Minggu, 03 Februari 2008

KETIKA PENDIDIKAN MENJADI KOODITAS

KETIKA PENDIDIKAN MENJADI KOMODITAS

Anak usia sekolah dasar belakangan hari ini banyak yang bunuh diri. Ada yang gagal dan berhasil. Penyebabnyapun aneka. Misalnya, Miftahul Jannah, 15 tahun, gantung diri karena diduga dirinya tak punya uang untuk ikut study tour sebagai perayaan kelulusan sekolahnya. Profil Mitha, begitu dia dipanggil, adalah anak sebatang kara yang sejak kecil tinggal bersama kakek dan neneknya akibat perceraian orang tuanya. Karena ini, dalam kesehariannya, Mitha adalah seorang pemurung penyendiri yang mungkin minder berkawan dengan teman sebayanya.

Heryanto, anak 12 tahun, mencoba bunuh diri karena tak mampu membayar Rp.2,500 biaya keterampilan di sekolahnya. Yanto merasa malu ketika gurunya tetap menagih uang itu, sementara orang tua Yanto tak mampu memberinya. Jangankan uang sekolah, makan sehari-hari saja mereka masih kepayahan. Harap dimaklumi sebab Yanto adalah salah satu anak miskin dari sembilan juta keluarga miskin di Jawa Barat.(http://paraguyana.blogspot.com)

Aman Muhammad Soleh (14), siswa kelas VI SDN Karangasih 04, Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi asal Kampung Cabang, Desa Karangasih, Cikarang Utara itu nekat mengakhiri hidupnya di usia muda dengan menggantung diri dan juga minum racun tikus pada awal Juni 2004. Saat ditanya alasannya, Aman yang setelah dirawat beberapa lama di rumah sakit dapat sehat kembali seperti sediakala, mengaku malu. Pasalnya, orangtuanya tak bisa menyediakan uang sebesar Rp 150.000 untuk membayar ujian akhir, biaya perpisahan, dan menebus ijazah.

Kenyataan pahit di atas adalah bagian kecil dari dampak neoliberalisme dalam dunia pendidikan bagi masyarakat miskin. Di era globalisasi ini, setiap individu mempunyai hak untuk mengembangkan usahanya secara tak terbatas. Mereka berhak memasarkan hasil produksinya di negara lain tanpa hambatan regulasi apa pun dari negara yang bersangkutan. Hal ini tercermin dalam empat agenda utama neoliberalisme; pelaksanaan kebijakan uang ketat dan penghapusan subsidi, liberalisasi sektor keuangan, liberalisasi sektor perdagangan, dan pelaksanaan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana terungkap secara rinci dalam agenda Konsensus Washington yang disusun oleh IMF (International Monetary Funds), Bank Dunia dan Departemen Keuangan Amerika.

Sayang sekali, orientasi neoliberalisme bersifat kapitalistik sehingga pasar bebas yang pada mulanya memberi hak yang sama pada setiap individu, pada akhirnya individu yang dimaksud hanyalah individu yang mempunyai modal kuat. Semakin besar modal yang dimiliki, maka semakin tak terbatas pasar yang dikuasai. Sistem ekonomi seperti ini mengandaikan adanya pertarungan antara pemodal teri dengan pemodal kakap dalam ring pasar bebas yang sama. Hasilnya bisa diduga, tanpa regulasi pun pemodal kakap akan memenangkan pertarungan. Apalagi dalam prakteknya pertarungan ini sesungguhnya didasarkan pada aturan main (regulasi) yang konsepnya dirumuskan secara sepihak oleh, dan dimplementasikan di bawah tekanan dari si kakap.

Akibatnya adalah jurang antara individu kaya dan individu miskin semakin lebar. Transnational Corporations (TNCs) dianggap sebagai pemain di belakang kebijakan global ini. Dengan kebijakan tersebut, mereka berhasil tumbuh dengan cepat. Saat ini angka penjualan TNCs telah mencapai 28,3 persen dari GDP dunia. Artinya, hasil penjualan perusahan-perusahaan yang dikuasai oleh segelintir manusia ini melebihi pendapatan 161 negara. Hasil penjualan Mitsubishi misalnya, melebihi pendapatan negara keempat terbesar penduduknya di muka bumi, yaitu Indonesia. Bagaimana hasil penjualan gabungan 200 TNCs terkemuka dunia? Lebih besar dibandingkan dengan semua negara di dunia minus 9 negara kaya!

Pasca Konferensi Tingkat Menteri di Doha Qatar, negosiasi perundingan jasa diarahkan untuk disebut sebagai liberalisasi progressive (peningkatan pembukaan pasar di negara-negara anggota). Untuk mendorong pasar yang cepat, kemudian digunakan model initial offer (setiap negara harus menyerahkan sektor-sektor lain, selain yang tercantum dalam daftar komitmen di dalam negeri untuk dibuka atau diperdalam komitmennya bagi pemasok asing) dan initial request (permintaan terhadap pembukaan sektor-sektor jasa di negara lain). Nah, sektor yang paling kontroversial dalam GATS (persetujuan umum mengenai perdagangan jasa) adalah dimasukkannya pendidikan sebagai bagian dari jasa yang diperdagangkan.

Ketika subsidi pemerintah untuk sektor pendidikan sangat minim bahkan tidak mustahil suatu saat akan dihapus sama sekali, setiap lembaga pendidikan dituntut mencari sumber dana lain untuk menunjang biaya operasionalisasinya. Siapakah sumber utama yang diandalkan? Tak lain dan tak bukan adalah peserta didik, sehingga langkah pertama yang diayunkan dalam rangka kemandirian lembaga pendidikan adalah menjaring sebanyak-banyaknya peserta didik.

Layaknya seorang penjual, pengelola lembaga pendidikan dituntut mengemas “dagangannya” agar tidak kalah saing dengan “dagangan” serupa lainnya. Upaya ini dilakukan antara lain dengan melengkapi sarana pendidikan yang menjamin kenyamanan belajar, seperti gedung yang megah dilengkapi ruangan-ruangan ber-ac dan lift, alat penunjang pendidikan yang canggih, sport center yang lengkap, bahkan di suatu hari mungkin peserta didik akan dibidik sebagai pasar ekonomi dalam arti yang sesungguhnya sehingga lembaga pendidikan tidak lagi merasa cukup dengan menyediakan kantin atau koperasi di sudut bangunan melainkan sebuah mini market yang bermetamorfosa menjadi super market dan akhirnya tidak mustahil menjadi mall atau shopping center dengan bangunan yang tidak kalah megah dari bangunan utamanya, atas nama “tuntutan pasar”.

Dalam paradigma kapitalistik, di mana prinsip utamanya adalah menekan pengeluaran sesedikit mungkin dan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, dana pendidikan diperlukan tidak hanya untuk menyokong biaya operasionalisasi melainkan juga untuk mendatangkan profit sebesar mungkin. Pendidikan lalu hanyut dalam arus materialistik sehingga orientasi pendidikan, yakni mencerdaskan bangsa sebagaimana amanat UUD 1945 atau memanusiakan manusia dalam bahasa Freire, diartikan sebagai menghasilkan peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan pasar. Kecerdasan dan kemanusiaan peserta didik akhirnya diukur dari sejauhmana mereka mampu bersaing dalam bursa kerja.

Dalam kondisi seperti ini, lembaga pendidikan yang tidak membekali peserta didik dengan ketrampilan kerja tertentu yang dibutuhkan pasar dipandang mubazir. Sayang sekali lembaga pendidikan agama termasuk di dalamnya. Lulusan lembaga pendidikan agama masih dianggap “gagap” dalam perebutan peluang kerja karena keahlian mereka tidak sesuai dengan tuntutan pasar. Dampaknya adalah pendidikan agama menjadi kalah peminat dari lembaga agama yang sudah dimodifikasi, apalagi dari lembaga pendidikan umum.

Ada beberapa indikasi yang mencerminkan pandangan tersebut. Pertama, pemerintah merasa perlu menerapkan kebijakan “penyetaraan kurikulum” bagi lembaga pendidikan agama tingkat dasar hingga menengah. Dengan kebijakan ini, maka Madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah di seluruh pelosok nusantara tidak diakui pemerintah selama tidak menyertakan mata pelajaran umum tertentu dalam kurikulum pendidikannnya. Artinya, mata pelajaran agama yang sangat beragam itu tidak dianggap cukup untuk mencerdaskan dan memanusiakan peserta didik.

Kedua, adanya kecenderungan institut agama berubah menjadi universitas. Kecenderungan ini bisa ditafsirkan sebagai pergeseran positif dalam paradigma pendidikan agama yang eksklusif menjadi inklusif karena telah memandang bahwa disiplin ilmu umum sama pentingnya dengan ilmu agama. Namun tidak mustahil upaya ini sesungguhnya juga didasarkan atas kekhawatiran pengelola perguruan tinggi agama akan merosotnya minat masyarakat luas. Bukan rahasia lagi bahwa biaya pengelolaan fakultas agama banyak disubsidi oleh fakultas umum dalam sebuah universitas agama dan bahwa biaya perubahan dari institut menjadi universitas agama bila perlu dipinjam dari bank dunia sebagaimana terjadi di ibukota. Saat ini bank dunia tidak hanya mengucurkan pinjaman pada perguruan tinggi agama tetapi juga pesantren!.

Jika tidak ada intervensi dari pihak mana pun, maka liberalisasi akan terus merambah lembaga pendidikan agama. Dengan bunga pinjaman yang berlipat-lipat, tidak mustahil bahwa biaya pendidikan agama yang terkenal murah pun akan ikut terdongkrak naik sebagaimana biaya pendidikan lainnya. UNDB melaporkan bahwa saat ini satu dari tujuh anak di muka bumi terusir dari sekolah karena tak mampu membayar. Sebabnya jelas, karena dalam atmosfir pendidikan yang sangat materialistik seperti ini calon peserta didik akan terseleksi secara “alami” berdasarkan materi atau kemampuan membayar yang dimilikinya. Pertanyaannya adalah apakah satu dari tujuah anak di muka bumi juga terusir dari lembaga pendidikan agama? Semoga tidak!

Tidak ada komentar: