Selasa, 16 September 2008

MUHAMMADIYAH ANTARA PURIFIKASI DAN TAJDID

MUHAMMADIYAH ANTARA PURIFIKASI DAN TAJDID

Muhammadiyah selain dikenal sebagai organisasi tajdid (pembaharuan) juga dikenal sebagai organisasi pemurnian agama atau purifikasi..Dua peran ini jika tidak dikelola dengan baik bisa berdampak buruk bagi organisasi, karena dua peran ini bisa saling berseberangan. Padahal keduanya di Muhammadiyah sudah mempunyai pengikut masing-masing. Dinamika keduanya terlihat jelas dalam arena Muktamar Muhammadiyah ke-45 yang berlangsung di Universitas Muhammadiyah Malang Jawa Timur awal Juli lalu.

Peran-peran tajdid Muhammadiyah dimulai oleh pendirinya, KHA Dahlan. Berbagai langkah KHA Dahlan seperti meluruskan kiblat masjid, sholat Ied di lapangan, khotbah dengan bahasa non Arab merupakan langkah tajdid yang diterima secara umum hingga saat ini. Ia pun dalam bertajdid tidak segan-segan meniru istitusi di luar Islam. Dalam hal pendidikan, misalnya, Kyai lebih memilih model pendidikan yang dikembangkan Belanda dengan menambah pelajaran agama ketimbang pendidikan model pesantren. Saat ini pun pesantren sudah mulai mengadop sistem ini dengan pengayaan yang lebih pada ilmu-ilmu agama.

Peran-peran purifikasi Muhammadiyah terlihat pada gerakan anti TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churafat). Gerakan yang membawa Muhammadiyah harus berhadapan secara diametral dengan kelompok masyarakat lain. Karenanya tak heran gerakan ini mendapat halangan dari kelompok masyarakat lain meski yang mendukung gerakan ini juga tak kurang banyaknya. Baik peran tajdid maupun peran purifikasi yang dilakukan Muhammadiyah ini tetap berujung pada ruju’ ilal Qur’an was Sunnah (kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah).

Perseteruan di Muktamar terlihat tatkala beberapa wilayah, salah satunya PWM Lampung, yang mempertanyakan tentang keberadaan JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah) yang mereka sejajarkan dengan JIL (Jaringan Islam Liberal) yang menurut mereka membingungkan masyarakat bawah. Isu ini ternyata tidak berhenti di pandangan umum PWM yang meski telah dijelaskan secara gamblang oleh Prof DR HA Syafii Maarif yang saat itu masih menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Pada Sidang-sidang Komisi, permintaan pembubaran terhadap JIMM masih terus berulang. Bahkan tidak saja di dalam Sidang, isu ini juga menggema di luar sidang. Tatkala ada diskusi tentang JIMM di Media Centre, kelompok luar Muhammadiyah yang bergabung dalam HTI (Hizbuth Thahrir Indonesia) ikut menggempur anak-anak JIMM sebagai agen liberalisme.

Meski sempat gencar diserang, tetapi dalam pernyataan terakhir tentang hasil Muktamar, JIMM tidak sempat disinggung. Hanya saja perjuangan perempuan Muhammadiyah untuk masuk ke pusaran pimpinan Muhammadiyah terpotong. Ide ini menurut mereka merupakan bagian dari gerakan femininisme yang mereka kategorikan sebagai cabang dari liberalisme.

Baik sisi tajdid maupun sisi purifikasi sebetulnya telah ada contoh jalan tengahnya, sebagaimana yang dijalankan oleh KHA Dahlan tatkala menafsirkan surat Al Maun. Tafsir surat al Maun yang menghasilkan Panti Asuhan dan Rumah Miskin merupakan tafsir baru yang berbau tajdid yang dilakukan Kyai meski tetap memperhatikan keaslian (purifikasi) ajaran. Sebetulnya dalam hal ini sudah ada rambu-rambunya, pembaharuan bisa dilakukan jika menyangkut hal ibadah keduniawian tetapi purifikasi jika menyangkut ibadah mahdloh. Ini pun disadari oleh anak-anak JIMM sebagaimana dikatakan oleh Boy. Hanya saja yang menjadi persoalan jika yang satu mengatakan sebagai urusan keduniawian tetapi yang lain mengatakan sebagai ibadah mahdloh, tentu ini memerlukan jalan tengah. Dan itu sebetulnya pilihan Muhammadiyah.

Pilihan posisi Muhammadiyah seperti saat ini, menurut Prof Dr HA Syafii Maarif, sesuai dengan ayat 143 Surat Al-Baqarah “Demikian itu Kami menjadikan kamu ummatan wasatha agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia, dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” Ummatan wasatha, menurut mantan Menter Agama Quraisy Shihab, adalah umat moderat yang posisinya berada di tengah, agar dilihat oleh semua pihak, dan dari segenap penjuru. Mereka dijadikan demikian, agar mereka menjadi syuhada (saksi), sekaligus menjadi teladan dan patron bagi yang lain, dan pada saat yang sama mereka menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai patron teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.

Wasathiyat
(moderasi atau posisi tengah) mengundang umat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak (agama, budaya, dan peradaban), karena mereka tidak dapat menjadi saksi maupun berlaku adil jika mereka tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan global.

Peran-peran inilah yang akan dilakukan Muhammadiyah saat ini. Karenanya, dari berbagai kalangan Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi massa Islam yang membawa bendera moderat. Namun demikian peran demikian tidaklah mudah untuk bisa dilakukan Muhammadiyah. Karena di satu sisi harus berseberangan dengan kaum tradisional dan di sisi lain berseberangan pula dengan kaum garis keras. Di satu sisi, kaum tradisional menutup diri untuk membuka nuansa Islam yang telah dimilikinya. Dan di sisi lain, kaum garis keras memahami ajaran Islam secara tekstual.

Peran-peran posisi tengah ini sering terjebak dan berseberangan dengan yang lain. Dalam menerapkan ruju’ kepada Qur’an dan Hadits, pemahamannya sering berseberangan dengan kaum tradisional tetapi dalam menerapkan strategi dakwah sering bertentangan dengan kaum garis keras. Misalnya saja, dalam menerapkan fiqih di dalam peribadatan Muhammadiyah sering beriring bersamaan dengan kaum garis keras. Contoh dalam penetapan awal bulan Hijriyah. Sehingga dalam masalah ini sering bertentangan dengan kaum tradisional. Tetapi dalam hal berstrategi sering beriringan dengan kaum tradisional, misalnya masalah pencantuman syariah dalam Pancasila. Sehingga dalam masalah ini seolah-olah berseberangan dengan kaum garis keras.

Karena pilihan yang demikian, sering Pimpinan Muhammadiyah menuai protes dari warganya yang memang beraneka ragam, baik yang dekat dengan kaum tradisional maupun dekat dengan kaum garis keras. Seperti masalah pencantuman tujuh kata di dalam Pancasila yang mewajibkan syariat, mereka menganggap pimpinan Muhammadiyah anti syariah. Padahal itu masalah strategi dakwah saja yang menurut pimpinan belum waktunya untuk dicuatkan.

PERKEMBANGAN GLOBAL. Muhammadiyah juga menghadapi perkembangan global. Perkembangan global sampai saat ini, menurut rekomendasi Muktamar, memiliki kecenderungan untuk meminggirkan martabat kemanusiaan dan nilai spritual kemanusiaan. kondisi global tersebut ditandai dengan semakin parahnya kehancuran lingkungan hidup, pelanggaran HAM, eksploitasi kemiskinan, kemanusiaan dan perempuan. Muhammadiyah sebagai organisasi Islam tertua dengan kekayaan jaringan amal usaha dan pengorganisasian yang relatif mapan, memiliki kewajiban rabbaniyah untuk berperan aktif dalam pengembangan peradaban global, guna mempertinggi fitrah ketuhanan dan martabat insaniyah kemanusiaan sebagai nilai dasar penegakan HAM, perbaikan lingkungan hidup yang berkelanjutan, good governance, kesetaraan gender, dan demokrasi.

Dalam konteks Indonesia, tanggung jawab pemerintah adalah untuk lebih meningkatkan fungsi pelayanan publik (social services) bagi peningkatan mutu kehidupan rakyat yang lebih baik, dan mampu memenuhi hak-hak dan kebutuhan pendidikan, dan gagal kerja. dalam hubungan itu, sebagai bagian dari komitmen kebangsaan dan kemanusian global, Muhammadiyah perlu mengembangkan gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar, yang memilki perhatian bagi peningkatan mutu kehidupan rakyat yang terbebas dari penyakit sosial dan politik, terbebas dari gizi buruk dan terbebas dari tuna pendidikan.

Usia menjelang satu abad Muhammadiyah, sudah lebih dari cukup untuk berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan di atas. Meskipun fokus dan perhatian Muhammadiyah harus tetap berada di dalam konteks Indonesia, apa yang telah dikemukakan di atas membuat Muhammadiyah harus lebih memikirkan dan menyelesaikan berbagai persoalan global tersebut. Sebab pada kenyataannya, persoalan keislaman dan kemanusiaan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor internasional. Hal tersebut dapat dilakukan oleh Muhammadiyah dengan memaksimalkan peran jaringan amal usahanya untuk selalu merealisasi ijtihad dan tajdid baik dalam bidang pemikiran, gerakan, dan organisasi, sehingga pemenuhan fungsi Islam sebagai rahmatan lil alamin dapat terwujud.

Tidak ada komentar: