Jumat, 12 September 2008

HADIS AHAD DAN MUTAWATIR

HADITS AHAD DAN HADITS MUTAWATIR
Sebuah Catatan Atas Sebuah Penjelasan [1]

Pendahuluan
Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat mulia dalam Islam. Orang-orang yang bergelut di dalamnya telah menyandang keharuman tersendiri dalam sejarah. Sebutlah misal seperti : Malik bin Anas, Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Al-Auza’i, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma’in, Ibnul-Mubarak, Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, An-Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir, Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Ibnu Rajab, Asy-Syaukani, Al-Mubarakfury, Ahmad Syakir, dan lainnya yang tetap berlanjut sampai saat ini. Merekalah Ashhaabul-Hadits (para ahli hadits). Dan merekalah orang-orang yang mendapatkan pengakuan bahwa sebagai penghulu/pemimpin Al-Firqatun-Najiyyah (Golongan yang Selamat). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم وآله وسلم تفترق هذه الأمة على ثلاث وسبعين فرقة كلهم في النار إلا واحدة قالوا وما هي تلك الفرقة قال ما أنا عليه اليوم وأصحابي. وفي لفظ : وهي الجماعة
Dari Anas bin Malik ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Akan terpecah umat ini menjadi tujuhpuluh tiga kelompok yang kesemuanya masuk neraka kecuali satu”. Para shahabat bertanya : “Siapa mereka wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : “Mereka adalah orang-orang yang kondisinya seperti kondisiku dan para shahabatku di hari ini”. [HR. Ath-Thabarani dalam Ash-Shaghiir no. 724]. Dalam lain riwayat beiau besabda : “Dan ia adalah Al-Jama’ah” [HR. Abu Dawud no. 4597, Ahmad 4/102 no. 16979 dari shahabat Mu’awiyyah bin Abi Sufyan].[2]
Satu golongan/kelompok itulah Al-Firqatun-Najiyyah (sebagaimana disebut oleh banyak ulama). Syaikh Abdul-Qadir Al-Jailani berkata dalam kitab Al-Ghunyah : { أما الفرقة الناجية فهي أهل السنة و الجماعة ، و أهل السنة لا اسم لهم إلا اسم واحد و هو أصحاب الحديث } “Adapun golongan yang selamat yaitu Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Dan Ahlus-Sunnah, tidak ada nama lain bagi mereka kecuali satu nama, yaitu Ashhaabul-Hadiits (para Ahli-Hadits)” [3].
Ashhaabul-Hadits disebut juga Ath-Thaifah Al-Manshurah, yaitu kelompok yang mendapatkan pertolongan (dari Allah) dalam menegakkan al-haq sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خذلهم حتى يأتي أمر الله وهم كذلك
“Akan selalu ada sekelompok dari umatku yang memperjuangkan al-haq, tidak membahayakan mereka orang yang menghinakan mereka hingga datang keputusan Allah (yaitu datangnya hari kiamat) dan mereka tetap dalam keadaan seperti itu” [HR. Muslim no. 1920].
Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang hadits di atas beliau menjawab : { ان لم تكن هذه الطائفة المنصورة أصحاب الحديث فلا أدري من هم } “Apabila kelompok yang mendapatkan pertolongan itu bukanlah Ashhaabul-Hadits, maka aku tidak tahu siapakah mereka…” [Ma’rifatu ‘Ulumil-Hadiits oleh Al-Hakim An-Naisaburi hal. 1 dengan sanad shahih] [4].
Ashhaabul-Hadits adalah orang-orang yang paling mengerti maksud dan pengamalan sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dan mereka lah orang yang telah menghabiskan waktu dan usianya untuk mempelajari hadits-hadits, memilah antara yang shahih dan yang dla’if, serta kemudian memberikan penjelasan kandungannya.
Bila kemudian ada permasalahan yang berkaitan dengan hadits dan sunnah Nabi, tentu Ashhaabul-Hadits (para ahli hadits) lah [5] yang paling mengetahui. Bukan selainnya, seperti dari kalangan ahlul-kalam, ahlul-ushul, dan yang semisal. Imam Ibnul-Qayyim mengatakan :
وكذلك لا يعتبر في الإجماع على صدق الحديث وعدم صدقه إلا أهل العلم بالحديث وطرقه وعلله ، وهم علماء الحديث ، العالمون بأحوال نبيهم ، الضابطون لأقواله وأفعاله ، المعتنون بها أشد من عناية المقلدين لأقوال متبوعيهم ، فكما أن العلم بالتواتر ينقسم إلى عام وخاص ، فيتواتر عند الخاصة ما لا يكون معلوماً لغيرهم ، فضلاً أن يتواتر عندهم ، فأهل الحديث لشدة عنايتهم بسنة نبيهم ، وضبطهم لأقواله وأفعاله وأحواله يعلمون من ذلك علماً لا يشكون فيه مما لا شعور لغيرهم به البتة
“….Demikian pula dalam perkara yang berkaitan dengan membenarkan sebuah hadits atau tidak, mesti disepakati oleh para ahli hadits yang lebih memahami jalur periwayatan dan ‘illat-nya. Mereka itu adalah ulama hadits, karena mereka mengetahui keadaan nabi mereka, yang senantiasa memelihara sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau, dan memiliki perhatian lebih terhadap periwayatan dibandingkan mereka yang masih bertaqlid pada perkataan-perkataan yang mereka ikuti. Sebagaimana ilmu pengetahuan itu dibagi menjadi dua bagian, yaitu ilmu khusus dan ilmu umum. Maka ada ilmu yang diyakini oleh orang khusus dimana tidak diketahui oleh orang lain, apalagi diyakini. Dan Ahlul-Hadits dengan perhatian mereka yang lebih kepada sunnah Nabi mereka, pemeliharaan mereka atas sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan beliau; mereka mengetahui permasalahan ini dan tidak meragukannya. (Dan tentu mereka sangat berbeda) dibandingkan orang-orang selain mereka yang tidak mempunyai perasaan perhatian kepada sunnah Nabi sebagaimana mereka” [Mukhtashar Ash-Shawaaiqul-Mursalah juz 2 hal. 373 melalui perantara kitab Al-Hadits Hujjatun binafsihi fil-‘Aqaaid wal-Ahkaam hal. 70-71; Maktabah Sahab].
Hadits Ahad dan Hadits Mutawatir
Pembagian hadits mutawatir dan hadits ahad – dalam ilmu hadits – adalah berkaitan dengan hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita.[6]) [7]) Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawaatur yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah adalah “apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai dari awal hingga akhir sanad”. Atau : “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”. Ada empat syarat satu hadits dikatakan mutawatir :
Diriwayatkan oleh jumlah yang banyak.
Jumlah yang banyak ini berada pada semua tingkatan (thabaqat) sanad.
Menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersekongkol/bersepakat untuk dusta [8]
Sandaran hadits mereka dengan menggunakan indera seperti perkataan mereka : kami telah mendengar, atau kami telah melihat, atau kami telah menyentuh, atau yang seperti itu. Adapun jika sandaran mereka dengan menggunakan akal, maka tidak dapat dikatakan sebagai hadits mutawatir.
Menurut jumhur ulama, tidak ada batasan tertentu dalam jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir. Bisa dikatakan, sifat kemutawatiran itu nisbi yang berbeda antara satu ulama dengan ulama lainnya. Namun itu bukanlah menjadi satu permasalahan yang berarti bagi ulama Ahli Hadits karena - dalam hal penerimaan - yang terpenting bagi mereka adalah keshahihan riwayat. Hadits mutawatir ini dibagi menjadi dua, yaitu :
Mutawatir Lafdhy adalah apabila lafadh dan maknanya mutawatir. Misalnya hadits : {من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار} ”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) maka dia akan mendapatkan tempat duduknya dari api neraka”. Hadits ini telah diriwayatkan lebih dari 70 orang shahabat, dan diantara mereka termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga.
Mutawatir Ma’nawy adalah maknannya yang mutawatir sedangkan lafadhnya tidak. Misalnya, hadits-hadits tentang mengangkat tangan ketika berdoa. Hadits ini telah diriwayatkan dari Nabi sekitar 100 macam hadits tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. Dan setiap hadits tersebut berbeda kasusnya dari hadits yang lain. Sedangkan setiap kasus belum mencapai derajat mutawatir. Namun bisa menjadi mutawatir karena adanya beberapa jalan dan persamaan antara hadits-hadits tersebut, yaitu tentang mengangkat tangan ketika berdo’a. [lihat Mabaahits fii ‘Uluumil-Hadiits oleh Manna’ Al-Qaththan, Maktabah Wahbah, Cet. 4].
Ahad menurut bahasa mempunyai arti “satu”. Dan khabarul-wahid adalah khabar yang diriwayatkan oleh satu orang. Sedangkan Hadits Ahad menurut istilah adalah “hadits yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir”. Hadits ahad terbagi menjadi 3 macam, yaitu : Masyhur, ‘Aziz, dan Gharib.
Masyhur (atau juga dikenal dengan nama hadits Mustafidh) menurut bahasa adalah “nampak”. Sedangkan menurut istilah, Hadits Masyhur adalah : “Hadits yang diriwayatkan oleh 3 (tiga) perawi atau lebih pada setiap thabaqah (tingkatan) dan belum mencapai batas mutawatir”.[9] Contohnya, sebuah hadits yang berbunyi : { إن الله لا يقبض العلم انتزاعا ينتزعه من العباد ولكن يقبض العلم بقبض العلماء حتى إذا لم يبق عالما اتخذ الناس رؤوسا جهالا فسئلوا فأفتوا بغير علم فضلوا وأضلوا } ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengambil ilmu dengan melepaskan dari dada seorang hamba. Akan tetapi akan melepaskan ilmu dengan mengambil (mewafatkan) para ulama. Sehingga apabila sudah tidak terdapat seorang yang alim, maka orang yang bodoh akan dijadikan sebagai pemimpin, lalu memberikan fatwa tanpa didasari ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan” (HR. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
‘Aziz secara bahasa artinya : yang sedikit, yang gagah, atau yang kuat. Hadts ’Aziiz menurut istilah ilmu hadits adalah : “Suatu hadits yang diriwayatkan dengan minimal dua sanad yang berlainan rawinya”. Contohnya : Nabi shallallaahu bersabda : { لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين } ”Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu hingga aku (Nabi) lebih dicintainya daripada bapaknya, anaknya, serta serta seluruh manusia” (HR. Bukhari dan Muslim; dengan sanad yang tidak sama).
Gharib secara bahasa berarti yang jauh dari kerabatnya. Sedangkan Hadits Gharib secara istilah adalah : “Hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi secara sendiri”. Dan tidak dipersyaratkan periwayatan seorang perawi itu terdapat dalam setiap tingkatan (thabaqah) periwayatannya, akan tetapi cukup terdapat pada satu tingkatan atau lebih. Dan bila dalam tingkatan yang lain jumlahnya lebih dari satu, maka itu tidak mengubah statusnya (sebagai hadits gharib). Sebagian ulama’ lain menyebut hadits ini sebagai Al-Fard. Hadits gharib dibagi menjadi dua :
Gharib Muthlaq, disebut juga : Al-Fardul-Muthlaq; yaitu bilamana kesendirian (gharabah) periwayatan terdapat pada asal sanad (shahabat). Misalnya hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam : {إنما الأعمال بالنيات} ”Bahwa setiap perbuatan itu bergantung pada niatnya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Umar bin Al-Khaththab, lalu darinya hadits ini diriwayatkan oleh Alqamah. Muhammad bin Ibrahim lalu meriwayatkannya dari Alqamah. Kemudian Yahya bin Sa’id meriwayatkan dari Muhammad bin Ibrahim. Kemudian setelah itu, ia diriwayatkan oleh banyak perawi melalui Yahya bin Sa’id. Dalam gharib muthlaq ini yang menjadi pegangan adalah apabila seorang shahabat hanya sendiri meriwayatkan sebuah hadits.
2. Gharib Nisbi, disebut juga : Al-Fardun-Nisbi; yaitu apabila keghariban terjadi pada pertengahan sanadnya, bukan pada asal sanadnya. Maksudnya satu hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari satu orang perawi pada asal sanadnya, kemudian dari semua perawi itu hadits ini diriwayatkan oleh satu orang perawi saja yang mengambil dari para perawi tersebut. Misalnya : Hadits Malik, dari Az-Zuhri (Ibnu Syihab), dari Anas radliyallaahu ‘anhu : {أن النبي صلى الله عليه وسلم دخل مكة وعلى رأسه المغفر} ”Bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam masuk kota Makkah dengan mengenakan penutup kepala di atas kepalanya” (HR. Bukhari dan Muslim). Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Malik dari Az-Zuhri. Dinamakan dengan gharib nisbi karena kesendirian periwayatan hanya terjadi pada perawi tertentu. [10]
Itulah garis besar penjelasan hadits dilihat dari segi sampainya kepada kita. Pembagian antara hadits mutawatir dan ahad sama sekali bukanlah masuk dalam ranah diterima atau ditolaknya satu khabar/hadits.
Antara Dlarury dan Nadhary
Telah disinggung sebelumnya bahwa pembagian hadits mutawatir dan ahad bukanlah dilihat dari segi penerimaan atau penolakannya. Para ulama Ahlul-Hadits telah sepakat bahwa diterima atau ditolaknya satu hadits berdasarkan validitas (keshahihan) hadits. Jika hadits itu shahih (atau hasan) maka diterima (maqbul), dan jika hadits itu dla’if (apalagi maudlu’/palsu dan laa ashla lahu/tidak ada asalnya) maka ditolak (mardud). Adapun hadits mutawatir merupakan bagian dari hadits maqbul; yang tidak berbeda secara makna dengan hadits shahih. Dengan demikian, dengan bahasa sederhana klasifikasi diterima atau ditolaknya suatu hadits dapat dirinci sebagai berikut :
Hadits Maqbul (Diterima) : Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad Shahih (atau Hasan).
Hadits Mardud (Ditolak) : Hadits Dla’if, Maudlu’, dan saudara-saudaranya.
Di sini kita tidak akan menyinggung Hadits Mardud. Kita akan fokus pada Hadits Maqbul, yang terdiri dari hadits mutawatir dan hadits ahad shahih.
Para ulama telah menjelaskan bahwa hadits mutawatir memberikan ilmu yang bersifat dlarury (aksiomatik). Maksudnya, hadits mutawatir ini mengandung ilmu yang harus diyakini yang mengharuskan kepada manusia untuk mempercayainya dengan sepenuh hati sehingga tidak perlu lagi mengkaji dan menyelidiki. Seperti pengetahuan kita akan adanya Makkah dan Madinah berada di Saudi Arabia, matahari itu panas, es itu dingin, dan lainnya; tanpa membutuhkan penelitian dan pengkajian. Maka hadits mutawatir adalah qath’i tidak perlu adanya penelitian dan penyelidikan tentang keadaan para perawinya .
Adapun hadits ahad (yang shahih), maka ia memberikan ilmu yang bersifat nadhary. Maksudnya, satu hadits ahad bisa memberikan satu ilmu setelah dilakukan pengkajian dan penelitian dengan seksama. Jika memang setelah diteliti membuktikan bahwa hadits tersebut shahih, dibawakan oleh para perawi terpercaya, serta selamat dari ‘illat (cacat tersembunyi yang menyebabkan kelemahan hadits) dan syudzudz (kejanggalan)[11], maka hadits tersebut adalah diterima lagi mengandung ilmu (keyakinan). Hadits ahad bisa menjadi semakin terangkat jika mempunyai penguat (qarinah) antara lain (ditulis secara ringkas) :
Hadits ahad tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dalam Shahihnya.
Hadits masyhur yang memiliki banyak jalur sanad yang kesemua jalur tersebut berbeda-beda dan di dalamnya tidak ada perawi-perawi yang lemah serta selamat dari illat hadits.
Hadits yang diriwayatkan secara berkelanjutan (musalsal) oleh para ulama hadits yang terpercaya dan teliti, sehingga hadits tersebut tidak asing lagi.
Hadits-hadits ahad yang mempunyai qarinah sebagaimana di atas, maka kedudukannya adalah kuat lagi qath’i (pasti). Al-Hafidh Ibnu Shalah berkata :
أهل الحديث كثيرا صحيح متفق عليه يطلقون ذلك ويعنون به اتفاق البخاري ومسلم لا اتفاق الأمة عليه لكن اتفاق الأئمة عليه لازم من ذلك وحاصل معه لاتفاق الأمة على تلقي ما اتفقا عليه بالقبول وهذا القسم جميعه مقطوع بصحته والعلم اليقيني النظري واقع به خلافا لقول من نفى ذلك محتجا بأنه لا يفيد في أصله إلا الظن
“Para ahli hadits sering menyebut hadits-hadits Bukhari dan Muslim dengan (shahih muttafaq ‘alaih). Maksudnya adalah yang disepakati oleh keduanya saja, bukan disepakati oleh umat secara keseluruhan. Akan tetapi, kesepakatan kaum muslimin sejalan dengan kesepakatan Bukhari dan Muslim karena mereka sepakat menerima hadits-hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Semua hadits yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim adalah qath’i keshahihannya dan mengandung ilmu yaqiny nadhary. Hal ini berbeda dengan orang yang menafikkkannya dimana mereka berhujjah bahwa hadits-hadits tersebut tidak menghasilkan sesuatu kecuali dhann ” [‘Ulumul-Hadits hal. 8-9, Maktabah Sahab].
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata :
والخَبَرُ المُحْتَفُّ بالقَرائِن أنواعٌ : مِنْها مَا أَخْرَجَهُ الشَّيْخانِ في صَحيحَيْهِما ممَّا لَمْ يَبْلُغْ حَدَّ المتواتِرِ، فإِنَّهُ احْتُفَّتْ بِهِ قرائِنُ ؛ منها : جَلالتُهُما في هذا الشَّأْنِ . وتَقَدُّمُهُما في تَمْييزِ الصَّحيحِ على غيرِهما . وتَلَقِّي العُلماءِ كِتابَيْهِما بالقَبُولِ ، وهذا التَّلقِّي وحدَهُ أَقوى في إِفادةِ العلمِ مِن مُجَرَّدِ كَثْرَةِ الطُّرُقِ القاصرةِ عَنِ التَّواتُرِ
“Hadits yang mengandung ilmu yaqin karena qarinah ada beberapa macam. Salah satunya apabila diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dalam Shahih-nya yang tidak mencapai derajat mutawatir. Hadits ini mengandung ilmu yaqin karena : a) Kemuliaan keduanya (Bukhari dan Muslim) dalam hadits; b) Keduanya adalah orang yang terdahulu yang memisahkan hadits shahih; dan c) restu para ulama untuk menerima kedua kitabnya. Restu ini saja lebih kuat untuk menjadikan haditsnya mengandung ilmu yaqin daripada banyaknya jalan yang tidak mencapai mutawatir” [Nuzhatun-Nadhar fii Taudliihi Nukhbatil-Fikar oleh Ibnu Hajar hal. 74].
Syaikh Ahmad Syakir (1309-1377 H) [12] berkata : “…..bahwa hadits yang shahih bisa menjadi ilmu qath’i, baik yang ada pada dua kitab shahih atau yang lainnya. Ilmu Yaqini ini adalah ilmu nadhary burhany. Ilmu ini tidak diketahui kecuali oleh para ulama yang menyelidiki atau meneliti dengan sangat mendalam tentang ilmu hadits, yang mempunyai pengetahuan yang banyak tentang kondisi para perawi dan kelemahan-kelemahannya…” [Al-Ba’itsul-Hatsits hal. 39].
Inilah yang disebut dengan ilmu dlarury dan ilmu nadhary sebagaimana dijelaskan para ulama. Intinya, ilmu dlarury dan ilmu nadhary tidaklah berbeda dalam konsekuensi hukumnya. Dua-duanya wajib diyakini, diimani serta diamalkan; baik masalah aqidah ataupun hukum. Itulah madzhab salaf Ashhaabul-Hadits dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Antara ‘Ilmu Yaqin dan Dhann
Terdapat khilaf ‘ulama tentang pembahasan : “Apakah hadits ahad menghasilkan ilmu yaqini atau dhann ?”. Pembahasan ini menghasilkan khilaf yang banyak dan polemik yang panjang. Ada sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh Al-Ustadz Abu Hamzah A. Hasan Bashari yang berjudul Khabar Ahad ‘indal-Ushuliyyin [13] di bawah bimbingan Dr. Ahmad Al-Khatm As-Sudani Al-Ushuli yang dilakukan pada tahun 1413 di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud Jakarta (LIPIA) terkait dengan bahasan ini. Secara garis besar dijabarkan sebagai berikut :[14]
Ada tiga pendapat mengenai masalah ini :
Hadits ahad memberikan makna qath’i (pasti) dan ilmu dlarury secara mutlak, baik yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, atau yang lainnya.
Ini adalah madzhab Dawud Adh-Dhahiri (200-270 H), Husain Al-Karabisi (w. 245 H), Harits Al-Muhasibi (w. 243 H), dan Imam Malik (menurut riwayat Ibnu Khuwaiz Mindad). Dan inilah yang dipilih oleh Ibnu Hazm (384-456 H) dimana ia mengatakan {أن خبر الواحد العدل عن مثله إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم يوجب العلم والعمل معا } "Bahwasannya khabar wahid yang (dibawakan oleh perawi) ‘adil dari orang semisal sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alahi wasallam mewajibkan ilmu dan ‘amal sekaligus" [Al-Ihkaam fii Ushuulil-Ahkaam oleh Ibnu Hazm ; Maktabah Al-Misykah].
2. Hadits ahad adalah qath’i keshahihannya dan menghasilkan ilmu jika disertai qarinah-qarinah.
Adapun qarinah-qarinahnya adalah sebagaimana disebutkan di atas. Bahkan sebagian ulama lain menambahkan bahwa hadits yang shahih menurut syarat Bukhari-Muslim juga qath’i meskipun tidak dikeluarkan oleh keduanya. Ini adalah pendapat dari Abu Ishaq Asy-Syirazi (343-376 H), Abu Hamid Al-Isfirayini (344-406 H), Qadli Abu Thibb (w. 308 H) dari kalangan Syafi’iyyah; As-Sarkhasi (302-494 H) dari Hanafiyyah; Qadli Abdul-Wahhab (362-422 H) dari Malikiyyah; Abu Ya’la (380-458 H), Abu Al-Khaththab (432-510 H), Ibnu Az-Zaghuni (455-527 H) dari Hanabilah; Ibnu Furak Asy-Syafi’i; seluruh ahli hadits (terlalu banyak untuk disebutkan); dan ini merupakan madzhab salaf secara keseluruhan.
Hadits ahad tidak memberikan makna qath’i , akan tetapi dhanni tsubut secara mutlak.Ini adalah madzhab masyhur dari kelompok Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazillah. Lalu diikuti oleh kelompok Asy’ariyyah dan Maturidiyyah dari kalangan Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan mayoritas Malikiyyah [15]. Diantaranya Ar-Razi (544-606 H), Al-Ghazali (405-505 H), Al-Juwaini (w. 478 H), dan Ibn ‘Abdis-Salaam (577-660 H). Dan inilah yang dikuatkan oleh An-Nawawi (631-670 H).
Itulah garis besar perbedaan pendapat seputar pembahasan apakah hadits ahad menghasilkan ilmu yaqin atau dhann. Penyebutan khilaf di atas meliputi khilaf yang terjadi pada kalangan Ahlus-Sunah ataupun selainnya (Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Syi’ah, Khawarij, dan Mu’tazillah).
Perbedaan pendapat di kalangan Ahlus-Sunnah dan/atau Ahli Hadits mengenai kekuatan khabar/hadits ahad dapat dikompromikan. Sebab seluruhnya – kecuali Khawarij dan Mu’tazillah – bersepakat bahwa hadits ahad wajib diamalkan. Titik perbedaannya adalah sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaukani (setelah beliau menyebutkan berbagai khilaf permasalahan di atas) :
واعلم أن الخلاف الذي ذكرناه في أول هذا البحث من إفادة خبر الآحاد الظن أو العلم مقيد بما إذا كان خبر واحد لم ينضم إليه ما يقويه ، وأما إذا انضم إليه ما يقويه أو كان مشهوراً أو مستفيضاً فلا يجري فيه الخلاف المذكور. ولا نزاع في أن خبر الواحد إذا وقع الإجماع على العمل بمقتضاه فإنه يفيد العلم لأن الإجماع عليه قد صيره من المعلوم صدقه وهكذا خبر الواحد إذا تلقته الأمة بالقبول فكانوا بين عامل به ومتأول له ومن هذا القسم أحاديث صحيحي البخاري ومسلم فإن الأمة تلقت ما فيهما بالقبول ومن لم يعمل بالبعض من ذلك فقد أوله والتأويل فرع القبول......
”Ketahuilah, perbedaan pendapat yang kami sebutkan di awal pembahasan ini, yaitu apakah hadits ahad memberikan informasi dhann atau ilmu, dibatasi dengan ketentuan jika khabar ahad ini tidak dikuatkan oleh yang lain. Adapun jika ada yang hadits menguatkannya, atau dia itu masyhur atau mustafidh, maka tidak berlaku perbedaan pendapat di dalamnya. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa hadits ahad itu, apabila telah disepakati bulat (ijma’) untuk diamalkan sesuai dengan konsekuensinya, maka ia memberikan ilmu (keyakinan), karena ijma’ itu telah menjadikannya sebagai sesuatu yang telah dikenal kebenarannya. Begitu pula hadits ahad yang diterima oleh umat Islam, diantara mereka ada yang mengamalkan hadits itu dan ada pula yang menta’wilkannya. Yang termasuk dalam jenis hadits ini adalah hadits-hadits yang terdapat dalam dua kitab shahih – Bukhari dan Muslim – karena kaum muslimin telah sepakat menerima hadits-hadits yang tercantum dalam kedua kitab ini. Di antara mereka yang tidak mengamalkan sebagian hadits-hadits tersebut, maka mereka menta’wilkannya. Dan ta’wil adalah termasuk bentuk dari penerimaan ……” [Irsyadul-Fuhul oleh Imam Asy-Syaukani halaman 114 – Maktabah Sahab].
Kesimpulan di point ini, secara umum hadits ahad itu mempunyai karakter memberikan dhann, akan tetapi ucapan dhanniyyatul-hadits tidak bermakna lagi setelah hadis itu benar-benar dinyatakan shahih dan diterima oleh para ulama ahli hadits. Sebab syarat-syarat yang diterapkan untuk menshahihkannya dan qarinah penerimaan ulama terhadapnya telah menghilangkan seluruh makna dhann. Maka pada saat itu, hadits ahad memberikan keyakinan atau ilmu. Tetapi ilmu di sini bersifat nadhari, artinya didapat setelah penelitian oleh para ahlinya, bukan ilmu dlaruri (sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya).
Hadits Ahad Tidak Boleh Digunakan dalam Masalah ‘Aqidah ?
Sebagaimana yang telah lalu, bahwa peristilahan mutawatir dan ahad ini hanyalah sebatas pada pembahasan sampainya khabar pada kita. Tidak masuk padanya pembahasan diterima atau tidaknya satu hadits. Penerimaan satu hadits hanyalah terletak pada tingkat keshahihannya. Jika shahih maka diterima, dan jika dla’if (lemah) maka ditolak. Pembagian mutawatir dan ahad ini bermanfaat dalam pembahasan ta’arudl (pertentangan) antara satu hadits dengan hadits lain. Jika ada satu hadits yang dibawakan oleh satu orang perawi yang menyelisihi perawi lain yang lebih kuat atau lebih banyak, maka hadits itu adalah lemah. Jika perawinya merupakan perawi lemah lagi tidak tsiqah, maka haditsnya dinamakan hadits munkar. Jika perawinya adalah tsiqah, maka haditsnya dinamakan hadits syadz. Inilah yang dikenal oleh para ulama salaf ashhaabul-hadits.
Tidak ada pembedaan antara masalah aqidah dan hukum dalam penerimaan hadits ahad yang shahih. Allah telah berfirman :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللّهُ وَرَسُولُهُ أَمْراً أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. [QS. Al-Ahzaab : 36].
Kalimat amran [أَمْراً] dalam ayat di atas adalah umum yang meliputi semua perkara, baik masalah aqidah atau hukum, yang sampai pada kita melalui jalan mutawatir ataupun ahad. Hal yang sama tercermin dalam firman Allah :
وَمَآ آتَاكُمُ الرّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُواْ
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. [QS. Al-Hasyr : 7].
فَلْيَحْذَرِ الّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. [QS. An-Nur : 63].
Ayat-ayat di atas (dan juga masih banyak ayat yang lainnya) menunjukkan keumuman wajibnya menerima khabar yang berisi perintah, larangan, aqidah, hukum, dan yang lainnya. Pengkhususan atas pembedaan antara masalah aqidah dan hukum serta mutawatir dan ahad; sama sekali tidak ditunjang dengan dalil yang kuat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus satu orang (yang dalam segi periwayatan dinamakan ahad) kepada satu negeri untuk menyampaikan masalah aqidah dan hukum sebagaimana perkataan beliau ketika mengutus Mu’adz ke negeri Yaman :
إنك تأتي قوماً من أهل الكتاب، فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله ـ وفي رواية: إلى أن يوحدوا الله ـ وأني رسول الله، فإن هم أطاعوك لذلك فأخبرهم أن الله فرض عليهم خمس صلوات في كل يوم وليلة.......
“Sesungguhnya kamu mendatangi suatu kaum yang berasal dari Ahli Kitab. Maka jadikanlah awal dari apa yang kamu serukan kepada mereka adalah persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah – dalam lain riwayat : ajakan untuk mentauhidkan Allah – dan bahwasannya aku adalah Rasulullah (utusan Allah). Jika mereka mentaatimu, maka khabarkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka lima shalat dalam sehari dan semalam…..” [Muttafaqun ‘alaih].
Hadits di atas mengandung satu pelajaran bahwa penyampaian satu khabar oleh satu orang yang terpercaya [16] adalah wajib untuk diterima. Khabar yang disampaikan oleh Mu’adz bin Jabal dari Nabi kepada penduduk Yaman merupakan khabar yang berisi aqidah dan hukum sekaligus.[17].
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata :
ولو جاز لأحد من الناس أن يقول في علم الخاصة أحمع المسلمون قديما وحديثا على تثبيت خبر الواحد والانتهاء إليه بأنه لم يعلم من فقهاء المسلمين أحد إلا وقد ثبته جاز لي ولكن أقول لم أحفظ عن فقهاء المسلمين اختلفوا في تثبيت خبر الواحد.....
“Seandainya diperbolehkan bagi seseorang awam untuk mengatakan sesuatu dalam pembahasan ilmu khusus : ‘Kaum muslimin telah bersepakat dulu dan sekarang atas tetapnya khabar wahid (hadits ahad) dan berhenti di atasnya (yaitu menjadikannya hujjah)’; dimana ia tidak mengetahui seorangpun dari fuqahaa kaum muslimin yang menetapkannya, maka hal itu diperbolehkan menurutku [18]. Akan tetapi aku katakan : “Tidaklah aku menghafal dari fuqahaa kaum muslimin bahwa mereka telah berselisih pendapat dalam penetapan khabar ahad…….” [Ar-Risalah oleh Imam Asy-Syafi’i, hal. 154; Maktabah Sahab].
فلا يجوز عندي عن عالم أن يثبت خبر واحد كثيرا ويحل به ويحرم ويرد مثله إلا من جهة أن يكون عنده حديث يخالفه أو يكون ما سمع من سمع منه أوثق عنده ممن حدثه خلافه أو يكون من حدثه ليس بحافظ أو يكون متهما عنده أو يتهم من فوقه ممن حدثه أو يكون الحديث محتملا معنيين فيتأول فيذهب إلى أحدهما دون الآخر
“Menurut pandanganku, tidak boleh bagi seorang ulama untuk menetapkan banyak hadits ahad, kemudian ia menghalalkan dan mengharamkan sesuai dengannya, akan tetapi ia juga menolak hadits sepertinya (dalam beberapa hal) kecuali jika ia memiliki hadits yang bertolak belakang dengannya akan lebih kuat atau orang yang riwayatnya diambil lebih tsiqah (terpercaya) baginya dari orang yang meriwayatkan kepadanya dengan riwayat yang berbeda [19], atau orang yang meriwayatkannya bukan hafidh (orang yang hafal hadits). Atau orang itu dicurigai/dituduh berdusta atau perawi yang di atasnya tertuduh (berdusta) atau karena hadits itu mengandung kemungkinan dua makna sehingga dita’wil dan salah satu maknanya diambil”. [idem].
Di sini Imam Asy-Syafi’i menetapkan bahwa hadits-hadits yang shahih harus diterima secara keseluruhan baik dalam masalah aqidah maupun hukum. Imam Asy-Syafi’i tidak membedakannya. Barangsiapa yang mengklaim bahwa beliau membedakannya, ia harus membawakan bukti. [20]
Bahkan Ibnu ‘Abdil-Barr Al-Andalusy [21] telah mengisyaratkan ijma’ tentang penerimaan dan pengamalan khabar/hadits ahad dalam semua permasalahan agama (termasuk aqidah dan hukum), dimana beliau berkata :
وكلهم يدين بخبر الواحد العدل في الاعتقادات ، ويعادي ويوالي عليها ، ويجعلها شرعاً وديناً في معتقده ، على ذلك جميع أهل السنة
“….Dan semuanya berpegang kepada satu riwayat satu orang yang adil dalam hal ‘aqidah; membela, mempertahankannya, serta menjadikannya sebagai syari’at dan agama. Seperti itu pula pendapat jama’ah Ahlus-Sunnah” [At-Tamhiid oleh Ibnu ‘Abdil-Barr 1/8].
وأجمع أهل العلم من أهل الفقه والأثر في جميع الأمصار فيما علمت على قبول خبر الواحد العدل وايجاب العمل به إذا ثبت ولم ينسخه غيره من أثر أو أجماع على هذا جميع الفقهاء في كل عصر من لدن الصحابة الى يومنا هذا الا الخوارج وطوائف من أهل البدع شرذمة لا تعد خلافا
“Telah ijma’ ahli ilmu dari ahli fiqh dan atsar di seluruh penjuru (negeri-negeri Islam) – sepanjang saya ketahui – untuk menerima hadits ahad (hadits riwayat satu orang) yang 'adil (shalih dan terpercaya). Begitu pula (telah ijma’) untuk wajib mengamalkannya, jika ia telah shahih dan tidak dinasakh (dihapus) oleh yang lainnya, baik dari atsar atau ijma’. Inilah prinsip seluruh fuqahaa di setiap negeri, sejak jaman shahabat hingga hari ini, kecuali Khawarij dan Ahli Bid’ah, yaitu sekelompok kecil yang (ketidaksepakatannya) tidak sebagai perbedaan pendapat” [idem 1/11].
Abul-Mudhaffar As-Sam’any Asy-Syafi’i berkata : “Sesungguhnya hadits, jika benar dari Rasulullah shallallaau ‘alaihi wasallam, diriwayatkan oleh para imam yang tsiqah (terpercaya), dan orang belakangan mereka menyandarkan kepada orang terdahulu (dari) mereka hingga kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan diterima umat; maka hadits itu mewajibkan ilmu dalam apa yang berkaitan dengan ilmu. Ini adalah perkataan kebanyakan Ahli Hadits dan orang-orang yang menekuni As-Sunnah. Dan pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad tidak membuahkan ilmu dengan sendirinya, dan harus diriwayatkan secara mutawatir karena ilmu yang ada padanya; adalah sesuatu yang diada-adakan oleh Qadariyyah dan Mu’tazillah yang bertujuan menolak hadits-hadits” [Risalah Al-Intishaar li-Ahlil-Hadits yang diringkas oleh As-Suyuthi dalam Shaunul-Manthiq wal-Kalam hal. 160-161].
Masih banyak nukilan para ulama Ahlus-Sunnah yang senada (untuk menerima dan mengamalkan hadits ahad dalam perkara aqidah dan hukum) baik secara manthuq maupun mafhum seperti Abu Hanifah[22], Malik bin Anas[23], Ahmad bin Hanbal [24], Ibnu Hajar [25], An-Nawawi [26], Ibnu Katsir, Ibnu Shalah, dan yang lainnya. Dan sungguh, sebagian orang telah membuat kedustaan bahwa para ulama Ahlus-Sunnah bersepakat untuk tidak memakai hadits ahad dalam masalah aqidah dan keimanan.[27]
Apabila mereka menganggap bahwa sebagian ulama Ahlus-Sunnah telah berpendapat bahwa hadits ahad menghasilkan dhann , padahal aqidah tidak boleh ditetapkan melalui dhann. Konsekuensinya, hadits ahad tidak bisa dipakai dalam masalah ‘aqidah.
Kita jawab : Pada hakikatnya mereka telah mengatakan apa-apa yang tidak pernah dikatakan oleh ulama Ahlus-Sunnah. Memang benar bahwa sebagian di antara mereka berpendapat bahwa hadits ahad hanya menghasilkan dhann. Namun mereka tidak pernah berpendapat bahwa hadits ahad tidak bisa digunakan dalam masalah ‘aqidah. Hal itu disebabkan karena :
Kata dhann {ظَنّ} dalam bahasa Arab bisa mempunyai dua pengertian. Jika ia digunakan dalam hal yang condong pada kesalahan (marjuh), maka maknanya adalah “taksiran” dan “perkiraan”. Namun jika ditujukan pada hal yang condong pada kebenaran (rajih), maka yang dimaksud adalah ilmu dan keyakinan. Dinukil dari Al-Munawi bahwasannya ia berkata : {الظَنّ الاعتقاد الراجح مع إحتمال النقيض ويستعل في اليقين والشك} “Dhann adalah keyakinan kuat disertai adanya kemungkinan lain yang berlawanan. Dipergunakan juga dalam arti yakin dan syakk (keraguan) [lihat Taajul-Arus 9/271]. Al-Qurthubi berkata : {الظن الشرعي الذي هو تغليب أحد الجانبين أو هو بمعنى اليقين} “Dhann menurut syara’ adalah mengutamakan salah satu dari dua hal yang berbeda, atau terkadang dipakai dengan makna yakin” [Fathul-Bari 10/481]. Ringkasnya, kata dhann bisa bermakna keraguan dan keyakinan [lihat Lisaanul-‘Arab 13/272]. Silakan juga untuk melihat penjelasan Ibnul-Atsir dalam kitab An-Nihayah fii Gharibil-Hadits 3/162-163.
Terkait dengan butir 1, maka sebagaimana telah dijelaskan bahwa dhann tersebut bisa diterima dan diamalkan (dalam semua perkara syari’at) jika diiringi indikasi-indikasi yang mengarah pada keyakinan. Indikasi ini terletak pada penelitian yang dilakukan pada hadits ahad. Ketika sebuah hadits dikatakan shahih, maka pengertiannya bukanlah syakk (keraguan), tapi keyakinan. Dan inilah ilmu nadhary.
Allah telah memuji dhann orang-orang mukmin sebagaimana firman-Nya :
وَاسْتَعِينُواْ بِالصّبْرِ وَالصّلاَةِ وَإِنّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلاّ عَلَى الْخَاشِعِينَ* الّذِينَ يَظُنّونَ أَنّهُم مّلاَقُو رَبّهِمْ وَأَنّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang mempunyai “dhann” (meyakini), bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. [QS. Al-Baqarah : 45-46].
قَالَ الّذِينَ يَظُنّونَ أَنّهُمْ مُلاَقُواْ اللّهِ كَم مّن فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةٍ كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللّهِ وَاللّهُ مَعَ الصّابِرِينَ
“Orang-orang yang mempunyai “dhann” (meyakini) bahwa mereka akan menemui Allah, berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” [QS. Al-Baqarah : 249].
وَعَلَى الثّلاَثَةِ الّذِينَ خُلّفُواْ حَتّىَ إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ الأرْضُ بِمَا رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنّوَاْ أَن لاّ مَلْجَأَ مِنَ اللّهِ إِلاّ إِلَيْهِ ثُمّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوَاْ إِنّ اللّهَ هُوَ التّوّابُ الرّحِيمُ
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka mempunyai “dhann” ( telah mengetahui) bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [QS. At-Taubah : 118].
Dan ayat yang lainnya. Di situ menunjukkan bahwa tidak semua dhann itu adalah tercela dan tidak bisa digunakan sebagai dasar dalam syari’at. Bahkan dhann dalam ayat-ayat di atas dipakai dalam hal-hal keimanan kepada Allah. [28]
Kesimpulan di point ini adalah bahwa : Hadits ahad merupakan hujjah dalam masalah ‘aqidah dan hukum. Pendapat yang mengatakan bahwa hadits ahad hanyalah dikhususkan dalam masalah hukum dan tidak berlaku untuk masalah aqidah adalah pendapat yang lemah dan tidak mempunyai pijakan yang kuat [29], serta merupakan pendapat dari kalangan yang menyimpang dari jalan Ahlus-Sunnah (Ashhaabul-Hadiits) [30]. Kalaupun toh ada ulama Ahlus-Sunnah yang berpegang demikian, khilaf tersebut tidaklah mu’tabar dan tidak mempengaruhi ijma’ Ahlus-Sunnah. Janganlah kita mudah terpengaruhi oleh klaim-klaim pihak tertentu yang mengatakan bahwa permasalahan ini masih khilaf di kalangan Ahlus-Sunnah (yang dikesankan seolah-oleh merupakan khilaf mu’tabar) [31]. Kalangan Ahlus-Sunnah memang berbeda pendapat mengenai hadits ahad apakah menghasilkan ilmu yaqin atau dhann (sebagaimana telah disinggung sebelumnya). Namun mereka tidak berbeda pendapat tentang penerimaan dan pengamalan hadits ahad baik dalam masalah aqidah maupun hukum [32]. Dan sekali lagi, satu pembahasan hadits harus dikembalikan pada ulama hadits Ahlus-Sunnah. Bukan selainnya.
Wallaahu a’lam.[33]
Abu ‘Aisyah Al-Jauzaa 1429(abul.jauzaa@gmail.com)
Catatan kaki :
[1] Beberapa catatan dan koreksi atas penjelasan materi yang disampaikan oleh seorang pengajar dari Hizbut-Tahrir yang diberikan pada tanggal 13 Januari 2008 M di Masjid Al-Hijri Ciomas Permai mengenai Ilmu Hadits, khususnya pembahasan hadits mutawatir dan hadits ahad.
[2] Hadits ini dengan keseluruhan jalan periwayatannya adalah shahih. Telah dishahihkan oleh banyak ulama hadits seperti : At-Tirmidzi, Al-Hakim, Adz-Dzahabi, Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah, Asy-Syathibi dalam Al-I’tisham, Ibnu Hibban dalam Shahihnya, Ibnu Katsir dalam Tafsirnya, Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa, Ibnu Hajar dalam Takhrij Al-Kasyaf, Al-Albani dalam Ash-Shahiihah, dan yang lainnya.
[3] Dinukil melalui perantara kitab Minhajul-Firqatin-Najiyyah wath-Thaaifah Al-Manshurah oleh Ibnu Zainu, Cet. 9.
[4] Silakan disimak perkataan para ulama dalam kitab tersebut tentang eksistensi Ashhaabul-Hadiits !
[5] Penyebutan para Ahli Hadits secara khusus dalam cakupan makna Ashhaabul-Hadits merupakan penisbatan yang dilakukan oleh para ulama Ahlus-Sunnah. Silakan lihat kitab Ma’rifatu ‘Ulumil-Hadiits oleh Al-Hakim An-Naisaburi.
[6] Sebagian ahli hadits tidak membaginya menjadi dua, namun menjadi empat : mutawatir, masyhur, ‘aziz, dan gharib. Tidak ada perbedaan mendasar dalam permasalahan ini, karena hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib termasuk klasifikasi hadits ahad.
[7] Sebenarnya pembagian hadits muatawatir dan ahad tidaklah dimulai oleh kalangan ahli hadits di kalangan awal (tidak ada asalnya dari kalangan Ashhaabul-Hadiits). Namun, pembagian itu dimulai oleh kalangan ahli ushul dan ahli kalam. Pembagian tersebut pertama kali dilakukan oleh Abdurrahman bin Kaisan Al-Asham yang kemudian diikuti oleh muridnya yang bernama Ibrahim bin Isma’il bin Ibrahim. Ibrahim bin Isma’il ini adalah seorang Jahmi (penganut paham Jahmiyyah – paham sesat yang telah dikafirkan para ulama). [Lihat Al-Mukhtarah fii Ajwibatil-Musthalah oleh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i hal. 63-64; Maktabah Sahab]. Maka, kita tidak akan temukan pembagian ahad dan mutawatir ini di kalangan ulama ahli hadits terdahulu. Kalaupun misal sebagian ulama menyebutkan ahad dan mutawatir, itu bukanlah seperti maksud yang dimaui kalangan ahli ushul. Namun hal itu semata-mata hanya dilihat dari jumlah perawi saja. Hal itu tercermin sebagaimana dalam kitab Ar-Risalah karangan Imam Asy-Syafi’i. Beliau menyebutkan khabar wahid atau khabar ahad, namun maksud beliau semata-mata hanyalah penekanan pada jumlah perawi saja yang menyampaikan hadits yaitu satu orang. Hal itu dipertegas dengan penjelasan Al-Imam Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafy ketika mensyarah kitab Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah karangan Imam Ath-Thahawi Al-Hanafy :
يشير الشيخ رحمه الله بذلك إلى الرد على الجهمية والمعطلة والمعتزلة والرافضة ، القائلين بأن الأخبار قسمان : متواتر وآحاد ، فالمتواتر - وإن كان قطعي السند - لكنه غير قطعي الدلالة ، فإن الأدلة اللفظية لا تفيد اليقين !
“Syaikh rahimahullah (yaitu Imam Ath-Thahawi) mengisyaratkan kepada bantahan terhadap Jahmiyyah, Mu’aththilah, Mu’tazillah, dan Rafidlah yang mengatakan bahwa khabar itu terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir dan ahad. (Mereka mengatakan :) adapun khabar mutawatir, meskipun sanadnya telah qath’i namun dilalahnya tidak qath’i, maka dalil-dalil lafdhiyyah tersebut tidak menghasilkan keyakinan” [Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyyah, hal. 161, Maktabah Al-Misykah].
Berbeda halnya dengan Ushuliyyun yang mendefinisikan sebagai hadits/khabar yang tidak terpenuhi syarat-syarat hadits mutawatir. Pembagian hadits antara ahad dan mutawatir dari kalangan Ushuliyyun ini kemudian diikuti oleh sebagian kalangan Ahli Hadits muta’akhkhirin, seperti Ibnul-Atsir Al-Jazri dalam muqaddimah kitab Jami’ul-Ushul dan juga Al-Khathib Al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Kifayah fii ‘Ilmir-Riwayah. Imam As-Suyuthi berkata : “(Termasuk di dalamnya) yaitu masyhur (yaitu mutawatir yang dikenal dalam ilmu fiqh dan ushul-fiqh, dan tidak ada disebutkan oleh Muhadditsin) dengan nama khusus yang mengesankan maknanya khusus pula. Meskipun terdapat perkataan Al-Khathib, yaitu Al-Baghdadi, namun dalam perkataannya tersebut terkesan ia mengikuti selain Ahli Hadits. Demikianlah yang dinyatakan oleh Ibnu Shalah” [Tadribur-Rawi juz 2 hal. 176].
[8] Syarat ini menjadi sangat penting, sebab Ahlus-Sunnah menolak riwayat para perawi Syi’ah Rafidlah yang ekstrim walau jumlah mereka banyak. Hal itu dikarenakan bahwa perawi Syi’ah Rafidlah adalah para pendusta yang telah banyak membuat kesepakatan (ijma’) dalam dusta. Misalnya ijma’ mereka tentang kafirnya Abu Bakar dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Ijma’ ini tentu saja tidak kita anggap.
[9] Hadits masyhur di luar istilah tersebut dapat dibagi menjadi beberapa macam yang meliputi : mempunyai satu sanad, mempunyai beberapa sanad, dan tidak ada sanad sama sekali; seperti :
Masyhur di antara para ahli hadits secara khusus, misalnya hadits Anas : ”Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ berdoa untuk (kebinasaan) Ra’l dan Dzakwan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Masyhur di kalangan ahli hadits dan ulama dan orang awam, misalnya : ”Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Masyhur di antara para ahli fiqh, misalnya : ”Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah talaq” (HR. Al-Hakim; namun hadits ini adalah dla’if).
Masyhur di antara ulama ushul fiqh, misalnya : ”Telah dibebaskan dari umatku kesalahan dan kelupaan…..” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Hibban).
Masyhur di kalangan masyarakat umum, misalnya : ”Tergesa-gesa adalah bagian dari perbuatan syaithan” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan).
[Lihat Nuzhatun-Nadhar hal. 26 dan Tadribur-Rawi halaman 533].
[10] Nuzhatun-Nadhar oleh Ibnu Hajar hal. 28 dan Taisir Musthalah Al-Hadits oleh Mahmud Ath-Thahhan hal. 28.
[11] Hadits syadz adalah hadits yang dibawakan oleh perawi yang terpercaya (tsiqah) yang menyelisihi perawi yang lebih terpercaya darinya, baik dari segi hafalannya, jumlahnya, atau yang lainnya sehingga periwayatannya dimenangkan.
[12] Seorang muhaddits, mufassir, dan pakar ushul dari Mesir. Beliau adalah salah seorang ulama Al-Azhar yang disegani di masanya. Beberapa karya beliau di antaranya : Tahqiq Al-Ihkam li-Ibni Hazm, Tahqiq Alfiyatul-Hadits lis-Suyuthi, Syarh Musnad Imam Ahmad (belum selesai), Tahqiq Al-Kharaj li Yahya bin Adam, Tahqiq Ar-Raudlatin-Nadliyyah li-Shiddiq Hasan Khan, ‘Umdatut-Tafsir, Takhrij Tafsir Ath-Thabari, dan yang lainnya.
[13] Dimana beliau mendapatkan predikat Cum Laude (mumtaz)
[14] Diramu dengan tulisan ‘Utsman ‘Ali Hasan yang berjudul Manhajul-Istidlal ‘alaa Masaailil-I’tiqad ‘inda Ahlis-Sunnah.
[15] Maksudnya adalah kalangan yang mengambil madzhab fiqh dari Hanafiyyah, Syafi’iyyah, dan Malikiyyah namun beraqidah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah.
[16] Yaitu shahabat Mu’adz bin Jabal. Ia adalah seorang diri, yang berarti apa yang disampaikan kepada penduduk Yaman adalah khabar/hadits ahad.
[17] Sebagian orang belakangan menyanggah pendalilan itu dengan alasan bahwa pengutusan Mu’adz (dan juga para shahabat yang lain) oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hanyalah untuk tabligh saja. Bukan untuk diyakini. Mereka juga mengatakan bahwa pengutusan beliau tersebut hanyalah sebatas keperluan dakwah saja, dan ini terkait dengan masalah amal/huku saja. Tidak berkaitan dengan masalah aqidah. Menolak dakwah Islam tidak termasuk kekafiran [lihat selengkapnya dalam kitab mereka yang berjudul Ad-Dausiyyah - kitab sandaran Hizbut-Tahrir - lembaran ke 5-6].
Kita jawab : “Wallaahi (demi Allah), perkataan mereka adalah perkataan yang sungguh kontradiktif yang tidak pernah dinukil dari ulama salaf. Mereka membuat-buat alasan yang tidak pernah terdengar dari para ulama kita yang mu’tabar terdahulu. Dakwah Islam meliputi aspek aqidah dan hukum sekaligus. Memisahkan antara keduanya adalah sesuatu hal yang tidak bisa diterima oleh aqli (akal) apalagi naqli (dalil). Dakwah pada hakikatnya merupakan penyampaian khabar/hadits, yaitu khabar dari Rasulullah untuk beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Menolak apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam merupakan dosa. Bila mereka mengatakan bahwa menolak dakwah Islam (yang di dalamnya mencakup masalah aqidah) tidak dapat menyebabkan kekafiran, tentu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak akan mendoakan kehancuran Kisra’ (raja Persia) ketika ia merobek-robek surat yang berisi ajakan masuk Islam [sebagaimana hadits yang dibawakan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma dengan banyak jalan dan syawahidnya]. Banyak hal yang bisa dibantah atas perkataan mereka ini. Allahul-Musta’an.
[18] Perhatikanlah uslub bicara Imam Asy-Syafi’i. Perkataan beliau tidaklah mengandung pembolehan orang awam berkata-kata pada hal-hal khusus dalam agama yang ia tidak mengetahuinya. Perkataan beliau merupakan pengibaratan dikarenakan penerimaan dan pembenaran khabar ahad merupakan satu keharusan bagi setiap muslimin tanpa terkecuali.
[19] Dalam Ilmu Hadits, termasuk dalam bahasan kriteria hadits syadz.
[20] Yang aneh adalah bahwa ada sebagian orang menisbatkan satu kedustaan kepada Imam Asy-Syafi’i bahwa beliau membedakan antara masalah ‘aqidah dan hukum pada penerimaan hadits ahad. Dalam perkataannya yang masyhur Imam Asy-Syafi’i ketika ditanya oleh Sa’id bin Asad tentang hadits Ru’yah (melihat Allah ketika hari kiamat – ini masalah aqidah) beliau menjawab : “Hai Ibnu Asad, hukumlah aku baik aku hidup atau mati, bahwa setiap hadits shahih yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam aku berpendapat dengannya, sekalipun aku tidak mendengarnya langsung” [Manaqib Asy-Syafi’i 1/421]. Apakah di sini beliau rahimahullah mensyaratkan mutawatir ? Bahkan dalam kitab Ar-Risalah, Imam Asy-Syafi’i membuat judul khusus : Al-Hujjatu fii Tatsbiiti Khabaril-Waahid.
[21] Perlu diketahui bahwa Al-Hafidh Ibnu ‘Abdil-Barr adalah salah seorang ulama yang berpendapat bahwa khabar/hadits ahad membuahkan amal, tidak membuahkan ilmu (yaqini). Namun beliau tetap mewajibkan untuk menerima dan mengamalkan hadits ahad baik dalam masalah ‘aqidah dan hukum. Lihat perkataan beliau berikut : { ليس في الاعتقاد كله في صفات الله وأسمائه إلا ما جاء منصوصا في كتاب الله أو صح عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أو أجمعت عليه الأمة وما جاء من أخبار الآحاد في ذلك كله أو نحوه يسلم له ولا يناظر فيه } “Tidaklah setiap masalah aqidah tentang sifat Allah dan Asma’-Nya, kecuali telah tertulis dalam Kitab Allah, atau ada riwayat shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, atau umat telah menyepakatinya. Dan hadits-hadits yang datang tentang itu semua atau sejenisnya diterima tanpa dibantah” [Jaami’ Bayanil-‘Ilmi wa Fadllihi hal. 203; Maktabah Al-Misykah]. Padahal sebagian hadits-hadits yang berbicara tentang asma’ wa shifat Allah itu adalah hadits ahad.
[22] Abu Hanifah berkata : “Hadits tentang mi’raj adalah benar. Barangsiapa mengingkarinya, maka ia sesat dan berbuat bid’ah” [Al-Fiqhul-Akbar hal. 92]. Apabila Abu Hanifah berpendapat bahwa hadits ahad tidak dipakai dalam masalah ‘aqidah, tentu beliau tidak menganggap sesat orang yang mengingkarinya. Hadits tentang mi’raj adalah hadits ahad yang berisi tentang aqidah.
[23] Tidak ternukil secara manthuq (tekstual) perkataan Imam Malik dalam kitabnya dalam permasalahan ini. Akan tetapi telah sah nukilan dari para pembesar madzhab Malikiyyah bahwa Imam Malik menerima segala konsekuensi yang ada pada hadits ahad (baik pada masalah ‘aqidah ataupun hukum). Ibnul-Qayyim menukil perkataan Ibnu Khuwaiz Mindad (seorang pembesar madzhab Malikiyyah) : { أنه يفيد العلم أيضا وهو أحد روايتين عن مالك اختره جماعة من أصحاب منهم محمد بن خوازمنداد } “Bahwasannya hadits ahad memberikan ‘ilmu (yakin) dan ini merupakan salah satu riwayat dari Malik yang dipilih oleh sebagian besar dari shahabat-shahabatnyaa, diantaranya Muhammad bin Khuwaiz Mindad” [lihat secara lengkap pada Mukhtashar Ash-Shawaiq Al-Mursalah 2/362-363 dan 376]. Hal serupa juga dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam Musawwadah fii Ushuulil-Fiqh (hal. 220) dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhid (1/7-8).
[24] Sebagian orang membawakan satu riwayat yang dinisbatkan kepada Imam Ahmad dari Al-Atsram bahwa beliau menolak menggunakan hadits ahad dalam masalah ‘aqidah. Padahal para pembesar madzhab Hanabilah telah menyangkal dan melemahkan riwayat ini karena bertolak belakang dengan perkataan-perkataan beliau dalam masalah aqidah, baik yang beliau tulis sendiri, yang ditulis anaknya (Abdullah), atau yang ditulis oleh ulama lainnya.
[25] Sebagian orang mengatakan bahwa Ibnu Hajar berpendapat bahwa beliau tidak menerima hadits ahad dalam masalah ‘aqidah dimana perkataan beliau ini dinisbatkan pada kitab Fathul-Bari [sebagaimana tercantum dalam buku mereka yang berjudul : Al-Istidlal bidh-Dhann fil-‘Aqidah karya Fathi Salim hal. 72]. Perkataan ini adalah tidak benar, sebab Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (3/234) hanyalah menukil perkataan Al-Kirmani dan sama sekali tidak ada isyarat untuk membenarkannya. Ini adalah hal yang biasa dalam uslub penulisan Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari. Diamnya beliau atas suatu nukilan perkataan tidaklah selalu menunjukkan kesepakatan beliau. Sebab, Ibnu Hajar berkata dalam Nuzhatun-Nadhar fii Taudliihi Nukhbatul-Fikar (hal. 26-27) : { وقد يَقعُ فيها أي : في أَخْبارِ الآحادِ المُنْقَسِمَة إِلى مَشْهورٍ وعَزيزٍ وغَريبٍ ؛ مَا يُفيدُ العِلْمَ النَّظريَّ بالقَرائِنِ ؛ عَلى المُختارِ ؛ خِلافاً لِمَنْ أَبى ذلك .} “Terkadang juga terjadi pada hadits ahad yang terbagi menjadi hadits masyhur, ‘aziz, dan gharib memberikan pengertian ilmu nadhary dengan beberapa ketentuan sesuai dengan pendapat yang terkuat. Berbeda dengan orang yang menolak hal itu” [selesai]. Di sini beliau tidak membedakan antara aqidah dan hukum. Bukti lain yang memperkuat adalah ketika beliau menjelaskan dalam kitab Fathul-Bari beberapa tanda-tanda sughraa dan kubraa hari kiamat (yang diantaranya banyak merupakan hadits ahad) dengan penjelasan yang berisi penerimaan dan tuntutan untuk membenarkan serta mengimaninya. Lihat selengkapnya dalam Asyratus-Sa’ah karya Yusuf bin ‘Abdillah Al-Wabil, MA (Maktabah Ibnul-Jauzi, Cet. I, 1409 H).
[26] Imam Nawawi juga tidak luput dari penisbatan dusta ketika beliau diklaim mendukung pendapat untuk menolak hadits ahad dalam lingkup ‘aqidah. Ketika beliau menegaskan bahwa khabar ahad itu menghasilkan dhann, maka sama sekali beliau tidak pernah mengatakan bahwa khabar ahad bukan merupakan hujjah dalam masalah ‘aqidah. Jikalau saja mereka menyibukkan membaca kitab Syarh Shahih Muslim karangan beliau, niscaya akan menemukan bahwa menerima kehujjahan hadits ahad dalam masalah ‘aqidah. Misalnya tentang hadits kairnya orang tua Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam (Shahih Muslim no. 203). Beliau menjelaskan : “Di dalam hadits tersebut [yaitu hadits : إن أبي وأباك في النار – ”Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”] terdapat pengertian bahwa orang yang meninggal dunia dalam keadaan kafir, maka dia akan masuk neraka. Dan kedekatannya dengan orang-orang yang mendekatkan diri (dengan Allah) tidak memberikan manfaat kepadanya. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung makna bahwa orang yang meninggal dunia pada masa dimana bangsa Arab tenggelam dalam penyembahan berhala, maka diapun masuk penghuni neraka. Hal itu bukan termasuk pemberian siksaan terhadapnya sebelum penyampaian dakwah, karena kepada mereka telah disampaikan dakwah Ibrahim dan juga para Nabi yang lain shalawaatullaah wa salaamuhu ‘alaihim” [Syarah Shahih Muslim oleh An-Nawawi 3/79 melalui perantara Naqdu Masaalikis-Suyuthi fii Waalidayil-Musthafaa oleh Dr. Ahmad bin Shalih Az-Zahrani hal. 26, Cet. 1425 H]. Perhatikan, di situ An-Nawawi memberikan penjelasan dengan isyarat penerimaan dan pembenaran tentang aqidah status orang tua Nabi. Padahal hadits tersebut adalah ahad !
Dan yang sangat jelas adalah perkataan An-Nawawi ketika mengomentari tentang hadits Tamim Ad-Daari yang menceritakan tentang Dajjal dan Jassaasah dalam Shahih Muslim no. 2942; dimana beliau mengatakan : “Kisah ini merupakan dalil diterimanya berita dari satu orang” [Syarh Shahih Muslim 18/81]. Bukankah ini masalah ‘aqidah ? Contoh lain masih banyak.
[27] Seperti yang dikatakan (secara dusta) oleh Mahmud Syaltut : “Para ahli ilmu sepakat bahwa hadits ahad tidak memberikan faedah terhadap masalah aqidah dan tidak boleh dijadikan dasar dalam masalah ghaib” [lihat Fataawaa oleh Mahmud Syaltut hal. 62]. Ironisnya, perkataannya ini banyak ditaqlidi oleh sebagaian orang yang hendak mempopulerkan permasalahan ini. Laa haula walaa quwwata illaa billaah ! Sungguh benar apa yang dikatakan Ibnul-Qayyim : “Demikianlah kebiasaan ahlul-kalam (rasionalis), yaitu mengatakan ijma’ tanpa ada seorang ulama pun yang menyepakatinya”.
[28] Namun sungguh sangat aneh ketika mereka (yang menolak hadits ahad dalam masalah ‘aqidah karena hanya mengahsilkan dhann saja) menggunakan ayat-ayat yang berisi celaan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah karena mengikuti dhann seperti dalam QS. An-Nisaa’ : 157, Al-An’am : 116, atau An-Najm : 23. Apakah dhann orang mukmin disamakan dengan dhann orang kafir ? Apakah dhann yang dimiliki para perawi hadits dan ulama hadits yang mereka ini adalah orang-orang shalih disamakan dengan dhann orang-orang fasik dan kafir ? Apakah akan disamakan orang yang berilmu dengan orang yang jahil ? Allaahul-Musta’an……
[29] Kami tambahkan tentang kelemahan pendapat ini :
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa penentuan jumlah perawi sehingga satu hadits dikatakan mutawatir adalah satu hal yang nisbi. Tidak ada jumlah pasti yang merupakan kesepakatan para ahli ilmu. Maka, batasan antara masalah ‘aqidah dan hukum pada hadits nabawi pun sebenarnya sangat tipis atau bahkan bisa dikatakan tidak ada. Jika mereka misalnya berpandangan bahwa satu hadits dikatakan mutawatir jika jumlah perawi dalam setiap thabaqah adalah 4 orang, sedangkan kita menyepakati 10 orang; tentu ini akan berkonsekuensi bahwa satu hadits dapat dianggap aqidah oleh orang tertentu dan sebaliknya bagi orang lain. Taruhlah misal jumlah perawi yang meriwayatkan berjumlah 6 orang. Sungguh ini sangat tidak masuk akal sehat. Bagaimana syari’at bisa membolehkannya bervariasinya macam 'aqidah yang ada di dalam tubuh umat Islam ?
Pada tataran riilnya, satu riwayat mutawatir akan kembali pada riwayat ahad. Riwayat mutawatir hanya diketahui oleh orang-orang tertentu saja yang mengkhususkan diri dalam meneliti hadits. Ketika – misalnya – ada orang yang menukil perkataan Al-Hafidh Ibnu Hajar bahwa riwayat anu merupakan riwayat mutawatir, bukankah kita ketika menerima penjelasan dari Ibnu Hajar sebenarnya merupakan rantai riwayat ahad (yaitu antara orang tersebut dengan Ibnu Hajar - apalagi cara pengambilan khabarnya hanya melalui perantara kitab/Fathul-Bari) ?
Dan hal itu juga terjadi perawi hadits ! Misalnya, hadits tentang Dajjal yang merupakan hadits mutawatir yang diriwayatkan lebih dari 20 orang shahabat Nabi. Hadits tersebut tentu akan dikatakan mutawatir jika semua riwayat tersebut telah terkumpulkan. Namun, bagi perawi yang berada pada satu atau dua jalur riwayat, tentu akan menganggap hadits tersebut adalah ahad. Konsekuensinya, aqidah tentang kedatangan Dajjal hanya diimani oleh generasi belakangan dan tidak diimani oleh generasi pendahulu. Ini malah suatu kontradiksi yang lebih menggelikan.
[30] Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Hafidh Ibnu ‘Abdil-Barr di atas. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah menambahkan : “Dan pendapat ini adalah pendapat orisinil dari kaum Mu’tazillah dan sebagian Asy’ariyyah/Maturidiyyah [ ---- bukan pendapat Ahlus-Sunnah ---- ], yang diantara tokoh-tokohnya adalah Al-Qadli Abdul-Jabbar dimana ia berkata : “Diperbolehkan mengambil hadits ahad jika sampai kepada kita dengan syarat-syaratnya, namun tidak boleh diambil untuk msalah aqidah” [Syarh Ushulil-Khamsah hal. 769]. Hal senada juga dikatakan oleh Abdul-Qadir Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Fakhrur-Razi, dan yang lainnya. Dan di masa sekarang, hal itu dikibarkan oleh Muhammad ‘Abduh, Sayyid Quthb, Mahmud Syaltut, Ahmad Syalabi, Abdul-Karim ‘Utsman, Muhammad Al-Ghazali, Taqiyyuddin An-Nabhani, dan yang lainnya. Puluhan atau bahkan mungkin ratusan ulama telah membantah mereka.
Catatan : Abdul-Qadir Al-Baghdadi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, dan Fakhrur-Razi akhirnya kembali pada aqidah Ahlus-Sunnah di akhir kehidupannya.
[31] Seperti misal tulisan Umar Bakri Muhammad (di luar negeri lebih dikenal dengan Syaikh OBM – sekarang mukim di Inggris) atau Fathi Muhammad Salim. Dan kemudian tulisan kedua orang ini banyak diikuti (ditaqlidi) banyak orang tanpa penelitian.
[32] Lihat lebih lengkap pada kitab Irsyaadul-Fuhul karangan Asy-Syaukani dan Al-Ihkaam karangan Al-Amidi.
[33] Sebenarnya banyak yang hendak dituliskan terkait dengan beberapa syubhat yang mereka lontarkan. Barangkali ada ikhwah lain yang mempunyai kelongaran waktu untuk menuliskannya ?


































































Tidak ada komentar: