).7
Kalau pendapat Maududi tidak sepenuhnya diterima, maka demikian pula pendapat aliran lain semacam pandangan Muhammad Asad. Menurut Asad, kunci utama memahami al-Quran adalah ayat ketujuh surah Âli 'Imrân, Huwa alladzî anzala 'alaika al-kitâb minhu âyât muhkâmât hunna umm al-kitâb wa ukharu mutasyâbihât. Menurut Asad, ayat inilah yang menjadikan risalah al-Quran mudah dicerna bagi mereka yang menggunakan pikirannya, karena al-mutasyâbih adalah ayat-ayat yang menggunakan redaksi-redaksi majâzi (metaforis) dan mempunyai makna-makna simbolis. Al-Quran -- katanya lebih jauh -- memiliki banyak ayat mutasyâbih, sehingga bila redaksinya tidak dipahami secara metaforis, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami jiwa ajaran al-Quran.8
Tetapi, apakah benar dalam al-Quran terdapat "banyak" ayat mutasyâbih? Dan apakah mutasyâbih dapat di-ta'wîl-kan sebagaimana cara yang ditempuh itu, sehingga pada akhirnya hilanglah supra rasionalitas dalam ajaran agama (mukjizat tidak menjadi mukjizat lagi, malaikat di-ta'wîl-kan menjadi "hukum alam" atau bisikan hati nurani, dan sebagainya)? Tidak, ini yang melampaui batas, tidak pula yang sebelumnya yang sangat terbatas, yang kita pahami sebagai tajdîd atau modernisasi dalam bidang tafsir.
Pandangan tentang Modernisasi Tafsir
Berikut ini beberapa pokok pandangan yang dapat dijadikan pegangan dalam rangka tajdîd atau modernisasi dalam bidang tafsir.
1. Hadis-hadis dan Pendapat-pendapat Sahabat
Seorang mufasir tidak dapat mengabaikan hadis-hadis Rasulullah dan pendapat sahabat. Penafsiran yang paling ideal adalah tafsir bi al-ma'tsûr, yakni yang berlandaskan ayat, hadis, dan pendapat sahabat dalam menafsirkan al-Quran.
Hanya saja, ini bukan berarti bahwa penafsiran mereka tidak dapat dikembangkan maknanya. Penafsiran Nabi saw., demikian pula sahabat, dapat dibagi dalam dua kategori: (1) lâ majâla li al-'aql fîhi (masalah yang diungkapkan bukan dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah, dan sebagainya; dan (2) fî majâl al-aql (dalam wilayah nalar), seperti masalah-masalah kemasyarakatan.
Yang pertama, apabila nilai riwayatnya shahîh, diterima sebagaimana adanya tanpa pengembangan, karena sifatnya yang berada di luar jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun harus diakui bahwa penafsiran Nabi saw. adalah benar adanya, namun penafsiran tersebut harus didudukkan pada proporsinya yang tepat. Ini karena sifat penafsiran beliau sangat bervariasi, baik dari segi motif penafsiran, yang dapat berbentuk ta'rif atau irsyâd atau tashhîh, dan sebagainya, maupun hubungan antara ayat yang ditafsirkan dengan penafsiran yang juga beraneka ragam. Hubungan itu terkadang berbentuk:
(a) Hubungan padanan (tathâbuq), seperti penafsiran al-shalât al-wusthâ (QS al-Baqarah, 2: 238) dengan "shalat Ashar";
(b) Hubungan kelaziman (talâzum) seperti penafsiran ud'ûnî (dalam QS al-Mu’min, 40:60) dengan "beribadah";
(c) Hubungan cakupan (tadhâmun), seperti penafsiran al-âkhirât (dalam QS Ibrâhîm, 14:27) dengan "kubur";
(d) Hubungan percontohan (tamtsîl), seperti penafsiran al-maghdhûb 'alaihim (dalam surah al-Fâtihah) dengan "orang-orang Yahudi", dalam arti bahwa beliau menafsirkannya dengan orang Yahudi sebagai contoh yang beliau angkat dari masyarakat ketika itu, sehingga tidak menutup kemungkinan untuk diberikan penafsiran lain dalam bentuk contoh-contoh yang mungkin ditemukan dalam masyarakat-masyarakat lain.
Di samping keragaman penafsiran seperti yang dikemukakan di atas, hadis-hadis Nabi pun dapat ditinjau dari berbagai segi, sejalan dengan kedudukan beliau ketika mengucapkan atau memperagakannya.
Al-Qarafî9 membagi sikap atau ucapan Nabi saw. dalam empat kategori, yaitu dalam kedudukan beliau sebagai: (1) Rasul; (2) Mufti; (3) Qadhi; dan (4) Imam (pemimpin negara atau masyarakat). Pembagian di atas dapat ditambah dengan (5) sebagai pribadi.
Hadis-hadis yang berkaitan dengan kedudukan beliau sebagai pemimpin masyarakat tentunya berkaitan dengan kondisi sosial masyarakat beliau, sehingga pemahamannya harus dikaitkan dengan kondisi sosial ketika itu.
Adapun pendapat-pendapat sahabat, maka apabila permasalahan yang dikemukakannya termasuk fî mâ lâ majâl li al-'aql fîh (bukan kalam wilayah nalar), maka ia fî hukm al-marfû' (bersumber dari Nabi saw.) sehingga ia diterima sebagaimana adanya. Sedangkan bila sifatnya tidak demikian, maka ia hanya dipertimbangkan, dipilah, dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak.
2. Pembedaan antara yang Qath'iy dan yang Zhanniy
Menurut al-Syâthibî, tidak ada atau sedikit sekali yang bersifat qath'iy dalam dalil-dalil Syari'at bila yang dimaksud dengannya adalah tidak adanya kemungkinan arti lain bagi satu lafal pada saat ia berdiri sendiri.10
Betapapun terdapat perbedaan pendapat tentang batas pengertian dan bilangan ayat-ayat yang bersifat qath'iy al-dalâlah, namun yang jelas apabila satu ayat telah dinilai demikian, maka tidak ada lagi tempat bagi suatu interpretasi baru baginya. Adapun yang sifatnya zhanniy, maka ia merupakan lahan garapan para ulama dan pemikir hingga akhir zaman dan dari sinilah kemudian timbul ide pembedaan antara Syari'at dan Fiqih.
Ahmad Abû al-Majd menulis, "Kita harus menekankan keharusan pembedaan antara Syari'at dan Fiqih: Syari'at adalah sesuatu yang langgeng dan ditetapkan berdasarkan nash-nash qath'iy baik dari segi wurûd-nya (keaslian sumbernya) maupun dari segi dilâlah-nya (pengertiannya); sedangkan Fiqih adalah penafsiran terhadap nash-nash."11 Selanjutnya ia menekankan: "Kelirulah mereka yang berkata bahwa generasi lampau tidak lagi menyisihkan bagi generasi berikutnya sesuatu apa pun ... Sesungguhnya mereka telah menyisihkan bagi generasi sesudahnya suatu alam/dunia yang berbeda dengan alam/dunia mereka ... Pengalaman-pengalaman baru tidak dapat diabaikan dengan alasan bahwa pengalaman lama dapat mencukupi dan menempati tempatnya."12
Nah, dalam pengalaman-pengalaman baru inilah dapat timbul penafsiran-penafsiran baru, bahkan kaedah-kaedah baru yang belum dikenal oleh para pendahulu. Pengalaman masa kini menunjukkan antara lain:
(a) Angka kematian dapat ditekan dan rata-rata umur manusia meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
(b) Janin telah dapat diketahui jenis kelaminnya, bahkan manusia telah berada dalam pintu gerbang pemilihan jenis kelamin dan genetics engineering (rekayasa genetis).
Dua contoh di atas menjadikan seseorang yang percaya kepada al-Quran terpaksa meninjau penafsiran ayat-ayat yang berbicara tentang penciptaan Tuhan terhadap manusia serta mafâtih al ghaib yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.
Tentunya bukan yang dimaksud di sini mengabaikan semua hasil penelitian atau pendapat para pendahulu, tetapi prinsip yang sewajarnya dipegang adalah al-muhâfazhah 'alâ al-qadîm al-shâlih wa al-akhdz bi al-jadîd al-ashlah (berpegang kepada yang lama yang baik, dan kepada yang baru yang lebih baik).
3. Penggunaan Ta'wîl dan Metafora
Pada masa al-salaf al-awwal, ulama-ulama enggan menggunakan ta'wîl atau memberi arti metaforis bagi teks-teks keagamaan. Imam Malik (w. 795 M), misalnya, enggan membenarkan seseorang berkata "langit menurunkan hujan."13 Harus diyakini bahwa sesungguhnya yang menurunkannya adalah Allah SWT. Keengganan menggunakan ta'wîl ini menjadikan sementara ulama salaf menduga bahwa batu adalah makhluk hidup yang berakal, berdasarkan firman Allah dalam QS al-Baqarah, 2: 74.
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُمْ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ فَهِيَ كَالْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدُّ قَسْوَةً وَإِنَّ مِنَ الْحِجَارَةِ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَارُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَّقَّقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ الْمَاءُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Juga ada yang menduga bahwa Allah mengutus Nabi-nabi kepada lebah berdasarkan QS an-Nahl, 16: 68.14
وَأَوْحَى رَبُّكَ إِلَى النَّحْلِ أَنِ اتَّخِذِي مِنَ الْجِبَالِ بُيُوتًا وَمِنَ الشَّجَرِ وَمِمَّا يَعْرِشُونَ
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia".
Setelah masa al-salaf al-awwal, keadaan telah berubah. Hampir seluruh ulama telah mengakui perlunya tawîl dalam berbagai bentuknya. al-Sayûthî – misalnya -- menilai majâz sebagai salah satu bentuk keindahan bahasa.15 Namun, walaupun mereka telah sepakat menerimanya, perbedaan pendapat timbul dalam menetapkan syarat-syarat bagi penggunaannya.
Kini, sementara orang yang menganggap dirinya sebagai pembaru dalam bidang tafsir, menggunakan pen-ta'wîl-an semata-mata berdasarkan penalaran tanpa mengabaikan kaedah-kaedah kebahasaan. Dr. Musthafâ Mahmûd – misalnya -- men-tawîl-kan larangan Tuhan kepada Adam dan Hawa "mendekati pohon" sebagai larangan melakukan hubungan seksual.16 Walaupun salah satu argumentasinya adalah argumentasi kebahasaan, namun penafsiran ini sangat menggelikan pakar bahasa.
Menurut Musthafâ, redaksi firman Allah sebelum mereka mendekati pohon adalah dalam bentuk mutsannâ (dual), yakni jangan kamu berdua mendekati pohon ini (QS al-Baqarah, 2: 35).
وَقُلْنَا يَاآدَمُ اسْكُنْ أَنْتَ وَزَوْجُكَ الْجَنَّةَ وَكُلَا مِنْهَا رَغَدًا حَيْثُ شِئْتُمَا وَلَا تَقْرَبَا هَذِهِ الشَّجَرَةَ فَتَكُونَا مِنَ الظَّالِمِينَ
Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim.
Tetapi, setelah mereka memakannya (dalam arti melakukan hubungan seksual), redaksi berikutnya berbentuk jama’, yakni Turunlah kamu semua dari surga ... Sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian lainnya (QS al-Baqarah, 2: 36).
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: "Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan".
Hal ini menurutnya, adalah bahwa tadinya Adam dan Hawa hanya berdua, tetapi setelah isterinya mengandung janin maka mereka menjadi bertiga sehingga wajar bila redaksi beralih menjadi bentuk jama’.17
Apa yang dikemukakan ini jelas bertentangan dengan teks ayat dan bertentangan pula dengan kaedah kebahasaan. Karena, bahasa tidak menjadikan janin yang dikandung sebagai wujud penuh, tetapi mengikut kepada ibu yang mengandungnya dan karenanya walaupun seorang ibu mengandung -- berapa pun bayi yang dikandungnya -- ia tetap dianggap sebagai wujud tunggal.
Contoh di atas membuktikan kekeliruan pen-ta'wîl-an yang dilakukan semata-mata dengan menggunakan nalar tanpa pertimbangan kaedah kebahasaan.
Al-Syâthibî mengemukakan dua syarat pokok bagi setiap penta'wîl-an:
(a) Makna yang dipilih sesuai dengan hakikat kebenaran yang diakui oleh mereka yang memiliki otoritas dalam bidangnya;
(b) Makna yang dipilih telah dikenal oleh bahasa Arab klasik.18
Sementara pembaru dinilai sangat memperluas penggunaan ta'wîl, tanpa suatu alasan yang mendukungnya. Kita dapat memahami motivasi sebagian mereka, seperti motivasi Muhammad Abduh yang menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran-ajaran agama, sambil mempersempit sedapat mungkin wilayah gaib. Namun bila hal ini diperturutkan tanpa batas, maka ia dapat mengakibatkan pengingkaran hal-hal yang bersifat supra-rasional, sebagaimana ditemukan dalam pemikiran sementara pembaru. Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks-teks keagamaan, khususnya tentang peristiwa-peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal-hal gaib, berarti menggunakan sesuatu yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Tuhan (Zat Yang Mutlak itu).
Tetapi, tentunya ini bukan berarti kita menerima begitu saja penafsiran-penafsiran yang tidak logis. Apa yang dikemukakan di atas hanya berarti apabila suatu redaksi sudah cukup jelas serta pemahamannya tidak bertentangan dengan akal -- walaupun belum dipahami hakikatnya -- maka redaksi .tersebut tidak perlu di-ta'wîl-kan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
Apa yang dikemukakan di atas juga bukan berarti hanya menggunakan ta'wîl pada ayat-ayat yang telah pernah di-ta'wîl-kan oleh para pendahulu. Perkembangan masyarakat yang dihasilkan oleh potensi positifnya, hasil-hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, kesemuanya harus menjadi pegangan pokok dalam memahami atau menafsirkan ayat-ayat al-Quran, sehingga, bila pada lahirnya teks bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka tidak ada jalan lain kecuali menempuh pen-ta'wîl-an. Hal demikian tentunya lebih baik daripada pengabaian teks, sebagaimana ia tentunya masih dalam batas-batas yang dibenarkan al-Quran dan ulama. Karena, bukanlah al-Quran mengenal redaksi yang demikian itu dan ulama pun telah sepakat untuk menggunakannya?
Khâtimah
Al-Quran – sebagaimana pendapat Arkoun (misalnya) – dapat dikatakan sebagai “Korpus Terbuka”. Oleh karenanya, tafsir atasnya dapat dilakukan kapan pun, di mana pun dan oleh siapa pun yang memiliki kemampuan memadai untuk menafsirkannya, tidak terkecuali para mufassir generasi kita (sekarang ini dan di sini).
Karena sifat terbukanya, tafsir atas al-Quran tidak akan pernah (diharuskan) berhenti kapan pun, di mana pun dan oleh siapa pun. Dengan catatan” “dilakukan dengan dengan penuh tanggung jawab”.
Pertanggung jawaban tersebut bukan sekadar sebagai pertanggung jawaban horisontal yang lebih bersifat “intelektual”, tetapi – sekaligus – juga merupakan aktivitas yang memiliki pertanggung jawaban vertikal yang lebih bersifat “moral”. Atau dengan kata lain: “bertanggungjawab kepada dirinya, orang lain dan Tuhan (Allah)”.
Oleh karena itu, betapa pun “kebebasan” untuk melakukan interpratasi atas al-Quran itu adalah “hak” bagi siapa pun, di mana pun dan kapan pun. Tetapi harus dipahami, bahwa kebebasan tersebut bukan tanpa batas. Ada seperangkat rambu yang harus ditaati oleh setiap mufassir, baik yang yang bersifat intelektual maupun moral. Seorang mufassir, idealnya adalah seorang dan sejumlah orang yang “’Âlim dan ‘Âmil” tentang dan atas al-Quran dalam pengertian yang utuh, yang oleh karenanya diperlukan “integritas moral dan intelektual” bagi setiap orang yang berkeinginan untuk berkhidmat menjadi “mufassir” atas al-Quran.
Catatan Kaki:
1Hadis tersebut berbunyi: Innallâha yab'atsu lihâdzihî al-ummati 'alâ ra'si kulli mi'ati sanatin man yujaddidu lahâ dînahâ. Lihat Sunan Abî Dâwud, tahqîq Muhammad Muhyiddîn Abd al-Hamîd, Al-Tijâriyyah al-Kubrâ, al-Qâhirah, 1953; jilid IV, h. 109.
2Lihat Busthamî Muhammad Sa’îd, Mafhûm Tajdîd al-Dîn, Dâr al-Da'wah, Kuwait, cet. 1, 1984.
3Ibid., h. 25.
4Abû al-Hasan al-Nadawî, Al-Syûrâ Bain al-Fikrah al-Islâmiyyah wa al-Fikrah al-Gharbiyyah, Maktabah al-Taqaddum, al-Qâhirah, cet.III, 1977, h. 71.
5Abû al-A'lâ Maudûdî, Al-Islâm fî Muwâjahât al-Tahaddiyât al-Mu'âshirah, Dâr al-Qalam, Kuwait, 1974, h. 187.
6Abû Ishâq al-Syâthibî, Al-Muwâfaqât, tahqîq Syaikh ‘Abdullâh Darrâz, Al-Tijâriyyah al-Kubrâ, al-Qâhirah, t.t. jilid II h. 82.
7Dalam riwayat al-Bukhârî dinyatakan bahwa 'Âdiy meletakkan “tali” (benang) hitam dan putih di bawah bantalnya. Lihat Shahîh al-Bukhâriy, Kitâb al-Shaum, Sulaimân Mar'î, Singapura, t.t., jilid I, h. 328. Dalam riwayat lain Nabi bersabda kepadanya: Innâ wisâdataka idzan la'âridh (kalau demikian bantalmu panjang sekali). Lihat Muhammad bin Muhammad bin Sulaimân dalam Jam' al-Fawâ'id min Jâmi' al-Ushûl wa Majma' al-Zawâid, ‘Abdullâh Hâsyim al-Yamaniy, Madînah, 1961, jilid II, h. 178.
8Lihat Muhammad Asad dalam The Message of the Qur'an, II, sebagaimana dikutip oleh Busthamiy Muhammad Sa’îd, op. cit., h. 178.
9Al-Qarafî, Al-Ahkâm fî Tamyîz al-Fatawâ ‘an al-Ahkâm wa Tasharrufât al-Qâdhiy wa al-Imâm, tahqîq Abd al-Fattâh Abû Ghuddah, Al-Mathba'ât al-Islâmiyyah, Halab, Suriah, 1967, h. 86, dan seterusnya.
10Al-Syâthibî, op. cit., jilid I, h. 35.
11Lihat Artikelnya dengan judul "Muwâjahât Ma'a 'Anâshir al-Jumûd fî al-Fikr al-Islâmiy al-Mu'âshir," dalam majalah Al-‘Arabiy, Kuwait, no. 222, Mei 1977, h. 22.
12Ibid.
13Syarîf al-Râdhî, Talkhîsh al-Bayân, tahqîq Muhammad ‘Abd al-Ghânî Hassân, Al-Halabî, Mishr, 1955, h. 11.
14Al-Jâhiz, Al-Hayawan, tahqîq ‘Abd al-Salâm Hârûn. Al-Qâhirah, 1964, jilid II, h. 128.
15Al-Sayûthî, Al-Itqân fî 'Ulûm al-Qur'ân, Al-Azhar, al-Qâhirah, 1318 H, jilid II, h. 36.
16Lihat lebih jauh ‘Abd al-Muta'âl Muhammad ‘Abd al-Jabiriy, Syathahat Mushthafâ Mahmûd, Dâr al-I'tishâm, al-Qâhirah, 1967, h. 119.
17Ibid.
18Al-Syâthibî, op. cit., h. 100.

Tidak ada komentar: