Jumat, 12 September 2008

PEMBAGIAN HADITS

PEMBAGIAN HADITS


Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan

A. Dari Segi Jumlah Periwayatnya
Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits mutawatir dan hadits ahad.
1. Hadits Mutawatir
a. Ta'rif Hadits Mutawatir
Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.Sedangkan menurut istilah ialah:
"Suatu hasil hadits tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."
"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."
Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia, baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak mendengar hadits itu langsung dari Nabi Muhammad SAW, maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi diketahui bagaimana cara perawi menerima dan menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera, misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian itu adalah secara mutawatir.
b. Syarat-syarat Hadits Mutawatir
Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1) Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera. Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya, dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera (tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya, maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2) Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
a) Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan oleh hakim.
b) Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi.
c) Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
d. Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan firman Allah:
"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS al-Anfâl, 8: 64).
3) Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.
Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-Suyuti (911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).
c. Kegunan Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir memberikan kegunaan ilmu dharuri, yakni keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath'i (pasti), dengan seyakin-yakinnya bahwa Nabi Muhammad SAW benar-benar menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi mutawatir.
Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa penelitian terhadap rawi-rawi hadits mutawatir tentang keadilan dan kedlabitannya tidak diperlukan lagi, karena kuantitas/jumlah rawi-rawinya mencapai ketentuan yang dapat menjamin untuk tidak bersepakat dusta. Oleh karenanya wajiblah bagi setiap muslim menerima dan mengamalkan semua hadits mutawatir. Umat Islam telah sepakat tentang faedah hadits mutawatir seperti tersebut di atas dan bahkan orang yang mengingkari hasil ilmu dharuri dari hadits mutawatir sama halnya dengan mengingkari hasil ilmu dharuri yang berdasarkan musyahailat (penglibatan pancaindera).
d. Pembagian Hadits Mutawatir
Para ulama membagi hadits mutawatir menjadi 3 (tiga) macam :
1) Hadits Mutawatir Lafzhi
Muhadditsin memberi pengertian Hadits Mutawatir Lafzhi antara lain :
"Suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi lafazh menurut para rawi dan demikian juga pada hukum dan maknanya."
Pengertian lain hadits mutawatir lafzhi adalah :
"Suatu yang diriwayatkan dengan bunyi lafazhnya oleh sejumlah rawi dari sejumlah rawi dari sejumlah rawi."
Contoh Hadits Mutawatir Lafzhi :
"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di neraka."
Silsilah/urutan rawi hadits di atas ialah sebagai berikut :
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diatas diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, kemudian Imam Nawawi dalam kita Minhaju al-Muhadditsin menyatakan bahwa hadits itu diterima 200 sahabat.
2) Hadits Mutawatir Ma’nawi
Hadits mutawatir ma’nawi adalah :
"Hadits yang berlainan bunyi lafazh dan maknanya, tetapi dapat diambil dari kesimpulannya atau satu makna yang umum."

"Hadits yang disepakati penulisannya atas maknanya tanpa menghiraukan perbedaan pada lafaz."
Jadi hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits mutawatir yang para perawinya berbeda dalam menyusun redaksi hadits tersebut, namun terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya.
Contoh :
"Rasulullah SAW tidak mengangkat kedua tangan beliau dalam doa-doanya selain dalam doa salat istiqa' dan beliau mengangkat tangannya, sehingga nampak putih-putih kedua ketiaknya." (HR. Bukhari-Muslim)
Hadits yang semakna dengan hadits tersebut di atas ada banyak, yaitu tidak kurang dari 30 buah dengan redaksi yang berbeda-beda. Antara lain hadits-hadits yang ditakrijkan oleh Imam ahmad, Al-Hakim dan Abu Daud yang berbunyi :
"Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau."
3. Hadits Mutawatir ‘Amali
Hadits Mutawatir ‘Amali adalah :
"Sesuatu yang mudah dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah mutawatir di antara kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya atau serupa dengan itu."
Contoh :
Kita melihat dimana saja bahwa salat Zhuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Di samping pembagian hadits mutawatir sebagimana tersebut di atas, juga ulama yang membagi hadits mutawatir menjadi 2 (dua) macam saja. Mereka memasukkan hadits mutawatir amali ke dalam mutawatir ma’nawi. Oleh karenanya hadits mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan mutawatir ma’nawi.
2. Hadits Ahad
a. Pengertian Hadits Ahad
Menurut Istilah ahli hadits, ta’rîf (pengetian/definisi) hadits ahad antara lain adalah:
"Suatu hadits (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai jumlah pemberita hadits mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadits tersebut masuk ke dalam hadits mutawatir: "
Ada juga yang memberikan ta’rîf (pengertian/definisi) sebagai berikut:
"Suatu hadits yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."
b. Kegunaan Hadits Ahad
Para ulama sependapat bahwa hadits ahad tidak qath'i (pasti), sebagaimana hadits mutawatir. Hadits ahad hanya mengisyaratkan pengertian zhan (persangkaan), oleh karena itu masih perlu diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbûl (diterima) dan mardûd (ditolak)-nya. Dan kalau temyata telah diketahui bahwa, hadits tersebut tidak tertolak, dalam arti maqbûl, maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam berhujjah dengan suatu hadits, ialah memeriksa "Apakah hadits tersebut maqbûl atau mardûd". Kalau maqbûl, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardûd, kita tidak dapat i’tiqadkan (diyakini) dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.
Kemudian apabila telah nyata bahwa hadits itu (shahih, atau hasan), hendaklah kita periksa apakah ada mufradât (kosa-kata) yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas dari perlawanan maka hadits itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan antara keduanya, atau kita ta’wilkan salah satunya supaya tidak bertentangan lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansûkh (terhapus), yang terkemudian kita ambil, kita pandang nâsikh (menghapus).
Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan (memenangkan) salah satunya. Kita ambil yang râjih (kuat), kita tinggalkan yang marjûh (lemah). Jika tak dapat ditarjihkan salah satunya, bertawaqquflah (membiarkan) kita dahulu.
Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadits, sesudah nyata shahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjûh dan tidak mansûkh.
B. Dari Segi Kualitas Sanad dan Matan Hadits
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits bergantung kepada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadits. Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh dua orang rawi.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah tingkatannya, dan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu yang telah kami tentukan."
Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang
Kata-kata (dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadits ahad yang pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.
Contoh hadits :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."
Awal hadits tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadits yang demikian bukan termasuk hadits mutawatir.
Kata-kata (dan sandaran mereka adalah pancaindera) seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya. Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi Muhammad SAW berbuat begini". Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah akal bukan berita.
Bila dua hadits memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadits yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran, lebih tinggi tingkatannya dari hadits yang matannya buruk atau bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran. Tingkatan {martabat) hadits ialah taraf kepastian atau taraf dugaan tentang benar atau palsunya hadits berasal dari Rasulullah.
Hadits yang tinggi tingkatannya berarti hadits yang tinggi taraf kepastiannya atau tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadits itu berasal Rasulullah SAW. Hadits yang rendah tingkatannya berarti hadits yang rehdah taraf kepastiannya atau taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya tingkatan suatu hadits menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadits sebagai sumber hukum atau sumber Islam.
Para ulama membagi hadits ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dha’if. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadits-hadits tersebut menjadi hadits shahih, hasan, dan dha’if.
1. Hadits Shahih
Hadits shahih menurut bahasa berarti hadits yng bersih dari cacat, hadits yang benar berasal dari Rasulullah SAW. Batasan hadits shahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :
"Hadits shahih adalah hadits yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-Quran), hadits mutawatir, atau ijma' serta para rawinya adil dan dabit."
Keterangan lebih luas mengenai hadits shahih diuraikan pada bab tersendiri.
2. Hadits Hasan
Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam at-Tirmidzi hadits hasan adalah :
"yang kami sebut hadits hasan dalam kitab kami adalah hadits yng sannadnya baik menurut kami, yaitu setiap hadits yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang dicurigai berdusta, matan haditsnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang sederajat. Hadits yang demikian kami sebut hadits hasan."
3. Hadits Dha’if
Hadits Dha’if menurut bahasa berarti hadits yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah (kecil atau rendah) tentang benarnya hadits itu berasal dari Rasulullah SAW.
Para ulama memberi batasan bagi hadits Dha’if :
"Hadits Dha’if adalah hadits yang tidak menghimpun sifat-sifat hadits shahih, dan juga tidak menghimpun sifat-sifat hadits hasan."
Jadi hadits dha’if itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih, melainkan juga tidak memenuhi syarat-syarat hadits hasan. Pada hadits Dha’if itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih besarnya dugaan untuk menetapkan hadits tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
C. Dari Segi Kedudukan Dalam Hujjah
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadits perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan pemhahasan yang seksama khususnya hadits ahad, karena hadits tersebut tidak mencapai derajat mutawatir. Memang berbeda dengan hadits mutawatir yang memfaedahkan ilmu dharuri, yaitu suatu keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadits ahad ahad ditinjau dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadits maqbûl dan hadits mardûd.
1. Hadits Maqbûl
Maqbûl menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut ‘urf muhaditsin hadits maqbûl ialah:
"Hadits yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."
Jumhur ulama berpendapat bahwa hadits maqbûl ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam kategori hadits maqbûl adalah:
a. Hadits shahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.
b. Hadits hasan baik yang li dzâtihi maupun yang li ghairihi.
Kedua macam hadits tersebut di atas adalah hadits-hadits maqbûl yang wajib diterima, namun demikian para Muhadditsin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadits yang maqbûl itu harus diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadits-hadits yang telah dihapuskan hukumnya disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadits Rasulullah SAW.
Adapun hadits maqbûl yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadits nasikh, sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadits mansukh. Disamping itu, terdapat pula hadits-hadits maqbûl yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadits yang kuat disebut dengan hadits rajih, sedangkan yang lemah disebut dengan hadits marjuh.
Apabila ditinjau dari segi kema’mûlan (kemungkinan dapat diamalkan)-nya, maka hadits maqbûl dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni hadits ma’mûlun bihi dan hadits gairu ma'mulin bihi.
a. Hadits Ma’mûlun Bihi
Hadits ma’mûlun bihi adalah hadits yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadits ini ialah:
1) Hadits muhkam, yaitu hadits yang tidak mempunyai perlawanan
2) Hadits mukhtalif, yaitu dua hadits yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin dikompromikan dengan mudah
3) Hadits nasih
4) Hadits rajih.
b. Hadits Ghairu Ma’mulin Bihi
Hadits ghairu ma’mulin bihi ialah hadits maqbûl yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadits-hadits maqbûl yang tidak dapat diamalkan ialah:
1) Hadits mutawaqqaf, yaitu hadits mukhthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan
2) Hadits mansûkh
3) Hadits marjûh.
2. Hadits Mardûd
Mardûd menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut ‘urf muhadditsîîn, hadits mardûd ialah :
“Hadits yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."
Ada juga yang menarifkan hadits mardûd adalah:
"Hadits yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadits maqbûl."
Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadits-hadits maqbûl, maka sebaliknya setiap hadits yang mardûd tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan (harus ditolak).
Jadi, hadits mardûd adalah semua hadits yang telah dihukumi dha’îf.
D. Dari Segi Perkembangan Sanadnya
1. Hadits Muttashil
Hadits Muttashil disebut juga Hadits Maushûl.
"Hadits muttashil adalah hadits yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya sampai kepada ujung sanadnya, baik hadits marfu' maupun hadits mauquf."
Kata-kata "hadits yang didengar olehnya" mencakup pula hadits-hadits yang diriwayatkan melalui cara lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijazah, Al-Shahihah. Dalam definisi di atas digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadits Mu 'an 'an, bahwa para ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadits yang diterima melalui Al-Ijasah dan yang demikian tidaklah menafikan hadits yang bersangkutan dari batas Hadits Muttashil.
Contoh Hadits Muttashil Marfû’ adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan hartanya"
Contoh hadits muttashil mauqûf adalah hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia mendengar Abdullah bin Umar berkata:
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan membayarnya."
Masing-masing hadits di atas adalah muttashil atau maushûl, karena masing-masing rawinya mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.
Adapun hadits Maqthû’ yakni hadits yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak diperselisihkan bahwa hadits maqthû’ termasuk jenis Hadits muttashil tetapi jumhur muhadditsin berkata, "Hadits maqthû’ tidak dapat disebut hadits maushûl atau muttashil secara mutlak, melainkan hendaknya disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadits Maushûl sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya dikatakan "Hadits ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian ulama membolehkan penyebutan hadits maqthu’ sebagai hadits maushûl atau muttashil secara mutlak tanpa batasan, diikutkan kepada kedua hadits maushûl di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan jumhur, yaitu hadits yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadits maqthû’. Secara etimologis hadits maqthû' adalah lawan Hadits Maushul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya kepada tabi'in.
2. Hadits Munqathi'
Kata al-Inqithâ' (terputus) berasal dari kata al-Qath’ (pemotongan) yang menurut bahasa berarti memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqithâ' adalah lawan kata ittishâl (bersambung) dan al-Washl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.
Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, yakni:
"Hadits Munqathi’ adalah setiap hadits yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."

Hadits yang tidak bersambung sanadnya adalah hadits yang pada sanadnya gugur seorang atau beberapa orang rawi pada tingkatan (thabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-Manzhûmah al-Baiqûniyyah mengatakan:
“Setiap hadits yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadits Munqati' (terputus) persambungannya."
Demikianlah para Ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadits. An-Nawawi berkata, "Klasifikasi tersebut adalah shahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddits lainnya". Dengan demikian, hadits munqati' merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam hadits yang terputus sanadnya.
Adapun Ahli Hadits Mutaakhkhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:
"Hadits Munqati adalah hadits yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang dan tidak terjadi pada awal sanad."
Definisi ini menjadikan hadits munqathi' berbeda dengan hadits-hadits yang terputus sanadnya yang lain. Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" definisi ini tidak mencakup hadits mu'dhal; dengan kata-kata, "sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadits mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadits muallaq.

Tidak ada komentar: