Kamis, 04 September 2008

BUNGA BANK, KEZALIMAN YANG NYATA?

BUNGA BANK:
Kezaliman yang Nyata?

Pro-kontra haramnya bunga bank menjadi bahasan yang tak kunjung habis. Meski sudah keluar fatwa haram tentangnya, sepertinya pro-kontra itu tak menyurut. Sebenarnya apa yang menyebabkan bunga bank diharamkan?

Sudah hampir sepuluh tahun, Anggi menjadi pelanggan tetap sebuah bank konvensional. Namun setahun belakangan ini, Anggi menyimpan keraguan untuk menabung di bank tersebut. Keraguan ini muncul setelah dikeluarkannya fatwa bahwa bunga bank itu haram. Ia sendiri tak mengerti mengapa bunga bank diharamkan.

Oleh karena itu, renungkan ilustrasi berikut ini:

Alkisah, Bapak Surya ingin sekali memperluas usahanya di bidang pertanian, namun ia tak memiliki modal. Ia pun pergi ke bank untuk meminjam uang. Pinjaman diperolehnya dengan catatan ia harus mengembalikan pokok pinjaman plus bunga 12% dari pijaman per tahun.

Suatu ketika hama tikus merusak padi yang hampir dipanen bapak Surya. Keuntungan yang dikalkulasikannya pun terpaksa hilang begitu saja. Semntara ia harus membayar cicilan dan bungan yang telah disepakatinya bersama bank. Jika tidak, tentu saja rumah yang menjadi agunan akan disita bank. Tak ambil peduli ke mana pak Surya berteduh selanjutnya. Mengapa Bank sekejam itu? Motor apa yang menggerakkan Bank hingga tanpa perasaan bertindak amanusiawi?

Jawabannya tak lain dan tak bukan karena bunga. Bunga adalah persentase kelebihan dari pinjaman yang telah ditetapkan di awal kesepakatan. Ini bertolak belakang dengan usaha yang tidak bisa dipastikan keberhasilannya. Walau sudah kalkulatif dengan studi atas kelayakan usaha, tapi studi itu tidak bisa menjangkau hal-hal di luar kekuasaan manusia, di antaranya bencana alam dan (– misalnya – pen.) musibah perampokan. Kalau begitu, apakah masih adil bila kita membebani bapak Surya dengan bunga dan denda di tengah kerugian yang dideritanya?

Bunga Bank = Riba

Ibnu 'Arabi al-Maliki dalam kitabnya Ahkâm al-Qurân mendefinisikan riba sebagai penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari'ah. Senada dengan Ibnu 'Arabi, Imam Sarakhsi dari mazhab hahafi juga membenarkan riba sebagai tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya 'iwâdh (padanan) yang dibenarkan syari'ah atas penambahan tersebut.

Tak adanya padanan usaha dalam menghasilkan tambahan uang (bunga) dan penetapan besaran tambahan uang yang disyaratkan dalam suatu transaksi inilah yang kemudian memunculkan ketidakadilan. Betapa tidak, belum tampak hasil dari sebuah usaha, apakah untung atau rugi, sudah ada ketetapan penambahan uang bagi kreditur. Bagaimana bila usaha yang dikelola debitur merugi? Dari mana ia akan membayar tambahan tersebut? Bukankan ini malah menzaliminya?

Praktik di atas amat jelas terjadi di bank konvensional. Dr. Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Bunga Bank Haram mencoba menggambarkan praktik tersebut. Bank menerima simpanan dari A, B, C dengan tingkat bungan tertentu, misalnya 12%. Kemudian bank meminjamkan dana A, B,C pada debitur dengan tingkat bunga yang lebih besar, misalnya 15%. Selisih antara tingkat bunga menjadi keuntungan bank.

Padahal yang namanya investasi tak selalu memperoleh keuntungan. Adakalanya malah merugi. Saat terjadi musibah, misalnya (force majeure), siapa yang bisa menolak. Kalau sudah begini, bukankah kita menzalimi debitur yang sudah merugi dan harus pula membayar bunga 15% pada bank. Belum lagi bila terlambat membayar pinjaman, maka denda pun harus dibayarnya. Sementara nasabah dan bank asyik 'menengadah tangan' menanti kewajiban debitur membayar bunga 15% tadi tanpa mau tahu kondisi debitur.

Salah satu sebab dari krisis moneter pada tahun 1998 lalu merupakan dampak dari kondisi di atas. Tak mampunya debitur melunasi utangnya (karena terpuruknya perekonomian) membuat kredit macet di banyak bank. Akhirnya, kita pun berutang pada IMF yang nota- bene membungakana pinjamannya pula.

Celakanya, proses pendistribusian pinjaman dipenuhi dengan intrik KKN yang mengakar. Alih-alih melunaskan pinjaman, Indonesia kembali terjebak dengan mata-rantai bunga yang berkepanjangan. Tak menghernkan bila ada perhitungan bahwa setiap kepala penduduk Indonesia menanggung utang sebesar US$ 7000.

Bukan Hanya Islam

Menyoal bunga tak terlepas dari bahasan riba, dan sebagaimana diketahui, hukum riba adalah haram. Secara tegas QS an-Nisâ, 4: 29 menyatakan;

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Jauh sebelumnya, agama-agama pra-Islam pun melarangnya. Agama Yahudi, misalnya, menurut Muhammad Syafi'i Antonio dalam bukunya Perbankan Syariah, Teori dan Praktek, larangan praktik pemungutan riba banyak terdapat di dalam kitab suci mereka, Old Testament dan UU Talmud.

Kitab Exodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan:

"Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia, janganlah engkau membebankan bunga uang terhadapnya."

Praktik pelarangan mengambil riba juga terdapat dalam Kitab Deutromomy (Ulangan) pasal 23 ayat 19 dan Kitab Levicitius (Imamat).

Kalangan Yahudi amat jelas melarang praktik mengambil riba ketimbang dengan Kristen. Dari sekian banyak ayat dalam Perjanjian Baru, hanya Lukas 6: 34-35 yang mengecam praktik memungut riba:

"Dan jikalau kamu meminjam sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu darinya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak."

Ketidaktegasan tersebut telah menimbulkan beberapa pandangan dari para pemikir Kristen sendiri, hingga kemudian melahirkan tiga kelompok pemikiran yang berkaitan dengan riba. Kelompok pertama, kelompok pendeta awal Kristen (abad I-XII) yang mengharamkan bunga. Kelompok kedua, para sarjana Kristen (abad XII-XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan kelompok ketiga, pandangan para reformis Kristen yang akhirnya membuat Kristen menghalalkan bunga.

Adapun kalangan filosof Yunani dan Romawi, sampai abad I M, kebijakan pemerintah tentang praktik bunga dikecam keras oleh Plato (427-347 SM), Aristoteles (348-322 SM), cato (234-149 SM) dan Cicero (106-43 SM).

Pro-Kontra Bunga

Keluarnya fatwa tentang haramnya bunga bank tidak lantas menuntaskan pro-kontra bunga di masyarakat. Sebagian kalangan masih membenarkan pengambilan bunga karena beberapa alasan, seperti: a. Dalam keadaan darurat, bunga halal hukumnya; b. Hanya bunga yang berlipat ganda saja yang dilarang, sedangkan suku bunga yang 'wajar' dan tidak menzalimi diperkenankan; c. Bank sebagai lembaga tidak masuk dalam kategori mukallaf. Dengan demikian, tidak terkena khithab ayat-ayat dan hadis riba.

Masdar F. Mas'udi, Ketua Lajnah Bahtsul Masail NU, seperti ditulis MODAL menyatakan, bunga tidak bisa disamakan dengan riba, apabila bunga tersebut merupakan bagiandari modal. Sedang bunga yang dikategorikan riba adalah apabila jumlahnya melebihi inflasi. Contohnya, bunga dikatakan riba bila jumlahnya mencapai 15% atau lima persen di atas inflasi yang 10%. Kelebihan 55 inilah yang dikategorikan riba.

Kalangan lainnya bersikukuh bahwa pembahasan bungan bank sudah tuntas dan berakhir kesimpulan bahwa bunga bank itu haram. Mereka memmperkenalkan apa yang disebut konsp bagi-hasil. Jadi relasi kedua belah pihak tidak timpang. Seperti kita lihat, kelompok yang mengharamkan bunga ini tidak berhenti pada keharamannya itu sendiri, tapi bagaimana menyiapkan bank syariah untuk melebarkan perannya guna meningkatkan produktivitas ekonomi, tak hanya di perkotaan tapi juga di pedesaan. Tak mengherankan bila fatwa yang diputuskan melalui ijtima' ulama komisi fatwa (Majelis Ulama, pen.) Indonesia tanggal 22 Syawal 1424 H./16 Desember 2003 M. Itu berlaku terbatas.

Menurut KH Ma'ruf Amin, Ketua Badan Pelaksana Harian DSN, daerah-daerah yang belum ada kantor bank syariah beroperasi belum terkena kewajiban terhadap fatwa tersebut. Fatwa baru wajib diikuti dan mengikat masyarakat Islam Indonesia yang di daerahnya sudah ada bank syariah.

Diakui atau tidak, jangkauan pelayanan bank syariah masih sangat terbatas. Data Juni 2003, jumlah kantor dari 9 bank yang berlayanan syariah dan unit syariah baru mencapai 194 kantor. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan (dengan, pen.) jumlah kantor BRI misalnya, yang hampir ada di setiap kecamatan (MODAL No. 14/2003).

Terlepas dari pro-kontra di atas, mengutip pernyataan Mujiyanto dalam MODAL No. 14/2003, permasalahan bunga adalah persoalan yang sangat prinsip. Mengapa? Karena ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhannya, bukan sekadar hubungan antarmanusia.. Sudah saatnya pihak-pihak terkait melihat hal ini sekaligus mencari jalan terobosan, bukan malah menyerahh karena keadaan darurat atau keterpaksaan. Umat Islam memang membutuhkan instrumen (bank syariah dan pirantinya) untuk menjalankan syariatnya. Tapim instrumen saja tidak cukup bila tidak dibarengi prinsip yang tegas dan jelas. Dalam konteks ini, tekad untuk meninggalkan bunga.

Last but not least, simak pula ungkapan novelis pemenang Nobel 1963, John Steinbeck, dalam The Grapes of Wrath yang menggambarkan kekejaman bank. Steinbeck menyebut bank sebagai monster yang akan bernafas dengan keuntungan dan makan bungan uang. Bilan bank tidak mendapatkan keduanya, maka ia akan mati sebagaimana manusia akan mati tanpa udara dan tanpa makanan. Menurut Anda, lazimkah bila bank memperoleh 'nafas kehidupan' dari manusia yang 'bernafas' dengan tertatih-tatih?

Perbedaan antara Sistem Bunga dan Sistem Bagi-Hasil

Pada Sistem Bunga:
1. Penentuan bunga dilihat pada waktu akad, dengan asumsi harus selalu untung.
2. Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan.
3. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi.
4. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang booming.
5. Eksistensi bunga diragukan oleh semua agama, termasuk Islam.

Pada Sistem Bagi-Hasil;
1. Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan asumsi untung-rugi.
2. Besarnya rasio bagi-hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
3. Bagi-hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
4. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.
5. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi-hasil.

(Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah dari Teori ke Praktik)

Tidak ada komentar: