Minggu, 03 Februari 2008

KEBERBAKATA, SAMAKAH DENGAN BAKAT?

KEBERBAKATAN, SAMAKAH DENGAN BAKAT?

Kita pernah bahkan sering mendengar atau melihat anak-anak unggul (gifted) yang memiliki suatu kemampuan yang sangat menonjol pada usia yang sangat muda. Di televisi ditampilkan anak-anak yang memiliki ingatan luar biasa pada usia prasekolah.

Belakangan juga sering ditunjukkan anak-anak dengan kemampuan musik luar biasa pada usia yang relatif muda. Sayangnya untuk berikutnya tidak ditelusuri bagaimana perkembangan anak-anak yang dulunya dikenal sebagai anak unggul. Ke mana perginya mereka? Apakah keberbakatannya meluntur ataukah memang sebetulnya mereka tidak tergolong sebagai anak unggul, atau ada faktor lain yang membuat keberbakatannya tidak berkembang secara optimal?

Kita seringkali bingung membedakan antara bakat (aptitude) dengan keberbakatan (giftedness). Orangtua bertanya: Anak saya IQ-nya tinggi sekali dan dapat menghafal banyak hal yang tidak bisa saya ingat. Apakah ia termasuk anak unggul? Anak saya pintar main piano dan sudah ikut kursus bertahun-tahun sejak kecil tapi kok belum jadi maestro juga? Sebetulnya dia itu berbakat atau tidak sih?

Konsep tentang keberbakatan dengan bakat memang seringkali rancu. Sebenarnya keberbakatan tidak sama dengan bakat. Renzulli, seorang ahli di bidang keberbakatan, mengatakan bahwa keberbakatan mensyaratkan lebih dari sekedar kemampuan yang unggul dalam satu atau lebih bidang. Selain kemampuan yang luar biasa dalam bidangnya, diperlukan kreativitas dan pengikatan diri terhadap tugas (motivasi internal) agar seorang anak dapat dikatakan sebagai anak unggul (gifted). Jadi anak yang memiliki bakat (kemampuan bawaan sejak lahir) dalam satu bidang belum tentu termasuk anak unggul (gifted) dalam bidang tersebut karena ia belum tentu kreatif dan belum tentu ulet dan tekun dalam menghadapi berbagai rintangan agar dapat menyelesaikan tugasnya.

Mengingat anak unggul sudah memiliki kemampuan bawaan sejak lahir, apakah itu berarti ia dapat mengembangkan keberbakatannya dengan sendirinya? Pandangan tentang keberbakatan erat sekali hubungannya dengan pandangan tentang kecerdasan. Dulunya kecerdasan dipandang sebagai hasil factor bawaan saja. Kemudian berkembang teori-teori yang menyatakan bahwa kecerdasan merupakan hasil interaksi dari faktor bawaan dan faktor lingkungan. Sejalan dengan hal ini, beberapa ahli, seperti Gagne dan Tannenbaum menekankan pada pentingnya interaksi faktor bawaan dan lingkungan dalam mengembangkan keberbakatan, bahkan dipertimbangkan juga faktor kesempatan.

Keberbakatan tadinya hanya meliputi kemampuan intelektual yang tinggi. Namun beberapa ahli menambahkan bahwa kemampuan tersebut tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual umum saja, tetapi meliputi berbagai kemampuan lain seperti: kemampuan akademik khusus, berpikir kreatif produktif, kepemimpinan, seni, dan psikomotorik.

Konsep di atas, menunjukkan bahwa keberbakatan merupakan suatu konsep yang bersifat multidimensi. Hanya sayangnya dalam identifikasi anak unggul seringkali aspek multidimensi ini dilupakan, sehingga dalam proses seleksi cenderung menekankan pada kemampuan intelektual umum (hasil tes IQ) saja.

Selain itu dalam proses identifikasi seringkali terlewatkan anak-anak unggul yang tidak berprestasi sesuai kemampuannya (underachieve) karena alat identifikasi yang digunakan hanya dapat mendeteksi kemampuan yang sudah terwujud, bukannya potensi keberbakatan yang ada.

Dalam praktiknya, pengertian anak berbakat menurut Depdiknas yang menjadi acuan untuk identifikasi anak berbakat dalam program percepatan belajar yang dicanangkan pemerintah mulai tahun ajaran 2001/2002 dibatasi pada: mereka yang mempunyai taraf inteligensi di atas 140 atau mereka yang oleh psikolog dan/atau guru diidentifikasi sebagai peserta didik yang telah mencapai prestasi yang memuaskan, dan mempunyai kemampuan intelektual umum yang berfungsi pada taraf cerdas dan mempunyai keterikatan terhadap tugas yang tergolong baik, serta kreativitas yang memadai
Dalam masyarakat pun berkembang pemahaman bahwa anak-anak yang prestasinya sangat menonjol itulah yang tergolong anak unggul. Mereka yang tidak mampu mewujudkan potensinya dalam bentuk prestasi tidak dianggap sebagai anak unggul.

Konsep keberbakatan seperti ini akan merugikan anak-anak unggul yang berprestasi dibawah kemampuannya (gifted underachievers) yang tidak mampu menunjukkan keberbakatannya karena lingkungan tidak memberikan dukungan yang sesuai baginya. Relakah kita kehilangan anak-anak yang sebenarnya sangat berbakat itu hanya karena kita tidak mampu mengenali dan memberikan penanganan yang tepat bagi mereka?

PENDIDIKAN KHUSUS UNTUK ANAK BERBAKAT, PERLUKAH?

Anak berbakat seringkali dianggap sebagai anak yang serba “super” sehingga mereka akan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.tanpa bantuan orang lain. Ada pula yang beranggapan bahwa jika guru melakukan tugas mengajarnya dengan baik, anak berbakat tidak memerlukan perhatian khusus, berbeda dengan mereka yang menyandang ketunaan. Selain itu ada kekhawatiran bahwa pendidikan khusus bagi yang berbakat adalah tidak demokratis, membentuk kelompok elite dan merupakan suatu pemborosan (U. Munandar, 1999).

Sehubungan dengan timbulnya permasalahan-permasalahan di atas, dapat dikemukakan beberapa alasan tentang perlunya layanan pendidikan khusus untuk anak berbakat:
1.Keberbakatan merupakan hasil dari proses interaktif antara rangsangan dari lingkungan dan kemampuan bawaan beserta prosesnya. Anak berbakat memerlukan program yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2.Sekolah hendaknya dapat memberikan kesempatan pendidikan yang sama kepada semua anak agar dapat berkembang secara optimal. Anak berbakat memiliki kapasitas belajar dan kayakinan yang berbeda dari kebanyakan anak pada umumnya (Porter, 1999). Oleh karena itu diperlukan layanan pendidikan khusus bagi mereka yang berkemampuan unggul atau berbakat istimewa agar dapat mengaktualisasikan diri dengan sepenuhnya.
3.Anak berbakat memiliki karakteristik yang khas dengan kebutuhan-kebutuhan khusus. Mereka belajar lebih cepat, lebih peka secara emosional, kreatif, lebih peka terhadap masalah-masalah orang dewasa, memiliki rasa ingin tahu yang besar, menyukai tantangan, dll. Hal ini membuat mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus yang dapat memenuhi kebutuhannya.
4.Anak berbakat perlu diberi kesempatan untuk maju lebih cepat dan memperoleh materi pengajaran sesuai dengan kemampuannya supaya mereka tidak jenuh dan menjadi “pengacau” di dalam kelas. Pengalaman pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak berbakat dapat membuat mereka berprestasi di bawah kemampuan yang dimiliki (underachiever).
5.Anak dan remaja berbakat memiliki minat dan gagasan yang seringkali berbeda dari teman sebayanya sehingga dapat membuat mereka merasa “aneh” dan tidak jarang menimbulkan konsep diri yang negatif (Yaumil Akhir, 1990).
6.Jika kebutuhan anak berbakat dipertimbangkan, dan dirancang program untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mereka sejak awal, maka mereka akan menunjukkan peningkatan yang nyata dalam prestasi, sehingga tumbuh rasa kompetensi dan rasa harga diri. Dengan program khusus mereka belajar untuk bekerja lebih efisien, mengembangkan keterampilan memecahkan masalah dengan baik dan mampu melihat solusi dari berbagai sudut pandang.
7.Kesempatan dan layanan pendidikan yang sesuai bagi mereka yang berbakat akan memberi sumbangan yang bermakna kepada masyarakat. Masyarakat membutuhkan orang-orang yang berkemampuan luar biasa ini untuk menghadapi tuntutan masa depan secara inovatif (Clark, 1983).

Jadi tidak benar bahwa anak berbakat akan dapat mencapai prestasi tinggi dengan sendirinya dan tidak memerlukan perhatian dan layanan pendidikan khusus.

Yang menjadi permasalahan saat ini adalah: bagaimana bentuk pendidikan anak berbakat yang paling cocok untuk kondisi pendidikan di Yogyakarta pada saat ini?

Tidak ada komentar: