Jumat, 01 Februari 2008

SYARI'AH, THARIQAH, HAQIQAH DAN MA'RIFAH

SYARÎ'AH, THARÎQAH, HAQÎQAH DAN MA'RIFAH


Ada asumsi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya yang menyatakan bahwa seorang sufi adalah “antisyari’ah” dan hanya percaya pada haqîqah. Asumsi tersebut berpangkal pada keidakmengertian yang dibantah, bukan saja secara teoretik, tetapi bahkan secara empirik seorang sufi sejati justeru sangat meyakini ada dan perlunya syari’ah dalam praktik keislaman setiap muslim dan umat Islam. Mereka percaya bahwa syari’ah – dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban keagamaan secara lahiriah dengan kriteria fiqh semata, dan bukan dalam makna dalam makna agama itu sendiri – tidak akan mampu membawa seorang muslim dan umat Islam kepada tujuan puncak keberagamaannya. Tujuan ini, menurut para sufi, adalah hakikat (haqîqah), sesuatu yang bersifat batiniah dan pada akhirnya berpuncak pada hilangnya ego (nafs) dalam (diri) Tuhan secara total, serta menyatunya (tauhîd) manusia kembali (ma’âd) dengan Tuhan yang juga sebagai sumber-awal (mabda’)-nya. Untuk mencapai tingkatan ini setiap orang harus melalui tharîqah, yaitu maqâmât dan ahwâl yang merupakan esensi tasawuf itu sendiri. Seperti “syari’ah” juga, tharîqah bermakna “jalan” Hanya saja, jika “syari’ah” berarti jalan raya, maka tharîqah berarti jalan kecil, sempit atau lorong untuk menuju haqîqah. Pada puncak keberagamaannya, seorang sufi mendapatkan ma’rifah (pengetahuan yang dalam tentang Tuhan), di mana dirinya seolah-olah – secara spiritual – tidak berjarak lagi dengan Tuhan, karena hilangnya hijâb (tirai) yang yang menghalangi kedekatannya dengan Tuhan (Allah).

Kata syari'ah telah beredar luas di kalangan umat muslim. Bahkan, dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakai antara lain pada Surah al-Jatsiyah: 18. Pemakaian kata tersebut mengacu kepada makna ajaran dan norma agama itu sendiri. Dalam perkembangan Islam munculnya tiga kata tharîqah, haqîqah dan ma'rifah, telah mengakibatkan terbatasnya pengertian syari'ah sehingga lebih banyak mengacu pada norma hukum. Sedangkan tiga kata lainnya menjadi terma yang terkenal dalam tasawuf. Karena itu ada baiknya kita lebih dahulu berbicara tentang tasawuf itu sendiri.

Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, mereka adalah kelompok spiritual dalam umat Islam yang berada di tengah-tengah dua kelompok lainnya yang disebut kelompok formal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual ini terdiri dari ulama-ulama mutakallim (ahli teologi), sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhaddits dan fuqaha’. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatu kecenderungan spiritual yang membentuk etika-moral dan lingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita katakan bahwa seorang muhaddits sekaligus juga sufi, begitu pula seorang mutakallim sekaligus juga sufi.

Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dari prinsip-prinsip Islam sejak awal. Ajaran ini tak ubahnya merupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk hidup bersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaran agama dalam kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldun mengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinan beribadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untuk mendapatkan ridha-Nya), dan upaya membebaskan diri dari keterikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidak diperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawi lainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi pada kalangan kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatan berikutnya (abad ke-2 H) dan seterusnya, secara berangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasi kehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulah angkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidup sederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah.

Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncak perkembangannya pada akhir abad ke-4 H. Dalam masa tiga abad itu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehingga di kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah, seperti kita dapat simak dalam karya sastra "cerita seribu satu malam" di masa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Pada masa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yang tidak terbatas hanya pada praktik hidup bersahaja saja, tapi mulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu cara penjelasan teoretik yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu yang disebut ilmu Tasawuf.

Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yang dulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upaya penalaran para ulama muhaddits dan fuqaha’ dalam menjabarkan prinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupan pribadi dan masyarakat yang sudah berkembang selama tiga abad - dengan munculnya disiplin ilmu Tasawuf - terjadilah pemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaran ulama muhaddits dan fuqaha’ yang disebut syari'ah (yang dalam penalaran lanjutnya disebut “fiqh“), dan produk penalaran ulama tasawuf yang disebut haqîqah (hasil capaian dari thariqah). Selanjutnya para fuqaha’ pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawuf disebut ahli haqîqah.

Pada tahap perkembangannya, secara berangsur-angsur pola pikir dan pola hubungan antara ahli syari'ah dan ahli haqîqah semakin berbeda. Dan ini menimbulkan banyak pertentangan antara kedua kelompok tersebut. Perbedaan tersebut ditandai dengan beberapa hal berikut:

1. Ahli syari'ah menonjolkan - kadang-kadang secara berlebih-lebihan - soal pengalaman agama dalam bentuk yang formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang di lain pihak, para ahli haqîqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran Islam.
2. Adanya teori-teori ahli haqîqah yang menggusarkan para ahli syari'ah, misalnya teori al-Fanâ’ fî Allâh dalam bentuk Ittihâd (peleburan diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan teori Hub al-Lâh (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah al-'Adawiyah serta teori Hulûl (bersatunya manusia dengan Allah) yang dinyatakan oleh Abu Manshur al-Hallaj, Ma’rifah (pengetahuan yang tertinggi dan terdalam tentang Allah) yang dijelaskan oleh Dzunnun al-Mishri. Semua itu dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari'ah.
3. Sebagian ahli haqiqah tidak merasa terikat dengan syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistik. Mereka berkata, kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah.
4. Ahli haqîqah mengklaim, siapa yang telah sampai perjalanan ruhaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).

Jurang pemisah yang semakin lama semakin melebar antara ahli syari'ah dan ahli haqîqah semakin menjadi-jadi pada sekitar akhir abad kelima Hijrah, dan Imam al-Ghazali merupakan salah satu tokoh yang berupaya memulihkannya. Dalam kaitan inilah beliau tampil dengan karya besarnya Ihyâ’ 'Ulûm al-Dîn. Dalam buku ini beliau mempertemukan teori-teori syari'ah dengan teori-teori haqîqah Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu dalam merukunkan kembali antara para ahli syari'ah dengan ahli haqîqah.

Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf melalui lembaga keagamaan non-formal yang bernama "tarekat", yang berasal dari kata tharîqah. Di Jawa Timur, misalnya, kita jumpai Tarekat Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Tarekat Naqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itu melalui ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyyah Ahl al-Tharîqah al-Mu'tabarah. Pada tahun lima puluhan, pemerintah Mesir menempatkan pembinaan dan koordinasi tarekat-terekat tersebut di bawah Departemen Bimbingan Nasional (Wizârah al-Irsyâd al-Qaumi). Pertimbangannya ialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itu merupakan bagian dari potensi bangsa/umat, yang berhak mendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatan suatu negara.

Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kita mempertanyakan kapankah munculnya tarekat (al-thuruq al-shûfiyyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan tasawuf Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan Syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem tharîqah (tarekat) itu Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghana dan Jawa. Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya Tarekat Rifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa'i. Dan tempat ketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisi baru dengan menggunakan alat-alat musik sebagai sarana dzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas. Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yang mendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dan dunia Islam bagian Timur pada umumnya.

Yang juga perlu dicatat di sini ialah munculnya Tarekat Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin militer. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmad al-Syarif al-Sanusi berhasil menggalang satu kekuatan perlawanan rakyat yang mampu memerangi kolonialis Italia, Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan akhirnya membebaskan wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklim yang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnai Mu'ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasa sampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut.

Nicholson mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa sistem hidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekat yang berbeda-beda itu. Semua pengikutnya dididik dalam disiplin itu, dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebut walaupun beragam namanya dan metodenya, tapi ada beberapa ciri yang menyamakan:

1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi penganut (murîd; dalam istilah lain juga dikenal sebagai sâlik). Adakalanya sebelum yang bersangkutan diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu menjalani masa persiapan yang berat.
2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal)
3. Menjalani riyâdhah (latihan dasar spiritual) berkhalwat. Menyepi dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa hari (kadang-kadang sampai 40 hari).
4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (aurâd, wirid-wirid) dalam waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat membina konsentrasi ingatan.
5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang berlaku di luar kebiasaan.
6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau pembantunya yang tidak bisa dibantah

Dari sistem dan metode tersebut Nicholson menyimpulkan, bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang terorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dan solidaritas sosial. Sasaran akhir dari pembinaan pribadi dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja, tekun beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah yang diridhai Allah, dengan jalan pengamalan syari'ah dan penghayatan haqîqah dalam sistem/metode tharîqah untuk mencapai ma'rifah.

Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah dalam terma mereka ialah penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah dalam wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik pengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tauhid, yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah, dan melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu selain Allah.

Tidak ada komentar: