Rabu, 07 Mei 2008

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MUHAMMAD ABIED AL-JABIRI

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM MUHAMMAD ABIED AL-JABIRI

Celah-celah konstitusional jelas terlihat ketika terjadi konversi kekuasaan (inqilab al-khilafah) ke tangan para penguasa “berdarah” di akhir periode Utsman. Itu bukan satu-satunya pelajaran politik dari eksperimentasi sejarah bangsa Arab-Islam. Ada beberapa pelajaran lain yang mesti diungkap, terutama terkait dengan landasan asas pemerintahan para penguasa Muslim sejak era Muawiyah bin Abi Sufyan.
Muawiyah sadar kalau ia merebut kekuasaan dari Ali dengan pedang. Artinya, ia sengaja mengabaikan asas yang sejak periode Abu Bakar berfungsi sebagai basis pemerintahan Islam, yakni syura (musyawarah). Karena itu ia menggunakan konsep qadha-qadar sebagai penyangga tiang utama kerajaan. Dari sini bisa dimengerti, mengapa setiap berpidato Muawiyah sering menyatakan bahwa, perangnya dengan Ali atau kemenangannya atas para pemberontak merupakan “ketetapan” (qadha) dan “ketentuan” (qadar) Tuhan. Oleh para pendukung fanatik Muawiyah, konsep ini terus digemakan. Ziyad misalnya, dalam sebuah pidato mengatakan, “Sekarang kami telah menjadi pemimpin dan pelindung kalian. Kami akan memimpin kalian dengan kekuasaan Allah yang telah diberikan kepada kami, dan mempetahankan anugerah-Nya.”
Selain itu Muawiyah memegang teguh asas politik praksis (siyasah waqi’iyyah), ia menuntun rakyatnya untuk melihat pemerintahan dengan kacamata “realitas politik”. Setelah dibai’at pada ‘Am Jama’ah, dengan lantang Muawiyah mengatakan, “Aku sama sekali tidak melihat cinta atau senang dalam diri kalian atas kepemimpinanku. Tetapi, aku akan memerangi kalian dengan pedangku ini jika kalian memang menginginkannya. Aku akan menjalankan roda kekuasaan dengan caraku sendiri”. Artinya, dengan landasan qadha-qadar dan politik “praksis”, kekerasan menjadi prinsip utama seluruh penguasa Bani Umayyah.
Ketika Abbasiyah berhasil menggulingkan rezim Muawiyah, ideologi Bani Umayyah ditanggalkan, diganti ideologi kebebasan manusia untuk memilih dan bertindak, dan dari sini, bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Karenanya, landasan asas Daulah Abbasiyah ialah “kehendak Allah” (iradah Allah), bukan konsep qadha-qadar, meskipun keduanya bermakna tunggal. Dalam pidatonya di hadapan khalayak, Abu Ja’far Al-Mansur selaku pendiri Daulah Abbasiyah mengatakan, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku adalah cermin kekuasaan Allah di bumi. Aku akan memimpin kalian dengan pertolongan dan bimbingan-Nya. Dengan izin dan kehendak Allah, aku ditugaskan untuk menjaga harta-Nya”. Tak bisa dipungkiri, landasan asas Daulah Abbasiyah ini nyata-nyata melenceng jauh dari garis Islam. Seolah-olah, kedudukan antara penguasa diktator dengan Tuhan tidak berbeda.
“Fikih politik” sendiri belum begitu nampak ke permukaan kecuali setelah gagasan Al-Mawardi mengemuka. Sebelumnya kita mengenal “kritik atas konsep Imamah” dari kaum teolog Ahlu Sunnah, penentang keras pandangan-pandangan kalangan Syi’ah Rawafid. Seperti diketahui, Syi’ah Rawafid tidak mau mengakui keabsahan kepemimpinan Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mereka mengklaim, sebelum wafat, Nabi telah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai penggantinya. Pandangan ini ditolak mentah-mentah oleh kaum Ahlu Sunnah. Ahlu Sunnah membuat syarat-syarat Imamah, metode penentuan sang Imam, dan semacam-nya. Metode atau cara penyelesaian masalah, menurut mereka, mesti mengikuti “preseden-presenden legislasi” era Khulafaurrasyidin.
Pada hakekatnya, “fikih politik” merupakan legislasi pemerintahan Islam zaman dulu, khususnya di masa Khulafaurrasyidin. Karenanya, ia mustahil menjadi legislasi untuk masa kini atau masa depan. Memang, Al-Mawardi telah berupaya menghadirkan bentuk perundang-undangan bagi pemerintahan Islam di zamannya, sebagaimana tertuang dalam kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyah. Namun, “legislasi” Al-Mawardi tak lebih dari sekadar pemaparan realitas, atau upaya penyempurnaan satu bentuk hukum fikih bagi realitas tersebut. Pasca Al-Mawardi, “fikih politik” tentu terus bergerak maju. Akhirnya, “fikih politik” berujung pada pengakuan bahwa pemerintahan baru bisa tetap eksis kalau dibarengi kekuatan dan supremasi. Terakhir, “fikih politik” sama sekali tak berarti di hadapan para ahli fikih dengan “konsep universal”-nya. Sebuah konsep yang menyatakan, “Barang siapa memiliki pijakan yang kuat, maka wajib untuk mentaatinya”.
Itulah hikmah politik dari sejarah bangsa Arab-Islam. Semuanya dihasilkan oleh politik praksis. Pertama, oleh konversi kekuasaan ke tangan para penguasa (celah-celah konstitusional). Kedua, oleh monopoli hukum pemerintahan melalui pengaburan ideologi dan penawaran politik, dan ketiga, oleh kekuatan dan supremasi.
Meski demikian, pengalaman sejarah bangsa Arab-Islam bukan sekadar politik praksis. Ia juga merupakan “moralitas Islam” (al-khulqiyyah al-Islamiyah) di ruang pemerintahan, yang mengilhami pemikiran bebas dan menghidupkan cita-cita reformasi dan perubahan. Beberapa elemen dasar moralitas yang mesti dipegang erat di masa kenabian antara lain, pertama, syura (musyawarah). Dalam al-Qur’an, syura ditetapkan sebagai sikap mulia. Al-Qur’an menggandengkannya dengan iman, tawakkal, menghindari dosa-dosa besar, dan mendirikan shalat (QS. al-Syura/42: 36-39). Al-Qur’an juga mengokohkan konsep syura ketika nabi Muhammad dianjurkan untuk menerapkannya dalam berinteraksi dengan para sahabat (QS. Ali Imran/3: 159).
Kedua, tanggung jawab dan pembagiannya di masyarakat. Ketika menjadi pemegang otoritas, seluruh peradaban Timur Kuno, semisal Babilonia, Ibrani atau Persia, menganut konsep “penggembala” (al-ra’iy) yang menggembala sekumpulan kambing. Jadi, penguasa adalah “penggembala”, sedang yang lain adalah “gembalaan” (rakyat). Konsep seperti ini menyeimbangkan antara “penggembala alam semesta” (Allah) dengan “penggembala” sekelompok orang (rakyat).
Dalam Islam, konsep “penggembala” mengandung makna lain. Ini ditunjukkan oleh sebuah hadits terkenal nabi. “Kalian semua adalah penggembala dan bertanggung jawab atas gembalaan masing-masing…”. Telah jelas, kepemimpinan (al-ri’ayah) berarti menjaga amanat dan bertanggung jawab. Ia bukan monopoli perorangan, tapi terbagi di masyarakat, dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah.
Ketiga, elemen dasar terakhir “moralitas Islam” dalam konteks pemerintahan, politik, dan urusan-urusan duniawi lainnya ialah hadits Nabi: “Kalian lebih mengetahui akan urusan dunia kalian”. Nabi tidak pernah menunjuk siapa yang bakal menggantikannya setelah wafat, di samping tidak ada metode tertentu untuk memilih seorang pemimpin atau hal lain berkaitan kepemerintahan, sehingga otomatis semuanya bisa dikatagorikan ke dalam sabda Nabi di atas.
Menurut hemat penulis, itulah ketiga elemen dasar “moralitas Islam” dalam ranah politik dan pemerintahan. Penulis sengaja menggunakan kata “moralitas” (al-khulqiyyah) karena, teks-teks yang menetapkan ketiga elemen tersebut bukan berupa teks-teks legislasi, atau minimal mengarah padanya. Faktor inilah yang kemudian menjadikan medan ijtihad kepemerintahan terbentang luas tanpa batas.
Sampai di sini, jelas bahwa rekonstruksi pemikiran Islam harus dimulai dari pengakaran kembali ketiga elemen dasar di atas, tapi tentu dengan satu bentuk yang bisa menjawab pelbagai tantangan dan tuntutan zaman kita. Spesifikasi metode praktik syura ialah dengan pemilihan umum yang bebas dan demokratis. Penentuan masa jabatan kepala negara terkandung dalam sistem republik. Pemberian wewenang kepada kekuasaan legislatif terdapat dalam sistem kerajaan dan sistem republik. Terakhir, penentuan jurisdiksi kepala negara, pemerintah, dan parlemen yang terpilih secara jujur dan adil ialah sumber tunggal otoritas. Demikianlah elemen-elemen asas “moralitas Islam”, yang jika tidak dipraksiskan maka konsep syura tak akan pernah menemukan tempatnya di tengah-tengah masyarakat. Hanya ketiga elemen asas tersebut yang dapat menutup celah-celah konstitusional yang jelas terlihat di akhir periode Utsman, sebagai faktor penyebab dari konversi kekuasaan ke tangan para penguasa “berdarah”.*

Tidak ada komentar: