Minggu, 03 Februari 2008

Kemerdekaan, Korupsi dan Pendidikan

Dalam usia ke-62 tahun kemerdekaan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sedang bergulat mengatasi aneka problem kompleks dan krusial. Sebab seluruh ruang kehidupan publik telah goyah tergerus kasus ko rupsi. Akibatnya, kesenjangan sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, dan keagamaan semakin tajam dan keadilan kian jauh.

Dalam situasi demikian, NKRI membutuhkan kepemimpinan bangsa yang kuat, agar negeri kita bisa cepat bebas dari krisis multidimensi. Kepemimpinan yang kuat mencakup moral, intelektual dan manajerial. Seperti halnya kemerdekaan Indonesia yang tercapai berkat kepeloporan founding fathers, begitu juga kini dibutuhkan keteladanan para pemimpin kita dalam mendidik diri masing-masing. Agar mereka memiliki integritas moral maupun kecakapan intelektual dan manajerial yang memadai untuk membebaskan bangsa kita dari budaya korupsi.

Krisis moral di antara pemimpin kita sudah mencapai titik nadir. Hal ini menunjukkan bahwa mereka telah gagal dalam mendidik dirinya sendiri. Sehingga mustahil berhasil mendidik rakyatnya untuk membebaskan diri dari belenggu budaya korupsi. Budaya korupsi ini sudah tertanam kuat sejak zaman penjajahan. Karena pada masa itu Belanda dan Jepang secara sistematis mengambil hak kekayaan bangsa kita untuk diangkut ke negaranya.

Sebab itu, jika para pemimpin kita sekarang ini masih memiliki rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, mereka perlu berlama-lama becermin pada keteladanan founding fathers. Dinamika kepemimpinan nasional para pendiri NKRI menunjukkan, sebelum mendidik dan menggembleng jiwa rakyatnya, mereka lebih dulu mendidik dirinya sendiri.
Bung Karno, Bung Hatta, Syahrir, H Agus Salim, Dr Sutomo, Bung Tomo, dan Jenderal Sudirman hanyalah sebagian dari banyak pemimpin bangsa Indonesia yang berhasil mendidik dirinya sendiri.

Karena founding fathers memiliki komitmen perjuangan bangsa berlandaskan integritas moral maupun kecakapan intelektual dan manajerial, mereka sukses mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Setelah dijajah bangsa asing yang mengeksploitasi kekayaan Nusantara sekitar 350 tahun.

Apa Bedanya?

Tapi apa bedanya mentalitas pemimpin masa kini dengan bangsa penjajah, jika mereka sama-sama mengeruk kekayaan rakyat dengan melakukan korupsi? Ini berarti pikiran para koruptor dari pemimpin kita tidak merdeka atau masih dikuasai mentalitas bangsa penjajah.

Jika bangsa-bangsa asing menjajah Indonesia untuk memakmurkan negara dan rakyat mereka, para koruptor yang jumlahnya kian membengkak di negeri kita telah menjajah dan merampas hak-hak milik rakyat demi kemakmuran pribadi, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Akibatnya, kemiskinan dan ketidakadilan sosial-ekonomi di negeri ini semakin meningkat.

Dengan demikian terwujudnya cita-cita dari proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 masih 'jauh panggang dari api'. Padahal, kemerdekaan adalah bebasnya rakyat dari kemiskinan dan kebodohan, lalu menjadi bangsa yang mandiri dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, dan budaya guna mewujudkan keadilan sosial yang merata.
Cita-cita kemerdekaan NKRI ini jangan sampai dilupakan, sebab merupakan motivasi utama dalam medan perjuangan murni bagi terselenggaranya kehidupan bangsa yang cerdas, adil, sejahtera, dan dilindungi kemerdekaan beragamanya seperti ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi landasan struktural kenegaraan kita.

Krisis ekonomi di Indonesia, bukan hanya disebabkan tingkat korupsinya yang sudah parah, tetapi juga karena rekayasa dan penjajahan ekonomi dari negara kapitalis seperti pernah diprediksikan proklamator Bung Karno tahun 1964. Hal ini disebabkan ketidakmampuan para pemimpin kita untuk menegakkan kedaulatan ekonomi di negara sendiri.

Sementara itu, kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia ada di ranking 112 dunia, masih di bawah Vietnam. Akibatnya, NKRI dengan kandungan sumber daya alamnya (SDA) yang melimpah (kehutanan, pertambangan, kelautan, perkebunan/pertanian, dan lain-lain) dieksploitasi negara kapitalis dan para koruptor, sehingga memis-kinkan rakyat kita dengan pendapatan rata-rata per kapita di bawah 1.000 dolas AS per tahun.
Karena terbelenggu kebodohan, kita menjadi bangsa pengimpor beras terbesar di dunia yang mencapai 3,7 juta ton per tahun, belum lagi gula, kedelai, bahkan garam. Padahal kita adalah negara agraris dengan kepulauan yang lautnya sangat luas.

Revitalisasi pertanian yang kini diserukan pemerintah sebatas slogan. Kehidupan petani kita kian terpuruk karena harga jual gabah yang makin jatuh dibanding harga barang lainnya, daya beli menurun, sementara lahan pertanian kian sempit. Padahal petani merupakan jumlah terbesar dari penduduk kita di pedesaan.

Tugas para pemimpin dan pendidik di jaman penjajahan memang untuk membebaskan Tanah Air dari belenggu bangsa asing, tetapi di alam kemerdekaan ini bumi pertiwi mengamanatkan mereka untuk membebaskan rakyat dari jeratan kemiskinan dengan memerangi budaya korupsi dan kebodohan tanpa henti.

Pendidikan Yang Memerdekakan

Fenomena korupsi, kemiskinan dan kebodohan di negeri kita ini memberi pelajaran bahwa pemberdayaan SDM melalui pendidikan internal (dari, oleh dan untuk diri sendiri/otodidak) maupun eksternal (melalui lembaga pendidikan formal dan non-formal) harus segera dicarikan dan dilakukan dengan paradigma baru.

Dunia pendidikan kita belum memerdekakan anak didik. Sebab ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka peroleh tidak bisa membebaskan dirinya menjadi manusia mandiri secara sosial dan ekonomi, juga terperangkap pada feodalisme (mentalitas warisan penjajah) demi mengejar gelar tanpa isi keilmuan yang aktual. Mentalitas korupsi juga kian menguat karena mudahnya orang bisa membeli ijazah aspal (asli tetapi palsu).

Masyarakat mulai frustrasi menghadapi dunia pendidikan yang cenderung elitis dan mahal, tetapi tak terkait realitas perubahan kehidupan sekitar mereka. Meningkatnya pengangguran terkait dengan minimnya kreativitas seseorang. Mandulnya kreativitas juga mudah memicu orang untuk menempuh jalan pintas demi memenuhi kebutuhan materi, misalnya dengan melakukan korupsi.

Sebab itu, kita perlu paradigma baru konsep keilmuan yang bersifat memerdekakan anak didik dengan memacu kreativitasnya untuk mengatasi tantangan hidup di sekitarnya secara cerdas. Implikasinya, anak didik harus diajarkan untuk mengetahui/memahami realitas kehidupan sendiri. Apalagi jika kehidupan mereka masih jauh dari pemahaman terhadap realitas secara benar dan aktual.

Ini masih ditemukan pengajaran ilmu tentang ekonomi tetapi dengan menggunakan setting realitas yang tidak dijumpai dalam kehidupan aktual, karena ilmu ekonomi dirumuskan oleh orang dengan realitas yang berbeda dengan kehidupannya sendiri. Ilmu ekonomi di Barat yang kapitalistik, tentu jauh dari realitas kehidupan ekonomi bangsa kita yang berbasis usaha mikro, kecil, dan menengah di pedesaan. Sebab itu, pendidikan yang memerdekakan harus menyerap realitas sosial dan ekonomi, bahkan menjadi jawaban atas realitas itu sendiri.

Tetapi dengan realitas yang ada, siapkah para pendidik kita memerdekakan anak didik dari mentalitas korupsi? Masalahnya, realitas psikologis menunjukkan, sebaik apa pun konsep keilmuan yang diajarkan, sukses para pendidik sangat tergantung sejauh mana keteladanan dan kedisiplinan dalam melakukan tugasnya.

Kita tak bisa menutup mata masih banyaknya guru yang korupsi waktu, belum lagi yang berbisnis buku di tempatnya mengajar, dan memungut besaran uang masuk sekolah dengan melanggar peraturan pemerintah. Banyaknya koruptor tak terlepas dari realitas 'Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.'

Membenahi semua ini harus dimulai dari para pendidik itu sendiri, agar mereka jadi layak menyandang predikat pahlawan tanpa tanda jasa.

Tidak ada komentar: