Rabu, 17 September 2008

MEMAHAMI RELASI ANTARA HADIS DAN AL-QURAN

MEMAHAMI RELASI ANTARA HADIS DAN AL-QURAN1

Dalam khazanah keilmuan Islam, hadis disebut “sesuatu yang berposisi sebagai bayân terhadap al-Quran”, yang bermakna “menjelaskan” makna al-Quran. Dan menegnai apa yang dijelaskan, bagaimana hadis menjelaskan al-Quran para ulama pun menjelaskannya dengan berbagai ragam penjelasan. Tetapi, meskipun keragaman penjelasan para ulama terhadap posisi hadis terhadap al-Quran bisa kita temukan dalam wacana studi Islam, para ulama sepakat bahwa hadis merupakan sumber ajaran Islam yang harus dirujuk dalam rangka memahami kanndungan makna al-Quran.

Definisi Hadis

Al-Hadîts (Hadis) didefinisikan oleh pada umumnya ulama -- seperti definisi as-Sunnah -- sebagai "segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrîr (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya." Ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrîr beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai as-Sunnah. Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu al-Quran.

Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athî'u Allah wa al-Rasûl, dan kedua adalah Athî'u Allah wa Athî'u Allah wa Athî'u al-Rasûl. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athî'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu -- dalam kondisi tertentu -- walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athî'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulû al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athî'u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya.

(Perhatikan Firman Allah dalam QS an-Nis’, 4: 59). Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah dalam al-Quran QS an-Nisa', 4: 65.

Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara Hadis dan al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi. Redaksi wahyu-wahyu al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawâtur (kolektif secara berurutan) oleh sejumlah orang yang -- menurut adapt -- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurûd (nilai kebenarannya – dari sisi keberadaannya -- bersifat relatif). Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.

Fungsi Hadis terhadap al-Quran

Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS an-Nahl, 16: 44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.

'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh al-Azhar, dalam bukunya As-Sunnah fî Makânatihâ wa fî Târîkhihâ menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Asy-Syafi'i dalam (Kitab) Ar-Risâlah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan al-Quran, ada dua fungsi as-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat al-Quran.

Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, in al-hukm illâ lillâh, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini: “al-Quran”), ketika hendak menetapkan hukum.

Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi as-Sunnah terhadap al-Quran didefinisikan sebagai bayân murâd Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir (yang tampak)-nya berbeda dengan nash (teks) ayat al-Quran, pada QS an-Nisa', 4: 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurûd (memiliki nilai kebenaran absolut pada keberadaannya) itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurûd (memiliki nilai kebenaran relatif pada keberadaannya). Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya As-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadîts, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadis) yang sejalan dengan al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena al-Quran lebih utama untuk diikuti."

Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa al-hadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat al-Quran pada QS an-Nisa', 4: 24.

Imam asy-Syafi'i, yang mendapat gelar Nâshir as-Sunnah (Pembela as-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, as-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).

Pemahaman atas Makna Hadis

Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis masih dapat saja muncul. Apakah pemahaman makna sebuah hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis.

Al-Qarafiy, misalnya, memilah as-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan manusiawi atau kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap hadis dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.

Asy-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwâfaqât, tentang perintah dan larangan pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan syara'. Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual.

Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi saw. bersabda, "Ijlisû (duduklah kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "Zadaka Allah tha'atan." Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.

Dalam perang Ahzab, Nabi saw bersabda, "Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks hadis tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu --kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus terakhir ini, tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks hadis.

Imam asy-Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Dalam hal ini, asy-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teks-teksnya adalah ta'abbudiy (bersifat ibadah), sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.

Kajian 'illat, dalam pandangan asy-Syafi'i, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yadûru ma'a illatih wujûd wa 'adam (keberadaan hukum itu bergantung pada motif atau kausa legisnya),2 hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas (penalaran analogis), bukan terhadap bunyi teks al-Quran dan hadis. Itu sebabnya asy-Syafi'i berpendapat bahwa lafal yang mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal nikâh dan zawâj, karena bunyi hadis Nabi saw. Yang menyatakan, "Istahlaltum furûûjahunna bi kalimât Allah (kehalalan melakukan hubungan seksual dengan wanita-wanita karena menggunakan kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan oleh Allah dalam al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut hanya lafal zawâj dan nikâh.

Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya adalah ma'qûl al-ma'nâ, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterima atas dasar qath'iy al-wurûd. Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya dengan makna dan penerimaannya bersifat zhanniy.

Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas. Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran dam tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut bernilai ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.
Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat dikemukakan tentang hadis.

Catatan:
1 Judul ini mengisyaratkan bahwa antara al-Quran dan Hadis terdapat kaitan erat sebagai serangkaian sumber ajaran Islam.
2 Ketetapan hukum selalu berkaitan dengan 'illat (motifnya, kausa legisnya). Bila motifnya ada, hukumnya bertahan. Dan bila motif (kausa-legis)-nya gugur, hukumnya pun gugur.

Tidak ada komentar: