Minggu, 03 Februari 2008

BOARDING SCHOOL: MELAHIRKAN GENERASI IMUN ATAU STERIL?

Bung Hatta pernah berkata dalam kesempatan Dies Natalis Universitas Indonesia di tahun 50-an, yang kurang lebih maknanya adalah cerdas di sekolah formal itu penting, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah cerdas di dalam sekolah kehidupan. Dalam tempo sepuluh tahun belakangan ini, dunia pendidikan diwarnai tumbuhnya berbagai sistem pendidikan alternatif. Mulai dari sistem pendidikan bagi anak jalanan dan keluarga terlantar yang diselenggarakan berbagai LSM sampai kepada sistem kelas khusus bagi putra-putri orang kaya namun pintar sehingga mereka dapat ''membeli'' kursi di perguruan tinggi bergengsi di negeri ini.

Kalangan LSM giat menyuarakan pendidikan murah bahkan mendesak diberlakukannya pendidikan gratis. Di sisi lain, beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) terkemuka sekarang ini semakin berani menunjukkan wajah kapitalisnya dengan membuka jalur penerimaan 'khusus' untuk mahasiswa yang mampu membiayai pendidikan secara mandiri sehingga tidak membutuhkan subsidi. Sebagian siswa yang pintar --termasuk yang biasa-biasa saja-- mengadu untung untuk masuk ke PTN melewati SPMB (Sistem Penerimaan Mahasiswa Baru).

Tuntutan Pasar

Di tengah fenomena-fenomena itu, ada dua fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lain dari istilah boarding school adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai-nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing.

Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua.

Secara tradisional jejaknya dapat kita selami dalam dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia mulai dari Filosof Plato hingga cendekiawan Nurcholish Madjid. Yang perlu menjadi catatan adalah bahwa mereka memang orang-orang yang bercikal bakal menjadi the great man and indigenous people. Apakah boarding school memang bukan untuk pendidikan orang biasa? Atau sekolah ini khusus melahirkan calon-calon orang besar?

Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat. Pertama, lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga telah lama bergeser kearah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula.

Oleh karena itu sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan moralitas anak. Kedua, keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka.
Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya. Ketiga, cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang semakin religius.

Indikatornya adalah semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif.

Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama dikontruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita.

Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benar-benar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas. Terakhir dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta didik yang tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman dan amal soleh.

Renungan

Pertanyannya sekarang adalah apakah cukup membekali generasi dengan pendidikan ilmu dan teknologi serta penanaman nilai-nilai yang baik dalam suatu ruang dan waktu yang terisolasi? Di sini penulis teringat akan sebuah hikayat, sepenggal kisah dalam romantika kehidupan pesantran, lembaga pendidikan boarding school tertua dan masih eksis hingga kini.

Setelah mengenyam pendidikan selama belasan tahun di sebuah pondok pesantren, seorang santri menghadap kiai untuk mohon izin kembali ke masyarakat guna mengamalkan ilmunya. Lalu dengan bijak kiai meminta santri tersebut membantunya merawat sapi di kandangnya sebagai kenang-kenangan sebelum santri tersebut meninggalkan pesantren. Ia bertugas memberi makan sapi itu di waktu pagi, siang mencari makan, dan sore harinya memandikan sapi-sapi itu. Praktis selama sehari semalam dia hidup bersama sapi di sekitar kandang. Begitu setiap hari sampai hari keempat puluh.

Pada hari itu, kiai berkenan menerima santrinya, calon pendakwah itu, dalam sebuah acara perpisahan. Lalu mereka duduk di beranda pondok sambil minum teh dan mencicipi pangangan kecil. Bagaimana kelakuan santri setelah empat puluh hari-empat puluh malam di kandang sapi? Ternyata sang santri minum dengan cara sebagaimana sapi minum, dia mengusir lalat yang hinggap di pipinya sebagaimana sapi menghela binatang, dia mencium aroma panganan sebagaimana sapi mengendus bau, dan seterusnya. Pak kiai kecewa. Belasan tahun santri ditempa dengan ilmu agama dan keterampilan, namun dalam tempo puluhan hari perilakunya berubah.

Apa pelajaran yang dapat kita petik dari kisah itu? Maknanya adalah lingkungan, situasi, atau keadaan harus disikapi bukan untuk ditiru dan dicontoh. Dari cerita itu kita dapat pelajaran bahwa santri tadi baru saja berinteraksi dengan salah satu faktor yang ada di lingkungan dan perilakunya bisa berubah. Padahal, di dunia nyata beratus bahkan beribu faktor yang datang dan pergi mempengaruhi hidu kita.

Penulis juga teringat satu pertanyaan yang dilontarkan seorang pendidik, Ustadz Ihsan Tandjung. Dia bertanya, ''Apakah dalam mendidik anak kita hendak melahirkan generasi yang imun, anak, dan remaja yang kebal terhadap berbagai pengaruh buruk lingkungan sehingga mereka tidak meniru dan mengikutinya sebagaimana seseorang yang telah kebal terhadap bibit penyakit yang senantiasa menyerang tubuhnya? Ataukah, kita malah berniat melahirkan generasi steril bagaikan kertas putih, bersih, suci, yang siap diwarnai oleh lingkungan dengan warna apapun yang digoreskan di atasnya? Itulah bahan renungan bersama apabila kita ingin mengembangkan pendidikan boarding school.

Tidak ada komentar: