Jumat, 28 September 2007

AMANAH KEPEMIMPINAN

AMANAH KEPEMIMPINAN

Banyak orang yang lupa, bahwa dirinya adalah makhluk pe ngemban amanat Tuhan (Allah). Mereka hidup dengan asumsi dasar yang salah: “hidup bebas tanpa batas”. Padahal pada saatnya mereka harus mempertanggungjawabkan kepemimpinan hidupnya kepada Allah.
Allah pun sudah mengingatkan:
$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# ’n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur šú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts† z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_
“Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,” (QS al-Ahzâb, 33: 72)
Dari ayat ini, dapat dipahami bahwa semua orang – kata orang bijak – memiliki beban kepemimpinan terhadap diri dan dan siapa pun yang dipimpinnya.. Selaras dengan sabda Nabi [Muhammad] s.a.w.(yang bermakna): “Semua orang adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya”. (HR al-Bukhari dari Ibnu Umar)
Fitrah manusia memiliki kecenderungan untuk minta diakui, dihargai dihormati dan dipuji. Dan, bila disikapi secara positif, maka semuanya akan berbuah positif. Demikian juga sebaliknya. Siapa pun, di mana pun dan kapan pun ingin diakui, dihargai dihormati dan dipuji. Dan semuanya akan dapat diraih dengan kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas dalam aktivitas kepemimpinannya.
Masalah krusialnya adalah: “dapatkah seseorang dan atau sekelompok orang memosisikan dirinya secara tepat di depan orang lain, dan sebaliknya memosisikan orang lain secara tepat di hadapannya ketika mengaktualisasikan fitrah kepemimpinannya?”
Setiap saat manusia akan selalu diuji, apakah dia mampu bergumul dengan setiap realitas dan memenangkan pertarungan? Dapatkah manusia menjaga hatinya untuk tetap bersih dan memancarkan cahaya kepemimpinan untuk dirinya dan orang lain?
Ternyata – dalam realitas kehidupan social-lkemanusiaan -- tidak semua orang berhasil menjadi pemimpin yang benar dan baik bagi dirinya dan orang lain, dan bahkan terkadang “rela” menjadi orang yang selalu terpimpin oleh sesuatu yang semestinya dipimpinnya, ke arah mana pun, bahkan menuju alam inferno (neraka dunia). Kalaulah manusia itu sadar akan potensi kepemimpinannya, sudah semestinya ia tidak membiarkan dirinya terpimpin oleh apa dan siapa pun yang akan mengarahkannya ke dalam kehancuran, apa pun bentuknya, apalagi ke jurang neraka.
Kini saatnya kita – umat Islam – sadar untuk bisa memelopori kebangkitan nurani, sadar dan berazam untuk berbuat sesuatu yang terbaik: “menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, bagi diri kita dan – juga – umat di luar diri kita”.
Dan insyaallah, dengan prinsip itqân, ihsân dan tawakkal kita akan menjadi yang terbaik, pemimpin bagi semuanya, “khairu ummah”. Dan jangan sekali-kali kita pernah menjadi orang yang terzalimi, apalagi mezalimi.

Tidak ada komentar: