Rabu, 07 Mei 2008

MENJADI MUSLIM YANG BERKECERDASAN SOSIAL

MENJADI MUSLIM YANG BERKECERDASAN SOSIAL

Oleh: Muhsin Hariyanto

Sudah dimaklumi bahwa tujuan hidup setiap manusia adalah “beribadah”, hal inilah yang lebih sering disosialisasikan dalam khutbah dan ceramah keagamaan. Namun, ibadah – sebagai perwujudan ketundukan makhlûq kepada sang Khãliq – harus dibuktikan secara empirik dalam seluruh aktivitas sosial-kemanusiaan. Ketaatan manusia – dalam bentuk ibadah -- kepada Tuhannya harus dibuktikan ke dalam seluruh tindakannya, sehingga dapat menggambarkan ketaatan sepenuhnya kepada Tuhannya pada seluruh aktivitas kehidupannya, termasuk di dalamnya ketika seseorang membuktikan kematangannya dirinya dalam bentuk “kecerdasan sosialnya”. Sebuah kemampuan untuk berkontribusi positif bagi orang lain, karena dia memandang bahwa orang lain merupakan bagian dari dirinya yang harus diuntungkan sebagaimana dirinya berusaha untuk memperoleh keuntungan.
Saat ini, ditengarai banyak orang yang memiliki kemampuan untuk berkarya untuk dirinya dan memanfaatkan orang lain untuk kepentingan dirinya, tetapi tidak atau paling tidak kurang berkemampuan untuk memberikan kontribusi positif bagi orang lain. Dalam dunia bisnis, misalnya, seseorang akan terasa sulit mempersepsi kompetitornya sebagai mitra yang harus diuntungkan, dan oleh karenanya dia hanya akan berupaya untuk menjadikan orang lain sebagai pihak yang akan dikeruk untuk menghasilkan keuntungan bagi dirinya. Praktik di dunia bisnis ini pun banyak berlaku dalam interaksi sosial yang lain, karena seseorang telah terjebak dalam sebuah cara pandang: “yang terpenting adalah aku”.
Dalam sebuah hadis yang sangat populer, Rasulullah s.a.w. pernah mengingatkan kepada umatnya untuk tidak terjebak dalam cara pandang seperti itu, dengan sabdanya yang bisa kita elaborasi pemahamannya menjadi: “tiada sempurna iman seseorang sebelum dirinya melihat artipenting orang lain bagi dirinya sebagaimana dia melihat artipenting dirinya bagi diri sendiri”. (HR Ahmad dari Anas bin Malik).
Makna hadis di atas, dalam konteks keberagamaan kita sebenarnya merupakan interpretasi rasional-empirik Rasulullah s.a.w. dari ayat-ayat al-Quran yang mengajak kepada setiap orang yang beriman untuk membuktikan keberimanannya dalam wilayah konsekuensial. Iman harus terimplementasi menjadi tindakan nyata, yang di samping bendimensi vertikal, juga (berdimensi) horisontal. Dalam dimensi vertikalnya implementasi iman berbentuk “kesalehan ritual”, sedang dalam dimensi horisontalnya, di samping bebentuk kecerdasan intra-personal, juga harus terimplementasi dalam bentuk kecerdasan inter-personal dan sosial.
Kalau kecerdasan intra-personal berbentuk kepedulian seseorang untuk beramal saleh untuk kepentingan dirinya, sedang kecerdasan inter-peronal berbentuk kepedulian antar sesama-manusia, maka kecerdasan sosial berbentuk kesediaan untuk berbagi kepada orang lain, yang antara lain dalam wuud pranata sosialnya berbentuk “sedekah”. Sebentuk kecerdasan yang memungkinkan seseorang manusia maju dalam bersikap, berbuat, dan berkarya secara dinamis dan konstruktif untuk orang lain, tanpa merasa kehilangan sesuatu. Bahkan, dengan cara-pandangnya yang sudah terbentuk menjadi sebuah karakter, maka “sedekah” dipandang sebagai sebuah kenikmatan untuk berbagi yang dapat menghadirkan sesuatu yang lebih bernilai daripada sebuah atau serangkain pemberian yang diterima olehnya. Seseorang bahkan lebih merasa puas ketika memberi sesuatu kepada orang lain daripada memiliki sesuatu dari hasil pemberian orang lain. Inilah yang – anta lain – dinyatakan oleh Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya (yang bermakna): “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” (HR Buhari-Muslim dari Abdullah bin Umar)
Sebenarnya fitrah manusia mengehendaki kebersamaan. Dan salah satu wuudnya adalah kesadaran tentang adanya interdepensi (kesaling-tergantungan) antarmanusia. Setia manusia sadar bahwa dia tidak mungkin hidup sendiri. Dia selalu butuh untuk hadir dalam komunitasnya, dan membutuhkan pengakuan orang lain atas kehadirannya. Sementara itu seseorang pasti membutuhkan kehadiran orang lain, karena kebutuhanya terhadap orang lain melalui komunikasi dan interaksi sosialnya.
Seseorang manusia baru akan terjebak dalam sikap ‘egois’ di ketika dirinya tidak menyadari artipenting orang lain dalam situasi dan kondisi yang menjebak dirinya menjadi seolah-olah bisa berbuat sesuatu tanpa bantuan orang lain. Dan pada saat itu, dirinya juga akan bisa terperangkap dalam sebuah sikap ‘egosentris’, karena menganggap dirinyalah yang terpenting. Dan pada akhirnya sulit untuk menghargai orang lain dan – apalagi – berbagi dengan orang lain..
Sikap seperti ini jelas tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan ajaran tentang artipentingnya kecerdasan sosial dalam Islam, karena – dalam konsep Islam -- Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan kecenderungan untuk bersosialiasi dan menjadi bagian dari komunitasnya dengan pengakuan yang tinggi. Bahkan – dalam QS al-Hujurât [49]: 13 – Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa komunitas manusia diciptakan oleh-Nya dalam keberagamaan, yang masing-masing pribadi dan kelompok tersebut berkeharusan untuk saling-mengenal, memahami, dan menghargai. Yang pada akhirnya mengharuskan adanya interdependensi dan solidaritas sosial yang tercipta secara natural dan berkesinambungan.
Andaikata semua Nabi dan Rasul Allah memiliki visi dan misi profetik yang sama, yang seluruhnya bermuara pada upaya “pencerdasan sosial”, maka misi Nabi Muhamad s.a.w. sebagai “penyempurna akhlak” – sebagaimana yang pernah disabdakannya -- merupakan refleksi dari misi profetik utamanya yang disuguhkan dalam bentuk “ta’lîm” (pengajaran) dan qudwah (keteladanan) yang tidak hanya bisa diberlakukan oleh umat Islam secara subjektif, tetapi – bahkan – merupakan pesan universal dan bisa menjadi “common-platform” (kalimatun sawâ’) yang secara objektif bisa diterima oleh nalar siapa pun, di mana pun dan kapan pun, tanpa mengenal sekat agama, suku, ras, bangsa dan budaya. Konsep ini (pencerdasan sosial) merupakan konsep (Islam) universal (rahmatan lil ‘âlamîn). Dari Islam untuk semua umat manusia.
Dalam upayanya untuk melakukan sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai kecerdasan sosial untuk umatnya dan juga umat manusia pada umumnya, al-Quran menawarkan kata kunc, yang antara lain bisa dipahami dari interpretasi QS ash-Shaf [61]: 2-3: “katakan apa kamu kerjakan, dan kerjakan apa yang kamu katakan”. Pendidikan kecerdasan sosial bukan persoalan ta’lîm (pengajaran) belaka, bahkan lebih jauh dari itu adalah persolan qudwah (keteladanan) dalam berbagai aspek kehidupan sosial-kemanusiaan. Dan manhaj itulah yang diperkenalkan oelh Rasulullah s.a.w., dan ternyata: “berhasil”
Rasulullah s.a.w. berhasil mengubah komunitas pro-status quo dan anti perubahan menjadi komunitas pro-perubahan dan anti-status quo. Atau dengan kalimat yang lebih tegas, Rasulullah sa.w. telah berhasil melakukan pencerahan peradaban, mengubah komunitas jahiliyah menjadi komunitas yang tercerahkan. dengan sosialisasi dan internaliasi nilai-nilai kecerdasan sosial. Di antara nilai kecerdasan sosial yang beliau tanamkan kepada umatnya – antara lain – adalah: keadilan, amanah, kejujuran, keterbukaan, kesederhanaan, kebersamaan, persaudaraan. dan – yang tidak kalah penting dari semuanya adalah –“kedermawanan”. Sehingga kesadaran untuk menjadi “yang berguna” bukan hanya kembali pada dirinya saja, tetapi mengalir kepada semua orang yang berinteraksi dengannya.
Dalam kaitannya dengan masalah ini, menarik untuk dicermati tawaran Kuntowijoyo. Menurutnya, paling tidak ada lima cara memahami pesan-pesan Islam untuk merespon tawaran Islam untuk menciptakan kecerdasan sosial:

Pertama, umat Islam harus dilatih untuk mengembangkan interpretasi keislaman yang lebih bersifat sosio-struktural daripada penafsiran individual. Melalui modus interpretasi ini, diharapkan idealitas agama memiliki keterarahan dan acuan terhadap realitas sosial secara objektif, sehingga dalam merespon realitas-realitas problematika kemanusiaan, lebih dilihat sebab-sebab struktural daripada faktor individualnya.

Kedua, umat Islam harus bersedia mengubah cara berfikir subjektif ke arah objektif. Yang hendak ditekankan di sini adalah, agar mereka memahami esensi dan makna substansial dari implikasi doktrin agama. Kewajiban zakat, misalnya, harus dilihat sebagai wujud tuntutan untuk bersikap egaliter dan philantropic, bukan sekadar upaya penyucian jiwa dan harta manusia (tazkiyatun nafs wal amwâl).

Ketiga, umat Islam harus memiliki keberanian untuk mengubah Islam yang normatif ke dalam Islam yang lebih teoritis. Artinya, konseptualisasi gagasan normatif agama ke dalam bahasa ilmu menjadi suatu yang niscaya. Karena, hanya dalam dan melalui bahasa ilmulah, agama dapat menyentuh realitas secara objektif.

Keempat, umat Islam harus mau mengubah pemahaman keislaman mereka dari yang bersifat a-historis ke tataran historis. Dalam hal ini dibutuhkan kesadaran historis dalam memahami ajaran ideal agama, dalam arti tidak memutlakkan apa yang pernah ada dan terjadi dalam sejarah, tapi melihatnya sebagai contoh kemungkinan perwujudan dan pelaksanaan nyata suatu nilai dalam tuntutan zaman dan tempat yang melingkupinya. Upaya ini adalah dalam rangka mendorong kontekstualisasi doktrin Islam dalam sejarah.

Kelima, umat Islam harus berkemauan untuk merumuskan kembali formulasi-formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi spesifik dan empiris. Sebagai contoh, dalam sebuah ayat disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengecam keras orang-orang yang melakukan sirkulasi kekayaan di kalangan kaum elit dan tertentu saja. Jika dipahami dalam konteks spesifik dan empiris (kekinian), ayat ini dapat diartikan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala secara eksplisit mengecam praktik monopoli dan oligopoli dalam kehidupan ekonomi. Sesuatu yang sukar dipahami secara tepat dan proporsional kecuali melalui modus interpretasi ini.

Andaikata dicermati, pada dasarnya, model pemahaman ulang Islam yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo di atas, memiliki semangat yang kurang lebih serupa dengan gagasan KHA Dahlan, ketika beliau menjelaskan makna QS al-Mâ’ûn. Ketika KHA Dahlan memandang “tauhid” sebagai sebuah paradigma Islam yang semestinya melekat pada cara berpikir, bersikap dan bertindak pada setiap muslim, yang pada akhirnya melahirkan “aksi-sosial” yang selaras dengan nilai-nilai shalat, menurut Kuntowijoyo, “tauhid” adalah suatu pandangan dunia (jaringan relasional Islam), asal-muasal seluruh pengetahuan dan nilai inti dari seluruh implikasi doktrinal Islam. Karena itu, menerjemahkan tauhid semata-mata sebagai "keesaan Tuhan" bukan hanya kurang tepat, tetapi juga salah-arah. Menurutnya, tauhid harus dipahami sebagai "keesaan Tuhan" (yang mengajarkan bahwa yang patut dan wajib disembah hanyalah Allah semata), "keesaan manusia" (egalitarianisme, doktrin yang menempatkan manusia dalam kesamaan dan menolak segala bentuk diskriminasi berdasarkan ras, gender, warna kulit, kelas, garis keturunan, kekayaan dan kekuasaan), dan "keesaan kehidupan" (yang mengajarkan bahwa tidak ada pemisahan antara aspek-aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan material, sosial dan individual).
Ketika, orang yang enggan memerhatikan nasib orang penderitaan anak yatim dan orang miskin oleh al-Quran dikategorikan sebagai pendusta agama atau tidak memiliki kecerdasan sosial. (QS al-Mâ'ûn [107]: 1-7). Dalam konteks pendidikan kecerdasan sosial tersebut, kita meski berlatih untuk senantiasa mau menjadi manusia yang mengerti dan berkemampuan untuk berbagi kepada siapa pun menurut kadar kemampuan kita. Berlatihlah untuk melakukan aktualisasi kecerdasan sosial dalam berbagai ragam bentuknya. Dan yang lebih penting – seperti ungkapan bijak para ahli hikmah -- : “jangan pernah kita menunda sampai besok pagi, apa saja yang bisa kita kerjakan hari ini.” Kalau kita bisa memulainya “sekarang” juga, kenapa kita harus megulur-uur waktu untuk berlatih menjadi “manusia yang berkecerdasan sosial”.
Jangan pernah puas menjadi seseorang yang berguna hanya untuk diri sendiri. Jadilah seseorang yang berguna untuk siapa pun, di mana pun dan kapan pun dalam bentuk apa pun. Inilah “muslim sejati”, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Rasulullah s.a.w.
Penulis adalah: Dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Tidak ada komentar: