Selasa, 16 September 2008

BERSIAP MENJADI ULUL ALBAB

BERSIAP MENJADI “ULUL ALBÂB

AHMAD TOHARI (Senin, 14 Maret 2005) menulis dalam “Resonansi”, kolom khusus Harian Republika, dengan judul yang mengisyaratkan keprihatinan: “Korupsi Dalam Gelar Sarjana Aspal”. Tidak ada yang luar biasa dari tulisan itu, kecuali satu hal, penulisnya mencermati bahwa di negeri kita tercinta ini telah terjadi kebohongan yang dibungkus rapi secara kosmetikal, dengan topeng serba indah yang bernama “gelar akademik” dan pada akhirnya memunculkan “kesombongan”.

Sarjana-sarjana dengan sebutan yang bermacam-macam itulah yang kemudian membekali diri dengan sikap percaya diri yang kadang-kadang berlebihan, bahkan terkesan over-confident. Sikap inilah yang sering kali menjadi sebab dari sekian banyak permasalahan moralitas di dunia pendidikan kita yang semakin memprihatinkan.

Dunia pendidikan kita, kini sering disuguhi tontonan moralitas-rendah para pendidiknya. Bukan hanya yang terungkap di media masa cetak dan elektronik saja, yang kadang-kadang kemasan-kemasannya sudah disunting dengan kepiawaian para penyuntingnya dengan berbagai macam kepentingan. Tetapi realitas-objektifnya tidak terlalu berbeda dengan apa yang sudah diungkap oleh media masa di negeri kita tercinta ini.

Mereka yang berulah dengan moralitas-rendah, bukanlah mereka yang tak bergelar akademik saja. Bahkan yang telah bergelar tertinggi pun sempat mempertontonkannya dengan vulgar. Saya pun sempat berkomentar lirih: “pada saatny gelar akademik apa pun tidak harus selalu bersenyawa dengan moralitas-tinggi”. Tetapi apa boleh buat, masyarakat kita masih suka dengan “gelar-gelar formal” itu, simbol-simbol yang tidak selalu mengisyaratkan isi. Hingga, Mas Ahmad Tohari pun sempat bergumam: “mengapa kita doyan betul dengan gelar? Mungkin kita adalah bangsa yang sangat suka dengan simbol. Dan gelar sarjana adalah simbol bagi orang yang berpendidikan, orang pandai. Siapa tidak suka dicitrakan sebagai orang pandai? Soal kenyataannya, urusan belakang.”

Lain halnya dengan Bu Muslimah, seorang guru yang Andrea Hirata dalam bukunya: “Laskar Pelangi”. Di ketika sang guru ini berinteraksi dengan para muridnya tidak pernah ada kesan ”kesombongan”, apalagi arogansi intelektual yang sering dipertontonkan oleh para penyandang gelar-akademik yang seringkali ‘mabuk’ dengan status dan simbol-simbolnya. Saya kira, bukan karena beliau tidak bergelar akademik, tetapi bagi beliau – barangkali - kesombongan dalam bentuk apa pun bukan sesuatu yang seharusnya dipertontonkan. Apalagi dalam proses pendidikan yang di samping membebankan keharusan bagi para pendidiknya untuk melakukan transfer of knowledge, juga transfer of value bagi siapapun yang dididiknya. Diperlukan keteladanan yang terus mengalir dari para pribadi pendidik di seluruh ruang pendidikan yang tidak terbatas.

Dari ungkapan di atas, penulis menjadi ingat dengan istilah “Ulul Albâb” yang dikenalkan oleh al-Quran (QS Âli ‘Imrân/3: 190-191). Bagi mereka, segala sesuatu yang ada di alam raya nan luas ini pada hakikatnya adalah bukti kemahakuasaan dan kemahabesaran Allah SWT, sekaligus menjadi bukti dan tanda-tanda akan keberadaan-Nya. Orang-orang yang selalu berpikir dan memahami alam ini dengan seksama, akan menemukan bahwa dirinya sendiri adalah bagian yang amat kecil, jika dibandingkan dengan kekuasaan-Nya yang maha luas tak terbatas. Hingga kesadaran spiritualnya pun terefleksi dalam kepribadiannya, menjadi “manusia cerdas dan (sekaligus) rendah hati”.

Konon, menurut para mufassir – berdasarkan riwayat para sahabat Nabi s.a.w. - ayat ini turun ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang melakukan qiyâm al-lail (shalat tahajud) di malam hari. Setelah selesai shalat, beliau langsung tersungkur menangis, karena tidak kuasa ketika memahami betapa dalamnya makna yang dikandung pada ayat ini. Tidak cukup kata-kata untuk menjelaskannya.

Menurut para mufassir, ada dua hal yang membuat Nabi Muhammad s.a.w. menangis. Pertama, kesadaran unntuk berzikir. Kedua, kesadaran untuk berpikir. Dan oleh karenanya, sudah selayaknya manusia mengucapkan kata dengan tulus dalam setiap aktivitasnya “Ya Tuhan kami, tak mungkin Kau ciptakan semua peristiwa ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau. Jagalah diri kami dari azab neraka”.

Dua kesadaran itulah yang menjadi ciri-ciri orang yang Allah SWT sebut sebagai Ulul Albâb, sebagaimana sosok Nabi Muhammad s.a.w..

Pertanyaan pentingnya adalah: “Mampukah kita meneladaninya?”

Tidak ada komentar: