Selasa, 25 September 2007

SYARIAT ISLAM: PANDANGAN ISLIB

Syariat Islam:
Pandangan Muslim Liberal

Oleh: Burhanuddin

Judul Buku: Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal
Penulis: Al Asymawi, Saiful Mujani, Azyumardi Azra, Taufik Adnan Amal, Ulil Abshar-Abdalla, et all.
Editor: Burhanuddin
Penerbit: Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation, Juni 2003
Harga: Rp. 22.000,- (pesan ke JIL diskon 20%, hubungi Anick/Novri/Burhan telp. 021-8573388 ext 127)

Wacana syariat Islam bersifat pelik berkenaan dengan sifat hubungan Islam sebagai sebentuk keyakinan atau agama dengan formulasi hukum Islam historis yang selama ini disebut syariat (An-Na’im, 1994). Pada saat syariat Islam dibicarakan dalam locus dan konteks historis dan profan, maka syariat Islam harus siap didudukkan dalam bingkai penilaian yang fair tanpa berharap ada keistimewaan apapun karena anggapan akan sakralitas fungsi dan sumbernya.

Kebanyakan aktivis syariat Islam tidak siap meletakkan syariat Islam dalam diskusi publik yang rasional. Statemen-statemen semacam “syariat tak bisa divoting,” “syariat lebih unggul daripada konstitusi sekuler” misalnya, selalu mewarnai sidang-sidang tahunan di MPR belakangan ini. Ruang pergumulan untuk mengisi cetak biru (blue print) konstitusi, terutama di negara-negara Muslim, sering diramaikan oleh aspirasi religius sebagian kelompok untuk memberi visi Islami pada konstitusi.

Memang dewasa ini muncul kecenderungan baru di banyak negara Muslim untuk menerapkan syariat Islam dengan cara memanfaatkan kebebasan dan demokrasi yang —suka tidak suka— juga memberi peluang bagi munculnya ekspresi keagamaan dalam kutub paling ekstrem sekalipun. Aspirasi penerapan syariat Islam berbanding lurus dengan pasang naik demokrasi di negara-negara muslim. Di antara mereka juga fasih melantunkan idiom-idiom demokrasi dan memaksimalkan lembaga-lembaga demokrasi sebagai sarana mencapai tujuan.

Partai Keadilan di Indonesia, FIS di Aljazair yang memenangkan pemilu putaran pertama tahun 1991 yang kemudian dibatalkan oleh rezim militer, hanyalah sebagian contoh partai-partai Islamis yang memperjuangkan agenda syariat Islam dalam pemerintahan. Di sejumlah negara Muslim lain seperti Pakistan, Yordania, Mesir, Maroko, Iran, dan Kuwait, kelompok-kelompok Islamis mereka ikut bersaing di pentas politik nasional masing-masing dengan menggunakan prosedur pemilihan umum.

Namun demikian, sebagian besar pemerintahan Islam dibangun lewat prosedur non-demokrasi. Arab Saudi misalnya, secara konsisten memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan sosial-politik melalui jalur otoritarianisme sejak Muhammad al-Saud dan Muhammad bin Abd al-Wahhab menyepakati suatu kontrak politik yang melahirkan kerajaan kaya minyak itu.

Pemerintahan Taliban sebelum dirobohkan koalisi Amerika Serikat juga menjadi contoh yang baik betapa otoritarianisme menjadi jalan tol bagi pelaksanaan syariat Islam yang eksesif di di Afghanistan. Demikian juga di Pakistan tahun 1980-an di mana program “Islamisasi” yang digelindingkan rezim militer di bawah Zia ul-Haq menarik minat kekuatan politik Islamis —yang tidak pernah menuai simpati rakyat dalam pemilu seperti Jamaat-i-Islami yang didirikan Abu A’la al-Mawdudi—untuk berkolaborasi dengan militer.

Buku yang ada di hadapan Anda ini pada dasarnya berambisi menyuguhkan sederetan fakta pengalaman negara-negara Islam dalam berdialektika dengan syariat Islam dan isu-isu kontemporer soal demokrasi, HAM, civil society dan lain-lain. Pertanyaan pendek yang kerap menghantui adalah: “Mengapa para pengusung syariat Islam tak pernah menarik pelajaran dari banyak negara Islam yang melakukan eksperimentasi yang gagal dalam memberlakukan syariat Islam?”

Atau, jangan-jangan, kenyataan yang tersajikan di negara-negara yang menerapkan syariat Islam itulah yang mereka tempuh dengan sengaja, di mana pertumbuhan ekonomi per-kapita yang rendah, tingkat pendidikan dengan indikator tingkat melek huruf yang amburadul, pendeknya harapan hidup (life span), dan absennya kesetaraan gender, siap dimaklumkan asalkan syariat Islam terlaksana.

Alih-alih memberi garansi bagi terpeliharanya hak-hak politik (political rights) dan hak-hak sipil (civil liberties) warga negara, para pengusung syariat Islam juga tidak serius membenahi —apa yang disebut Saiful Mujani sebagai— “indeks kemaslahatan publik.” Jikalau sedari awal berdirinya rezim syariat Islam selalu memaklumkan jalan pintas otoritarianisme, maka adalah sulit, untuk tidak menyebut mustahil, mengharapkan indeks kemaslahatan publik akan lahir dari tangan-tangan mereka.

Realitas sui-generis itulah yang akan diketengahkan buku yang dibagi menjadi dua bagian ini. Sebelum beranjak pada bagian pertama, buku ini didahului “provokasi intelektual” juris asal Mesir, Muhammad Sa’id al-Asymawi. Pendahuluan bertajuk “Jalan Menuju Tuhan” ini berdasarkan terjemahan dari salah satu sub-bahasan dalam master-piece al-Asymawi, Al-Islam al-Siyasi (1992).

Bagian pertama terdiri dari lima tulisan panjang, yaitu “Syariat Islam, Konstitusionalisme, dan Demokrasi,” “Negara dan Syariat dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia,” “Syariat Islam di Aceh,” “Simbolisasi, Politisasi dan Kontrol terhadap Perempuan: Studi Kasus di Aceh,” dan “Selamatkan Indonesia dengan Syariah.” Tulisan pertama yang ditulis Saiful Mujani dimaksudkan untuk memotret gambaran komparatif negara-negara yang menerapkan syariat Islam dibandingkan dengan asas paling dasar dari raison d’etre berdirinya sebuah negara, yakni kemasla-hatan sebesar-besarnya bagi warganya.

Tulisan kedua dari Arskal Salim dan Azyumardi Azra coba mengulas hubungan negara (baca: Indonesia) dengan syariat dari perspektif legal-formal dan sejarahnya. Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean menukikkan kasus penerapan syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) sejak UU No. 44 tahun 1999 dikeluarkan. Kedua penulis dari Forum Kajian Budaya dan Agama (FKBA), Yogyakarta, ini menyinggung aspek kesejarahan, sosiologis dan yuridis dari penerapan syariat Islam di NAD. Sementara aspek kesetaraan perempuan ter-cover dalam tulisan Lily Z. Munir. Adapun tulisan Ir. M. Ismail Yusanto memberikan perspektif dari sudut kalangan yang selama ini gencar memperjuangkan penerapan syariat Islam di Indonesia.

Bagian kedua dari buku ini berisi materi perdebatan dalam acara workshop terbatas yang diadakan Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tanggal 10-11 Januari 2003 di Puncak, Jawa Barat. Workshop itu bertajuk Shari’a: Comparative Perspective yang diramaikan oleh kehadiran Prof. Dr. Abdullahi Ahmed An-Na’im dan kontributor JIL di seluruh Indonesia. Workshop itu sendiri terbagi menjadi tiga sesi; pertama, Shari’a: Comparative Country Case Studies; kedua, Shari’a: The Indonesia Case; dan ketiga, Toward Reformation of Islamic Law. Sesi pertama diantarkan oleh Prof. Dr. Abdullahi Ahmed An-Na’im dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, sementara Ir. M. Ismail Yusanto, Samsu Rizal Panggabean dan Lily Z. Munir bertugas mengantarkan sesi kedua. Adapun sesi ketiga tidak ada “narasumber” yang mengantarkan diskusi, kecuali Ulil Abshar-Abdalla, Lies Marcoes-Natsir dan Syafiq Hasyim yang memandu sesi terakhir ini. Setiap peserta menjadi narasumber dalam workshop di awal tahun ini.

Demikianlah, isu syariat Islam selalu menawarkan perdebatan menarik, bak tabir misteri yang tak kunjung usai dibicarakan. Dalam konteks nation-building kita, perdebatan di seputar isu syariat Islam bisa dikatakan setua umur republik ini. Hanya saja, kini kalangan yang terlibat dalam perdebatan isu syariat Islam tidak lagi terpaku pada narasi-narasi besar. Tak ada lagi oposisi biner antara kalangan Islam vis-à-vis nasionalis dalam menerima atau menolak syariat Islam. Menariknya, baik yang mengusung maupun mementahkan penerapan syariat Islam oleh negara sama-sama berasal dari “rahim” Islam, sama-sama lahir dan besar dari tradisi Islam, dan sama-sama fasih memakai justifikasi teologis dari kekayaan khazanah klasik Islam untuk membenarkan argumennya.

Dengan demikian, persepsi dan pandangan umat terhadap konsep syariat Islam tidaklah monolitik, apalagi jika syariat Islam dikaitkan dengan konsep politik, demokrasi dan pemerintahan. Persepsi terhadap syariat Islam tergantung pada ruang dan waktu di mana faktor politis, sosiologis, ekonomis dan antropologis berperan membentuk apresiasi dan persepsi yang beragam. Lihatlah suasana sidang-sidang konstituante pasca pemilu 1955, Masyumi dan NU merupakan kekuatan utama pengusung Islam sebagai dasar negara. Kini NU dan Muhammadiyah justru paling depan menolak amandemen pasal 29 UUD 1945. NU dan Muhammadiyah menjadi “tembok pertama” yang harus dilewati bagi kelompok-kelompok baru dalam Islam (new Islamic movement) yang belakangan ini gencar mempromosikan syariat Islam sebagai solusi krisis.

Krisis multidimensional yang berkepanjangan di Indonesia memang seringkali memunculkan keputusasaan beberapa pihak dalam mencari formula penyelesaiannya. Karenanya, dalam menyikapi isu-isu teknis yang meniscayakan solusi rasional malah melahirkan respon-respon simbolis seperti anggapan bahwa penerapan syariat Islam akan menjadi panacea, menuntaskan segala krisis bangsa. Ia dianggap sebagai eliksir, obat mujarab yang langsung manjur menyembuhkan segala penyakit. Ironisnya, pada saat bersamaan, solusi rasional yang diharapkan muncul dari orang atau pranata-pranata “sekuler” tidak kunjung tiba, malah pranata tersebut dinilai bagian dari sumber persoalan yang harus segera diatasi.
Last but not least, diskusi publik soal syariat Islam di Indonesia yang melibatkan “pertarungan” antara “anak-anak kandung” Islam membuktikan kebenaran adagium “Islam warna-warni.” Syariat Islam menjadi korpus teks yang terbuka untuk ditafsirkan siapa saja. Tidak ada lagi pihak yang berani mengklaim paling punya otoritas menafsirkan Islam karena tidak ada satupun orang di muka bumi ini yang berhak mengklaim bahwa dialah yang memiliki “hak paten” atas Islam. Selamat Membaca !
Burhanuddin
Utan Kayu, 20 Mei 2003

Tidak ada komentar: