Selasa, 16 September 2008

MEMPERTANYAKAN BID'AH: DULU, KINI DAN ESOK

Mempertanyakan Bid’ah: Dulu, Kini dan Esok

Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa’ur-Rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku, gigitlah dengan gigi gerahammu. Dan hati-hatilah terhadap perkara-perkara (dien) yang diadakan, Sesungguhnya setiap bid’ah itu kesesatan."

Bid’ah: Apakah itu?

Bid’ah adalah suatu yang datang di awal yang baru, ciptaan yang baru, yang memutus atau meninggalkan. Secara istilah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah sesuatu hal yang tidak disyari’atkan oleh Allah dan Rasulullah dalam perkara agama baik dalam perkara wajib ataupun yang sunnah dan beliau menambahkan semua hal yang menyelisihi Al-Quran, As-Sunnah atau Ijma’ para ulama salaf baik dalam masalah aqidah ataupun ibadah. Seseorang yang berbuat kebid’ahan akan selalu merasa bahwa dirinya pada jalur yang benar, ia juga merasa semua amalan yang telah ia perbuat telah sesuai dengan perintah Allah. Kerusakan yang telah dilakukan menimpa diri mereka sendiri dan orang lain. Fitnahnya melebihi fitnah yang dilakukan orang fajir dan para pelaku maksiat. Imam Sufyan Ats Tsaury Rahimahullah berkata, "Bid`ah itu lebih disukai iblis daripada maksiat, orang yang melakukan maksiat ia akan bertaubat darinya, sedangkan ahlu bid`ah ia tidak bertaubat dari kebid`ahannya."

Pembagian Bid’ah

Imam Asy Syatibi membagi bid’ah menjadi dua yaitu perbuatan bid’ah dalam masalah adat kebiasaan dan bid’ah ibadat. Keduanya bersumber pada sifat Ghuluw (sifat berlebih-lebihan). Itu semua dikarenakan kejahilan terhadap ilmu dan amalan.

Bid’ah dalam agama pada urusan ibadah sangatlah jelas terpampang, sedangkan bid’ah dalam adat kebiasan banyak ragam dan macamnya yang telah menyelisihi dan keluar dari bingkai syariat, seperti memasang lukisan orang-orang shalih, para wali dan pahlawan, menghias pengimaman, me’ngijing’ (membuat batu nisan) kuburan dan lain sebagainya.

Sedangkan Imam Ibnu Qayyim memandang secara hukum bahwa bid’ah dibagi menjadi dua yaitu bid’ah yang mengeluarkan dari Islam seperti perkataan seseorang bahwa Al-Quran adalah mahluk Allah.

Yang kedua, bid’ah yang tidak mengeluarkan dari Islam, seperti mengakhirkan waktu shalat dan mendahulukan khutbah sebelum shalat ‘Ied.

Makanan Ahli Bid’ah dan Sembelihannya

Dari pembagian bid’ah tersebut bisa dipahami dalam menghukumi pelaku bid’ah. Bila ia telah melakukan kebid’ahan yang mengeluarkannya dari Islam secara terang dan jelas dengan I’tiqad maka ia sebagai orang kafir. Selain itu, maka tetap diakui sebagai orang Muslim. Rasulullah saw. bersabda:

"Cukuplah seorang muslim dengan namanya, bila ia lupa untuk menyebut nama Allah ketika menyembelih maka sebutlah bila makan sembelihan itu." (Hadis ini terdapat dhaif tapi ada jalur lain dari Abdur Razaq dengan sanad yang shahih dari Ibnu Abbas secara mauquf.)

Dan dari ‘Aisyah disebutkan:

Dari Aisyah ra. berkata, "Telah datang kepada kami seseorang dari suatu kaum mengirimkan daging yang kami tidak mengetahuinya apakah telah disebut nama Allah ataukah belum ketika menyembelihnya. Lalu kami tanyakan pada Rasulullah dan beliau bersabda, "Sebutlah nama Allah dan makanlah!" (HR Bukhari)

Dalam sabda Rasulullah saw. yang lain sebagai penguat dari yang telah diriwayat Abu Daud dengan sanad yang berbeda berbunyi:

"Sembelihan seorang muslim adalah halal baik yang disebut nama Allah atau tidak. (perawinya tsiqah)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Wajib bagi seorang muslim yang beriman ber-wala’ pada muslim lainnya walaupun ia berbuat kedzaliman ataupun melampaui batas dan bersikap bara’ pada orang kafir walaupun ia berbuat kebaikan. Sesungguhnya Allah menurunkan al-Quran dan mengutus Nabi untuk menjadikan dien hanya untuk Allah saja, maka Ia jadikan kecintaan pada para wali-Nya dan permusuhan terhadap musuh-Nya. Dan apabila berkumpul pada diri seorang muslim kebaikan dan kejelekan, kefajiran dan ketaatan, maksiat, sunnah ataupun kebid’ahan, maka hak perwala’an dan bantuan semampu ia atas kebaikan serta permusuhan dan sangsi atas kejelekan."

Mengikuti Acara-acara Bid’ah

Syaikh Bin Baaz dalam bukunya At-Tadzir Minal Bida’ menyebutkan bahwa acara-acara semisal Maulid Nabi Muhammad saw, Isra Mi’raj, Nuzulul Qur’an dan sejenisnya, seperti perayaan selain dari hari Raya Idul Fitri dan Adha adalah perkara bid’ah yang munkar dan penuh kebatilan. Hendaknya bagi setiap muslim takut kepada Allah dan menjauhinya. Para ulama bersepakat bahwa siapa saja yang menghadiri kemungkaran, maka dia seperti orang yang melakukannya, kecuali mengkhususkan untuk memerangi atau meluruskannya. Allah SWT berfirman dalam surat al An’am yang artinya, "Dan jika setan melupakan dari perkara ini, maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzalim sesudah teringat (akan larangan itu)." Syaikh Abu Zainal Za’im berkata, "Kalimat dzalim mencangkup orang-orang Musyrik, orang-orang yang merubah ayat-ayat Allah dan pelaku bid’ah dalam dien .

Jadi, jelaslah duduk bersama mereka adalah perkara yang terlarang, kecuali untuk beramar ma’ruf nahi munkar.

Syaikh Sayid Sabiq berkata: Apa yang dikerjakan manusia di saat terjadi suatu kematian seperti mendirikan teratak, menggelar tikar dan menghamburkan harta adalah perkara bid’ah, wajib bagi kaum muslimin menjauhinya dan haram menjalankannya, terlebih perkara ini telah menyelisihi Al-Quran dan as-Sunnah, termasuk juga melagukan bacaan Al-Quran dengan meninggalkan adab-adab tilawah serta merokok. Dan tidak berhenti pada batasan ini bahkan seperti yang dilakukan para ahlul ahwa’, mereka lakukan acara ini pada hari pertama dan ke-40, setelah dua tahun dan seterusnya. Yang demikian itu tidak sesuai dengan dalil baik naqli maupun aqli.

Termasuk perkara bid’ah adalah mendirikan teratak atau tenda besar di luar rumah, menggelar tikar atau permadani dan menerangi rumah keluarga tersebut untuk bacaan Quran, semua itu adalah bid’ah, demikian juga menghidangkan makanan dan menyembelih sembelihan selama tiga hari atau beberapa hari. Sehingga suasana Ta’ziyah berubah menjadi pesta makan dan minum, demikian juga penjelasan Syaikh Nasirudin dalam bukunya Ahkamul Janaiz.

Tidak ada komentar: