Jumat, 12 September 2008

ANTARA NASH DAN MAQASHID

ANTARA NASH DAN MAQASHID

Isu seputar penegakan syariat Islam merupakan salah satu tema kontroversi yang banyak diperdebatkan dan didiskusikan oleh banyak orang. Banyak cendekiawan Muslim dan non-Muslim , aktivis gerakan Islam dan LSM, politisi, pengamat, dan juga diplomat Barat ikut meramaikan perdebatan ini.

Sepanjang sejarah Islam, kontroversi soal penegakan syariat Islam dapat dikatakan baru. Ia hanya muncul sekitar dekade-dekade terakhir abad dua puluh, menyusul kuatnya hegemoni peradaban Barat di dunia Islam. Sebelumnya isu ini tidak terlalu mendapat perhatian masyarakat awam dan cendekiawan Muslim.

Apalagi di kalangan ulama silam, hampir dapat dipastikan bahwa isu perlu tidaknya atau wajib tidaknya menerapkan syariat Islam sama sekali tidak disentuh. Seolah-olah telah ada kesepakatan bahwa pelaksanaan syariat Islam adalah sebuah harga mati yang tak dapat ditawar lagi.

Mungkin disebabkan inilah, hampir semua kitab klasik Islam, terutama kitab fikih dan tafsir hanya membatasi dirinya pada penafsiran makna-makna Alquran dan Sunnah Rasul, dan menerangkan bentuk praktis dari perintah-perintah ilahiah.

Semakin gencar gerakan menuntut pelaksanaan syariat Islam, semakin kuat pula suara-suara penentangan terhadapnya. Para penentang syariat, utamanya dalam wilayah publik, biasanya mengemukakan alasan, bahwa agama adalah urusan individu, bukan menyangkut publik, oleh sebab itu negara tidak punya hak untuk campur tangan.

Faraj Fawdah dalam salah satu debat secara terus terang pernah menyatakan: ''Secara sederhana saya menolak penerapan syariat Islam, apakah ia dilakukan sekaligus atau step by step, karena saya melihat dalam penerapan syariat Islam terkandung (konsep) dawlah diniyah (negara agama).

Barang siapa menerima negara agama maka ia dengan sendirinya dapat menerima aplikasi syariat Islam, dan barangsiapa menolaknya maka dia menolak penerapan syariat Islam.'' (Ahmad Jawdah, Hiwarat Hawla al-Syariah, h.14).

Argumen lain, bahwa hukum Islam yang ada sekarang tidak sensitif dan responsif terhadap perkembangan zaman. Hukum-hukum Islam yang dikandung dalam Alquran dan dielaborasi oleh para fakih dan mufasir sudah out of date alias ketinggalan zaman; ia tidak dapat menciptakan kebaikan dan kemaslahatan bagi ummat manusia hari ini.

Padahal, kata mereka, kemaslahatan itu adalah merupakan tujuan pokok dari syariat Islam. Untuk memperkuat argumen ini mereka telah menggunakan teori Maqashid yang dikembangkan dan dipopularkan oleh al-Syatibi.

Pendapat terakhir ini, misalnya, seperti diungkap oleh Leonard Binder (1988:4): ''The language of the Quran is coordinate with the essence of revelation, but the content and meaning of revelation is not essentially verbal. Since the words of the Quran do not exhaust the meaning of revelation, there is a need for an effort at understanding which is based on the words, but which goes beyond them, seeking that which is represented or revealed language.''

Kerangka berpikir seperti itu dibangun atas dua fondasi. Pertama, pandangan bahwa Alquran adalah merupakan respons langsung kepada struktur sosial-budaya yang patriarkhi, sistem ekonomi yang opresif, politik yang despotik dan koruptif masyarakat Arab ketika itu.

Sebagai jawaban terhadap sistem ini diturunkanlah Alquran dengan sistem hukum yang bersifat transformatif, liberatif dan emansipatif, egalitarianisme, dan humanis. Tujuan utamannya adalah menciptakan keadilan (al-'adalah) dan persamaan (al-musawah), pembebasan (al-hurriyah), serta perdamaian dan kerukunan (as-salamah, al-maslahah).

Dalam konteks ini Fazlur Rahman (1979:2) pernah menulis: ''The Quran is the divine response to Quranic times, through the Prophet's mind, to the moral-social situation of the Prophet's Arabia, particularly to the problems of the commercial Meccan society of his day.''

Dengan kata lain hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran itu sangat dipengaruhi dan dipenuhi oleh nuansa masyarakat Arab ketika itu. Sistem hukum yang dibangunnya pun adalah merefleksikan struktur sosial-budaya, serta ekonomi dan politik masyarakat abad ketujuh. Maka, kata mereka, salah besar jika mengadopsi dan mengaplikasikan hukum ini pada zaman sekarang ini. Sebab, ia sudah tidak cocok lagi dengan zaman.

Nasr Hamid Abu Zayd bahkan lantang mengatakan bahwa Alquran adalah muntaj thaqafi (produk budaya). Argumen mereka yang kedua, dan masih berhubungan dengan argumen pertama, adalah prinsip Maqashid Syariah (Tujuan Syariah). Kelompok ini berpendapat bahwa setiap hukum yang diperintahkan Allah mempunyai objektif/maqashid utama, yaitu ''kemaslahatan manusia''. Kata Rahman: ''The Quran always explicates the objectives or principles that are the essence of its law.'' (1979:154).

Maslahah, lanjut mereka, dapat berubah menurut peredaran waktu dan tempat. Apa yang dianggap maslahah hari ini dan di tempat ini, mungkin tidak lagi menjadi maslahah pada masa lalu atau akan datang, atau di tempat yang lain.

Demikian juga apa yang dianggap maslahah oleh masyarakat Arab abad ketujuh belum tentu menjadi maslahah bagi masyarakat hari ini. Bagi mayarakat Arab hukum potong tangan bagi pencuri dan rajam bagi pezina dapat menciptakan kemasalahatan bagi masyarakat ketika itu. Karena dalam masyarakat yang kasar dan ganas seperti itu hukuman seperti itulah yang pantas dan layak untuk dilaksanakan. (Abdullah Saeed, 1997:286).

Kata Muhammad Abid al-Jabiri: ''Jadi (hukum) potong tangan merupakan peraturan rasional yang sangat tepat untuk masyarakat Baduwi padang pasir yang penduduknya hidup tanpa ikatan dan nomadik.'' (1996:171).

Dengan perkembangan dan perubahan yang berlaku hari ini, hukum seperti ini sudah tidak lagi dapat menciptakan kemaslahatan bagi ummat manusia hari ini.

Maqashid Syariah

Bisa dikatakan, para ulama Islam sebenarnya telah sepakat, bahwa tujuan ditetapkannya setiap hukum Islam adalah untuk maslahat manusia. Dalam bukunya al-Burhan, Imam Juwayni menulis:

''Seseorang yang menepikan tujuan syariah dari praktik (keseharian kita) tidak akan dapat memahami syariah secara paripurna.'' (al-Burhan, t.t., 1:294-295). Al-Ghazali kemudian mensistemasikan Maqashid Syariah ini menjadi tiga kategori: dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat. (Shifa' al-Ghalil, 161-172).

Teori ini kemudian dilanjutkan oleh Fakhruddin al-Razi, yang menyatakan: ''Hal ini (maksudnya maslahah) mestilah menjadi bagian dari syariah, karena tujuan utama seluruh hukum yang diperintahkan Allah adalah untuk memelihara dan menjaga kemaslahatan (mashalih).'' (Al-Mahsul, 1992, 6:165). Ibn Taymiyah juga menekankan hal yang sama: ''bahwa syariah hadir untuk menjamin kemaslahatan dan menghindarkan kerusakan.'' (Majmu' Fatawa, t.t., 20: 48).

Jelas, para pendukung syariat Islam bukanlah orang-orang irasional yang sama sekali tidak memahami prinsip Maqashid Syariah. Sebaliknya merekalah yang paling menghormati dan menganut prinsip ini. Bahkan, banyak yang sanggup mati untuk mempertahankan prinsip dasar ini.

Menurut al-Qaradawi salah satu faktor lahirnya gerakan ekstremisme di kalangan masyarakat Islam hari ini, khususnya di barisan pemudanya adalah tidak dihormatinya prinsip Maqashid tadi. Para penguasa negara Muslim bersikap tiranik dan korup.

Kebebasan tidak diberikan, prinsip keadilan diabaikan begitu saja. (lihat al-Qaradawi, ,The Islamic Awakening 60-61 & 108-109).

Banyak kalangan Islam yang sekarang mencoba menggunakan teori Maqashid Syatibi untuk menjustifikasi penolakan terhadap hukum syariah yang qat'i.

Misalnya, dengan menyatakan, bahwa jilbab bukanlah wajib. Atau, jilbab pada prinsipnya, hanyalah pakaian yang pantas dipakai di muka umum. Dalam kitabnya, al-Muwafaqat, al-Syatibi menyatakan: ''tidak ada perubahan padanya (pada hukum yang diperintahkan Allah secara jelas dan kategorikal), meskipun pandangan para mukallaf(orang dewasa) berbeda-beda.''

Maka tidak sah sesuatu yang baik berubah buruk dan buruk menjadi baik sehingga dikatakan misalnya: bahwa membuka aurat sekarang ini bukan lagi aib atau sesuatu yang buruk dan oleh sebab itu wajar untuk dibolehkan.

Menurut Abdul Majid al-Najjar, akar permasalahan di sini sebenarnya terletak pada kesalahan dalam memisahkan antara maqsad (objektif) dan hukum yang menjadi wasilah kepada maqashid. Mereka melihat seolah kedua hal ini sesuatu yang berbeda, padahal sebenarnya mereka adalah satu.

Apa yang diperintahkan Allah secara pasti tentunya pastilah akan mendatangkan maslahah, dan begitu juga sebaliknya. (1993:107). Apa yang selalu dikatakan di mana saja ada maslahah, di situlah ada syariah, kata Qaradawi seharusnya dibalik menjadi: haytsuma wujida al-syar'u fa tsamma al-maslahah (di mana saja ada hukum syara' di sana pasti ada maslahah), dan sebaliknya belum tentu benar.

Karena terkadang apa yang kita anggap maslahah sebenarnya bukan maslahah, mungkin saja ia sudah dibatalkan oleh syara'. Dalam keadaan seperti itu sudah tentu syara' tidak hadir.

Akan tetapi ketika syariat ada, sudah pasti maslahah juga hadir di sana, karena tidak mungkin Allah mensyariatkan sesuatu tanpa ada maslahahnya, meskipun terkadang akal kita tidak dapat menangkap dan memahami maslahah tersebut. Pada saat itulah keimanan dan keislaman seseorang diuji, apakah menerima dan melaksanakannya atau menolaknya.

Tidak ada komentar: