Jumat, 12 September 2008

KRITIK HADIS AL-TSAQALAIN

STUDI HADIS TAHLILI
KRITIK SANAD DAN MATAN
HADIS AL-TSAQALAIN



Pendahuluan
Dikala Nabi saw. hidup bersama dengan shahabat-shahabatnya masalah hadis al-Tsaqalain belum mencuat atau heboh berbeda setelah beliau wafat. Persoalan yang dihadapi para shahabat langsung ditanyakan dan diselesaikan oleh beliau. Namun setelah beliau wafat suasana mulai berubah para shahabat dalam menghadapi berbagai macam persoalan pertama-tama masih merujuk cara Nabi saw. dengan berdasarkan wahyu al-Quran. Para shahabat yakin dan sepakat bahwa al-Quran adalah pegangan utama yang ditinggalkan beliau. Mereka berselisih setelah al-Quran hal ini berdasarkan beberapa riwayat yang mereka peroleh dari Nabi saw. dan perbedaan ini berlangsung sampai sekarang sekalipun tidak secara langsung mewariskannya.
Sebagian berpendapat bahwa sunah Nabilah yang harus dirujuk setelah al-Quran, berupa hadis baik yang fi'li, taqrir dan sukut nabi. Namun sebagian lainnya berpendapat bahwa setelah al-Quran adalah 'itrah atau ahlul bait artinya persoalan umat ini dikembalikan kepada keluarga Nabi. Masing-masing mempertahankan argumentasinya. Bagi yang cenderung suasana demokrasi mereka memilih al-Quran dan sunah Nabi sedang bagi yang herarki memilih Quran dan keluarga dengan argumentasi bahwa keluarga Nabilah yang pasti lebih tau persoalan hadis dan kondisi Nabi serta kondisi keluarga.
Keabsahan argumentasi kedua kubu ini perlu diuji keotentikannya dengan cara kritik sanad dan matan, menganalisa masing-masing riwayat yang mereka jadikan standar patokan baik dari segi sanad dan matannya. Pembahasan ini akan lebih obyektif jika kita awali dengan jiwa lapang, praduga yang baik tanpa ada keperpihakan demi mencari kebenaran yang maksimal sesuai dengan kemampuan. Kajian singkat ini bukan untuk mencari menang dan kalah tetapi sebuah upaya mengungkapkan fakta kebenaran, diterima atau ditolak tergantung pada diri masing-masing sambil menunggu petunjuk Tuhan. Dibawah ini kita coba uraikan kedua dalil yang mereka jadikan rujukan dengan kajian hadis tahlily.
Apa yang ditinggalkan Nabi saw. untuk umatnya ?
Paling tidak ditemukan empat kelompok riwayat menjadi rujukan mengenai apa yang diwariskan Nabi saw. kepada umatnya sebagai pedoman hidup. Keempat hal tersebut akan diuraikan secara singkat sesuai alurnya, sebagai berikut:
Pertama, Al Quran.
Bunyi teks hadis ini yaitu:


Ditemukan beberapa riwayat yang diyakini kuat bersumber dari Nabi saw. yang menjelaskan hal tersebut. Riwayat ini melalui beberapa jalus seperti Imam Muslim sebanyak satu matan dua sanad, Sunan Abu Daud 5 sanad Ibnu Majah 1 sanad, Shahih Ibnu Huzaimah 1 sanad dan Musannif Ibnu Syaibah satu sanad. Selanjutnya masalah ini dipandang oleh penulis sudah jelas dan masalahnya sudah tuntas tidak perlu lagi dibahas panjang lebar dan ulama hadis sepakat wajibnya berpegang teguh kepada Al-Quran secar muthlak.
Kedua, Al Quran dan Sunnah
Dijumpai beberapa riwayat yang mengungkapkan masalah ini dan penulis tidak akan mengungkapkan semuanya cukup satu sanad saja. Diantara sekian sanad yang ditemukan menurut ulama hadis, hadis jalus Ibnu Abbas (w. 68). yang mukharijnya al-Hakim (w.405 H) dianggap dapat mewakili masalah ini. Bunyi teks hadis al-Hakim[1] sebagai berikut:





Abu Bakar bin Ishaq al-Faqih[2] telah menceritakan kami, Al-Abbas bin al-Fadhl[3] memberitahukan al-Ashfathî, kami bersama Ismail bin Abi Uwais[4] (akhbaranî) Ismail bin Muhammad[5] bin al-Fadhl al-Sya'ranî,[6] Tsann^a kakekku Tsanna Ibn Abi Uwais telah diceritakan aku oleh Babapkku[7] dari Tsaur bin Zaid al-Daylî[8] dari Ikrimah[9] dari Ibn Abbas Rasul saw bersabda: "Sesungguhnya aku telah meninggalkan pada kamu sekalian, sekiranya kamu sekalian berpegang teguh dengannya maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya" (HR al-Hakim).
Hadis seperti ini dapat ditemukan pula pada Kitab Muwaththa' Imam Malik sebanyak satu sanad, al Mustadrak dua sanad, al-Sunan al-Kubra dua sanad dan al-Jami' al-akhlaq lil 'ilmi ditemukan dua sanad. Perlu dikemukakan bahwa riwayat ini tidak ditemukan dalam "kutub sitta". Terlepas masuk tidanya namun hadis ini hanya melalui dua jalur shahabat yaitu jalur Ibnu Abbas (w. 68 H) sebanyak 4 hadis dan Abu Hurairah (w.57-9 H) sebanyak tiga hadis. Permasalahan selanjutnya yang akan kita pertajam pada poin kedua ini adalah al-Sunnah, apakah betul Nabi saw. mengucapkan riwayat itu dan bagaimana kualitas hadis tersebut terutama dari segi sanadnya. !
Ketiga Al-Quran dan "'Itrah"
Disini penulis tidak akan mengungkapkan semua riwayat yang menginformasikannya, hanya beberapa riwayat saja dengan harapan dapat mewakili yang lainnya, antara lain misalnya:
a. Hadis Shahih Muslim
Penulis pun tidak akan mengungkapkan semua hadis yang terdapat dalam shahih Muslim, cukup satu saja yaitu:





Dalam hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim[10] dari Muhammad bin Bakkar bin Rayyan[11], dari Hassan bin Ibrahim[12] dari Said yaitu Said bin Masruq[13] dari Yazid bin Hayyan[14] dari Zaid bin Arqam[15] sehingga hadis dapat dipastikan sanadnya mutashil sampai kepada Nabi saw. Hadis Itraty ditemukan dalam kitab shahih Muslim sebanyak empat jalur sanad dengan kualitas shahih.
b. Al-Musnad[16]
Teks hadis sebagai berikut:




Hadis ini melalui jalur dari Abdullah, ia berkata, ayahku menceritakan kepadaku, Aswad bin Amir[17] menceritakan kami, Israil[18] yaitu Ismail bin Abi Ishaq al-Mala'I memberitakan kami dari 'Athiyah Abi Tsabit[19]
Dalam al-Musnad ditemukan enam atau tujuh riwayat empat riwayat dari Abi Said al-Khudry dan semua riwayat ini melalui Athiyah dari Abi Sa'ad. Sebenanya beliau meriwayatkan lima hadis yang satunya dijumpai pada kitab al-Turmudzy, dua melalui Zaid bin Tsabit.
c. Hadis Imam al-Turmudzi
Teks hadis sebagai berikut:





Nashr bin Abdu Rahman al Kufy[20] ia berkata Zaid bin al-Hasan[21] dari Ja'far bin Muhammad[22] dari Bapaknya dari Jabir bin Abdullah al-Anshary berkata:
Hadis kedua melalui jalur Ali bin al-Mundzir[23], ia berkata Muhammad bin Fudhail[24] telah menceritakan kami, ia berkata al-Amasy[25] telah menceritakan kami dari 'Athiyah al-Kufy dari Abi Said al Khudry
Perlu diketahui bahwa matan hadis ini disabdakan Rasulullah saw. pada waktu beliau berkhutbah di Ghadir Ghum setelah haji tepatnya pada tanggal 18 Dzul Hijjah. Dari jumlah riwayat ini ada secara jelas menyebutkan bahwa Nabi telah menyabdakannya di Khadir Ghum dan yang lainnya tidak menyebutkannya. Hadis ini melalui beberapa jalur shahabat dengan kualitas hadis yang berbeda-beda, seperti Zaid bin Arqam (w. 78 H), Abu Said al-Khudry (w. 74 H), Zaid bin Tsabit (w. 45 H), Abu Dzar al Ghiffary dan Khuzaimah bin Asid. Mukharij hadis ini dapat ditemukan dalam beberapa kitab hadis baik kutub sitta maupun selainnya seperti Shahih Muslim, al-Turmudzi dua riwayat, Musnad Imam Ahmad, sunan al-Darimy, Mushannif Ibnu Syaibah, al-Mu'jam al-Shaghir, Mu'jam al-Kabir, Shahih Ibn Huzaimah, Shahih Ibn Hibban, Shahih al-Mustadrak dan al-Sunan al-Kubra.
Kempat, al-Quran, al-sunnah dan Itrah
Hadis ini hanya dijumpai pada Musnad al-Imam Zaid saja dan tidak ditemukan pada kitab selainnya. Bunyi teks hadis yaitu:



"Sesungguhnya aku tinggalkan kepadamu kitabullah, sunnathku, itrah ahlul baitku, orang yang menyepelekan kitabullah seperti menyepelekan sunnahku dan orang yang meyepelekan sunahku seperti meyepelekan itrahku"[26]
Matan hadis ini disabdakan Nabi saw. menjelang wafatnya ketika kondisi beliau sedang berada pada kondisi sulit, banyak yang larut pada keadaan. Disaat itu Nabi menyuruh Ali bin Abi Thalib memanggil Hasan dan al-Husen untuk sekedar menghibur diri setelah kedua cucu Nabi saw. berada di dekatnya beliau bersabda sesuati dengan matan hadis tersebut. Hadis ini memadukan tiga hal dari yang pertama sampai yang ketiga. Sekiranya hadis ini dapat diterima oleh semua kalangan maka persoalan sudah tuntas. Dalam Sunan al-Nasai ada riwayat yang dikomentari Imam Al-Suyuthi bahwa Rasulullah saw. mewasiatkan untuk berpegang teguh kepada Al-Quran atau agamanya (Islam) atau dengan beliau sendiri atau dengan beliau sendiri dan yang sepadan dengannya agar mencakup sunnah. [27]
Apa Al-Tsaqalain itu ?
Disebut al-Tsaqalain menurut al-Nawawi (w. 676 H) karena keagungan keduanya dan kebesaran eksitensinya ada juga yang mengatakan karena "berat" beramal dengan keduanya.[28] Nabi telah menamai "Kitabullah wa ahlu Baity" dengan tsaqalain karena beramal dan berpegang teguh dengan keduanya itu berat.[29] Orang Arab berkata 'setiap sesuatu itu memiliki nilai yang berat, maka Nabi saw menamani "Kitabullah dan ahlu Baity" dengan "Tsaqalayn" sebagai keagungan (Ikmal juz VIII hal 233. Menurut al Mubarakfuri (1353 H) berpegang teguh kepada ahlul bait adalah berpegang teguh dalam hal mencintai dan menjaga kehormatan mereka, mengamalkan riwayat-riwayat mereka serta berpegang terhadap pendapat-pendapat mereka. Tanpa harus menutup pengertian sunnah pada shahabat-shahabat yang lain, karena Nabi saw. mengumpamakan shahabatnya dengan al-Nujum yaitu bagaikan bintang namun setelah ditelusuri hadis ini ternyata hadis maudhu "lâ 'ashla lah". 'Itraty yaitu mencintai dan mengambil petunjuk dengan petunjuk dan sejarah kepada mereka, tegas al-Said Jamal al-Din dan menambahnya selama petunjuk mereka itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.
Siapa Itrah atau Ahlul Bait itu?
Kalau ahlu Bait saja dipersoalkan apalagi masalah siapa ahlu bait itu. Namun untuk menjelaskan siapa ahlu bait itu ? Masalah ini panjang dan memerlukan pembahasan khusus namun paling tidak kita harus kembali kepada permasalahan awal dan rujukan utama kita yaitu al-Quran dan sunah Nabi berupa sabda-sabdanya. Diakui atau tidak ulama dalam mendefiniskan hal ini mereka tidak sepakat khususnya mazhab sunny. Dalam Shahih Muslim pasal "Hadis al-Tsaqalain" Zahir bin Harab menceritakannya dan Syuja' bin Mukhlad semuanya berasal dari Ibnu 'Uayinah….Hushain bin Syibrah bertanya, siapa ahlul bait ya Zaid, bukankah istri-istri Nabi saw. termasuk ahlul baitnya ? Istri-istri beliau termasuk ahlul baitnya tetapi ahlul bait adalah yang diharamkan menerima shadakah, ditanya lagi, siapa mereka itu ? ia berkata mereka itu adalah keluarga Ali, keluarga 'Aqil keluarga Ja'far, keluarga Abbas. Terus aku tanya lagi, apakah setiap yang diharamkan sadaqah padanya ? jawabnya betul."
Pembahasan ini akan lebih jelas lagi jika merujuk pada satu surat yaitu surat al Ahzab ayat 32, salah satu ayat yang berbicara tentang ahlul bait. Disebutkan bahwa ahlul bait adalah keluarga Nabi saw. yang disucikan oleh Allah swt. Maksud keluarga yang disucikan menurut beberapa riwayat seperti dari Ibnu Jarir al-Thabary meriwayatkan sabuah hadis dari Abu Said al-Khudry. Dalam riwayat tersebut dia mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda; "Ayat ini turun untuk lima orang, yaitu Aku (Muhammad saw.) Ali, Fathimah, Hasan dan Husein" Dalam kitab shahih Imam Muslim riwayat dari Aisyah. Ia mengatakan bahwa pada satu pagi, Nabi saw. keluar dengan mengunakan selimut yang terbuat dari wool berwarna hitam, Hasan datang dan Nabi memasukkannya dalam selimut, lalu Husein datang dan dimasukan kedalam selimut, Fatimah datang dan menyertakannya dalam selimut setelah itu Ali datang dan beliau memasukannya juga kedalam selimut sambil membaca surat al-Ahzab ayat 32[30]. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan, tidak kurang dari 15 hadis yang dinyatakan dapat dijadikan dalil bahwa Ali, Fatimah, al-Hasan, al-Husein adalah yang dimaksud oleh ayat al-Thahir (yang disucikan). Ahlul bait yaitu termasuk nabi saw. menurut pandangan ahli sunnah sedangkan Itrah menurut Ibnu taimiyah adalah Nabi saw.
Variasi teks hadis
Sebelum menganalisa teks-teks hadis tentang al-Tsaqalani ini, terlebih dahulu kita lihat variasi teks tersebut seperti yang digambarkan dibawah ini secara sederhana yaitu:
Variasi teks hadis
No
Redaksi Matan Hadis
Shahabat
Sumber
1



Shahih Muslim

2



Sunan al-Turmudzi
3


Zaid bin Arqam
26
Shahih Muslim
4
4


Jabir bin Abdullah
1
Sunan al-Turmudzi
2
5


Abu Sa'id
6
Musnad Ahmad
7
6


Zaid bin Arqam

Sunan al-Darimy
1
7


Abu Sa'id

Mu'jam al-Shaghir
2
8


Zaid bin Tsabit
Mu'jam al-Kabir
12
9


Zaid bin Arqam
Al-Ma'rifah wa al-Tarikh
8
10


Zaid bin Arqam
Shahih bin Hibban
1
11


Zaid bin Arqam
Mushannif Ibn Syaibah
3
12


Zaid bin Arqam
Shahih Ibn Huzaimah
13


Ibnu Abbas
1
Al-Mustadrak 'alshahihain
14


Abu Hurairah
2
Al-Sunan al-Kubra'
15




16





Analisis Hadis
Setelah kita melihat dan mengkaji sebagian teks hadis tersebut termasuk sanad dan matannya maka hukum hadis tentang wajibnya berpegang teguh pada al Quran sudah merupakan kesepakatan para ulama tanpa ada perselisihan diantara mereka dan pembahasan ini tidak perlu diperpanjang begitu juga dengan riwayat yang keempat yang memadukan ketiga masalah tersebut. Sementara yang menjadi persoalan adalah berpegang teguh pada " itrah ahlu baitku " atau dengan "sunnah Nabi saw." Terjadinya perbedaan faham ini diawali dengan ada beberapa riwayat yang mengungkapkan kedua hal tersebut. Dilihat dari jumlah riwayat, maka dapat dipastikan riwayat ahlu bait atau itrah yang lebih banyak dibandingkan dengan "sunnah Nabi saw". Yang pertama paling tidak ada lima shahabat yang meriwayatkannya seperti yang telah disebutkan dan tersebar dalam beberapa kitab hadis baik kutub sitta seperti Muslim maupun selainnya. Bahkan menurut Ibn Hajar al-Makky, setelah mengutip hadis al-Tsaqalain ia berkata: "Ketahuilah, bahwa hadis tentang berpegang teguh kepada Tsaqalayn diriwayatkan oleh lebih dari 20 orang shahabat" Ia mengutip hadis itu dari beberapa kitab seperti al-Turmudzi, Ahmad bin Hanbal, Al-Tabrani dan Muslim[31]. Penulis sendiri menemukan paling tidak ada 11 kitab hadis yang diakui eksitensinya telah memuat riwayat tersebut.
Melihat jumlah shahabat yang meriwayatkannya maka hadis ini dapat diklafikasikan hadis mutawatir paling tidak masyhur. Sementara "sunnah" hanya melalui dua jalur shahabat dan tidak ditemukan dalam kutub sittah. Menurut kitab Ensiklopedia Miftah Kunuz menyebutkan bahwa Rasul saw. telah berwasiat untuk berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya terdapat dalam sepuluh kitab rujukan diantaranya Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Musnad, al-Turmuzi, al-Nasai dan Ibnu Majah[32]. Namun setelah diteliti ternyata tidak ditemukan riwayat yang dimaksud. Dalam kitab Muwaththa ditemukan riwayat ini namun tidak disebutkan siapa shahabat yang menerima riwayat itu dari Nabi saw. Akan tetapi hadis itu disampaikan secara balagha… Hadis tersebut dikatakan hadis Mursal, hanya menurut Ibnu Abdul Bar berkata bahwa semua hadis-hadis Mursal Imam Malik semua benar dan mempunyai sandaran[33]. Termasuk Imam Jalaluddin al-Suyuthi berkata bahwa semua hadis Mursal al-Muwaththa' pasti ada beberapa penguatnya, maka yang benar adalah semua hadis dalam al-Muwaththa' secara umum benar dan tidak ada pengecualian sedikitpun.
Nampaknya Ibnu Abdul Bar dan Imam al-Suyuthi berusaha membela hadis mursal dalam kitab Muwaththa' Imam Malik sekalipun argumentasinya tidak tuntas dan menurut pengamatan penulis tanpa mengurangi penghormatan penulis kepadanya bahwa hal itu dilakukan demi melolos sensorkan hadis yang menyatakan "berpegang teguh pada Kitabullah dan sunnah Rasul saw." Dalam kitab Faidhul Qadir syarah kitab al-Jami' al-Shaghir dijumpai riwayat dari Abu Hurairah ra. ia berkata Rasulullah saw. Khutbah haji Wada dan bersabda "Telah aku tinggalkan dua perkara, kalian tidak sesat sesudahnya yaitu kitabullah dan sunnahku dan keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya datang ketelaga (Hud)." Permasalahan yang muncul dari riwayat ini setelah diteliti ternyata khutbah Wada Rasul saw. diriwayatkan oleh beberapa jalur dan ditemukan pula riwayat berlainan dengan apa yang diungkapkan riwayat tersebut. Dalam satu riwayat Nabi saw. tidak berkata dan "sunnahku" tetapi hanya dengan "al-Quran" disisi lain nabi berkata "al-Quran dan ahlul baitku". Namun setelah diteliti para rawi hadis yang mengatakan al-Quran dan Sunnahku kualitasnya sangat berfariasi dan hampir semua hadis tentang ini dipermasalahkan sanadnya atau rawinya selain yang diriwayatkan al-Hakim sekalipun thuruqnya masih dapat pula dipertanyakan dan lebih jelasnya lihat tarjamah sanad hadis riwayat al-Hakim.
Melihat jalur-jalur riwayat "ahlu bait atau Itrah" dengan kualitas hadis yang berfariasi pula dibandingkan dengan jalur riwayat "al-sunnah" dapat dipastikan bahwa "itrah ahlul bait"
yang lebih kuat. Sekalipun hadis tentang "al-Sunnah" melalui jalur Ibnu Abbas dan Abu Hurairah karena hadis "itrah ahlul bait" melalui lima jalur shahabat. Ibnu Taimiyah (w. 728) sendiri mengakui nilai matan hadis tersebut dengan mengatakan bahwa ijma keluarga Nabi saw. itu sebagai hujjah bagi sekelompok ahlu sunnah.[34] Namun ia mendhaifkan selain jalur shahih Muslim. Nashruddin al-Albani seorang ahli hadis yang terkini dan kepakarannya dalam ilmu hadis diakui sekalipun sebagian pendapatnya kontropersial dikalangan ahli hadis termasuk eksitensi dirinya mengungkapkan dalam kitabnya Silsilah al-Hadis al-Shahihah, setelah dia melakukan pentakhrijan terhadap sejumlah hadis dalam waktu yang lama. Kemudian ia berkata, akhirnya, aku memutuskan untuk melakukan perjalanan dari Damaskus ke Oman, terus ke Emirat Arab yaitu Qathar. Disana katanya, aku bertemu dengan sejumlah guru besar dan doktor ternama. Salah seorang diantara mereka menyodorkan kepadaku satu risalah yang sudah dicetak yang memiliki kesimpulan bahwa hadis "ahlul bait" adalah dha'if….Namun al-Bani sendiri berkesimpulan bahwa tidak ada alasan untuk mendhaifkan hadis tentang ahlul bait.
Kesalahan yang mendhaifkan hadis ini menurutnya ada dua hal yaitu: (1) bahwa peneliti hadis itu dalam pentakhrijannya telah membatasi hanya pada sebagian sumber yang tercetak dan hanya menerima informasi dari mulut kemulut. Dengan demikian pembatasannya menjadi jelek untuk ukuran pentahqiqan hadis ini. Implikasinya adalah terlewatnya sejumlah jalur dan sanad yang pada subtansinya bernilai shahih atau hasan terutama pada sejumlah syâhid dan muttabi'nya, (2) dalam pentakhrijannya tidak melihat secara cermat sejumlah qaul ulama yang menshahikan hadis ini, termasuk tidak mengindahkan kaedah-kaedah musthalahul hadis yang telah disepakati oleh mayoritas ulama yaitu "Bahwa hadis dha'if itu menjadi kuat dengan ditemukannya banyak jalur" Dengan demikian peneliti hadis ini terjerumus dalam suatu kesalahan yaitu mendha'ifkan hadis shahih[35].
Fiqh Hadis
Dari uraian dan pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa semua hadis dengan kualiatas sanad dan matan yang berbeda baik hadis yang mengungkapkan "sunnah" dan itrah ahlul bait". Status hadis kedua kelompok ini nampak jelas dan dianggap keduanya dapat diterima. Namun persoalan selanjutnya apakah kedua hadis itu harus al-ja'mu atau tarjih atau dimansukh. Sekiranya dilakukan al-jamu' berarti masing-masing kelompok hadis tersebut memiliki komprehensif saling terkait antara satu dengan lainnya. Penyebutan ahlu Bait atau itrah dapat difahami sebagai pelengkap atau penjelasan dari al-Quran, bahkan bukan hanya itu tetapi ahlul bait bisa menjadi sumber hukum sebagaimana riwayat yang telah diungkapkan. Hal ini logis karena disadari atau tidak mereka pasti lebih dekat dengan Nabi. Konsekuwensi logisnya, mereka itulah lebih banyak mengetahui tentang kehidupan sehari-hari Nabi saw. termasuk di dalamnya apa yang dikenal dengan sunah Nabi saw.
Menurut pengamatan penulis cara ini paling aman diantara sekian alternatif apalagi jika hadis jalur Zaid bin Ali dapat diakomodir walaupun diriwayatkan oleh satu jalur. Namun jika ditarjih maka menurut pengamatan penulis hadis tentang itrah ahlul bait lebih rajih daripada "al-sunnah" berdasarkan kualitas dan thuruq hadis yang telah dijelaskan. Seandainya kedua cara tersebut mengalami kebuntuan, maka persoalan selanjutnya adalah apakah hadis ini dapat diselesaikan dengan cara nasikh wal mansukh. Apabilah nasikh mansukh diterima berarti dapat dipastikan bahwa al-Sunah yang dinasakh karena berdasarkan fakta dan sejarah hadis tersebut disabdakan Nabi saw. pada waktu haji wada sementara itrah setelah haji wada di Ghadir Khum tepatnya pada taggal 18 Dzul Hijjah.
Dari gambaran tersebut dapat difahami bahwa sekalipun kita mengikuti metode Imam Syafi’I atau Hanafi dalam meyelesaikan masalah ini. Maka dapat dipastikan bahwa itrah ahlul bait lebih aman daripada al Sunnah dilihat dari jalur sanad hadis. Adapun ulama yang menempatkan hadis ini pada bab keutamaan ahlul bait dan menafsirkan bahwa makna hadis ini hanya sekedar menjelaskan keutamaan ahlul bait saja nampaknya sulit untuk diterima. Barangkali akan muncul asumsi selanjutnya bahwa ulama menta'wil hadis tersebut seperti itu karena faktor kondisional atau mungkin karena tekanan politik dari berbagai pihak atau dilatar belakangi rasa takut disebut ahlul bid'ah sehingga riwayatnya tertolak atau khawatir disebut syia'h dan menyiahkan orang lain. Sejarah menjadi saksi bahwa sejak Nabi saw. meninggal apalagi ketika peralihan kekuasaan secara inkontitusional dari tangan Ali bin Abu Thalib ke Dinasti Mua'wiyah bin Abu Sufyan banyak tekanan-tekanan politik yang menghasilkan kebijakan yang masih misteri termasuk tentang penta'wilan hadis.
Menurut penulis, hadis itu bukan hanya sekedar mengungkapkan keistimewaan ahlul bait namun sekaligus menjadi sumber hukum setelah al-Quran. Didalamnya jelas-jelas mengandung unsur kekuatan hukum artinya untuk mengembalikan permasalahan agama itu kepada 'Itrah Nabi saw. Tetapi ketika disosialisasikan, masih banyak kalangan umat Islam yang mengelak dan nampaknya alergi sekaligus mencap aktornya sebagai orang Syi'ah dan mengusirnya dari kampung sunni sekaligus mencabut KTP sunninya seperti halnya Adam diusir dari surga dan untungnya ia tidak sampai mengatar pelaku itu keneraka. Padahal Nabi sendiri mengingatkan itrah dan ahlu baitnya bukan untuk memilah-milah umatnya menjadi Syi'ah dan sunni atau unsur pengkultusan. Semuanya ini menjadi bukti otentik adanya pengkapuran otak dan penyelewengan sejarah serta ego yang tidak senang memberi penghargaan kepada keluarga Nabi saw. sesuai dengan kadar porsinya.
Tidak ada alasan yang akurat menurut penulis untuk menolak dan mensolasi diri dari hadis tentang pentingnya merujuk pada itrah dengan mempertahankan al-sunnah saja sebagai landasan formal mengenai sumber-sumber syari'at. Sejarah telah membuktikan bahwa dengan sunnah tidak cukup, sebab dari mana kita mengetahui sunah secarah kaffah seandainya kita mengebirikan ahlul bait sekalipun sebagian berargumen bahwa dengan sunnah otomatis sudah termasuk ahlul bait namun realitanya tidak demikian. Dapat dipastikan dengan sikap seperti itu, otomatis pemahaman kita tentang sunah tidak akan sempurnya. Seharusnya itrah ahlul bait minimal disejajarkan bersama dengan shahabat terutama Khulafaurrasyidin sebagai sumber al-sunah dalam penetapan tasyri Islam.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat kita simpulkan beberapa hal antara lain yaitu:
1. Hadis Itrah atau ahlul bait memiliki nilai kualitas sanad yang berbeda sebagimana halnya hadis tentang "sunahku". Namun hampir tidak ada ulama yang menolak keshahihan hadis itrah dalam kitab shahih Imam Muslim. Dengan demikian ia memiliki nilai kehujjahan dan kebenaran sendiri maka perlu ditempatkan secara proporsional termasuk mencantumkan hadis tersebut sebagai hujjah terutama untuk proses pembentukan hukum.
2. Berdasarkan keotentikan hadis tersebut semestinya ada revisi atau penyempurnaan terhadap landasan formal mengenai sumber-sumber syari'at, sudah semestinya kedudukan ahlul bait sejajar dengan sunnah berdasarkan riwayat tersebut atau minimal ia di masukkan kedalam saluran untuk sampai sunnah Nabi saw. seperti halnya kedudukan para shahabat, terutama Khulafaurasyidin. Menempatkan ahlul bait pada maqamnya dan memberi haknya sebagaimana yang diperintahkan dapat terlaksana tanpa harus mensyi'ahkan diri. Tetapi harus dipahami bahwa itu dilaksanakan semata-mata karena kecintaan kita kepadanya berdasarkan pada firman Allah dan sabda Nabi saw.
3. Tidak dapat dipungkiri untuk mengetahui informasi al-Quran dan sunnah Nabi saw. harus melalui para ahlul bait, merekalah paling banyak mengetahui Nabi saw. karena mereka sehari-hari hidup bersama beliau.
4. Eksitensi ahlu bait sebagai wujud perjalan historis yang tak terbantahkan dan yang menjadi penentu hal ini adanya kepastian pertalian nasab Nabi saw. termasuk yang diungkapkan dalam riwayat yang shahih dan nilai ahlul bait tercermin pada kualitas keperibadiannya yang mulia. Disamping memiliki etos ilmiyah yang didasari keimanan dan ketakwaan.
5. Dipahami oleh sebagian orang terutama sunni bahwa makna hadis itu menginformasikan tentang keutamaan keluarga Nabi saw. bukan sumber landasan hukum. Menurutnya sumber hukum hanya al-Quran dan sunnah Nabi saw dan hanya sebagian yang mengakuinya. Hal ini dilatar belakangi kekhawatiran pengkultusan yang berlebihan. Namun harus diakui bahwa berdasarkan riwayat-riwayat tersebut pula oleh syiah atau pencinta ahlul bait menempatkan itrah penerus Nabi setelah beliau wafat dan menjadi sumber kekuatan hukum setelah al-Quran.
6. Berdasarkan uraian penelitian ini dapat difahami bahwa kualitas hadis "itrah" baik dari segi sanad dan matannya lebih sharih turuqnya daripada hadis yang menginformasikan "al-sunnah"


























DAFTAR PUSTAKA




Abdullah Muhammad al-Darwisy, al-Imam Ahmad bin Hanbal Shahib al-Musnad, Mesir: Dar al-Fikr, 1411/1991
Al-Salûs, Ali Ahmad, DR, Prof., Ma'a al-Syi'ah al-Itsna 'Asyariyah fî al-Ushûl wa al-Furû'. Kairo: Darul al Taqwa cet. I 1417 H./1997 M.
Al-Subhâni, Ja'far, Ma'a Al-Syi'ah al-Imamiyah fi 'aqâidihim. th. 1413 H.
Sulaiman bin Ibrahim, Yanâbi' al-Waddah, Iran Intisyarat al Syarif al-Ridha th. 1413
Al Turmudzi, Abu Isa Muhammad bin Isa. Sunan al Turmudzi. Dar al Fikr, Beirut, 1980.
Al-Naishabury, Muslim bin Hajjaj al-Qusyairy, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1994
Al-Nawawi, Al-Imam, Shahih Muslim bil Syarah al-Nawawi, Syirqah Iqamah al-Din tth.
Nashruddin al-Albani, Silsilah al-Hadis al-Shahihah,
Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah
Ibn Hajar al-Makky, Kitab al-Shawa'iq al-Muhriqah















STUDI HADIS TAHLILI
KRITIK SANAD DAN MATAN
HADIS AL-TSAQALAIN
(Edisi Revesi)








Oleh : Fadhlullah Muh. Said
NIM : 01.2.00.1.05.01.0123











Dosen Pembimbing
DR. H. M. Luthfi Fathullah MA.












Program Pasca Sarjana
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2002/2003


[1] Al-Hakim (321-405 H), Muhammad bin Abdillah bin Muhammad bin Hamdawayh bin Nu'aym, kuniahnya Abu Abdullah ibn al-Bai, laqab al-Hakim al-hafidz, al-Syahid, al-Imamul Muhadits, al-Dhib, al-Thahanî al-Naysaburî. Ulama memasukan dalam kelompok ta'dil dengan julukan stiqah, 'arif, shalih, imam, 'ashruhu meskipun ada kontroversi tasyayyu'nya (tarikh Baghdadî juz V hal. 474). Penshahihan terhadap banyak hadis dha'if (al-Mughni al-Dhu'afa' juz II hal. 600)
[2] Abu Bakr bin Ishaq al-Faqih (258-342 H) yaitu Ahmad bin Ishaq bin Ayyub bin Yazid kuniyahnya Abu Bakr dan laqabnya al-Imam al-Allamah al-Mufti al-Muhaddits al-Syaikh al-Islam (ma'rifatul 'Ulumul Hadis/al-Mustadrak juz IV hal 613. Al Zahaby memasukan rawi ini pada kelompok berkualitas ta'dil dengan julukan laqabnya. Ia menerima hadis dari al-Abbas bin al-Fadhl al-Ashfany. Tidak ada informasi bahwa kedua orang itu pernah ketemu. Namun melihat thabaqat Ibnu Abi Uwais guru al-Abbas yaitu thabaqat 10 kemungkinan besar pernah bertemu dua orang berkualitas ta'dil sangat besar. (Sy'ar 'Alam juz XV hal 481 dan alIrsyad, hal. 318.
[3] Al-Abbas yaitu al-Abbas bin al-Fadhl kuniahnya tidak diketahui dan laqabnya al-Ashfahathy thabaqatnya tidak diketahui. Al-Daraqutny memasukan rawi ini pada kualitas ta'dil dengan julukan shaduq.
[4] Isma'il bin Uwais yaitu Isma'il bin Abdillah bin Abdillah bia Auwus kunniahnya Abu Abdullah bin Abi awus Abu Isma'il dan laqabnya al-Ashbahy, al-Madiny thabaqat ke 10 berkualitas ta'dil dengan julukan shaduq (sekalipun ia pernah salah dalam menyampaikan sejumlah hadis yang dihafalnya) ia menerima hadis dari bapaknya yang menjadi gurunya sendiri. Pada posisi rawi ini terjadi "tahwil al-Sanad" yaitu (akhbarani) al-Hakim al-Naisaburi.
[5] [5] Ismai'l bin Muhammad bin al-Fadhl al-Sya'rany yaitu Isma'il bin Muhammad bin al-Fadhl kuniahnya tidak diketahui dan laqabnya al-Naisabury dan al-Sya'rany thabaqat tidak diketahui secara pasti hanya termasuk muhaddits Dimasy (Si'ar 'Alam juz XV hal. 579. Ia seoranh guru Hakim (Ibnu Hajr (w. 852), Lisanu al-Mizan juz 1 hal. 434 dan al-Zahaby 748, Mizanul al-'Itidal juz 1 hal. 247 syi'ar 'alam juz XVII hal. 174. Al-Hakim dalam hal ini tidak mempersoalkan gurunya.
[6] Al-Fadhl al-Sya'rany yaitu al-Fadhl bin Muhammad kuniahnya Abu Muhammad dan laqabnya al-Syarani al-Naisaburi thabaqat tidak diketahui hanya saja ia kakek Ismail bin Muhammad, salah seorang guru al-Hakim sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajr Lisan al-Mizan dan al-Zahaby Mizanul 'Itidal. Rawi ini menerima hadis dari Ismail bin Abi Uwaes sekalipun banyak dibicarakan orang "takallama fîh" (lihat al-Jarh wa'tadil). Al Hakim menilainya ta'dil dengan julukan awin, faqah, 'arif bi al-rijal 'abid (tsiqah). Namun ia diketahui ektrim dalam tasyayyu'nya "ghaliyan fialtasyyu'" Al-Zahaby menilai sanad ini mulai dari Ismail bin Abi Uwaes shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim (lih. Talkhish al-Mustadrak juz 1 hal.93.
[7] Abu Uwaes (167/9 H) Abdullah bin Abdullah bin Uwaes kuniahnya Abu Uwaes dan laqabnya al-Ashbahy al-Madiny thabaqat ke 7 berkualitas ta'dil dengan julukan shaduq sekalipun diduga atau dicurigai pernah melakukan sesuatu yang menjarahkannya. Ia menerima hadis dari gurunya Tsaur bin Zaid (Lihat Mausu'ah al-Rijal juz II hal. 300, Tahzib al-Kamal Juz X hal. 250, Tahdzib al-Tahzib Juz V hal. 254, Taqrib Tahdzib Juz. I hal. 426, Lisan al-Mizan juz VII hal 264 dan Mizan al-Itidal juz II hal. 450).
[8] Tsaur bin Zaid al-Daily (w 135 H) yaitu Tsaur bin Zaid kuniahnya Abu Khalid dan laqabnya al-Daily, al-Madiny, al-Syamy, al-Hams, al-Kalâny thabaqat ke 6 berkualitas ta'dil dengan julukan tsiqah menerima hadis dari 'Ikrima (gurunya). (Lihat Mausu'ah al-Rijal juz I hal. 224, Tahzib al-Kamal Juz III hal. 272, Tahdzib al-Tahzib Juz II hal. 29, Taqrib Tahdzib Juz. I hal. 120, Lisan al-Mizan juz VII hal 188 dan Mizan al-Itidal juz I hal. 373).
[9] Ikrimah (w.107/10 H) kuniahnya Abu Abdullah dan laqabnya al-Barbary, al-Madiny, al-Maulâ Ibn Abbas al-Quraisyi al-Hasyimy, thabaqat ke 3 berkualitas ta'dil dengan julukan tsiqah dan tsabat. (Lihat Mausu'ah al-Rijal juz III hal. 55, Tahzib al-Kamal Juz XIII hal. 163, Tahdzib al-Tahzib Juz VII hal. 234, Taqrib Tahdzib Juz. II hal.30 dan Mizan al-Itidal juz III hal. 93).

[10] Muslim (204-261 H) Kuniah Abu al-Husain dan laqab al-Qusyairi al-Naishabury al-Hafidz ia termasuk thabaqat ke 10 berkualitas ta'dil dengan julukan tsiqah, hafidz, imam, 'alim bil faqih.
[11] Muhamad bin Bakkar (232/8 H), Kuniahnya Abu Abdullah, laqabnya al-Baghdady al-Rashany al-Qadhy, Ia termasuk thabaqat ke 10, berkualitas ta'dil dengan julukan Tsiqah. (Lihat Mausu'ah al-Rijal juz III hal. 331, Tahzib al-Kamal Juz XVI hal. 140, Tahdzib al-Tahzib Juz IX hal. 65, Taqrib Tahdzib Juz. II h. 147, dan al-Jarh wa al-Ta'dil Juz XII h. 212).
[12]Hassan bin Ibrahim (186 H), kunniyahnya Abu hasyim, Laqab al-Kirmani al-Azy Qadhi Kirman al-Kufy, ia termasuk thabaqat ke 8, berkualitas ta'dil dengan julukan shadûq sekalipun pernah berbuat salah. (Lihat Mausu'ah al-Rijal juz I hal. 315, Tahzib al-Kamal Juz IV hal. 228, Tahdzib al-Tahzib Juz II hal. 214, Taqrib Tahdzib Juz. I hal. 161, dan al-Jarh wa al-Ta'dil Juz III h. 238).
[13] Said bin Masruq (127 H), Kuniahnya tidak dikenal sedangkan laqabnya al-Sury al-Kufy al-Sufyan al-Tamimy, ia termasuk thabaqat ke 6 berkualitas ta'dil dengan julukan tsiqah
[14] Yazid bin Hayyan, ( H) Kuniahnya Abu Hayyan dan laqabnya al-Taymy al-kufy ia masuk dalam thabaqat ke 4 berkualitas ta'dil dengan julukan tsiqah ia menerima hadis dari Zaid bin Arqam
[15] Zaib bin Arqam bin Zaid bin Qayis al-Anshary al-Khazrajy (w.66/68 H.), ia salah seorang yang masyhur pertama syahid di Khandaq dan turun surat al-Munafiqun untuk membenarkan keimanannya. Telah meriwayatkan hadis sekitar 60 hadis di dalam Bukhari dua hadis dan Muslim ada 6 hadis.
[16] Al- Musnad juz III hal. 14
[17] Aswad bin 'Amir yaitu al-Aswad kuniahnya Abu Abdurahman dan laqabnya Syâzân al-Syâmî thabaqat ke 9 berkualitas ta'dil dengan julukan tsiqah (Lihat Mausu'ah al-Rijal juz I hal. 135, Tahzib al-Kamal Juz II hal. 246, Tahdzib al-Tahzib Juz I hal. 297, Taqrib Tahdzib Juz. I hal. 76, Al-Jarh wa al'Ta'dil juz II hal. 294).
[18] Abu Israil (w.164 H) yaitu Ismail bin Abi Ishaq al-Malâî kuniahnya Abu Israil dan laqabnya al-Abbas al-Malaî al-Kufy thabaqat ke 7 berkualitas ta'dil dengan julukan shaduq sekalipun hafalannya jelek sebagian menilai ghullah dan tasyayyu'.
[19] Athiyah bin Sa'ad bin Janadah (w. 111 H) kuniyahnya Abu Hasan laqabnya al-Aufa al-Jadla- al-Qaysi al-Kufy termasuk thabaat ke 3 berkualitas ta'dil dengan julukan shaduq , ia seorang Syia'h banyak melakukan kesalahan dan tadlis. Namun al-Zahaby menjuluki dha'if (Lihat Mausu'ah al-Rijal juz III hal. 41-2, Tahzib al-Kamal Juz XIII hal. 90, Tahdzib al-Tahzib Juz VII hal. 200, Taqrib Tahdzib Juz. II hal. 24).
[20] Nashr bin Abdu Rahman bin Bakr (248 H.) kuniyahnya Sulaiman Abu Said dan laqabnya al-Najy al-Adzy al Kufy al-Wasy ia termasuk thabaqat ke 10 berkualitas ta'dil dengan julukan tsiqah (Lihat Mausu'ah al-Rijal juz IV hal. 95, Tahzib al- Kamal Juz XIX hal. 63, Tahdzib al-Tahzib Juz X hal. 382, Taqrib Tahdzib Juz. II h. 299.
[21] Zaid bin Hasan, kuniahnya Abu Hasaen atau Abu hasan, laqabnya al-Qurasy al-Kufy Shahib al-Aimmat ia termasuk pada thabaqat 8 berkualitas Jarah dengan julukan dha'if.
[22] Ja'far bin Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib (140/148 H.), kuniahnya Abu Abdullah, laqabnya al-Quraisy al-Hasyimy al-'Uluwy al-Madiny al-Shadiq, ia masuk pada thabaqat ke 6, berkualitas ta'dil dengan julukan shaduq, faqih, imam (Lihat Mausu'ah al-Rijal juz, Tahzib al-Kamal Juz III hal. 418, Tahdzib al-Tahzib Juz II hal. 88, Taqrib Tahdzib Juz. I h. 132, dan Mizan al-Itidal juz I hal. 414).
[23] Ali bin al-Munzir bin Zaid (w.256 H) kuniahnya Abu Hasan dan laqabnya al-Aswady al-Asady al-Kufi al-Thariqy thabaqat ke 10 berkualitas ta'dil dengan julukan shaduq sekalipun tasyayyu' (Lihat Mausu'ah al-Rijal juz. III hal. 85 Tahzib al-Kamal Juz XIII hal. 407, Tahdzib al-Tahzib Juz VII hal. 337, Taqrib Tahdzib Juz. II h. 44, dan al-Jarh al-Itidal juz VI hal. 206).
[24] Muhammad bin Fudhail (w. 195/4 H) Muhammad bin Fudhail bin al-'Azwâm bin Jarir, kuniahnya Abu Abdul Rahman dan laqabnya al-Dhaby, thabaqat ke 9 berkualitas ta'dil dengan julukan tsiqah, shaduq, arif dan tasyayyu'. (Lihat Mausu'ah al-Rijal juz, III hal. 445, Tahzib al-Kamal Juz XXII hal. 155, Tahdzib al-Tahzib Juz IX hal. 359, Taqrib Tahdzib Juz. II h. 201, dan al-Jarhu wa alta'dil juz VIII hal. 57).

[25] Sulaiman bin Mahran kuniahnya Abu Muhammad, laqabnya al-Aswady al-Kamily al-Kufy al-Amasy, thabaqat ke 5 berkualitas ta'dil dengan julukan tsiqah, 'arif bil qira'ah, wara' sekalipun pernah sekali melakukan tadlis (Lihat Mausu'ah al-Rijal juz IV hal 104, Tahzib al-Kamal Juz VIII hal. 106, Tahdzib al-Tahzib Juz IV hal. 295, Taqrib Tahdzib Juz. I hal. 331, dan Mizan al-Itidal juz II hal. 224).

[26] Hadis ini melalui jalur Zaid bin Ali (w.120/2 H) dari bapaknya dari kakeknya dari Ali, melihat sanad hadis ini nampaknya dapat diterima, persoalannya kenapa hadis ini diriwayatkan hanya dari satu jalur saja.
[27] Kitab al-Wasaya, bab apakah Rasulullah saw berwasiat ? Jilid VI hal. 240.
[28] Syarah Shahih Muslim, al-Nawawi jilid XV hal. 180-181.
[29] Muhammad bin Khalifah al Wasthany (w, 827) dan Muhammad bin Muhammad bin Yusuf al-Sanusy (w. 859 H)
[30] Riwat seperti ini dapat ditemukan anatara lain al-Hakim dalam Mustadrak juz III hal. 147 (menurutnya hadis ini shahih menurut syarat Bukhari Muslim)., Al-Baihaqy dalam sunan Baihaqi juz II hal. 149, Ibnu Jarir al-Thabary, Tafsir al-Thabary juz 22 hal. 5 melalui jalur Aisyah, Al-Suyuthi, al-Durul al-Mantsur juz 6 hal. 605 melalui jalur Ibnu Abi Syaibah, Imam Ahmad dan Ibnu Hatim., Al-Zamakhsyary dalam Tafsir al-Kassyaf juz I hal. 434, Al-Fakhru al-Razy dalam tafsir al-Kabir, riwayat tersebut telah disepakati keshahihannya oleh kalangan ahli Tafsir, (Fadhail al-Khamsa juz I hal. 270.
[31] Ibn Hajar al-Makky, Kitab al-Shawa'iq al-Muhriqah Pasal ke II bab 11 ayat ke 4 hal. 89-90
[32] Miftah Kunuz al-Sunnah, bab al-mim yang menguraikan tentang Nabi Muhammad saw.
[33] Tanwirul Hawalik juz II hal 208
[34] Ibnu Taimiyah, Minhaj al-Sunnah, jilid II juz IV hal. 105
[35]Nashruddin al-Albani, Silsilah al-Hadis al-Shahihah,

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Tulisan yg cukup obyektif dan netral. Salut kpd penulisnya yg telah berani mengungkapkan hal2 seputar hadis tsaqalain ini secara jujur. Thanks.